Saturday, November 23, 2013

Makalah Sistem Pengangkatan, Penggajian, dan Pemberhentian Para Abdi Dalem Dalam Lingkup Kesultanan Yogyakarta


Makalah

Sistem Pengangkatan, Penggajian dan Pemberhentian Para Abdi Dalem Dalam Lingkup Kesultanan Yogyakarta


BAB I
PENDAHULUAN


1.1     Latar Belakang Masalah
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta.
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang.
Pada saat itu kekuasaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat meliputi:
1.      Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2.      Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3.      Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4.      Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5.      Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedangkan kekuasaan Kadipaten Pakualaman meliputi:
1.      Kabupaten Kota Pakualaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
2.      Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit bersama dan memulai persatuan dua kerajaan.
Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Perkembangan monarki persatuan mengalami pasang dan surut. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Penggunaan nama tersebut ada di dalam Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (lihat Maklumat Yogyakarta Nomor 18 Tahun 1946).
Pemerintahan monarki persatuan tetap berlangsung sampai dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman adalah bagian integral Negara Indonesia. "(1) Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2) Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. "(Pasal 1 UU No 3 Tahun 1950)

1.2
     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang akan dibahas dalam maklalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Adakah kriteria khusus pengangkatan abdi dalem di wilayah Kraton?
2.    Bagaimana pemberhentian abdi dalem di wilayah Kraton?
3.    Bagaimana tata cara regenerasi dari jabatan abdi dalem d wilayah Kraton ?
4.    Bagaimana sistematis dari penggajian abdi dalem ?

1.3     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui kriteria khusus pengangkatan abdi dalem di wilayah Kraton Yogyakarta
2.    Untuk mengetahui bagaiman pemberhentian abdi dalem di wilayah Kraton Yogyakarta.
3.    Untuk mengetahui tata cara regenerasi dari jabatan abdi dalem di wilayah Kraton Yogyakarta.
4.    Untuk mengetahui sistematis dari penggajian abdi dalem di Wilayah Kraton Yogyakarta.


  
BAB II
PEMBAHASAN


2.1       Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta
Saat pertama kali didirikan oleh Pangeran Mangkubumi pada saat itu, Yogyakarta bernama Ngayogyakarto Hadiningrat. Luas Yogyakarta sekitar 3.186 km per  segi, dengan total penduduk 3.226.443 (statistic Desember 1997). Semula Yogyakarta merupakan bagian dari Kerajaan Mataram, namun mulai 1755 Kerajaan Mataram dibagi menjadi Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Keraton Yogyakarta memegang kebudayaan murni ditengah modernisasi selama berabad-abad.
Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa seperti tarian, lukisan, wayang kulit, music gamelan, hingga kesenian lainnya. Selain kesenian tradisional ada pula seni kontemporer yang dimajukan oleh ASRI (Akademi Seni Rupa).
Yogyakarta adalah kota yang padat penduduk dan merupakan pintu gerbang untuk mencapai tengah pulau Jawa. Propinsi ini dibagi menjadi 5 daerah tingkat II, Kotamadia Yogyakarta, Kabupaten Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul.
Berdasarkan sejarah, sebelum 1755 Surakarta merupakan Ibukota Kerajaan Mataram. Setelah perjanjian Giyanti (Palihan Nagar) pada 1755, Mataram dibagi menjadi 2 kerajaan: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Mengikuti kebiasaan, Pangeran Mangkubumi Susuhunan Pakubuwono II, dimahkotai sebagai Raja Ngayogyakarto Hadiningrat,  kemudian beliau disebut sebagai Sultan Hamengku Buwono I.
Pada tahun 1813, dibawah penjajahan Inggris, pemisahan kerajaan Mataram terjadi untuk ketiga kalinya. Pangeran Notokusumo, putra dari Hamengku Buwono I, dimahkotai sebagai Pangeran Paku Alam I. Kerajaannya terpisah dari Kasultanan Yogyakarta.
Ketika Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, yang dilambangkan dengan penandatanganan Proklamasi Kemerdekaan, Ngayogyakarto Hadiningrat dan Pakualam menyatu sebagai salah satu propinsi di Indonesia dimana Sri Sultan Hamengku Buwono IX ditunjuk sebagai wakil gubernurnya.

2.2         Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.
Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah Negara.
Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.
Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.
Begitu mendengar Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII memerintahkan K.R.T Hanggawangsa mengirim telegram ucapan selamat kepada Ir. Soekarno dan Drs. Moch. Hatta serta K.R.T Rajiman Widyodiningrat pada tanggal 18 agustus 1945 yang kemudian disusul dengan telegram yang menyatakan bahwa Sri Sultan dan Dri Paku Alam VIII siap berdiri di belakang RI.
Berdasarkan telegram yang berisi ucapan selamat dan kesiapan untuk berdiri di belakang RI, maka Sokarno mengirim telegram balasan dengan memerintahkan 2 orang Menteri Negara, yaitu Mr. Maramis dan Sartono, isi telegram tersebut adalah piagam kedudukan bagi Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII. Pada waktu itu kedua menteri tersebut mendengar bahwa Sri Sultan akan menyatakan secara tertulis. Pada tanggal 5 September 1945 Sri Sultan dan Sri Paku Alam menyatakan secara tertulis sehingga tidak ada yang dikhawatirkan dan pada tanggal 6 September 1945 dengan diatar oleh Purubaya, kedua menteri tersebuut menyerahkan piagam kedudukan tersebut kepada Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam.
Adapun Proses sejarah penggabungan Negara Ngayogyakarta Hadiningrat serta Kadipaten Pakualaman dengan Negara RI adalah sebagai berikut:
1.      Kalau dikatakan bahwa ada ijab qobul anatara Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII dengan Presiden Sukarno maka pengertiannya adalah ijabnya adalah dari Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII dengan ucapan serta siap berdiri di belakang RI. Sedangkan Qobulnya adalah berupa piagam kedudukan 19 Agustus 1945 dari Presiden Sukarno. Adapun niat bergabungnya dengan RI ietu secara jelas disampaikan hitam di atas putih pada Amanat 5 September 1945.
2.      Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII masing-masing bertindak atas nama lembaganya yaitu Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, jadi bukan atas nama pribadi.
3.      Sri Sultan HB dan Sri Paku Alam VIII bermaksud seperti para nenek moyangnya yaitu menjaga eksistensi serta menjaga jangan sampai ada negara dalam negara.
4.      Dengan berdasarkan Amanat Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII pada tanggal 30 Oktober 1945, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menjadi satu dalam satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ketenangan masyarakat Yogyakarta kini terusik dengan adanya isu akan digelarnya pemilihan Gubernur. Hal ini dituangkan dalam bentuk RUU Keistimewaan DIY yang digulirkan oleh pemerintah.
Berikut ini adalah beberapa ini dari draft RUU Keistimewaan Yogyakarta yang di gulirkan oleh pemerintah:
1.      Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam bertahta, walaupun tidak menjadi gubernur dan wakil gubernur, mereka akan tetap jadi orang nomor satu ke kedua di Yogya.
2.      Pemerintah Daerah yang terpilih harus meminta persetujuan apapun ke Sultan terkait pemerintahan. Bahkan DPRD dalam menyusun anggaran pun harus meminta persetujuan Sultan.
3.      Kalau Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur, maka pencalonan itu bersipat perorangan, tanpa melalui partai politik.
4.      Jika Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri, maka kerabat Keraton lainnya tidak boleh mencalonkan diri.
5.      Jika hanya satu-satunya calon, maka DPRD tidak akan lagi melakukan pemilihan terhadap Sultan dan Paku Alam: Mereka langsung dikukuhkan menjadi gubernur dan wakil gubernur.
6.      Jika tidak terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur, posisi Sultan dan Paku Alam adalah gubernur utama dan wakil gubernur utama. Posisi ini berada di atas gubernur/kepala daerah. Apapun kebijakan kepala daerah harus meminta persetujuan pada gubernur utama (Sultan) dan wakil gubernur utama (Paku Alam).

2.3         Pengangkatan Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
Kraton Yogyakarta memberikan gelar kepada 260 abdi dalem yang terdiri dari 120 abdi dalem keprajan (aparat pemerintahan) dan 140 abdi dalem punakawan (umum) di Bangsal Kesatrian, Selasa (13/9). Acara wisudhan ini dipimpin oleh adik Sultan Hamengkubuwuno X, Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo didampingi KP Wironegoro.
2.3.1 Sistem Pengangkatan Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
Wisuda abdi dalem Kraton Yogyakarta dilaksanakan dua kali setahun. Wisuda abdi dalem Kraton Yogyakarta dibagi dalam tiga bagian pengangkatan.
Pertama adalah pengangkatan abdi dalem baru, kenaikan pangkat abdi dalem serta pemberian hadiah (ganjara, Jawa). Wujud wisuda abdi dalem Kraton Yogyakarta itu berupa serat kekancingan atau surat keputusan melalui wisuda abdi dalem di Bangsal Kesatrian Kraton Yogyakarta.
Beberapa pejabat pemerintah di Provinsi DIY memperoleh gelar dari kraton. Antara lain adalah Kepala Kejaksaan Tinggi DIY, Muh.Ali Muthohar yang mendapat gelar Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Nitiwidyaksa. Selain itu Kepala Kanwil Pajak DIY, Jangkung Sudjarwadi  juga memperoleh gera kraton KMT Wasitapranadipura.
Selain pejabat tingkat Provinsi DIY, juga ada kepala daerah kota/kabupaten di DIY yang memperoleh gelar dari Kraton Yogyakarta sebagai abdi dalem.  Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto memperoleh gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Haji Wasesa Dipraja. Bupati Sleman, Sri Purnomo mendapat gelar Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Wiryatmaja. Sementara itu Bupati Bantul, Sri Surya Widati memperoleh gelar abdi dalem Nyai Kanjeng Raden Tumenggung Suryawati.
Acara yang berlangsung hingga lima jam ini dimulai dari berkumpulnya abdi dalem di Bangsal Magangan yang selanjutnya berjalan beriringan menuju Bangsal Ksatrian berdasarkan nomor urut yang sudah ditentukan oleh Kraton Yogyakarta.
Setelah seluruh abdi dalem berkumpul, prosesi pemberian gelar satu persatu secara simbolik diberikan oleh KPH Wironegara untuk abdi dalem punakawan sedangkan abdi dalem keprajan diberikan oleh KRT Joyokusuma.
GBPH Yudhadiningrat mengatakan abdi dalem merupakan abdi kebudayaan Ngayogyakarta yang menjadikan kebudayaan lebih kreatif. “Sejatinya priyayi Ngayogyakarta itu harus tahu kebudayaan Ngayogyakarta, sehingga menjadi priyayi memahami dan harus mengerti kebudayaan Jawa,”

2.4         Penggajian Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
Abdi dalem adalah pekerja yang dengan sukarela menyumbangkan tenaga dan waktunya untuk mengabdi pada keraton. Mereka bekerja selama 24 jam mulai dari pukul 8 pagi hingga 8 pagi lagi. Dalam 10 hari mereka hanya bekerja 1 hari di keraton. 9 harinya mereka gunakan untuk mencari nafkah di luar keraton. Mereka menyukai bekerja di keraton. Walaupun selama bertugas mereka tidak menggunakan alas kaki yang jelas-jelas mengancam kesehatan mereka.
Sebenarnya mudah saja untuk menjadi abdi dalem. Hanya perlu kesukarelaan saja. Tidak perlu berasal dari jogja pun dapat menjadi abdi dalem. Dengan syarat usiamu dibawah 40 tahun. Dengan 3 tahun pertama (masa percobaan) tanpa gaji, 5 tahun kemudian (disebut magang) tanpa gaji juga. Jadi selama 8 tahun menjadi abdi dalem mereka tidak di gaji.
Setelah itu mereka akan di wisuda oleh Keraton dan resmi mendapatkan SK dari pemerintah seperti PNS lainnya. Bedanya mereka digaji mulai dari 10.000. Gaji 10.000/bulan di dapat oleh seorang abdi dalem yang pangkatnya paling bawah. Orang kedua dari kiri dalam foto di atas selama sebulan hanya mendapat gaji 10.000, sedangkan sebelahnya yanng menjabat sebagai lurah keraton mendapat 25.000/bulan. tapi tenang saja, jika mereka rajin menjaga pos-pos yang ada di keraton, mereka kadang mendapat tambahan sekitar 10.000/pos.
Pengabdian mereka untuk melestarikan budaya jogja perlu diacungi jempol, dengan pengabdian yang sangat luar biasa itu mereka tidak mendapatka penggajian yang setimpal dengan pekerjaan dan pengabdiannya.

BAB III
PENUTUP


3.1
     Kesimpulan
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta.
Sementara itu, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).
Keistimewaan Yogyakarta dapat dilihat dari segala segi, mulai dari segi politis, ekonomi, mapun budaya.

3.2     Saran
Bagi masyarakat yang mempunyai jiwa nasionalis yang tinggi disarankan untuk tidak melupakan sejarah yang ada. Tanpa sejarah, kita takkan sampai pada titik saat ini yaitu Kemerdekaan dan menjadi Negara berkembang.





LANDASAN HUKUM


-       UUD’45 Bab I Pasal I (1)
”Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”
-       UUD’45 Bab VI Tentang Pemerinth daerah
Pasal 18 (1)
” Negara kesatuan republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah pripinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabipaten,dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-undang”
Pasal 18 B (1)
”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusuis atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”
Pasal 18 B (2)
” Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”
-       UU No 32/2004 tentang otonomi daerah
Bab III Pasal 10
(1)     Pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah
(2)     Dalam menjalankan pemerintahan yang menjadi kewenangannya daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah dearah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
-       Peraturan bersama Mentri Agama dan mentri dalam negeri No.9/2006 tentang tugas kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama.