Saturday, November 23, 2013

Makalah Sistem Pengangkatan, Penggajian, dan Pemberhentian Para Abdi Dalem Dalam Lingkup Kesultanan Yogyakarta


Makalah

Sistem Pengangkatan, Penggajian dan Pemberhentian Para Abdi Dalem Dalam Lingkup Kesultanan Yogyakarta


BAB I
PENDAHULUAN


1.1     Latar Belakang Masalah
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta.
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang.
Pada saat itu kekuasaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat meliputi:
1.      Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2.      Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3.      Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4.      Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5.      Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedangkan kekuasaan Kadipaten Pakualaman meliputi:
1.      Kabupaten Kota Pakualaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
2.      Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit bersama dan memulai persatuan dua kerajaan.
Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Perkembangan monarki persatuan mengalami pasang dan surut. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Penggunaan nama tersebut ada di dalam Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (lihat Maklumat Yogyakarta Nomor 18 Tahun 1946).
Pemerintahan monarki persatuan tetap berlangsung sampai dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman adalah bagian integral Negara Indonesia. "(1) Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2) Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. "(Pasal 1 UU No 3 Tahun 1950)

1.2
     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang akan dibahas dalam maklalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Adakah kriteria khusus pengangkatan abdi dalem di wilayah Kraton?
2.    Bagaimana pemberhentian abdi dalem di wilayah Kraton?
3.    Bagaimana tata cara regenerasi dari jabatan abdi dalem d wilayah Kraton ?
4.    Bagaimana sistematis dari penggajian abdi dalem ?

1.3     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui kriteria khusus pengangkatan abdi dalem di wilayah Kraton Yogyakarta
2.    Untuk mengetahui bagaiman pemberhentian abdi dalem di wilayah Kraton Yogyakarta.
3.    Untuk mengetahui tata cara regenerasi dari jabatan abdi dalem di wilayah Kraton Yogyakarta.
4.    Untuk mengetahui sistematis dari penggajian abdi dalem di Wilayah Kraton Yogyakarta.


  
BAB II
PEMBAHASAN


2.1       Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta
Saat pertama kali didirikan oleh Pangeran Mangkubumi pada saat itu, Yogyakarta bernama Ngayogyakarto Hadiningrat. Luas Yogyakarta sekitar 3.186 km per  segi, dengan total penduduk 3.226.443 (statistic Desember 1997). Semula Yogyakarta merupakan bagian dari Kerajaan Mataram, namun mulai 1755 Kerajaan Mataram dibagi menjadi Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Keraton Yogyakarta memegang kebudayaan murni ditengah modernisasi selama berabad-abad.
Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa seperti tarian, lukisan, wayang kulit, music gamelan, hingga kesenian lainnya. Selain kesenian tradisional ada pula seni kontemporer yang dimajukan oleh ASRI (Akademi Seni Rupa).
Yogyakarta adalah kota yang padat penduduk dan merupakan pintu gerbang untuk mencapai tengah pulau Jawa. Propinsi ini dibagi menjadi 5 daerah tingkat II, Kotamadia Yogyakarta, Kabupaten Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul.
Berdasarkan sejarah, sebelum 1755 Surakarta merupakan Ibukota Kerajaan Mataram. Setelah perjanjian Giyanti (Palihan Nagar) pada 1755, Mataram dibagi menjadi 2 kerajaan: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Mengikuti kebiasaan, Pangeran Mangkubumi Susuhunan Pakubuwono II, dimahkotai sebagai Raja Ngayogyakarto Hadiningrat,  kemudian beliau disebut sebagai Sultan Hamengku Buwono I.
Pada tahun 1813, dibawah penjajahan Inggris, pemisahan kerajaan Mataram terjadi untuk ketiga kalinya. Pangeran Notokusumo, putra dari Hamengku Buwono I, dimahkotai sebagai Pangeran Paku Alam I. Kerajaannya terpisah dari Kasultanan Yogyakarta.
Ketika Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, yang dilambangkan dengan penandatanganan Proklamasi Kemerdekaan, Ngayogyakarto Hadiningrat dan Pakualam menyatu sebagai salah satu propinsi di Indonesia dimana Sri Sultan Hamengku Buwono IX ditunjuk sebagai wakil gubernurnya.

2.2         Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.
Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah Negara.
Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.
Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.
Begitu mendengar Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII memerintahkan K.R.T Hanggawangsa mengirim telegram ucapan selamat kepada Ir. Soekarno dan Drs. Moch. Hatta serta K.R.T Rajiman Widyodiningrat pada tanggal 18 agustus 1945 yang kemudian disusul dengan telegram yang menyatakan bahwa Sri Sultan dan Dri Paku Alam VIII siap berdiri di belakang RI.
Berdasarkan telegram yang berisi ucapan selamat dan kesiapan untuk berdiri di belakang RI, maka Sokarno mengirim telegram balasan dengan memerintahkan 2 orang Menteri Negara, yaitu Mr. Maramis dan Sartono, isi telegram tersebut adalah piagam kedudukan bagi Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII. Pada waktu itu kedua menteri tersebut mendengar bahwa Sri Sultan akan menyatakan secara tertulis. Pada tanggal 5 September 1945 Sri Sultan dan Sri Paku Alam menyatakan secara tertulis sehingga tidak ada yang dikhawatirkan dan pada tanggal 6 September 1945 dengan diatar oleh Purubaya, kedua menteri tersebuut menyerahkan piagam kedudukan tersebut kepada Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam.
Adapun Proses sejarah penggabungan Negara Ngayogyakarta Hadiningrat serta Kadipaten Pakualaman dengan Negara RI adalah sebagai berikut:
1.      Kalau dikatakan bahwa ada ijab qobul anatara Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII dengan Presiden Sukarno maka pengertiannya adalah ijabnya adalah dari Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII dengan ucapan serta siap berdiri di belakang RI. Sedangkan Qobulnya adalah berupa piagam kedudukan 19 Agustus 1945 dari Presiden Sukarno. Adapun niat bergabungnya dengan RI ietu secara jelas disampaikan hitam di atas putih pada Amanat 5 September 1945.
2.      Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII masing-masing bertindak atas nama lembaganya yaitu Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, jadi bukan atas nama pribadi.
3.      Sri Sultan HB dan Sri Paku Alam VIII bermaksud seperti para nenek moyangnya yaitu menjaga eksistensi serta menjaga jangan sampai ada negara dalam negara.
4.      Dengan berdasarkan Amanat Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII pada tanggal 30 Oktober 1945, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menjadi satu dalam satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ketenangan masyarakat Yogyakarta kini terusik dengan adanya isu akan digelarnya pemilihan Gubernur. Hal ini dituangkan dalam bentuk RUU Keistimewaan DIY yang digulirkan oleh pemerintah.
Berikut ini adalah beberapa ini dari draft RUU Keistimewaan Yogyakarta yang di gulirkan oleh pemerintah:
1.      Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam bertahta, walaupun tidak menjadi gubernur dan wakil gubernur, mereka akan tetap jadi orang nomor satu ke kedua di Yogya.
2.      Pemerintah Daerah yang terpilih harus meminta persetujuan apapun ke Sultan terkait pemerintahan. Bahkan DPRD dalam menyusun anggaran pun harus meminta persetujuan Sultan.
3.      Kalau Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur, maka pencalonan itu bersipat perorangan, tanpa melalui partai politik.
4.      Jika Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri, maka kerabat Keraton lainnya tidak boleh mencalonkan diri.
5.      Jika hanya satu-satunya calon, maka DPRD tidak akan lagi melakukan pemilihan terhadap Sultan dan Paku Alam: Mereka langsung dikukuhkan menjadi gubernur dan wakil gubernur.
6.      Jika tidak terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur, posisi Sultan dan Paku Alam adalah gubernur utama dan wakil gubernur utama. Posisi ini berada di atas gubernur/kepala daerah. Apapun kebijakan kepala daerah harus meminta persetujuan pada gubernur utama (Sultan) dan wakil gubernur utama (Paku Alam).

2.3         Pengangkatan Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
Kraton Yogyakarta memberikan gelar kepada 260 abdi dalem yang terdiri dari 120 abdi dalem keprajan (aparat pemerintahan) dan 140 abdi dalem punakawan (umum) di Bangsal Kesatrian, Selasa (13/9). Acara wisudhan ini dipimpin oleh adik Sultan Hamengkubuwuno X, Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo didampingi KP Wironegoro.
2.3.1 Sistem Pengangkatan Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
Wisuda abdi dalem Kraton Yogyakarta dilaksanakan dua kali setahun. Wisuda abdi dalem Kraton Yogyakarta dibagi dalam tiga bagian pengangkatan.
Pertama adalah pengangkatan abdi dalem baru, kenaikan pangkat abdi dalem serta pemberian hadiah (ganjara, Jawa). Wujud wisuda abdi dalem Kraton Yogyakarta itu berupa serat kekancingan atau surat keputusan melalui wisuda abdi dalem di Bangsal Kesatrian Kraton Yogyakarta.
Beberapa pejabat pemerintah di Provinsi DIY memperoleh gelar dari kraton. Antara lain adalah Kepala Kejaksaan Tinggi DIY, Muh.Ali Muthohar yang mendapat gelar Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Nitiwidyaksa. Selain itu Kepala Kanwil Pajak DIY, Jangkung Sudjarwadi  juga memperoleh gera kraton KMT Wasitapranadipura.
Selain pejabat tingkat Provinsi DIY, juga ada kepala daerah kota/kabupaten di DIY yang memperoleh gelar dari Kraton Yogyakarta sebagai abdi dalem.  Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto memperoleh gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Haji Wasesa Dipraja. Bupati Sleman, Sri Purnomo mendapat gelar Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Wiryatmaja. Sementara itu Bupati Bantul, Sri Surya Widati memperoleh gelar abdi dalem Nyai Kanjeng Raden Tumenggung Suryawati.
Acara yang berlangsung hingga lima jam ini dimulai dari berkumpulnya abdi dalem di Bangsal Magangan yang selanjutnya berjalan beriringan menuju Bangsal Ksatrian berdasarkan nomor urut yang sudah ditentukan oleh Kraton Yogyakarta.
Setelah seluruh abdi dalem berkumpul, prosesi pemberian gelar satu persatu secara simbolik diberikan oleh KPH Wironegara untuk abdi dalem punakawan sedangkan abdi dalem keprajan diberikan oleh KRT Joyokusuma.
GBPH Yudhadiningrat mengatakan abdi dalem merupakan abdi kebudayaan Ngayogyakarta yang menjadikan kebudayaan lebih kreatif. “Sejatinya priyayi Ngayogyakarta itu harus tahu kebudayaan Ngayogyakarta, sehingga menjadi priyayi memahami dan harus mengerti kebudayaan Jawa,”

2.4         Penggajian Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
Abdi dalem adalah pekerja yang dengan sukarela menyumbangkan tenaga dan waktunya untuk mengabdi pada keraton. Mereka bekerja selama 24 jam mulai dari pukul 8 pagi hingga 8 pagi lagi. Dalam 10 hari mereka hanya bekerja 1 hari di keraton. 9 harinya mereka gunakan untuk mencari nafkah di luar keraton. Mereka menyukai bekerja di keraton. Walaupun selama bertugas mereka tidak menggunakan alas kaki yang jelas-jelas mengancam kesehatan mereka.
Sebenarnya mudah saja untuk menjadi abdi dalem. Hanya perlu kesukarelaan saja. Tidak perlu berasal dari jogja pun dapat menjadi abdi dalem. Dengan syarat usiamu dibawah 40 tahun. Dengan 3 tahun pertama (masa percobaan) tanpa gaji, 5 tahun kemudian (disebut magang) tanpa gaji juga. Jadi selama 8 tahun menjadi abdi dalem mereka tidak di gaji.
Setelah itu mereka akan di wisuda oleh Keraton dan resmi mendapatkan SK dari pemerintah seperti PNS lainnya. Bedanya mereka digaji mulai dari 10.000. Gaji 10.000/bulan di dapat oleh seorang abdi dalem yang pangkatnya paling bawah. Orang kedua dari kiri dalam foto di atas selama sebulan hanya mendapat gaji 10.000, sedangkan sebelahnya yanng menjabat sebagai lurah keraton mendapat 25.000/bulan. tapi tenang saja, jika mereka rajin menjaga pos-pos yang ada di keraton, mereka kadang mendapat tambahan sekitar 10.000/pos.
Pengabdian mereka untuk melestarikan budaya jogja perlu diacungi jempol, dengan pengabdian yang sangat luar biasa itu mereka tidak mendapatka penggajian yang setimpal dengan pekerjaan dan pengabdiannya.

BAB III
PENUTUP


3.1
     Kesimpulan
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta.
Sementara itu, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).
Keistimewaan Yogyakarta dapat dilihat dari segala segi, mulai dari segi politis, ekonomi, mapun budaya.

3.2     Saran
Bagi masyarakat yang mempunyai jiwa nasionalis yang tinggi disarankan untuk tidak melupakan sejarah yang ada. Tanpa sejarah, kita takkan sampai pada titik saat ini yaitu Kemerdekaan dan menjadi Negara berkembang.





LANDASAN HUKUM


-       UUD’45 Bab I Pasal I (1)
”Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”
-       UUD’45 Bab VI Tentang Pemerinth daerah
Pasal 18 (1)
” Negara kesatuan republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah pripinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabipaten,dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-undang”
Pasal 18 B (1)
”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusuis atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”
Pasal 18 B (2)
” Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”
-       UU No 32/2004 tentang otonomi daerah
Bab III Pasal 10
(1)     Pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah
(2)     Dalam menjalankan pemerintahan yang menjadi kewenangannya daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah dearah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
-       Peraturan bersama Mentri Agama dan mentri dalam negeri No.9/2006 tentang tugas kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama.


 

Friday, May 17, 2013

Makalah Sistem Monarki Keraton Yogyakarta Dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)


SISTEM MONARKI KERATON YOGYAKARTA DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)



BAB I
PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang
            Indonesia merupakan masyarakat multicultural hal ini terlihat salah satunya dari banyaknya suku yang ada di Indonesia. Salah satu suku yang Indonesia dan dilihat paling dominan adalah suku Jawa. Masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling hubungan peranan-peranan yang dijalankan warganya sesuai dengan norma yang berlaku. Dalam masyarakat jawa yang merupakan bagian dari masyarakat yang lebih luas yakni masyarakat Indonesia juga mempunyai  struktur yang sangat kompleks. struktur social dalam masyrakat jawa dapat dilihat dari bagaimana masyarakat tetap menjaga kebudayaan Jawa meskipun arus perubahan semakin gencar mengepung. Dan hal ini dapat dilihat salah satunya di DIY Yogyakarta dimana di sana terdapat Keraton Ngayogyakato Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. di Kraton ini terdapat masyarakat pendukung keraton yang mempunyai tugas di masa kini sebagai pelestari budaya Jawa.
Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kraton Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata, Kraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa, sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut. Di tempat ini wisatawan dapat belajar dan melihat secara langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan. Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak akibat gempa besar pada tahun 1867, bangunan Kraton Yogyakarta tetap berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik.
Mengunjungi Kraton Yogyakarta akan memberikan pengalaman yang berharga sekaligus mengesankan terutama bagi Mahasiswa untuk mengetahui secara lebih dalam lagi mengenai Keraton Yogyakarta. Kraton yang menjadi pusat dari garis imajiner yang menghubungakn Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi ini memiliki 2 loket masuk, yang pertama di Tepas Keprajuritan (depan Alun-alun Utara) dan di Tepas Pariwisata (Regol Keben).
Ada banyak hal yang bisa disaksikan di Kraton Yogyakarta, mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya atau melihat koleksi barang-barang Kraton. Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan tersebut mulai dari keramik dan barang pecah belah, senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik beserta deorama proses pembuatannya. Selain terdapat pertunjukan seni dengan jadwal berbeda-beda setiap harinya. Pertunjukan tersebut mulai dari wayang orang, macapat, wayang golek, wayang kulit, dan tari-tarian.

1.2         Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Keraton Yogyakarta secara lebih dalam (sejarah, wilayah, penduduk, perekonomian, kebudayaan, dan kepercayaan di lingkungan Keraton Yogyakarta)?
2.    Bagimana susunan Sultan Keraton Yogyakarta?
3.    Bagaimana sistem pemerintahan monarki Keraton Yogyakarta?
4.    Bagaimana sistem pemerintahan Yogyakarta dalam bingkai NKRI?

1.3         Tujuan
1.    Untuk mengetahui Keraton Yogyakarta secara lebih dalam (sejarah, wilayah, penduduk, perekonomian, kebudayaan, dan kepercayaan di lingkungan Keraton Yogyakarta)
2.    Bagimana susunan Sultan di Keraton Yogyakarta
3.    Untuk mengetahui sistem pemerintahan monarki Keraton Yogyakarta
4.    Untuk mengetahui sistem pemerintahan Yogyakarta dalam bingkai NKRI?


BAB II
ISI


2.1     Keraton Yogyakarta
A.         Sejarah Singkat Keraton Yogyakarta
          Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.
          Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Selanjutnya secara turun-temurun para keturunannya memerintah kesultanan di sana dan untuk membedakan antara sultan yang satu dengan yang lainnya maka di belakang gelar Sultan Hamengkubuwono ditambah dengan huruf romawi untuk menunjukan yang sedang bertahta.
          Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.[1]
          Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan[2] yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
          Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta.
No.
Nama
Dari
Sampai
Ket
1.

2.
akhir 1810
periode pertama
3.
akhir 1810
akhir 1811
periode pertama  
akhir 1811
periode kedua
periode kedua  
4.

5.
periode pertama
periode ketiga
periode kedua
6.

7.

8.

9.

10.
sekarang

   
C.          Wilayah
          Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).
1.    Nagari Ngayogyakarta meliputi:
(1)      Kota tua Yogyakarta (di antara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
(2)      Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
2.    Nagara Agung meliputi:
1)        Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
2)        Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu),
3)        Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
4)        Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
5)        Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).
D.           Penduduk
          Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
          Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.
          Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.
E.            Hukum dan Peradilan
          Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.
1.     Pengadilan Pradoto merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
2.     Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
3.     Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
4.     Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Ponconiti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
          Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng
          Setelah Kasultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.
F.            Ekonomi dan Agraria
          Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.
          Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 masa pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.
          Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah di tahun 1839 meningkat menjadi 53 di tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
          Restrukturisasi di zaman HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusha oleh Jepang.
G.           Kebudayaan, Pendidikan, dan Kepercayaan
            Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).
          Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.
          Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.
          Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat dan babad).
          Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pedidikan dibuka. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam bentuk SD N Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Pada 1946, kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan UGM.
          Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.
H.           Pertahanan dan Keamanan
          Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Manca Nagara.
          Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan Putra mahkota dan para pangeran serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya HB II oleh Daendels pada 1810 dan ditanda tanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
          Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya perang Diponegoro di tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda.

2.2     Sistem Pemerintahan Monarki Keraton Yogyakarta
          Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.
          Pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan.
1.    Kementerian urusan dalam adalah:
1)        Kanayakan Keparak Kiwo, dan
2)        Kanayakan Keparak Tengen,
yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
3)        Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
4)        Kanayakan Gedhong Tengen,
yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
2.    Kementerian urusan luar adalah
1)    Kanayakan Siti Sewu, dan
2)        Kanayakan Bumijo,
     yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
3)     Kanayakan Panumping, dan
4)     Kanayakan Numbak Anyar,
yang keduanya mengurusi pertahanan.
          Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.
          Untuk menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam.
          Urusan regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.
          Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.
          Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati.

2.3     Sistem Monarki Keraton Yogyakarta dalam Bingkai NKRI
Sistem Pemerintahan yang ada di Yogyakarta selama kurun waktu beberapa dasawarsa terakhir memang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono sebagai Gubernur dan Puro Paku Alaman sebagai Wakil Gubernur. Hal tersebut memang dianggap sebagai salah satu perwujudan nilai-nilai dari keistimewaan yang ada di Yogyakarta. Istimewanya  Yogyakarta bukanlah hal yang sifatnya datang begitu saja tanpa adanya sesuatu yang terjadi dimasa lalu. Yogyakarta punya sejarah yang berbeda dengan daerah-daerah lain ketika akan berintegrasi kedalam Republik Indonesia. Jika kita mau mengkaji sejarah, Yogayakarta terintegrasi kedalam Republik Indonesia adalah melalui Maklumat 5 September 1945.
Maklumat yang sifatnya sangat sakral tersebut telah memposisikan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa yang berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam maklumat tersebut, memang dengan jelas dikatakan bahwa  Yogyakarta adalah bersifat kerajaan dan berstatus istimewa.
Namun dalam perkembangannya memang masih tetap bersifat kerajaan, tetapi implementasi pemerintahan yang dibangun tidaklah bersifat kerajaan. Keraton Yogyakarta sendiri telah merubah atau mereformasi diri dalam hal mengimplementasikan sistem pemerintahan yang menuju modernisasi, tapi tidak meninggalakan kearifan atau budaya lokal yang sudah ada dan berkembang.  
Seperti yang kita ketahui secara bersama, praktek Monarki adalah Pemerintahan dimana kekuasaan berada dalam satu tangan dan tidak ada pembagian kekuasaan. Jika kita mengacu pada kondisi yang ada di Yogyakarta saat ini, kekuasaan tidak berada pada satu tangan. Kekuasaan yang ada di Yogyakarta sifatnya tidaklah berada dalam kontrol tangan Sultan sendiri dan hal tersebut sudah dijelaskan diatas dimana sejak masa awal-awal kemerdekaan Yogyakarta sudah punya lembaga legislatif. Bahkan sudah menganut adanya pemisahan kekuasaan atau konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 
Jika konsep trias politica tersebut ditarik kedalam sistem yang berlaku di  Yogyakarta sudahlah ada dan selama ini telah dijalankan. Pemegang kekuasaan ditingkat eksekutif dipegang oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal ini Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sultan secara sah dan meyakinkan telah diangkat dan diperpanjang masa jabatannya sebagai Gubernur di Yogyakarta berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86/P Tahun 2008 tertanggal 7 Oktober 2008.
Dalam melakukan atau menjalankan Pemerintahan, Sultan tidaklah memposisikan dirinya sebagai seorang Raja yang punya kuasa tanpa batas seperti halnya dalam Pemerintahan yang sifatnya monarki. Sultan tidaklah membatasi hak-hak dari warga  Yogyakarta, tidak menerapkan adanya upeti bagi rakyatnya layaknya kerajaan-kerajaan dimasa lampau, Sultan kerap membuka ruang-ruang bagi rakyatnya (pisowanan ageng) dan ada kebebasan bagi rakyat untuk bersuara.
Sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa. Kesultanan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam membuat peraturan-peraturan daerah (Perda), Sultan selalu bersama-sama dengan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal itu juga dapat kita lihat dari Perda-perda yang ada di  Yogyakarta, misalnya soal Perda Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didalamnya terlihat jelas bahwa Perda dibuat atas persetujuan bersama Sultan sebagai Gubernur dengan DPRD.
Sebagai kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X juga mengimplementasikan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya sesuai dengan UU yang berlaku di Republik ini. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 27 ayat (2) mewajibkan setiap kepala daerah untuk memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD.
Hal ini juga kerap kali dilakukan Sultan sebagai Gubernur dan tidak ada bedanya dengan Gubernur-gubernur lain yang ada di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Sultan selalu memberikan laporan pertanggungjawabannya kepada rakyatnya yang dalam hal ini direpresentasikan oleh DPRD DIY.
Selain adanya lembaga eksekutif yang sifatnya menjalankan Pemerintahan, di  Yogyakarta juga terdapat lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY. Lembaga legislatif yang sifatnya merupakan representasi rakyat dan dipilih langsung oleh rakyat unruk mengawal pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur dalam hal ini Sultan HB X. Tugas dan wewenang dari DPRD ialah: Membentuk Peraturan Daerah Provinsi yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama, menetapkan APBD Provinsi bersama dengan Gubernur, Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi, meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur.
Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPRD DIY tersebut selalu dijalankan dengan baik oleh DPRD sesuai dengan iklim demokrasi. Sebagai contoh, dalam hal pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD-DIY) dibahas oleh DPRD bersama pemerintah provinsi yang kemudian mendapat  persetujuan bersama.
Dengan demikian bahwa DPRD telah menjalankan sebagian tugas dan wewenangnya sebagai wakil rakyat. Provinsi DIY juga memiliki lembaga yang sifatnya kehakiman atau lebih dikenal sebagai lembaga yudikatif. Sebagai perwujudan pilar demokrasi, DIY memiliki Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Agama yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang berkaitan hukum diwilayah atau daerahnya.
Sejarah juga mencatat, puluhan tahun sebelum lembaga yang kini dikenal sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD) diperkenalkan, Yogyakarta telah mempeloporinya terlebih dahulu. Di Yogyakartalah, lembaga legislatif di tingkat paling bawah ini dijumpai untuk pertama kali jauh sebelum ide ini diakomodasi melalui UU No. 22 tahun 1999. Selain itu juga tercatat bahwa  Sultan HB IX mempelopori dan berinisiatif mendirikan Komite Nasional Indonesia di daerah (KNI) sebagai lembaga legislatif bahkan sebelum regulasi nasional (UU No. 1 tahun 1945) dikeluarkan yang menjadikannya sebagai lembaga legislatif daerah yang pertama di Indonesia. Pada tahun 1946 Sultan Hamengku Buwono IX bekerjasama dengan Badan Pekerja KNI membentuk Dewan Perwakilan di setiap Kabupaten dan Kota  Yogyakarta yang berfungsi sebagai Badan Legislatif.

.


BAB III
PENUTUP


3.1     Kesimpulan
Praktik pemerintahan monarki di Keraton Yogyakarta sepenuhnya hanya berlaku dan dilaksanakan di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta saja di luar Keraton Yogyakarta berlaku pemerintahan yang dilaksanakan sesuai dengan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sultan Hamengkubuwono X juga sebagai Raja hanya dalam lingkungan Keraton Yogyakarta saja di luar Keraton Yogyakarta beliau sebagai Gubernur Yogyakarta yang mempunyai peran serta kedudukan yang sama dengan Gubernur lainya yang ada di wilayah NKRI.
Kondisi yang ada di Yogyakarta saat ini, kekuasaan tidak berada pada satu tangan. Kekuasaan yang ada di Yogyakarta sifatnya tidaklah berada dalam kontrol tangan Sultan sendiri dan hal tersebut sudah dijelaskan diatas dimana sejak masa awal-awal kemerdekaan Yogyakarta sudah punya lembaga legislatif. Bahkan sudah menganut adanya pemisahan kekuasaan atau konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 
Dalam melakukan atau menjalankan Pemerintahan, Sultan tidaklah memposisikan dirinya sebagai seorang Raja yang punya kuasa tanpa batas seperti halnya dalam Pemerintahan yang sifatnya monarki. Sultan tidaklah membatasi hak-hak dari warga  Yogyakarta, tidak menerapkan adanya upeti bagi rakyatnya layaknya kerajaan-kerajaan dimasa lampau, Sultan kerap membuka ruang-ruang bagi rakyatnya (pisowanan ageng) dan ada kebebasan bagi rakyat untuk bersuara.
Dalam membuat peraturan-peraturan daerah (Perda), Sultan selalu bersama-sama dengan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X juga selalu memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD yang sesuai dengan UU yang berlaku di NKRI yaitu UU No. 32 Tahun 2004 pasal 27 ayat (2).

3.2     Saran
          Saran dari kami ditujukan kepada pemerintah terutama pemerintah pusat agar dapat dapat menjaga dan melestarikan keberadaan Keraton Yogyakarta karena merupakan bekas peninggalan sejarah yang sangat berharga. Selain daripada itu juga agar pemerintah lebih memperkenalkan Keraton Yogyakarta khususnya kepada masyarakat Indonesia dan umumnya kepada mancanegara karena merupakan objek wisata pariwisata Indonesia.