Thursday, December 27, 2012

Makalah Figur Pemimpin Masyarakat Sunda


FIGUR PEMIMPIN MASYARAKAT SUNDA


MAKALAH


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Bahasa dan Sastra Sunda Pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan
               Dosen : Dr. Hj. Iis Ristiani M.Pd


Disusun Oleh :
Lan Lan Risdiana
01020201080192




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA
CIANJUR
2012








BAB I
PENDAHULUAN


1.1     Latar Belakang
          Bila diibaratkan, budaya merupakan akar dari sebuah pohon bernama Indonesia. Maka kebudayaan adalah identitas dari suatu bangsa yang wajib dipertahankan dan dilestarikan. Maysarakat yang tak berbudaya akan menciptakan lingkungan masyarakat yang tidak stabil. Salah satu faktor pembentuk dan penjaga kelestarian suatu kebudayaan adalah figur pemimpin.
          Pemimpin adalah mata bagi orang yang buta, penunjuk arah bagi orang tersesat. Seorang pemimpin sejatinya menjadi pikiran dan hatinya dunia. Seperti hati dan pikiran diri kita, mustahil seorang bisa hidup tanpa keduanya.
Melihat kondisi kepemimpinan di negara tercinta, kita mungkin sepakat negara kita sekarang tengah mengalami krisis kepemimpinan, yang mana berdampak langsung pada berbagai aspek di masarakat seperti sosial, politik, budaya, agama, dan lainya.
          Kepemimpinan seorang pemimpin adalah motor utama penggerak suatu bangsa. Melalui penelitian terhadap kepemimpinan dalam pemimpin Sunda Kuno yang bersumber pada naskah-naskah buhun (kuno) dan wawancara dengan para ahli, penyusun akan mendeskripsikan dan mengguar seperti apa figur pemimpin yang baik dan ideal dalam tataran masyarakat Sunda tempo dulu. Siapa tahu hal ini dapat menginspirasi dan merubah tataran dan pola pikir para pemimpin dan calon seorang pemimpin di masa ini.
1.2     Identifikasi Masalah
          Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka perlu diidentifikasikan beberapa masalah untuk dipaparkan yaitu sebagai berikut.
a.    Bagaimana figur pemimpin Sunda di masa lalu?
b.    Bagaimana menjadi pemimpin yang ideal berdasarkan kriteria naskah Sunda Kuno?

1.3     Tujuan Penulisan
          Tujuan penyusunan makalah ini yaitu:
a.    Mendeskripsikan figur pemimpin Sunda di masa lalu
b.    Memberikan gambaran yang jelas tentang kepemimpinan, agar dapat menjadi cerminan untuk masyarakat di masa kini.


BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

          Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Semboyan Bhineka Tunggal Ikamenandakan bahwa kita negara yang majemuk, namun terlepas dari itu meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan.
          Kebudayaan dan pola pikir bangsa Indonesia, merupakan gabungan dari berbagai budaya dari suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Dalam hal kepemimpinan yang menjadi motornya, bangsa Indonesia pun tentu tidak terlepas dari pengaruh dan nilai-nilai yang ada berakar budaya dari suku-suku bangsa yang ada di nusantara. Namun, apabila kita memperhatikan sistem kepemimpinan negara kita saat ini, pemerintah lebih dominan dengan sistem pemerintahan negara-negara Barat. Yang mana, sistem pemerintahan dengan nilai-nilai lokal (suku bangsanya masing-masing) kian jauh ditinggalkan.
          Pemimpin, tentunya tidak selalu dititikberatkan dalam tataran pemerintahan, tetapi pribadi kita sendiri adalah pemimpin bagi jiwa dan badan kita sendiri, yang mana setiap gerak gerik dan tingkah laku kita akan dipertanggung jawabkan baik langsung maupun tidak langsung terhadap diri kita sendiri, keluarga, bahkan umat dan masyarakat.
          Kita tentu memahami bahwa setiap pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab dan juga bisa menghantarkan yang dipimpinnya ke jalan yang lebih baik, bermartabat, berakhlak mulia, baik di dunia ataupun akhirat kelak.
          Hidayat Suryalaga mengatakan dalam bukunya, seseorang disebut sebagai pemimpin tentulah harus mempunyai konsep (ide, pemikiran), norma (aturan), dan aktualisasinya (perilaku) kepemimpinannya. Intisari kepemimpinan adalah kualitas tingkah laku dan kemampuan individu dalam berinteraksi sosial untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama (2009: 129).

2.1     Figur Pemimpin Sunda yang Kharismatik dan Melegenda, “Prabu Siliwangi”
          Ada satu nama yang kharismatik, dikenang dan selalu dirindukan masyarakat Sunda karena kepemimpinannya yang melegenda, bahkan masih terkenal dan dihormati sampai sekarang. Begitu kuat kharismanya sehingga menembus dunia sastra, historiografi, mitologi bahkan pada tataran ontologi dan religi.
          Nama yang menjadi buah bibir dan panutan batiniah orang Sunda itu adalah Prabu Siliwangi, namanya pekat bernuansakan mitos. Nama lainnya ialah Jayadewata, Prabu Guru Dewata Prama, Sri Sang Ratu Dewata, Kekeumbingan Raja Sunu, Manah Rasa dikenal pula dengan julukan “Sri Baduga Maharaja”, memerintah kerajaan Padjadjaran 1482 – 1521 Masehi. Setelah wafat disebut dengan nama Prabu Ratu. (Suryalaga, H.R Hidayat; 2009:130).
          Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 Masehi ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
          Menurut tradisi lama, orang segan bahkan tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
          “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira“.
          Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
Prasasti Batutulis di Bogor menyebutkan keagungan Sri Baduga Maharaja dalam sejarah.

2.2     Naskah Kuno: Sanghyang Siksakandang Karesian
          Naska kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) ditulis dengan menggunakan aksara sunda kuno, diatas tujuh lembar daun lontar. Bertitimangsa tahun 1518 Masehi, tanpa diketahui siapa nama penulisnya. Naskah aslinya disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor Kropak 630.
          Keberadaan SSKK ibarat penerang ditengah kegelapan informasi mengenai kehidupan orang Sunda di masa lampau. Begitu lengkap informasi yang disampaikannya, sehingga ada yang menamakannya Ensiklopedi Sunda pada zamannya.
          Transkripsi naskah SSKK dilakukan oleh Atja, dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-16 Universitas Padjadjaran Bandung. Sekaligus merupakan hasil penelitian kembali naskah-naskah kuno dari Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
          Dalam kata pengantarnya dikatakan bahwa pemilihan naskah tersebut untuk menyambut Dies Natalis ke-16 Unpad ialah karena kebetulan mempunyai hal-hal yang menarik baik isi maupun kesamaan angka 16-nya. Hal-hal itu adalah :
a.    Siksa Kandang Karesian mempunyai isi semacam ensiklopedi tentang pemerintahan, kepercayaan, kebudayaan, kesusastraan, pertanian, etika, kemiliteran, dan lain-lain, dari masyarakat Sunda
b.    Siksa Kandang Karesian sebuah naskah Kuno yang mempunyai Candrasangkala yang berbunyi: nora catur sagara wulan, bila dibuat tahun Saka ialah 1440, sama dengan tahun 1518AD, atau awal abad ke-16 Masehi.
c.    Siksa Kandang Karesian penting ditranskripsi dan diterjemahkan untuk dijadikan salah satu sumber dalam penelitian, penulisan sejarah, kebudayaan, sastra, kesenian, kepercayaan dari masyarakat Sunda awal abad ke-16 Masehi.
d.   Belum pernah diterjemahkan dan betapa pentingnya naskah ini. Jelas dikemukakan oleh Drs. Amis Sutaarga dalam penelitian sementaranya yang berjudul Prabu Siliwangi, atau Ratu Pakuan Guru Dewata Prana Sri Baduga Maha Raja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran 1471-1513, penerbit P.T. Duta Rakyat Bandung, hal.55, yang berbunyi : “Amat disayangkan, bahwa naskah ini (yang dimaskud adalah Siksa Kandang Karesian) yang sampai sekarang (waktu itu tahun 1965) masih tersimpan dalam koleksi naskah-naskah Museum Pusat di Jakarta belum pernah dibuat transkripsi dan terjemahannya”.
          Isi naskah SSKK tidak merupakan suatu kisah atau cerita sebagaimana Carita Ratu Pakuan, melainkan berisi petunjuk dan bimbingan hidup dan kehidupan manusia di dunia agar mencapai kebahagiaan (mapahayu) dan keunggulan. Dan yang memberikan petunjuk (warahakna) atau petuah adalah Sang Sadu, dan agar menjadi peringatan bagi semua orang. Hal nampak dalam kalimat permulaanya berbunyi : ” ndah nihan warahakna sang sadu, de sang mamaet hayu. Hana Sanghyang siksakanda (ng) Karesian ngaranya; kayat-nakna wong sakabeh”
          Menurut Saleh Danasasmita bahwa SSKK ditulis pada masa Pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M). Sri Baduga Maharaja adalah cucu dari Wastu Kancana, yang pernah tinggal di keraton Surawisesa di Kawali, sehingga dapat disimpulkan, ia mengetahui benar filsafat hidup zaman kakeknya. Menurut Saleh Danasasmita, bahwa dalam Keropak 630 SSKK tersebut terdapat nilai-nilai dan pandangan hidup manusia Jawa Barat, yaitu:
a.    Mahayu dora sapuluh
b.    Mikukuh dasa prebakti
c.    Pancaaksara guruning janma
d.   Mikukuh darma pitutur
e.    Ngawakan tapa di nagara
f.     Tri Tangtu di nu reya
g.    Hirup cukup teu kaleuleuwihi
h.    Ulah pupujieun
i.      Ulah bohong, ulah maling, jeung pamali
          Sesuai dengan amanat dalam prasasti Kawali yang dibuat oleh Wastu Kancana, bahwa secara ringkas kesejahteraan dan kejayaan negara harus melalui dua jalan UTAMA, yaitu: MAGAWE RAHAYU dan MAGAWE KERTA.
          Adapun di luar dari naskah SSKK, masyarakat Sunda juga memiliki pedoman kepemimpinan yang madhani, yaitu tertuang dalam beberapa peribahasa di bawah ini:
          Babasan paribahasa tentang kepeminpinan Sunda:
a.    Sagolek pangkek, sacangreud pageuh; artinya kalau sudah putih ya putih, kalau sudah hitam ya hitam. Apabila keputusan raja sudah dibuat, ya sudah, tidak bisa diganggu gugat.
b.    Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa pemimpin Sunda mempunyai jiwa otoriter, dimana menggunakan keotorisasiannya dalam tempat yang benar, dalam artian tidak menyalahgunakan otoritas yang dimilikinya.
c.    Ngadek sacekna nilas saplasna; artinya dalam hal berbicara, sang raja itu harus jujur dan tepat sasaran. Bicara harus sebenar-benarnya.
d.   Pemimpin dituntut untuk bersikap jujur, baik kepada dirinya sendiri ataupun terhadap orang yang dipimpinnya. Dengan ini tidak ada kebohongan dan kecurangan yang terjadi dalam kepemimpinannya
e.    Ulah dengdek topi; artinya seorang raja, sejatinya tidak memihak pada suatu kelompok atau individu, tapi harus berdasarkan keadilan dan kebenaran.
f.     Seorang pemimpin itu harus adil, tidak boleh memihak pada salah satu kelompok atau individu.
g.    Henteu cueut kanu hideung, henteu ponteng kanu konéng; artinya hampir sama dengan dengdek topi, seorang raja tidak berat sebelah, tapi konsisten dalam menjalankan pemerintahan atas keadilan dan kebenaran.

2.3     Isi Naskah SSKK
          Di dalam naskah SSKK tertulis informasi mengenai paradigma kepemimpinan yang disebut dengan PARIGEUING. Hidayat Suryalaga dalam bukunya menyebutkan Parigeuing sebagai Gaya Kepemimpinan Prabu Siliwangi atau leadership Prabu Siliwangi.
          Perlu kita garis bawahi bahwa seorang pemimpin dijadikan pemimpin oleh komunitasnya karena berkemampuan untuk mengkomunikasikan konsep-konsep kepemimpinanya sehingga mampu mempengaruhi kualitas etos kerja komunitas yang dipimpinnya.
          Menurut pengamatan para ahli strategi, ada empat macam penampilan pemimpin, yaitu yang berkarakter:
a.    Perintis, biasanya sebagai penggerak pemula dengan konsep idenya yang orisinil serta mampu meyakinkan komunitasnya akan kebenaran tujuan yang ingin dicapainya
b.    Penyelaras, seorang pemimpin yang mampu menyelaraskan kelompok komunitasnya, lebih bersifat manajerial. Mengarahkan komunitasnya kepada pencapaian visi dan misi yang hendak diwujudkannya.
c.    Pemberdaya, pemimpin yang berkarakter sebagai pendorong semangat juang, memotivasi etos kerja. Mampu memanfaatkan dan mengoperasionalkan seluruh perangkat yang dimiliki komunitasnya.
d.   Panutan, pemimpin yang berkarakter menjadi suri tauladan seluruh komunitasnya. Keteladanannya mencakup aspek lahir batin serta perilaku kehidupan kesehariannya.
          Masyarakat Sunda pada umumnya lebih cenderung mengangkat pemimpin dengan karakter Panutan, yaitu kecenderungan berpola paternalistik, meskipun begitu karakter lainnya pun dipertimbangkan pula. Nanti akan kami uraikan mengenai unsur kepemimpinan Prabu Siliwangi yang terinformasikan dalam, Parigeuing, Dasa Pasanta dan Pangimbuh Twah, akan tampak jelas muatan keempat karakter pemimpin tersebut diatas.
2.3.1  Parigeuing
          Dalam naskah SSKK yang menggunakan bahasa sunda abad XVI disebutkan bahwa yang disebut Parigeuing adalah “Parigeuing mah ngaranna; bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawangi, nya mana henteu surah nu dipiwarang”(Parigeuing adalah cara memerintah dan menyuruh dengan bahasa yang santun sehingga tidak menimbulkan ketidaksenangan bagi yang diperintahnya).
          Dengan demikian secara tersirat dalam parigeuing diisyaratkan bahwa seorang pemimpin harus piawai berkomunikasi. Mampu berkomunikasi dengan para komunikan secara baik, santun dan benar sesuai hak asasi dan kewajiban asasi manusia. Jadi seyogyanyalah seorang pemimpin terampil dan mampu memanfaatkan aspek bahasa sebagai alat komunikasi, baik dalam tataran retorika, kognitif, afektif, phatik dan persuasif.
          Dalam peribahasa Sunda dikenal “ratu kudu saciduh metu saucap nyata”, pemimpin itu antara ucapan dan perilakunya harus sesuai.
2.3.2 Dasa Pasanta
          Dasa pasanta artinya “sepuluh penenang” yaitu cara memberi perintah yang baik agar orang yang diperintah bisa melaksanakan tugasnya dengan optimal. Kesepuluh cara memerintah yang baik itu adalah:
a.    Guna = perintah itu dipahami manfaat atau kegunanaanya, sehingga tidak terjadi salah pengertian.
b.    Ramah = bijak bestari. Keramahan akan menumbuhkan rasa nyaman dalam bekerja. Iklim yang mengesankan keramahtamahan akan menjadi habitat yang sangat kondusif.
c.    Ho’ok – ho’okeun = kagum. Perintah itu dianggap sebagai representasi kekaguman pemimpin atas prestasi dari orang yang diperintahnya.
d.   Pesok = reueus, bangga. Perintah disampaikan dengan cara yang menimbulkan kebanggaan bagi yang diperintah, hal ini akan memotivasi kepercayaan dirinya.
e.    Asih = kasih sayang. Perintah dilandasi degan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran kasih.
f.     Karunia = karunia, belas kasih. Perintah harus terasa sebagai suatu karunia atau kepercayaan dari pemimpin kepada yang dipimpinnya.
g.    Mukpruk = menenteramkan hati. Pemimpin seyogyanya mampu menenangkan hati yang dipimpinnya antara lain dengan menumbuhkan semangat kerjanya.
h.    Ngulas = mengulas, mengoreksi ataupun memberi pujian. Cara mengulas bisa berbagai macam, yang penting ada respon atas pekerjaan mereka.
i.      Nyecep = memberi perhatian berupa moril maupun materil. Mungkin hanya berupa ucapan terimakasih atau pemberian ala kadarnya sebagai penyejuk hati.
j.      Ngala angen = mampu menarik simpati, sehingga tersambung ikatan silaturahmi yang kental.
          Kaidah dasa panta bila kita simak dengan teliti ternyata berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan antar manusia (human relationship). Selanjutnya dalam SSKK dijelaskan pula bahwa seseorang baru bisa mempunyai keahlian dasa panta, bila kualitas dirinya telah terpenuhi. Maksudnya seorang pemimpin harus mempunyai kharisma, pamor atau tuah yang terbesit dari kualitas batiniahnya, sehingga akan tampak kepemimpinannya.
          Kualitas batiniah seorang pemimpin akan tampak dalam perilaku kesehariannya, dan itu semuanya akan sangat bergantung pada karakter, tabiat atau kepribadian yang melekat pada diri seseorang.


BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
          Membaca naskah kuno secara tidak langsung bisa juga disebut membaca masa lalu atau bisa juga diartikan memahami budaya masa itu, yakni masa ketika naskah tersebut dibuat. Memahami budaya pada dasarnya memahami inti dari budaya itu sendiri yang berupa nilai-nilai dan konsep – konsep dasar yang memberikan arah bagi bermacam tindakan, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kolektif. Dengan itu kita bisa melihat cerminan bagaimana masyarakat lampau bertindak, dan mungkin bisa kita terapkan dalam kehidupan masa sekarang. Salah satunya mengenai kepemimpinan.
          Ada tiga ungkapan yang biasanya dijadikan prasyarat bagi mereka yang berminat menjadi pemimpin, khususnya di tatar Sunda. Ungkapan itu adalah Nyantri, Nyakola, dan Nyunda. Untuk ungkapan yang pertama atau nyantri ini, pemimpin itu harus memiliki kecerdasan spiritual yang disimbolisasikan dengan istilah Nyantri. Spiritual menjadi harga mati sebagai benteng terakhir agar seorang pemimpin sadar betul bahwa kepemimpinannya itu adalah amanah dan harus dipertanggungjawabkan. Dalam era global, pemerintahan dan perusahaan besar yang dapat bertahan sesungguhnya berjangkar pada kunci kepekaan kesantrian ini.
          Nyakola sesungguhnya simbol dari seseorang yang lebih mementingkan nalar ketimbang tubuh. Nalar tidak pernah berhenti berfikir. Tidak pernah berfikir juga menggadaikan nalar untuk kepentingan sesaat, memburu kekuasaan dengan cara yang tidak terhormat. Untuk ungkapan yang ketiga atau Nyunda ini tidak harus dimaksudkan secara reduktif sekedar referensi etnis geografis yang merujuk pada wilayah Pasundan saja, tetapi Nyunda adalah diksi dengan makna seperangkat nilai-nilai kesundaan yang harus dimiliki oleh para pemimpin dan calon pemimpin.
          Nyunda sebenarnya mencerminkan, diantaranya sosok pemimpin yang mampu menyatu dengan rakyat secara tulus (ngumawula ka wayahna), pribadi yang tidak bertingkah (teu ningkah), tidak memperlihatkan sikap tinggi hati kepada orang lain (teu adigung kamagungan), tidak suka dimeriahkan dengan kemegahan (teu paya diagreng-agreng), arif dan adil (agung maklum sarta adil), dan mustahil korupsi (cadu basilat). 13
          Di dalam makalah ini, penyusun telah menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam naskah kuno Sanghyang Siksakandang Karesian, tentang figur seorang pemimpin ideal di masa lalu. Yang mana harapan dan tujuannya ialah agar memberikan sedikit pencerahan, gambaran dan harapan bahwa kita juga bisa mempunyai pemimpin yang kompeten, jujur, adil dan dihormati. Dan jika petuah para sesepuh itu dijalankan dan dilaksanakan secara bijak, maka akan terasa manfaat dan dampaknya, baik bagi pemimpin keluarga atau pemimpin yang lebih tinggi lagi, khususnya bagi pemimpin Indonesia kelak. Maka tidak menutup kemungkinan tanah dan bangsa yang kita pijak ini akan kembali damai sejahtera.

Friday, December 21, 2012

Artikel Etika Kepemimpinan Masyarakat Sunda


ETIKA KEPEMIMPINAN SUNDA



ALatar Belakang Masalah
Secara umum kebudayaan atau kultur terejawantahkan dalam tiga aspek. Pertama, sebagai suatu kelompok ide-ide atan gagasan, nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan dan sebagainya (cultural system).Kedua, sebagai satu komplek aktivitas serta tindakan  berpola dari manusia (social system). Dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Sunda sebagai salah satu etnis/ suku bangsa juga memiliki corak kebudayaan tertentu yang berbeda dengan etnis lain yang ada di Indonesia ini.  Kebudayaan dalam aspek pertama yakni berupa ide, gagasan, norma (etika) dan aturan-aturan termanifestasikan dalam kehidupan masyarakatnya. Lebih jelas lagi dapat dilihat dalam struktur dan kultur masyarakat yakni etnis  Sunda. Struktur dan kultur tersebut tentu ada sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya dalam kehidupan bermasyarakat.
Setiap bangsa termasuk etnis Sunda  harus mengetahui dengan jelas kemana arah tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itulah diperlukan adanya sebuah pandangan hidup (way of life). Pandangan hidup atau filsafat hidup  adalah konsep yang dimiliki seseorang atau golongan dalam suatu masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah kehidupan di dunia. Filsafat hidup ini kemudian menjadi landasan atau dasar suatu masyarakat dalam melakukan berbagai aktifitas dalam kehuidupannya, baik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial.  Dengan filsafat / pandangan hidup inilah suatu bangsa akan melihat persoalan-persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah serta cara memecahkan persoalan-persoalan yang ada dihadapannya.
Ajip Rosidi  pernah mengungkapkan bahwa pandangan hidup orang sunda terbagi menjadi lima aspek diantaranya: Pertama, pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi; orang Sunda berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta.
Kedua, pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat; orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerja sama untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Semangat bekerjasama dalam masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan. Harus saling hormat dan bertatakrama, sopan dalam berkata, sikap dan kelakuan. Harus saling sayangi sesama anggota masyarakat.
Ketiga, Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam; orang Sunda beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal kepada manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan baik dan digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam digunakan secara berlebihan apalagi kalau tidak dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan kesengsaraan.
Keempat, Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan; sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di bawah Sang Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal. Tuhan Maha Mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat mahluk-Nya, karena itu manusia wajib berbakti dan mengabdi kepada Tuhan.
Dan kelima, pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah; orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerjasama untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada kecepatan menyelesaikannya.
Jika mempelajari filsafat hidup orang Sunda, sedikitnya mengandung dua kepentingan, pertamakepentingan dalam sekala nasional dan global, dan kedua kepentingan untuk suku Sunda itu sendiri. Orang Sunda tumbuh sepanjang perjalanan sejarahnya dari dulu hingga sekarang dalam lingkup lemah cai (tanah air)-nya yang kini dikenal sebagai Jawa Barat.
Dalam masalah politik dan kepemimpinan khususnya budaya politik, juga tidak terlepas dari pandangan, termasuk pandangan hidup orang Sunda. Pandangan hidup orang Sunda sebagai pribadi tercermin dalam beberapa babasan seperti “kudu hade gogog hade tagog” yaitu harus baik budi bahasa dan baik tingkah lakunya. Segala perkataan harus dipertimbangkan sebelum diucapkan sebagai salah satu upaya mengendalikan diri. Hal ini terbukti ketika terjadinya perseteruan politik pada akhir masa Orde Baru, kota Bandung tetap aman dan terkendali. Proses politik yang memanas diseputaran Ibu Kota tidak sampai pada Bandung sebagai puseurSunda (Jawa Barat).
Dalam budaya Sunda pemimpin diartikan sebagai pusat yang dikelilingi oleh para pengikut. Hubungan pengikut dan pemimpin di sini adalah hubungan dependen atau saling berkaitan (hubungan ketergantungan kepada sang pusat, yaitu pemimpin). Pusat, atau pemimpin dalam konteks ini memiliki posisi lebih tinggi daripada para pengikutnya. Relasi keduanya bersifat suprior-imperior, dapat dikatakan bahwa posisi pemimpin di atas dan pengikut di bawah. Pemimpin diposisi atas, karena memang mempunyai kelebihan . Karena kelebihan atau keistimewaan yang dimilikinya tersebut, maka setiap pemimpin dikatakan memiliki “isi”, sedangkan para pengikutnya adalah “wadah” atau tempat. Pada mulanya si pemimpin sendiri juga merupakan sebuah wadah, tetapi karena bakat dan usahanya, maka wadah itu penuh isi.
Kualitas kepemimpinan Sunda terletak pada kualitas pemimpinnya. Pemimpin yang memiliki kualitas lebih (ilmu) akan mengalirkan ilmu tersebut, sesuai dengan potensi wadah-wadah itu sendiri. Namun, tidak setiap pengikut berkembang sama seperti pendahulunya, tetapi pengikut itu diberi kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi “pusat” baru dengan membentuk lingkungan pengikut sendiri. Penyebaran “pusat” ini dilakukan secara bebas dan sukarela oleh para pengikut, sesuai dengan potensi masing-masing. 
Masyarakat Sunda mengakui bahwa pemimpin Sunda yang disegani, artinya pemimpin yang penuh dengan kualitas atau isi. Pemimpin seperti ini pasti akan mempunyai para pengikut yang tersebar di mana-mana. Mereka kemudian lama kelamaam dapat berdiri secara independent sebagai pusat-pusat baru yang merdeka, dalam arti bahwa para murid hanya punya ikatan dengan guru-pusat, tetapi tidak punya ikatan apapun antara sesama murid atau pengikut.  
Dari sisi kepemimpinan nasional, etnis Sunda yang merupakan etnis kedua di negeri ini belum bisa menunjukan eksistensinya dikancah nasional. Padahal secara sosiologis dan geografis Sunda memiliki keunggulan dibanding dengan etnis lain misalnya Melayu atau Minang. Atas dasar itu maka penelitian ini difokuskan pada etika kepemimpinan Sunda sebagai upaya mengungkap sesuatu yang tersembunyi (nalar) yang melingkupi Masyarakat Sunda.
Penelitian ini dilakukan karena secara faktual terjadi gap antara nilai-nilai etis-filosofis terkait kepemimpinan Sunda dengan realitas yang terjadi dimana orang Sunda belum bisa berbicara banyak terkait kepemimpinan nasional.


B Perumusan Masalah
Etnis Sunda merupakan etnis terbesar kedua  yang berada di Indonesia ini. Secara politis dan geografis, Sunda memiliki peran strategis dalam kepemimpinan nasional. Realitasnya, orang Sunda jarang sekali mengambil peran-peran strategis itu. Ketika orang Sunda “manggung” terkadang meraka melepaskan identitas kesundaannya. Dalam penelitian ini penulis hendak melihat landasan etis-filosofis kepemimpinan Sunda. Bagaiman sesungungnya orang Sunda melihat kepemimpinan?
Dari rumusan masalah di atas maka penulis turunkan dalan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
  1. Bagaimana struktur nalar etis-filosofis masyarakat Sunda?
  2. Apa yang menjadi landasan etis orang Sunda dalam mengejawantahkan kepemimpinannya?
  3. Sejauh Mana Pengeruh Etika Kepemimpinan Sunda dalam realitas kehidupan  kontemporer?

CTujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana struktur nalar etis-filosofis masyarakat Sunda.
  2. Untuk mengkaji dan menganalisis apa yang menjadi landasan etis orang Sunda dalam mengejawantahkan kepemimpinannya.
  3. Untuk mengkaji dan menganalisis sejauh mana pengeruh etika kepemimpinan Sunda dalam realitas kehidupan kontemporer?

DKegunaan Penelitian
1Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat mambantu mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya filsafat moral (etika) diantaranya:
  1. penelitian ini dapat memperkaya khajanah rujukan dalam mempelajari filsafat lokal khususnya filsafat Sunda.
  2. Secara psikologis, masyarakat sunda yang nota bene merupakan komunitas terbesar kedua dapatmerumuskan konsepsi dasar  kepemimpinannya.
  3. Selain itu, dapat pula menjadi bahan ajar dalam mata kuliah Etika II yang lebih menitikberaktan pada aspek etika masyarakat lokal.

2Secara praktis, hasil penelitian ini dapat membantu mengembangkan aspek praktis dari ilmu filsafat diantaranya:
  1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi masyarakat Sunda khususnya dan masyarakat umum.
  2. Secara ilmiah etika kepemimpinan sunda ini telah terumuskan maka secara praktis masyarakat bisa mengembangkannya sesuai dengan realitas zaman.

EKajian Riset Sebelumnya
Secara umum, riset atau penelitian yang sudah dilakukan pada masyarakat Sunda lebih bersipat umum, misalnya: Pertama, kajian yang dilakukan oleh Hidayat Suryalaga yang memfokuskan pada filsafat sunda secara umum. Kedua, Suwarsih Warnaén dkk., mengkaji Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Ketiga, Yus Rusyana dkk, memfokuskan kajian pada Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini.
Ajip Rosidi juga melakukan pelbagai penelitian tentang Sunda dari berbagai segi sosiologis, politis, filosofis dan psikologis. Kemudian kajian dari Dewi Kurniasih yang membahas tentang Kepemimpinan Politik Orang Sunda. Serta penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan Sunda sebagai objek kajiannya.
Dalam penelitian  ini pembahasan difokuskan pada aspek kerifan-kearifan lokal (local wisdom) Sunda yang menginspirasi model kepemimpinan orang Sunda.  Local wisdom ini menjadi landasan etis-filosofis orang Sunda dalam menghadapi isu kepemimpinan.
Adapun teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori kritik nalar. Teori ini dipakai untuk mengungkap struktur nalar yang digunakan sebuah komunitas atau kelompok yang secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi pandangan hidup, sikap dan prilaku kelompok tersebut.

F. Kerangka Teori.
Seperti yang telah diketahui kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan sosial, baik sebagai komunitas etnis, budaya, maupun kehidupan  berbangsa dan bernegara. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa faktor kepemimpinan akan turut menentukan tercapai atau tidaknya tujuan kelompok atau negara yang terwujud dalam sebuah model kebijakan dan pembangunan.
Dalam usaha memahami pola kepemimpinan dalam budaya Sunda, sebenarnya ada dua konsep pendekatan yang dapat digunakan. Pertama, konsep “strategic elite” dari yang dipopulerkan oleh Suzanna Keller (1963) dan kedua, konsep “solidaririty makers dan administrator” dari yang sipelopori oleh Herbert Feith (1962)
Suzanna Keller bertitik tolak dari anggapan bahwa dalam setiap sektor kehidupan dalam masyarakat itu terdapat sekelompok orang yang dianggap tokoh/ elitnya. Akan tetapi, tidak semua anggota kelompok elit itu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Di antara kelompok elit yang memiliki pengaruh kepada masyarakat itu, disebut “strate elite”. Sedangkan Herbert Feith mengemukakan bahwa ada tipe kepemimpinan lain yang disebut tipe administror yang mengutamakan pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial dan organisasi negara pada umumnya. Tipe kepemimpinan administrator itu dapat kita lihat dalam diri mantan Wakil Presiden RI,Bung Hatta dan juga Juanda (yang notabene orang Sunda)
Figur pemimpin ideal yang diharapkan orang Sunda adalah seorang pemimpin yang dapat membawa fungsi atau peranan untuk menguasai, mengatur dan mengawasi agar tujuan kolektif dapat tercapai dengan tetap menjaga nilai sosial kultural Sunda. Hal inilah yang seringkali menjadi dasar bahwa otoritas tradisional dapat diterima masyarakat tanpa mempersoalkan legitimasinya, begitu pula dalam hal kepemimpinan Sunda.
Pendekatan di atas, setidaknya dapat menerangkan peranan pemimpin Sunda dalam situasi institusional atau konteks sosial kulturalnya. Hal ini sangat relevan dengan studi perbandingan tentang pelbagai tipe kepemimpinan dalam belbagai situasi kultural. Kepemimpinan Sunda masih memerlukan citra kepemimpinan yang bersifat kharismatik disamping mitos-mitos orang diciptakan disekitarnya.
Secara teoritis tipologi kepemimpinan Sunda bisa dilihat dari dua model di atas. Untuk bisa menggali secara mendalam landasan etis-filosofis kepemimpinan Sunda, maka perlu kiranya penulis menggali strtuktur nalar etis-filosofis masyarakat Sunda. Untuk membongkar struktur nalar tersebut maka digunakanlah teori ‘Kritik Nalar’ yang di populerkan Mohamad Abed Al-Jabiri dalam membongkara nalar Arab (naqd al-aql al-arabi)dan Muhammad Arkoun dalam membongkar nalar Islam (naqd al-aql al-islami). Dengan menggunakan kritik nalar tersebut diharapkan bisa mengungkap selubung-selubung ideologis yang membatasi orang Sunda dalam mengejawantahkan kepemimpinannya.

GHipotesis
Jika asumsi tersebut dihubungkan dengan masalah penelitian di atas, maka dapat dikemukakan beberapa hipotesis sebagai berikut
  1. Secara teoritis masyarakat Sunda memiliki struktur nalar etis-filosofis yang menjadi nalar dalam kehidupan
  2. Sikap dan prilaku kepemimpinan orang Sunda dipengaruhi oleh etika kepemimpinan Sunda yang sudah menjadi nalar dalam kehidupan masyarakatnya.

HMetode Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode/ pendekatan kualitatif, karena data yang dikumpulkan lebih bersifat teoritis dan tidak memelukan variabel pengubah data (yang biasanya dipake dalam penelitian kuantitatif).

2.      Sumber Data
a.       Data primer
Data primer diambil dari sumber pustaka yang ditulis oleh orang Sunda yang relepan dengan kajian ini. Selain itu juga data ini diambil dari hasil wawancara dengan tokoh atau masyarakat terkait dengan tema penelitian ini.
b.      Data sekunder
Data sekunder diambil dari sumber pustaka yang mendukung pada penelitian ini.

3.      Jenis data
Data yang dukumpulkan dalam penelitian ini daalah data kualitatif yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik dan konsep-konsep yang terkait dengan etika kepemimpiana Sunda. Selain itu, data juga berbentuk pendapat dan pandangan tokoh berkaitan dengan konsep di atas.

4.      Teknik pengumpulan data
Adapun tehnik pengumpulan data melalui dua cara, yaitu book survey dan wawancara. Book survey dilakukan karena data-data yang diambil dari penelitian ini berasal dari buku dan model pustaka yang lain. Guna melengkapi data pustaka tersebut, kemudian dilakukan wawancara kepada para tokoh Sunda dan pemerhati/ ahli kesundaan. Dari dua langkah ini diharapkan data yang terkumpul dalam penelitian ini akan saling melengkapi.

5.      Pengolahan dan analisis data
Dalam penelitian kualitatif analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan secara induktif dengan alasan bahwa: Pertama, penelitian kualitatif memperhatikan kenyataan-kenyataan ganda sebagaimana terdapat dalam data. Kedua, hubungan peneliti dan objek menjadi eksplisit. Ketiga, latar peneliti menjadi lebih jelas sehingga makna kontekstual dari data bisa terungkap. Dan keempat, hubungan antara fakta atau gejala dapat diungap secara mendalam.
Adapun tahapan yang ditempuh dalam proses analisis data adalah sebagai berikut:
a.       Pemrosesan satuan data. Dalam tahapan ini peneliti mempelajari seluruh data yang terkumpul, diklasifikasi sesuai dengan tipe dan karakteristiknya. Dalam tahapan ini dilakukan reduksi dengan memilih hal-hal yang pokok yang sesuai dengan tema/ masalah yang penting.
b.      Kategorisasi. Dalam proses ini peneliti membuat keriteria-keriteria masalah sebagai pedoman dalam tahap kategorisasi ini.
c.       Penafsiran data. Target dari penafsiran data ini adalah diperoleh deskrifsi komprehensif mengenai masalah dlam penelitian ini.