Monday, September 15, 2014

Makalah Sistem Hukum Waris dan Sistem Hukum Nikah Dalam Lingkup Kesultanan Yogyakarta

BAB I
BAB I
PENDAHULUAN



A.           Latar Belakang Masalah
Kesultanan Yogyakarta bernama asli Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara idependen yang berbentuk kerajaan.Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta.
Perjanjian antara kesultanan Yogyakarta dengan Belanda dimulai pada saat ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berdara pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950.
Salah satu sistem yang mempengaruhi hukum Kesultaan Yogyakarta adalah sistem hukum kewarisan islam. Kesultanan Yogyakarta tidak langsung menerapkan asas keislaman dalam kehidupan sehari-hari, bahkan untuk syari’at sekalipun. Pelaksanaan hukum kewarisan di lingkungan Kesultanan Yogyakarta mengakomodasi khasanah lokal dan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Hukum waris Kesultanan Yogyakarta melahirkan pergumulan kuat dan waktu yang panjanguntuk menerapkan aturan hukum waris islam dan hukum waris adat Jawa sehingga melahirkan titik singgung dalam pelaksanaan kewarisan. Titik singgung tersebut dalam terminologi lain disebut konvergensi Hukum waris islam dan hukum kewarisan adat Jawa yang merupakan sistem hukum yang bijaksanan dalam pelaksanaan kewarisan di Kesultanan Yogyakarta. Konsep konvergensi dua sistem hukum kewarisan tersebut mempunyai karakteristik dalam pelaksanaan kewarisan di Yogyakarta.
Sama halnya dengan sistem kewarisan, sistem pernikahan Kesultanan Yogyakarta juga dipengaruhi oleh system hukum nikah Islam. Pelaksanaan sistem pernikahan di lingkungan Kesultanan Yogyakarta mengakomodasi khasanan lokal nilai-nilai budaya Jawa.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, pada makalh ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Politik kenegaraan dan Hukum
2.    Bagaimana sistem hukum waris yang ada di Keraton Kesultanan Yogyakarta?
3.    Bagaimana sistem Pernikahan yang ada di Keraton Kesultanan Yogyakarta?
4.     
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut:
1.    Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Politik Kenegaraan dan Hukum
2.    Mengetahui bagaimana Bagaimana sistem hukum waris yang ada di Keraton Kesultanan Yogyakarta.
3.    Mengetahui Bagaimana sistem Pernikahan yang ada di Keraton Kesultanan Yogyakarta.


BAB II

ISI LAPORAN


A.           Sejarah Kesultanan Yogjakarta
Keberadaan Kota Yogyakarta tidak bisa lepas dari keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Mataram dari pengaruh Belanda, merupakan adik dari Sunan Paku Buwana II. Setelah melalui perjuangan yang panjang, pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 atau bertepatan dengan 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari . Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah Perjanjian Giyanti ini, Sri Sultan Hamengku Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui pembangunan fisik kraton.
Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati.
Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap. Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7 Oktober 2009 dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004.

B.            Sistem Hukum Waris Kesultanan Yogyakarta
Salah satu sistem yang mempengaruhi hukum Kesultaan Yogyakarta adalah sistem hukum kewarisan islam. Kesultanan Yogyakarta tidak langsung menerapkan asas keislaman dalam kehidupan sehari-hari, bahkan untuk syari’at sekalipun. Pelaksanaan hukum kewarisan di lingkungan Kesultanan Yogyakarta mengakomodasi khasanah lokal dan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Hukum waris Kesultanan Yogyakarta melahirkan pergumulan kuat dan waktu yang panjanguntuk menerapkan aturan hukum waris islam dan hukum waris adat Jawa sehingga melahirkan titik singgung dalam pelaksanaan kewarisan. Titik singgung tersebut dalam terminologi lain disebut konvergensi Hukum waris islam dan hukum kewarisan adat Jawa yang merupakan sistem hukum yang bijaksanan dalam pelaksanaan kewarisan di Kesultanan Yogyakarta. Konsep konvergensi dua sistem hukum kewarisan tersebut mempunyai karakteristik dalam pelaksanaan kewarisan di Yogyakarta.
Unsur-Unsur yang diadopsi dari sistem hukum kewarisan islam meliputi:
1.  Posisi isteri/ janda tidak mempengaruhi waktu pelaksanaan pembagian harta warisan. Artinya, pembagian harta warisan diselenggarakan setelah pewaris meninggal dunia.
2.  Pembagian harta warisan dengan perbandingan dua banding satu, atau satu banding setengah, yaitu untuk anak laki-laki dan perempuan
3.  Isteri atau janda memperoleh bagian yaitu seperdelapan dari harta warisan
Sedangkan unsur-unsur yang diambil dari system kewarisan adat jawa adalah klasifikasi harta beradasarkan harta sultan dan harta kesultanan. Harta yang disebut pertama sebagai harta biasa. Harta biasa itu di masyarakat jawa dibagikan kepada seluruh ahli waris. Sedangkan harta yang disebut harta kesultanan merupakan harta istimewa. Harta istimewa dalam masyarakat Jawa sebagai harta tanah yang subur. Tanah yang subur itu diwariskan secara tunggal kepada salah satu ahli waris yang biasanya anak tertua. Meski diwariskan secara tunggal, harta tanah subur digunakan untuk kepentingan keluarga.
Ada Unsur-unsur dalam pelaksanaan kewarisan kesultanan Yogyakarta yang disesuaikan dengan unsur kewarisan adat Jawa. Unsur ini adalah adopsi ahli waris pengganti. Ahli waris pengganti terjadi dalam pelaksanaan kewarisan kesultanan Yogyakarta. Disamping itu, ada unsur yang tidak ada menganut pola hokum kewarisan islam maupun kewarisan adat jawa. Unsure ini ialah harta warisan tidak dikategorisasi berdasarkan hubungan perkawinan (harta bersama atau harta bawaan) sebagaimana terjadi dalam hokum waris islam maupun hokum waris jawa.
Ketiadaan klasifikasi harta warisan berdasarkan hubungan perkawinan ini merupakan ciri khas dalam pelaksanaan pembagian harta warisan di Kesultanan Yogyakarta.
Pelaksanaan kewarisan di kesultanan Yogyakarta secara asasi menganut beberapa asas. Asas-asas itu antara lain:
1.    Asas Bilateral
Asas bilateral ialah seseorang yang menerima hak kewarisan dari dua garis keturunan kekerabatan, yakni garis darah laki-laki maupun pihak kerabatdari garis darah perempuan. Artinya, seseorang berhak menerima warisan dari kedua belah pihak baik baik dari garis keturunan laki-laki maupun garisketurunan perempuan. Maka hak dan kedudukan yang sama juga berlaku untuk saudara laki-laki dan perempuan agar saling mewarisi.
2.    Asas Individual
Asas Individual adalah harta warisan dibagi sesuai dengan ahli waris untuk dimiliki secara individu. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang dibagikan kepada ahli waris menurut kadar bagian masing-masing.
3.    Asas Keutamaan
Asas keutamaaan merupakan penerimaan harta kewarisan, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satunpihak lebih berhak dibandingkan dengan pihak lain, dan selama pihak yang lebih berhak itu masih ada, maka pihak yang lain tidak menerimanya.
4.    Asas Pergantian Ahli Waris
Asas penggantian ahli waris adalah ahli waris pokok yang meninggal terlebih dahulu daripada pewaris maka kedudukan sebagai ahli waris dapat digantikananaknya.
5.    Asas Perdamaian
Asas perdamaian yakni para ahli waris mengadakan rembug keluargauntuk membuat kesepakatan mengenai pembagian harta warisan. Asal semua ahli warissepakat dengan suatu kesepakatan untuk membagi harta warisan cara yang merekasepakati.
6.    Asas Personalitas Keislaman
Asas personalitas keislaman adalah seluruh ahli waris dan pewaris beragama Islam. AgamaIslam merupakan agama resmi Kesultanan Yogyakarta
7.    Asas Kewarisan semata akibat kematian
Asas kewarisan semata akibat kematian merupakan Proses pewarisanatas peralihan harta warisan dari pewaris kepada generasi berikut sebagai ahli waris,dilaksanakan setelah orang yang memiliki harta sudah meninggal dunia.
 8.    Asas mayorat laki-laki
Asas mayorat laki-laki adalah suatu sistem kewarisan yang anak tertua laki-laki maupun perempuan pada saat wafatnya pewaris berhak untuk mewarisi seluruh atau sejumlah harta pokok dari harta peninggalan. Di Keraton Kesultanan Yogyakarta seseorang dapat menguasai dan mewarisi harta sultan sebagai kepala keraton atau harta kesultanan harus anak laki-laki. Anak laki-laki berhak atas tahta trah kesultanan sebagai sultan sekaligus menguasai serta mengelola harta kesultanan. Maka, di Kesultanan Yogyakarta berlaku asas kewarisan atas dasar mayorat lelaki. Hubungan hukum islam dengan hukum Kesultanan Yogyakarta terjadi konvergensi unsur-unsur waris. Artinya, hukum kewarisan swargi Sultan Hamengku Buwono IV menyatukan unsur-unsur dari sistem hukum waris islam dan hukum waris adat jawa.

C.           Sistem Hukum Nikah Kesultanan Yogjakarta
Sama halnya dengan system kewarisan, system pernikahan Kesultanan Yogyakarta juga dipengaruhi oleh system hokum nikah Islam. Pelaksanaan system pernikahan di lingkungan Kesultanan Yogyakarta mengakomodasi khasanan local nilai-nilai budaya Jawa.
1.    Upacara adat pernikahan secara umum
Pada dasarnya adat perkawinan suku bangsa di Indonesia bertolak dari anggapan masyarakat bahwa perkainan adalah suatu hal luhur yang harus dialami manusia. Di Indonesia pada dasarnya pernikahan bukanlah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan tetapi juga merupakan proses menyatunya dua keluarga. Orang jawa mengenal istilah kandung ketut, persaudaraan yang terjadi karena suatu perkawinan.
Upacara pernikahan seperli halnya upacara kematian dan kelahiran. Umumnya diselenggarakan secara gotong royong. Semua kerabat ikut memberikan bantuan bagi terselenggaranya upacara pernikahan itu. Demikian juga para tetangga dan kenalan lain. penyelenggaraan upacara ini selalu diwarnai oleh suasana pesta gembira.
Hampir semua urutan tata tertib upacara pernikahan mengandung pemikiran filsafat atau perlambang tertentu. Karena itu, kalau ada suatu bagian upacara yang tidak dapat diselenggarakan atau terlampaui secara tidak sengaja, maka harus ada syarat yang menjadi penggantinya. Jika syarat pengganti ini tidak dipenuhi, dikhawatirkan bahwa mempelai yang dinikahkan akan mendapatkan pengalaman yang tidak diharapkan.
2.    Upacara dan adat pernikahan Kesultanan Yogyakarta
Upacara adat yang ada di daerah Jawa pada umumnya menggunakan adat Surakarta atau Yogyakarta yang sudah dipengaruhi adat dan penjajahan. Upacara dan adat perkawinan di Yogyakarta seperti halnya upacara dan adat perkawinan di daerah lainnya di Indonesia yang sifatnya unik karena mengandung banyak makna tertentu dan menarik dan tidak adapat diperoleh di negara-negara lainnya. Dan sudah diketahui oleh umum bahwa Yogyakarta ini, masyarakatnya dikenal halus dan kebudayaannya masih kental, pelaksanaan upacara adat pernikahan Keraton Kesultanan Yogyakarta hampir sama dengan Solo.
Berikut Tata Cara pernikahan adat Keraton Kesultanan Yogyakarta
a)    Nontoni
Nontoni adalah upacara untuk melihat calon pasangan yang akan dikawininya. Dimasa lalu orang yang akan nikah belum tentu kenal terhadap orang yang akan dinikahinya, bahkan terkadang belum pernah melihatnya, meskipun ada kemungkinan juga mereka sudah tahu dan mengenal atau pernah melihatnya.
Agar ada gambaran siapa jodohnya nanti maka diadakan tata cara nontoni. Biasanya tata cara ini diprakarsai pihak pria. Setelah orang tua si perjaka yang akan diperjodohkan telah mengirimkan penyelidikannya tentang keadaan si gadis yang akan diambil menantu. Penyelidikan itu dinamakan dom sumuruping banyu atau penyelidikan secara rahasia.
Setelah hasil nontoni ini memuaskan, dan siperjaka sanggup menerima pilihan orang tuanya, maka diadakan musyawarah diantara orang tua / pinisepuh si perjaka untuk menentukan tata cara lamaran.
b)   Lamaran
Melamar artinya meminang, karena pada zaman dulu diantara pria dan wanita yang akan menikah terkadang masih belum saling mengenal, jadi hal ini orang tualah yang mencarikan jodoh dengan cara menanyakan kepada seseorang apakah puterinya sudah atau belum mempunyai calon suami. Dari sini bisa dirembug hari baik untuk menerima lamaran atas persetujuan bersama.
Upacara lamaran: Pada hari yang telah ditetapkan, datanglah utusan dari calon besan yaitu orang tua calon pengantin pria dengan membawa oleh-oleh. Pada zaman dulu yang lazim disebut Jodang ( tempat makanan dan lain sebagainya ) yang dipikul oleh empat orang pria. Makanan tersebut biasanya terbuat dari beras ketan antara lain : Jadah, wajik, rengginan dan sebagainya. Menurut naluri makanan tersebut mengandung makna sebagaimana sifat dari bahan baku ketan yang banyak glutennya sehingga lengket dan diharapkan kelak kedua pengantin dan antar besan tetap lengket (pliket,Jawa). Setelah lamaran diterima kemudian kedua belah pihak merundingkan hari baik untuk melaksanakan upacara peningsetan. Banyak keluarga Jawa masih melestarikan sistem pemilihan hari pasaran pancawara dalam menentukan hari baik untuk upacara peningsetan dan hari ijab pernikahan.
c)    Peningsetan
Kata peningsetan adalah dari kata dasar singset (Jawa) yang berarti ikat, peningsetan jadi berarti pengikat. Peningsetan adalah suatu upacara penyerahan sesuatu sebagai pengikat dari orang tua pihak pengantin pria kepada pihak calon pengantin putri. Menurut tradisi peningset terdiri dari : Kain batik, bahan kebaya, semekan, perhiasan emas, uang yang lazim disebut tukon ( imbalan) disesuaikan kemampuan ekonominya, jodang yang berisi: jadah, wajik, rengginan, gula, teh, pisang raja satu tangkep, lauk pauk dan satu jenjang kelapa yang dipikul tersendiri, satu jodoh ayam hidup. Untuk menyambut kedatangan ini diiringi dengan gending Nala Ganjur . Biasanya penentuan hari baik pernikahan ditentukan bersama antara kedua pihak setelah upacara peningsetan.
d)   Upacara Tarub
Tarub adalah hiasan janur kuning ( daun kelapa yang masih muda ) yang dipasang tepi tratag yang terbuat dari bleketepe ( anyaman daun kelapa yang hijau ). Pemasangan tarub biasanya dipasang saat bersamaan dengan memandikan calon pengantin ( siraman, Jawa ) yaitu satu hari sebelum pernikahan itu dilaksanakan.
Untuk perlengkapan tarub selain janur kuning masih ada lagi antara lain yang disebut dengan tuwuhan. Adapun macamnya :
·      Dua batang pohon pisang raja yang buahnya tua/matang.
·      Dua janjang kelapa gading ( cengkir gading, Jawa )
·      Dua untai padi yang sudah tua.
·      Dua batang pohon tebu wulung ( tebu hitam ) yang lurus.
·      Daun beringin secukupnya.
·      Daun dadap srep.
Tuwuhan dan gegodongan ini dipasang di kiri pintu gerbang satu unit dan dikanan pintu gerbang satu unit ( bila selesai pisang dan kelapa bisa diperebutkan pada anak-anak ) Selain pemasangan tarub diatas masih delengkapi dengan perlengkapan-perlengkapan sbb. (Ini merupakan petuah dan nasehat yang adi luhung, harapan serta do'a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa ) yang dilambangkan melalui:
1.        Pisang raja dan pisang pulut yang berjumlah genap.
2.        Jajan pasar
3.        Nasi liwet yang dileri lauk serundeng.
4.        Kopi pahit, teh pahit, dan sebatang rokok.
5.        Roti tawar.
6.        Jadah bakar.
7.        Tempe keripik.
8.        Ketan, kolak, apem.
9.        Tumpeng gundul
10.    Nasi golong sejodo yang diberi lauk.
11.    Jeroan sapi, ento-ento, peyek gereh, gebing
12.    Golong lulut.
13.    Nasi gebuli
14.    Nasi punar
15.    Ayam 1 ekor
16.    Pisang pulut 1 lirang
17.    Pisang raja 1 lirang
18.    Buah-buahan + jajan pasar ditaruh yang tengah-tengahnya diberi tumpeng kecil.
19.    Daun sirih, kapur dan gambir
20.    Kembang telon (melati, kenanga dan kantil)
21.    Jenang merah, jenang putih, jenang baro-baro.
22.    Empon-empon, temulawak, temu giring, dlingo, bengle, kunir, kencur.
23.    Tampah(niru) kecil yang berisi beras 1 takir yang diatasnya 1 butir telor ayam mentah, uang logam, gula merah 1 tangkep, 1 butir kelapa.
24.    Empluk-empluk tanah liat berisi beras, kemiri gepak jendul, kluwak, pengilon, jungkat, suri, lenga sundul langit
25.    Ayam jantan hidup
26.    Tikar
27.    Kendi, damar jlupak (lampu dari tanah liat) dinyalakan
28.    Kepala/daging kerbau dan jeroan komplit
29.    Tempe mentah terbungkus daun dengan tali dari tangkai padi ( merang )
30.    Sayur pada mara
31.    Kolak kencana
32.    Nasi gebuli
33.    Pisang emas 1 lirang
Masih ada lagi petuah-petuah dan nasehat-nasehat yang dilambangkan melalui : Tumpeng kecil-kecil merah, putih,kuning, hitam, hijau, yang dilengkapi dengan buah-buahan, bunga telon, gocok mentah dan uang logam yang diwadahi diatas ancak yang ditaruh di:
1.        Area sumur
2.        Area memasak nasi
3.        Tempat membuat minum
4.        Tarub
5.        Untuk menebus kembarmayang ( kaum )
6.        Tempat penyiapan makanan yanh akan dihidangkan.
7.        Jembatan
8.        Prapatan.
e)    Nyantri
Upacara nyantri adalah menitipkan calon pengantin pria kepada keluarga pengantin putri 1 sampai 2 hari sebelum pernikahan. Calon pengantin pria ini akan ditempat kan dirumsh saudara atau tetangga dekat. Upacara nyantri ini dimaksudkan untuk melancarkan jalannya upacara pernikahan, sehingga saat-saat upacara pernikahan dilangsungkan maka calon pengantin pria sudah siap dit3empat sehingga tidak merepotkan pihak keluarga pengantin putri.
f)    Upacara Siraman
Siraman dari kata dasar siram ( Jawa ) yang berarti mandi. Yang dimaksud dengan siraman adalah memandikan calon pengantin yang mengandung arti membershkan diri agar menjadi suci dan murni. Bahan-bahan untuk upacara siraman :
·      Kembang setaman secukupnya
·      Lima macam konyoh panca warna ( penggosok badan yang terbuat dari beras kencur yang dikasih pewarna)
·      Dua butir kelapa hijau yang tua yang masih ada sabutnya.
·      Kendi atai klenting
·      Tikar ukuran ½ meter persegi
·      Mori putih ½ meter persegi
·      Daun-daun : kluwih, koro, awar-awar, turi, dadap srep, alang-alang
·      Dlingo bengle
·      Lima macam bangun tulak ( kain putih yang ditepinnya diwarnai biru)
·      Satu macam yuyu sekandang ( kain lurik tenun berwarna coklat ada garis-garis benang kuning)
·      Satu macam pulo watu (kain lurik berwarna putih lorek hitam), 1 helai letrek ( kain kuning), 1 helai jinggo (kain merah).
·      Sampo dari londo merang ( air dari merang yang dibakar didalam jembangan dari tanah liat kemudian saat merangnya habis terbakar segera apinya disiram air, air ini dinamakan air londo)
·      Asem, santan kanil, 2meter persegi mori, 1 helai kain nogosari, 1 helai kain grompol, 1 helai kain semen, 1 helai kain sidomukti atau kain sidoasih
·      Sabun dan handuk.
Saat akan melaksanakan siraman ada petuah-petuah dan nasehat serta doa-doa dan harapan yang di simbulkan dalam:
·      Tumpeng robyong
·      Tumpeng gundul
·      Nasi asrep-asrepan
·      Jajan pasar, pisang raja 1 sisir, pisang pulut 1 sisir, 7 macam jenang
·      Empluk kecil ( wadah dari tanah liat) yang diisi bumbu dapur dan sedikit beras
·      Satu butir telor ayam mentah
·      Juplak diisi minyak kelapa
·      satubutir kelapa hijau tanpa sabut
·      Gula jawa 1 tangkep
·      Satu ekor ayam jantan
Untuk menjaga kesehatan calon pengantin supaya tidak kedinginan maka ditetapkan tujuh orang yang memandikan, tujuh sama dengan pitu ( Jawa ) yang berarti pitulung (Jawa) yang berarti pertolongan. Upacara siraman ini diakhiri oleh juru rias ( pemaes ) dengan memecah kendi dari tanah liat.
g)   Midodareni
Midodareni berasal dari kata dasar widodari ( Jawa ) yang berarti bidadari yaitu putri dari sorga yang sangat cantik dan sangat harum baunya. Midodareni biasanya dilaksanakan antara jam 18.00 sampai dengan jam 24.00 ini disebut juga sebagai malam midodareni, calon penganten tidak boleh tidur.
Saat akan melaksanakan midodaren ada petuah-petuah dan nasehat serta doa-doa dan harapan yang di simbulkan dalam:
1)   Sepasang kembarmayang ( dipasang di kamar pengantin )
2)   Sepasang klemuk ( periuk ) yang diisi dengan bumbu pawon, biji-bijian, empon-empon dan dua helai bangun tulak untuk menutup klemuk tadi
3)   Sepasang kendi yang diisi air suci yang cucuknya ditutup dengan daun dadap srep ( tulang daun/ tangkai daun ), Mayang jambe (buah pinang), daun sirih yang dihias dengan kapur.
4)   Baki yang berisi potongan daun pandan, parutan kencur, laos, jeruk purut, minyak wangi, baki ini ditaruh dibawah tepat tidur supaya ruangan berbau wangi.
Adapun dengan selesainya midodareni saat jam 24.00 calon pengantin dan keluarganya bisa makan hidangan yang terdiri dari :
·      Nasi gurih
·      Sepasang ayam yang dimasak lembaran ( ingkung, Jawa )
·      Sambel pecel, sambel pencok, lalapan
·      Krecek
·      Roti tawar, gula jawa
·      Kopi pahit dan teh pahit
·      Rujak degan
·      Dengan lampu juplak minyak kelapa untuk penerangan ( jaman dulu)
h)   Upacara Langkahan
Langkahan berasal dari kata dasar langkah (Jawa) yang berarti lompat, upacara langkahan disini dimaksudkan apabila pengantin menikah mendahului kakaknya yang belum nikah , maka sebelum akad nikah dimulai maka calon pengantin diwajibkan minta izin kepada kakak yang dilangkahi.
i)     Upacara Ijab
Ijab atau ijab kabul adalah pengesahan pernihakan sesuai agama pasangan pengantin. Secara tradisi dalam upacara ini keluarga pengantin perempuan menyerahkan / menikahkan anaknya kepada pengantin pria, dan keluarga pengantin pria menerima pengantin wanita dan disertai dengan penyerahan emas kawin bagi pengantin perempuan. Upacara ijab qobul biasanya dipimpin oleh petugas dari kantor urusan agama sehingga syarat dan rukunnya ijab qobul akan syah menurut syariat agama dan disaksikan oleh pejabat pemerintah atau petugas catatan sipil yang akan mencatat pernikahan mereka di catatan pemerintah.
j)     Upacara Panggih
Panggih ( Jawa ) berarti bertemu, setelah upacara akad nikah selesai baru upacara panggih bisa dilaksanaakan,. Pengantin pria kembali ketempat penantiannya, sedang pengantin putri kembali ke kamar pengantin. Setelah semuanya siap maka upacara panggih dapat segera dimulai.
Untuk melengkapi upacara panggih tersebut sesuai dengan busana gaya Yogyakarta dengan iringan gending Jawa:
·      Gending Bindri untuk mengiringi kedatangan penantin pria
·      Gending Ladrang Pengantin untuk mengiringi upacara panggih mulai dari balangan ( saling melempar ) sirih, wijik ( pengantin putri mencuci kaki pengantin pria ), pecah telor oleh pemaes.
·      Gending Boyong/Gending Puspowarno untuk mengiringi tampa kaya (kacar-kucur), lambang penyerahan nafkah dahar walimah. Setelah dahar walimah selesai, gending itu bunyinya dilemahkan untuk mengiringi datangnya sang besan dan dilanjutkan upacara sungkeman


BAB III
PENUTUP




A.         Kesimpulan
Setelah penulis melakukan penelitian, maka penulis dapat menarik kesimpulan:
1     Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan budaya, itu terlihat dari tata cara pernikahan yang banyak ditemukan, salah satnya terdapat di Yogyakarta.
2     Kesultanan Yogyakarta bernama asli Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara idependen yang berbentuk kerajaan.Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta
3     Sistem Hukum Islam banyak mempengaruhi system-sistem di lingkungan Keraton Kesultanan Yogyakarta, salah satunya yaitu pada system Hukum Waris dan Hukum Pernikahan
4     Selain hokum islam Keraton Kesultanan Yogyakarta juga dipengaruhi oleh system hokum adat Jawa.
5     Dalam pernikahan keratin seorang anggota kesultanan tidak diharuskan kembali menikah dengan anggota kesultanan lagi.
B.            Saran
1.    Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia kita harus lebih mencintai adat dan budaya yang ada di dalam masyarakat Indonesia
2.    Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, kita sebagai generasi muda harus mau ikut mengenal dan ikut melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia
3.    Agar mahasiswa sebagai calon guru dapat memperkenalkan budaya-budaya yang ada di negara Indonesia kepada anak-anak didiknya kelak, agar mau ikut melestarikan budaya-budaya yang ada di Indonesia


DAFTAR PUSTAKA



Wignjodipoero, soerojo.1995. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta. PT. Gunung Agung