BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia
merupakan masyarakat multicultural hal ini terlihat salah satunya dari
banyaknya suku yang ada di Indonesia. Salah satu suku yang Indonesia dan
dilihat paling dominan adalah suku Jawa. Masyarakat merupakan sebuah struktur
yang terdiri atas saling hubungan peranan-peranan yang dijalankan warganya
sesuai dengan norma yang berlaku. Dalam masyarakat jawa yang merupakan bagian
dari masyarakat yang lebih luas yakni masyarakat Indonesia juga mempunyai
struktur yang sangat kompleks. struktur social dalam masyrakat jawa dapat
dilihat dari bagaimana masyarakat tetap menjaga kebudayaan Jawa meskipun arus
perubahan semakin gencar mengepung. Dan hal ini dapat dilihat salah satunya di
DIY Yogyakarta dimana di sana terdapat Keraton Ngayogyakato Hadiningrat sebagai
pusat kebudayaan Jawa. di Kraton ini terdapat masyarakat pendukung keraton yang
mempunyai tugas di masa kini sebagai pelestari budaya Jawa.
Keraton Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kraton Yogyakarta
merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata,
Kraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa, sekaligus penjaga nyala
kebudayaan tersebut. Di tempat ini wisatawan dapat belajar dan melihat secara
langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan. Kraton
Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, beberapa bulan
setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai
tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah tersebut diapit dua sungai sehingga
dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Meski sudah berusia
ratusan tahun dan sempat rusak akibat gempa besar pada tahun 1867, bangunan
Kraton Yogyakarta tetap berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik.
Mengunjungi Kraton Yogyakarta akan
memberikan pengalaman yang berharga sekaligus mengesankan terutama bagi
Mahasiswa untuk mengetahui secara lebih dalam lagi mengenai Keraton Yogyakarta.
Kraton yang menjadi pusat dari garis imajiner yang menghubungakn Pantai
Parangtritis dan Gunung Merapi ini memiliki 2 loket masuk, yang pertama di
Tepas Keprajuritan (depan Alun-alun Utara) dan di Tepas Pariwisata (Regol Keben).
Ada banyak hal yang bisa disaksikan
di Kraton Yogyakarta, mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan
tugasnya atau melihat koleksi barang-barang Kraton. Koleksi yang disimpan dalam
kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan tersebut mulai dari keramik dan
barang pecah belah, senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis
batik beserta deorama proses pembuatannya. Selain terdapat pertunjukan seni
dengan jadwal berbeda-beda setiap harinya. Pertunjukan tersebut mulai dari
wayang orang, macapat, wayang golek, wayang kulit, dan tari-tarian.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Keraton Yogyakarta secara
lebih dalam (sejarah, wilayah, penduduk, perekonomian, kebudayaan, dan
kepercayaan di lingkungan Keraton Yogyakarta)?
2.
Bagimana susunan Sultan Keraton
Yogyakarta?
3.
Bagaimana sistem pemerintahan
monarki Keraton Yogyakarta?
4.
Bagaimana sistem pemerintahan
Yogyakarta dalam bingkai NKRI?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui Keraton Yogyakarta
secara lebih dalam (sejarah, wilayah, penduduk, perekonomian, kebudayaan, dan
kepercayaan di lingkungan Keraton Yogyakarta)
2.
Bagimana susunan Sultan di Keraton
Yogyakarta
3.
Untuk mengetahui sistem pemerintahan
monarki Keraton Yogyakarta
4.
Untuk mengetahui sistem pemerintahan
Yogyakarta dalam bingkai NKRI?
BAB II
ISI
2.1 Keraton Yogyakarta
A. Sejarah Singkat
Keraton Yogyakarta
Dengan
ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa
atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu
Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa
atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai
VOC.
Sultan Hamengkubuwana I kemudian
segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka
daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota
berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape
utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Selanjutnya secara turun-temurun
para keturunannya memerintah kesultanan di sana dan untuk membedakan antara
sultan yang satu dengan yang lainnya maka di belakang gelar Sultan
Hamengkubuwono ditambah dengan huruf romawi untuk menunjukan yang sedang
bertahta.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau
Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini
berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun
kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini
masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang
masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga
merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton
merupakan museum yang menyimpan
berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja
Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi
bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik,
memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.[1]
Keraton
Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah
bekas sebuah pesanggarahan[2] yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini
digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura
dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain
menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum
menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang
sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara
fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti
Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri
Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan
Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu
Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara
maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga
merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya
tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi
menyelubungi Keraton Yogyakarta.
No.
|
Nama
|
Dari
|
Sampai
|
Ket
|
1.
|
|
|||
2.
|
periode pertama
|
|||
3.
|
periode pertama
|
|||
periode kedua
|
||||
periode kedua
|
||||
4.
|
|
|||
5.
|
periode pertama
|
|||
periode ketiga
|
||||
periode kedua
|
||||
6.
|
|
|||
7.
|
|
|||
8.
|
|
|||
9.
|
|
|||
10.
|
sekarang
|
|
C. Wilayah
Mengikuti
kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya
dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung
(wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari
Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar
309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas
33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat
tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600
karya (sekitar 9,3544 km persegi).
1.
Nagari Ngayogyakarta meliputi:
(2)
Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
2.
Nagara Agung meliputi:
1)
Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di
antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas
batasnya dengan wilayah Kesunanan),
4)
Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke
selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
5)
Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu
wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).
D.
Penduduk
Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti
dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi
Dalem) dan rakyat (kawula Dalem)
yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari
sistem pemakaian tanah pada waktu itu
yang menggunakan sistem lungguh (tanah
jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah
522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga
dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi
1.447.022 jiwa.
Dalam strata sosial, penduduk dapat
dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi
Dalem) dan rakyat jelata (kawula
Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati
urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki
hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya
bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan
dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.
Lapisan pegawai mendasarkan
kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga
yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan
pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli
dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun
keturunannya yang bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam
di wilayah kesultanan.
E.
Hukum dan Peradilan
Dalam
sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi
berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta terdapat empat
macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto, Pengadilan Bale Mangu, Al
Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.
1.
Pengadilan
Pradoto merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
2.
Pengadilan
Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang
menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai
kerajaan.
3.
Al
Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan
konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah
Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian
berubah hanya menangani ahwal
al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
4.
Pengadilan Darah
Dalem atau Pengadilan
Ponconiti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani
urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya
terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
Dalam
sistem hukum kerajaan pernah
digunakan sebuah Kitab Undang-undang
Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger
Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng
Setelah
Kasultanan Yogyakarta menyatakan
sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem
peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan
adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir,
Pengadilan Darah Dalem.
F.
Ekonomi dan Agraria
Sumber
ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu
keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak
bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di
Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh
Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan
Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada
anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan.
Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan
disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam
pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga
digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari
generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen
sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan
dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk
menjualnya.
Selain
itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu
keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak
atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas
manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan
Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi
Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 masa pemerintahan HB VII, manajemen
hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sebagai kompensasi atas persetujuan itu istana memperoleh kayu keras gratis
untuk konstruksi istana Ambar Rukmo
dan Ambar Winangun.
Perkebunan
yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan
tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah
perkebunan yang semula ada 20 buah di tahun 1839 meningkat menjadi 53 di tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi,
sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
Restrukturisasi
di zaman HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang
terbatas. Pada 1942, Sultan tidak
melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk
melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan
produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusha oleh
Jepang.
G.
Kebudayaan, Pendidikan, dan
Kepercayaan
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di
Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar aspeknya.
Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan,
dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu
gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas
dari konsep “Raja Gung Binathara”
(raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup
masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan
kepada dewa/tuhan).
Beberapa
tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang,
selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk
penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula
benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan
dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan
sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk
tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang
diberlakukan dengan ketat.
Kebudayaan
tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke
mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan
kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu
wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga
ditransmisikan dalam bentuk tembang
(lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem
bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga
jenjang bahasa yaitu Ngoko
(bahasa Jawa rendah), Krama Andhap
(bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil
(bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun
tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang
khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan
yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara
pemakainya.
Perkembangan
budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan.
Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan
zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan.
Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama
diselenggarakan oleh Kawedanan
Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan.
Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas
Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para
siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan
literatur (serat dan babad).
Pendidikan
barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada
pemerintahan Sultan HB VIII sistem pedidikan dibuka. Mula-mula sekolah dasar
dibuka di Tamanan dan kemudian
dipindahkan di Keputran.
Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam bentuk SD N Keputran. Pendidikan
lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B.
Pada 1946, kesultanan
ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan UGM.
Sebagai
sebuah Kesultanan, Islam merupakan
kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang
kepercayaan dengan gelar Sayidin
Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan
lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri
sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun
doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini
menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan
Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan
untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru
muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan
selanjutnya kawasan Kauman
Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan
puritan itu.
H.
Pertahanan dan Keamanan
Pada
mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana
kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu
militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan
komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela
kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan
yang dikenal dengan abdi Dalem
Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan
darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat
pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para
penguasa di Manca Nagara.
Pada
paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan di Yogyakarta
merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan
panglima tertinggi namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di
dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam
pengawasan Putra mahkota dan para pangeran serta pejabat senior yang memimpin
kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya
HB II oleh Daendels pada 1810 dan ditanda tanganinya perjanjian
antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan
harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan
penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah
Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
Kekuatan
pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya perang Diponegoro di tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta
hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem.
Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam
dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah
Hindia Belanda.
2.2 Sistem Pemerintahan Monarki Keraton
Yogyakarta
Pemerintahan
Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan
pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar
yaitu Parentah Lebet (urusan
dalam) yang juga disebut Parentah
Ageng Karaton, dan Parentah
Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan
pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.
Pemerintahan
urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian
yang dinamakan Kanayakan.
1.
Kementerian urusan dalam adalah:
1)
Kanayakan
Keparak Kiwo, dan
2)
Kanayakan
Keparak Tengen,
yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
3)
Kanayakan
Gedhong Kiwo, dan
4)
Kanayakan
Gedhong Tengen,
yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
2.
Kementerian urusan luar adalah
1) Kanayakan Siti Sewu, dan
2)
Kanayakan
Bumijo,
yang
keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
3) Kanayakan Panumping, dan
4) Kanayakan Numbak Anyar,
yang keduanya
mengurusi pertahanan.
Masing
masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga
merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.
Untuk
menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan
Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan
masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan
peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam.
Urusan
regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang
dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi
pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan
melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.
Sebagai
kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan
menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana
ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan
maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa
badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara
atau putera Sultan.
Sultan meminpin sendiri lembaga luar
istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi
menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati.
2.3 Sistem Monarki Keraton Yogyakarta dalam
Bingkai NKRI
Sistem Pemerintahan yang ada di
Yogyakarta selama kurun waktu beberapa dasawarsa terakhir memang dipimpin oleh Sultan
Hamengkubuwono sebagai Gubernur dan Puro Paku Alaman sebagai Wakil Gubernur.
Hal tersebut memang dianggap sebagai salah satu perwujudan nilai-nilai dari
keistimewaan yang ada di Yogyakarta. Istimewanya Yogyakarta bukanlah hal
yang sifatnya datang begitu saja tanpa adanya sesuatu yang terjadi dimasa lalu.
Yogyakarta punya sejarah yang berbeda dengan daerah-daerah lain ketika akan
berintegrasi kedalam Republik Indonesia. Jika kita mau mengkaji sejarah, Yogayakarta
terintegrasi kedalam Republik Indonesia adalah melalui Maklumat 5 September
1945.
Maklumat yang sifatnya sangat sakral
tersebut telah memposisikan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa yang berada
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam maklumat tersebut,
memang dengan jelas dikatakan bahwa Yogyakarta adalah bersifat kerajaan
dan berstatus istimewa.
Namun dalam perkembangannya memang
masih tetap bersifat kerajaan, tetapi implementasi pemerintahan yang dibangun
tidaklah bersifat kerajaan. Keraton Yogyakarta sendiri telah merubah atau
mereformasi diri dalam hal mengimplementasikan sistem pemerintahan yang menuju
modernisasi, tapi tidak meninggalakan kearifan atau budaya lokal yang sudah ada
dan berkembang.
Seperti yang
kita ketahui secara bersama, praktek Monarki adalah Pemerintahan dimana
kekuasaan berada dalam satu tangan dan tidak ada pembagian kekuasaan. Jika kita
mengacu pada kondisi yang ada di Yogyakarta saat ini, kekuasaan tidak berada
pada satu tangan. Kekuasaan yang ada di Yogyakarta sifatnya tidaklah berada
dalam kontrol tangan Sultan sendiri dan hal tersebut sudah dijelaskan diatas
dimana sejak masa awal-awal kemerdekaan Yogyakarta sudah punya lembaga
legislatif. Bahkan sudah menganut adanya pemisahan kekuasaan atau konsep trias
politica yang membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan,
yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Jika konsep trias
politica tersebut ditarik kedalam sistem yang berlaku di Yogyakarta
sudahlah ada dan selama ini telah dijalankan. Pemegang kekuasaan ditingkat
eksekutif dipegang oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal ini Sri
Sultan Hamengku Buwono X. Sultan secara sah dan meyakinkan telah diangkat dan
diperpanjang masa jabatannya sebagai Gubernur di Yogyakarta berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86/P Tahun 2008
tertanggal 7 Oktober 2008.
Dalam melakukan atau menjalankan
Pemerintahan, Sultan tidaklah memposisikan dirinya sebagai seorang Raja yang
punya kuasa tanpa batas seperti halnya dalam Pemerintahan yang sifatnya
monarki. Sultan tidaklah membatasi hak-hak dari warga Yogyakarta, tidak
menerapkan adanya upeti bagi rakyatnya layaknya kerajaan-kerajaan dimasa
lampau, Sultan kerap membuka ruang-ruang bagi rakyatnya (pisowanan ageng) dan
ada kebebasan bagi rakyat untuk bersuara.
Sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan
berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi
daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa. Kesultanan menjadi bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam membuat peraturan-peraturan
daerah (Perda), Sultan selalu bersama-sama dengan DPRD Daerah Istimewa
Yogyakarta. Hal itu juga dapat kita lihat dari Perda-perda yang ada di
Yogyakarta, misalnya soal Perda Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didalamnya terlihat jelas bahwa Perda
dibuat atas persetujuan bersama Sultan sebagai Gubernur dengan DPRD.
Sebagai kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X juga mengimplementasikan
peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya sesuai
dengan UU yang berlaku di Republik ini. Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 27 ayat (2) mewajibkan setiap kepala
daerah untuk memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada
DPRD.
Hal ini juga kerap kali dilakukan
Sultan sebagai Gubernur dan tidak ada bedanya dengan Gubernur-gubernur lain
yang ada di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Sultan selalu
memberikan laporan pertanggungjawabannya kepada rakyatnya yang dalam hal ini
direpresentasikan oleh DPRD DIY.
Selain adanya lembaga eksekutif yang
sifatnya menjalankan Pemerintahan, di Yogyakarta juga terdapat lembaga
legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY. Lembaga legislatif yang
sifatnya merupakan representasi rakyat dan dipilih langsung oleh rakyat unruk
mengawal pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur dalam hal ini Sultan HB X.
Tugas dan wewenang dari DPRD ialah: Membentuk Peraturan Daerah Provinsi
yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama,
menetapkan APBD Provinsi
bersama dengan Gubernur, Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi, meminta Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur.
Tugas dan wewenang yang
dimiliki oleh DPRD DIY tersebut selalu dijalankan dengan baik oleh DPRD sesuai
dengan iklim demokrasi. Sebagai contoh, dalam hal pembahasan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD-DIY) dibahas oleh DPRD bersama pemerintah
provinsi yang kemudian mendapat persetujuan bersama.
Dengan demikian bahwa
DPRD telah menjalankan sebagian tugas dan wewenangnya sebagai wakil rakyat. Provinsi DIY
juga memiliki lembaga yang sifatnya kehakiman atau lebih dikenal sebagai
lembaga yudikatif. Sebagai perwujudan pilar demokrasi, DIY memiliki Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Agama yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa-sengketa
yang berkaitan hukum diwilayah atau daerahnya.
Sejarah
juga mencatat, puluhan tahun sebelum lembaga yang kini dikenal sebagai Badan
Perwakilan Desa (BPD) diperkenalkan, Yogyakarta telah mempeloporinya terlebih
dahulu. Di Yogyakartalah, lembaga legislatif di tingkat paling bawah ini
dijumpai untuk pertama kali jauh sebelum ide ini diakomodasi melalui UU No. 22
tahun 1999. Selain itu juga tercatat bahwa Sultan HB IX mempelopori dan
berinisiatif mendirikan Komite Nasional Indonesia di daerah (KNI) sebagai
lembaga legislatif bahkan sebelum regulasi nasional (UU No. 1 tahun 1945)
dikeluarkan yang menjadikannya sebagai lembaga legislatif daerah yang pertama
di Indonesia. Pada tahun 1946 Sultan Hamengku Buwono IX bekerjasama dengan
Badan Pekerja KNI membentuk Dewan Perwakilan di setiap Kabupaten dan Kota
Yogyakarta yang berfungsi sebagai Badan Legislatif.
.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Praktik pemerintahan monarki di
Keraton Yogyakarta sepenuhnya hanya berlaku dan dilaksanakan di dalam
lingkungan Keraton Yogyakarta saja di luar Keraton Yogyakarta berlaku
pemerintahan yang dilaksanakan sesuai dengan pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sultan Hamengkubuwono X juga sebagai Raja hanya dalam
lingkungan Keraton Yogyakarta saja di luar Keraton Yogyakarta beliau sebagai
Gubernur Yogyakarta yang mempunyai peran serta kedudukan yang sama dengan
Gubernur lainya yang ada di wilayah NKRI.
Kondisi yang
ada di Yogyakarta saat ini, kekuasaan tidak berada pada satu tangan. Kekuasaan
yang ada di Yogyakarta sifatnya tidaklah berada dalam kontrol tangan Sultan
sendiri dan hal tersebut sudah dijelaskan diatas dimana sejak masa awal-awal
kemerdekaan Yogyakarta sudah punya lembaga legislatif. Bahkan sudah menganut
adanya pemisahan kekuasaan atau konsep trias politica yang membagi
kekuasaan negara dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif,
dan yudikatif.
Dalam melakukan atau menjalankan
Pemerintahan, Sultan tidaklah memposisikan dirinya sebagai seorang Raja yang
punya kuasa tanpa batas seperti halnya dalam Pemerintahan yang sifatnya monarki.
Sultan tidaklah membatasi hak-hak dari warga Yogyakarta, tidak menerapkan
adanya upeti bagi rakyatnya layaknya kerajaan-kerajaan dimasa lampau, Sultan
kerap membuka ruang-ruang bagi rakyatnya (pisowanan ageng) dan ada kebebasan
bagi rakyat untuk bersuara.
Dalam membuat peraturan-peraturan
daerah (Perda), Sultan selalu bersama-sama dengan DPRD Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sebagai kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku
Buwono X juga selalu memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)
kepada DPRD yang sesuai dengan UU yang berlaku di NKRI yaitu UU No. 32 Tahun
2004 pasal 27 ayat (2).
3.2 Saran
Saran
dari kami ditujukan kepada pemerintah terutama pemerintah pusat agar dapat
dapat menjaga dan melestarikan keberadaan Keraton Yogyakarta karena merupakan
bekas peninggalan sejarah yang sangat berharga. Selain daripada itu juga agar
pemerintah lebih memperkenalkan Keraton Yogyakarta khususnya kepada masyarakat
Indonesia dan umumnya kepada mancanegara karena merupakan objek wisata pariwisata
Indonesia.