Makalah
“Sistem
Pengangkatan, Penggajian dan Pemberhentian Para Abdi Dalem Dalam Lingkup
Kesultanan Yogyakarta”
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah
Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya
merupakan enklave di Yogyakarta.
Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu.
Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan
setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit
kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut
adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan
isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga
dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki
yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Hindia Belanda setelah kekalahan
Jepang.
Pada saat itu kekuasaan
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat meliputi:
1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya
KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT
Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT
Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT
Secodiningrat.
Sedangkan kekuasaan Kadipaten
Pakualaman meliputi:
1. Kabupaten Kota Pakualaman dengan bupatinya
KRT Brotodiningrat,
2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT
Suryaningprang.
Dengan memanfaatkan momentum
terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29
Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki
Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI
Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit
kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya
menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa
kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit bersama dan memulai
persatuan dua kerajaan.
Semenjak saat itu dekrit
kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh
ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat.
Perkembangan monarki persatuan mengalami pasang dan surut. Pada 18 Mei 1946,
secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan
pemerintahan menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah
daerah istimewa dari Negara Indonesia. Penggunaan nama tersebut ada di dalam
Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa
Yogyakarta (lihat Maklumat Yogyakarta Nomor 18 Tahun 1946).
Pemerintahan monarki persatuan
tetap berlangsung sampai dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1950 tentang pembentukan
Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah Kesultanan Yogyakarta dan
daerah Paku Alaman adalah bagian integral Negara Indonesia. "(1) Daerah
yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan
menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2) Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. "(Pasal
1 UU No 3 Tahun 1950)
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
masalah-masalah yang akan dibahas dalam maklalah ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Adakah kriteria khusus pengangkatan abdi dalem di
wilayah Kraton?
2. Bagaimana pemberhentian abdi dalem di wilayah
Kraton?
3. Bagaimana tata cara regenerasi dari jabatan abdi
dalem d wilayah Kraton ?
4. Bagaimana sistematis dari penggajian abdi dalem ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin
dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kriteria khusus pengangkatan abdi
dalem di wilayah Kraton Yogyakarta
2. Untuk mengetahui bagaiman pemberhentian abdi dalem
di wilayah Kraton Yogyakarta.
3. Untuk mengetahui tata cara regenerasi dari jabatan
abdi dalem di wilayah Kraton Yogyakarta.
4. Untuk mengetahui sistematis dari penggajian abdi
dalem di Wilayah Kraton Yogyakarta.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta
Saat pertama kali didirikan
oleh Pangeran Mangkubumi pada saat itu, Yogyakarta bernama Ngayogyakarto
Hadiningrat. Luas Yogyakarta sekitar 3.186 km per segi, dengan total penduduk 3.226.443 (statistic Desember 1997).
Semula Yogyakarta merupakan bagian dari Kerajaan Mataram, namun mulai 1755
Kerajaan Mataram dibagi menjadi Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Keraton Yogyakarta memegang
kebudayaan murni ditengah modernisasi selama berabad-abad.
Yogyakarta merupakan pusat
kebudayaan Jawa seperti tarian, lukisan, wayang kulit, music gamelan, hingga
kesenian lainnya. Selain kesenian tradisional ada pula seni kontemporer yang
dimajukan oleh ASRI (Akademi Seni Rupa).
Yogyakarta adalah kota yang
padat penduduk dan merupakan pintu gerbang untuk mencapai tengah pulau Jawa.
Propinsi ini dibagi menjadi 5 daerah tingkat II, Kotamadia Yogyakarta,
Kabupaten Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon
Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul.
Berdasarkan sejarah, sebelum 1755 Surakarta merupakan Ibukota Kerajaan Mataram. Setelah perjanjian Giyanti (Palihan Nagar) pada 1755, Mataram dibagi menjadi 2 kerajaan: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Mengikuti kebiasaan, Pangeran Mangkubumi Susuhunan Pakubuwono II, dimahkotai sebagai Raja Ngayogyakarto Hadiningrat, kemudian beliau disebut sebagai Sultan Hamengku Buwono I.
Berdasarkan sejarah, sebelum 1755 Surakarta merupakan Ibukota Kerajaan Mataram. Setelah perjanjian Giyanti (Palihan Nagar) pada 1755, Mataram dibagi menjadi 2 kerajaan: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Mengikuti kebiasaan, Pangeran Mangkubumi Susuhunan Pakubuwono II, dimahkotai sebagai Raja Ngayogyakarto Hadiningrat, kemudian beliau disebut sebagai Sultan Hamengku Buwono I.
Pada tahun 1813, dibawah
penjajahan Inggris, pemisahan kerajaan Mataram terjadi untuk ketiga kalinya.
Pangeran Notokusumo, putra dari Hamengku Buwono I, dimahkotai sebagai Pangeran
Paku Alam I. Kerajaannya terpisah dari Kasultanan Yogyakarta.
Ketika Republik Indonesia
berdiri pada 17 Agustus 1945, yang dilambangkan dengan penandatanganan
Proklamasi Kemerdekaan, Ngayogyakarto Hadiningrat dan Pakualam menyatu sebagai
salah satu propinsi di Indonesia dimana Sri Sultan Hamengku Buwono IX ditunjuk
sebagai wakil gubernurnya.
2.2
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta
provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini
merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta
dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY,
memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent
state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis
(Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia
Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang
(Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai
Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status
ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan
mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan
tentunya.
Status ini pula yang kemudian
juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia
Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi
sebagai sebuah Negara.
Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk
Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam
sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga
Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya
kepada beleid Presiden.
Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Pada tanggal 1 September 1945,
Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak
keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan
Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan
pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh
lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi,
barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5
September 1945. Isi dekrit
tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia.
Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada
hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan
Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai
monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya
pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu
mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan
Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan
Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Dengan memanfaatkan momentum
terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29
Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki
Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII
mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945)
yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.
Begitu mendengar Proklamasi
Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII
memerintahkan K.R.T Hanggawangsa mengirim telegram ucapan selamat kepada Ir.
Soekarno dan Drs. Moch. Hatta serta K.R.T Rajiman Widyodiningrat pada tanggal
18 agustus 1945 yang kemudian disusul dengan telegram yang menyatakan bahwa Sri
Sultan dan Dri Paku Alam VIII siap berdiri di belakang RI.
Berdasarkan telegram yang
berisi ucapan selamat dan kesiapan untuk berdiri di belakang RI, maka Sokarno
mengirim telegram balasan dengan memerintahkan 2 orang Menteri Negara, yaitu
Mr. Maramis dan Sartono, isi telegram tersebut adalah piagam kedudukan bagi Sri
Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII. Pada waktu itu kedua menteri tersebut
mendengar bahwa Sri Sultan akan menyatakan secara tertulis. Pada tanggal 5
September 1945 Sri Sultan dan Sri Paku Alam menyatakan secara tertulis sehingga
tidak ada yang dikhawatirkan dan pada tanggal 6 September 1945 dengan diatar
oleh Purubaya, kedua menteri tersebuut menyerahkan piagam kedudukan tersebut
kepada Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam.
Adapun Proses sejarah penggabungan
Negara Ngayogyakarta Hadiningrat serta Kadipaten Pakualaman dengan Negara RI
adalah sebagai berikut:
1. Kalau dikatakan bahwa ada ijab qobul
anatara Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII dengan Presiden Sukarno maka
pengertiannya adalah ijabnya adalah dari Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam
VIII dengan ucapan serta siap berdiri di belakang RI. Sedangkan Qobulnya adalah
berupa piagam kedudukan 19 Agustus 1945 dari Presiden Sukarno. Adapun niat
bergabungnya dengan RI ietu secara jelas disampaikan hitam di atas putih pada
Amanat 5 September 1945.
2. Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII
masing-masing bertindak atas nama lembaganya yaitu Negeri Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, jadi bukan atas nama pribadi.
3. Sri Sultan HB dan Sri Paku Alam VIII
bermaksud seperti para nenek moyangnya yaitu menjaga eksistensi serta menjaga
jangan sampai ada negara dalam negara.
4. Dengan berdasarkan Amanat Sri Sultan HB IX
dan Sri Paku Alam VIII pada tanggal 30 Oktober 1945, Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menjadi satu dalam satu kesatuan Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Ketenangan masyarakat
Yogyakarta kini terusik dengan adanya isu akan digelarnya pemilihan Gubernur. Hal
ini dituangkan dalam bentuk RUU Keistimewaan DIY yang digulirkan oleh
pemerintah.
Berikut ini adalah beberapa ini
dari draft RUU Keistimewaan Yogyakarta yang di gulirkan oleh pemerintah:
1. Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam
bertahta, walaupun tidak menjadi gubernur dan wakil gubernur, mereka akan tetap
jadi orang nomor satu ke kedua di Yogya.
2. Pemerintah Daerah yang terpilih harus
meminta persetujuan apapun ke Sultan terkait pemerintahan. Bahkan DPRD dalam
menyusun anggaran pun harus meminta persetujuan Sultan.
3. Kalau Sultan dan Paku Alam mencalonkan
diri sebagai gubernur dan wakil gubernur, maka pencalonan itu bersipat
perorangan, tanpa melalui partai politik.
4. Jika Sultan dan Paku Alam mencalonkan
diri, maka kerabat Keraton lainnya tidak boleh mencalonkan diri.
5. Jika hanya satu-satunya calon, maka DPRD
tidak akan lagi melakukan pemilihan terhadap Sultan dan Paku Alam: Mereka
langsung dikukuhkan menjadi gubernur dan wakil gubernur.
6. Jika tidak terpilih jadi gubernur dan
wakil gubernur, posisi Sultan dan Paku Alam adalah gubernur utama dan wakil
gubernur utama. Posisi ini berada di atas gubernur/kepala daerah. Apapun
kebijakan kepala daerah harus meminta persetujuan pada gubernur utama (Sultan)
dan wakil gubernur utama (Paku Alam).
2.3
Pengangkatan Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
Kraton Yogyakarta memberikan gelar kepada
260 abdi dalem yang terdiri dari 120 abdi dalem keprajan (aparat pemerintahan)
dan 140 abdi dalem punakawan (umum) di Bangsal Kesatrian, Selasa (13/9). Acara
wisudhan ini dipimpin oleh adik Sultan Hamengkubuwuno X, Gusti Bendoro Pangeran
Haryo (GBPH) Joyokusumo didampingi KP Wironegoro.
2.3.1 Sistem Pengangkatan Abdi Dalem Keraton
Yogyakarta
Wisuda abdi dalem Kraton Yogyakarta
dilaksanakan dua kali setahun. Wisuda abdi dalem Kraton Yogyakarta dibagi dalam
tiga bagian pengangkatan.
Pertama adalah pengangkatan abdi dalem baru,
kenaikan pangkat abdi dalem serta pemberian hadiah (ganjara, Jawa). Wujud
wisuda abdi dalem Kraton Yogyakarta itu berupa serat kekancingan atau surat
keputusan melalui wisuda abdi dalem di Bangsal Kesatrian Kraton Yogyakarta.
Beberapa pejabat pemerintah di Provinsi DIY
memperoleh gelar dari kraton. Antara lain adalah Kepala Kejaksaan Tinggi DIY,
Muh.Ali Muthohar yang mendapat gelar Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Nitiwidyaksa.
Selain itu Kepala Kanwil Pajak DIY, Jangkung Sudjarwadi juga memperoleh gera
kraton KMT Wasitapranadipura.
Selain pejabat tingkat Provinsi DIY, juga
ada kepala daerah kota/kabupaten di DIY yang memperoleh gelar dari Kraton
Yogyakarta sebagai abdi dalem. Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto
memperoleh gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Haji Wasesa Dipraja. Bupati
Sleman, Sri Purnomo mendapat gelar Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Wiryatmaja.
Sementara itu Bupati Bantul, Sri Surya Widati memperoleh gelar abdi dalem Nyai
Kanjeng Raden Tumenggung Suryawati.
Acara yang berlangsung hingga lima jam ini
dimulai dari berkumpulnya abdi dalem di Bangsal Magangan yang selanjutnya
berjalan beriringan menuju Bangsal Ksatrian berdasarkan nomor urut yang sudah
ditentukan oleh Kraton Yogyakarta.
Setelah seluruh abdi dalem berkumpul,
prosesi pemberian gelar satu persatu secara simbolik diberikan oleh KPH
Wironegara untuk abdi dalem punakawan sedangkan abdi dalem keprajan diberikan
oleh KRT Joyokusuma.
GBPH Yudhadiningrat mengatakan abdi dalem
merupakan abdi kebudayaan Ngayogyakarta yang menjadikan kebudayaan lebih
kreatif. “Sejatinya priyayi Ngayogyakarta itu harus tahu kebudayaan
Ngayogyakarta, sehingga menjadi priyayi memahami dan harus mengerti kebudayaan
Jawa,”
2.4
Penggajian Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
Abdi dalem adalah pekerja yang dengan
sukarela menyumbangkan tenaga dan waktunya untuk mengabdi pada keraton. Mereka
bekerja selama 24 jam mulai dari pukul 8 pagi hingga 8 pagi lagi. Dalam 10 hari
mereka hanya bekerja 1 hari di keraton. 9 harinya mereka gunakan untuk mencari
nafkah di luar keraton. Mereka menyukai bekerja di keraton. Walaupun selama
bertugas mereka tidak menggunakan alas kaki yang jelas-jelas mengancam
kesehatan mereka.
Sebenarnya mudah saja untuk menjadi abdi
dalem. Hanya perlu kesukarelaan saja. Tidak perlu berasal dari jogja pun dapat
menjadi abdi dalem. Dengan syarat usiamu dibawah 40 tahun. Dengan 3 tahun
pertama (masa percobaan) tanpa gaji, 5 tahun kemudian (disebut magang) tanpa
gaji juga. Jadi selama 8 tahun menjadi abdi dalem mereka tidak di gaji.
Setelah itu mereka akan di wisuda oleh
Keraton dan resmi mendapatkan SK dari pemerintah seperti PNS lainnya. Bedanya
mereka digaji mulai dari 10.000. Gaji 10.000/bulan di dapat oleh seorang abdi
dalem yang pangkatnya paling bawah. Orang kedua dari kiri dalam foto di atas
selama sebulan hanya mendapat gaji 10.000, sedangkan sebelahnya yanng menjabat
sebagai lurah keraton mendapat 25.000/bulan. tapi tenang saja, jika mereka
rajin menjaga pos-pos yang ada di keraton, mereka kadang mendapat tambahan
sekitar 10.000/pos.
Pengabdian mereka untuk melestarikan
budaya jogja perlu diacungi jempol, dengan pengabdian yang sangat luar biasa
itu mereka tidak mendapatka penggajian yang setimpal dengan pekerjaan dan
pengabdiannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan
wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya
merupakan enklave di Yogyakarta.
Sementara itu, Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus.
Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan
Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul
DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent
state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis
(Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia
Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang
(Kekaisaran Jepang).
Keistimewaan Yogyakarta dapat
dilihat dari segala segi, mulai dari segi politis, ekonomi, mapun budaya.
Bagi masyarakat yang mempunyai
jiwa nasionalis yang tinggi disarankan untuk tidak melupakan sejarah yang ada.
Tanpa sejarah, kita takkan sampai pada titik saat ini yaitu Kemerdekaan dan
menjadi Negara berkembang.
LANDASAN HUKUM
- UUD’45 Bab I Pasal I
(1)
”Negara Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk republik”
- UUD’45 Bab VI Tentang Pemerinth daerah
Pasal 18 (1)
” Negara kesatuan republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah pripinsi dan daerah propinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabipaten,dan kota mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-undang”
Pasal 18 B (1)
”Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusuis atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang”
Pasal 18 B (2)
” Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip-prinsip negara kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam
Undang-undang”
- UU No 32/2004 tentang otonomi daerah
Bab III Pasal 10
(1) Pemerintah daerah menyelenggarakan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah
(2) Dalam menjalankan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah
dearah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
- Peraturan bersama Mentri Agama dan mentri
dalam negeri No.9/2006 tentang tugas kepala daerah dalam memelihara kerukunan
umat beragama.