BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kesultanan
Yogyakarta bernama asli Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara idependen
yang berbentuk kerajaan.Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan
dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk
Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta.
Perjanjian
antara kesultanan Yogyakarta dengan Belanda dimulai pada saat ditandatanganinya
Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di
bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua.
Pada
saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku
Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan
Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik
Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa
Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka
Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah
Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Pada
tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
(bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa
setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berdara pada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950.
Salah
satu sistem yang mempengaruhi hukum Kesultaan Yogyakarta adalah sistem hukum
kewarisan islam. Kesultanan Yogyakarta tidak langsung menerapkan asas keislaman
dalam kehidupan sehari-hari, bahkan untuk syari’at sekalipun. Pelaksanaan hukum
kewarisan di lingkungan Kesultanan Yogyakarta mengakomodasi khasanah lokal dan
nilai-nilai kebudayaan Jawa. Hukum waris Kesultanan Yogyakarta melahirkan
pergumulan kuat dan waktu yang panjanguntuk menerapkan aturan hukum waris islam
dan hukum waris adat Jawa sehingga melahirkan titik singgung dalam pelaksanaan
kewarisan. Titik singgung tersebut dalam terminologi lain disebut konvergensi
Hukum waris islam dan hukum kewarisan adat Jawa yang merupakan sistem hukum
yang bijaksanan dalam pelaksanaan kewarisan di Kesultanan Yogyakarta. Konsep
konvergensi dua sistem hukum kewarisan tersebut mempunyai karakteristik dalam
pelaksanaan kewarisan di Yogyakarta.
Sama
halnya dengan sistem kewarisan, sistem pernikahan Kesultanan Yogyakarta juga
dipengaruhi oleh system hukum nikah Islam. Pelaksanaan sistem pernikahan di
lingkungan Kesultanan Yogyakarta mengakomodasi khasanan lokal nilai-nilai
budaya Jawa.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, pada makalh ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Politik kenegaraan dan Hukum
2. Bagaimana
sistem hukum waris yang ada di Keraton Kesultanan Yogyakarta?
3. Bagaimana
sistem Pernikahan yang ada di Keraton Kesultanan Yogyakarta?
4.
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
sebagai berikut:
1. Memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Seminar Politik Kenegaraan dan Hukum
2. Mengetahui
bagaimana Bagaimana sistem hukum waris yang ada di Keraton Kesultanan
Yogyakarta.
3. Mengetahui
Bagaimana sistem Pernikahan yang ada di Keraton Kesultanan Yogyakarta.
BAB II
ISI LAPORAN
A.
Sejarah
Kesultanan Yogjakarta
Keberadaan Kota Yogyakarta tidak
bisa lepas dari keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang
memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Mataram dari pengaruh Belanda, merupakan
adik dari Sunan Paku Buwana II. Setelah melalui perjuangan yang panjang, pada
hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 atau bertepatan dengan 13
Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran
menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari .
Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal keberadaan Kasultanan
Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan
Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama
Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah Perjanjian Giyanti ini, Sri
Sultan Hamengku Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui
pembangunan fisik kraton.
Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti
tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan
Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah
Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan
dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram –
Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan
dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk
membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringan yang
pada awalnya bernama Garjitawati.
Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan
waktu satu tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan
7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan
dari Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa
perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal
berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas
banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol Gadhung
Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan Hari
Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan
pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik,
ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap.
Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7
Oktober 2009 dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun
2004.
B.
Sistem
Hukum Waris Kesultanan Yogyakarta
Salah
satu sistem yang mempengaruhi hukum Kesultaan Yogyakarta adalah sistem hukum
kewarisan islam. Kesultanan Yogyakarta tidak langsung menerapkan asas keislaman
dalam kehidupan sehari-hari, bahkan untuk syari’at sekalipun. Pelaksanaan hukum
kewarisan di lingkungan Kesultanan Yogyakarta mengakomodasi khasanah lokal dan
nilai-nilai kebudayaan Jawa. Hukum waris Kesultanan Yogyakarta melahirkan
pergumulan kuat dan waktu yang panjanguntuk menerapkan aturan hukum waris islam
dan hukum waris adat Jawa sehingga melahirkan titik singgung dalam pelaksanaan
kewarisan. Titik singgung tersebut dalam terminologi lain disebut konvergensi
Hukum waris islam dan hukum kewarisan adat Jawa yang merupakan sistem hukum
yang bijaksanan dalam pelaksanaan kewarisan di Kesultanan Yogyakarta. Konsep
konvergensi dua sistem hukum kewarisan tersebut mempunyai karakteristik dalam
pelaksanaan kewarisan di Yogyakarta.
Unsur-Unsur
yang diadopsi dari sistem hukum kewarisan islam meliputi:
1. Posisi
isteri/ janda tidak mempengaruhi waktu pelaksanaan pembagian harta warisan.
Artinya, pembagian harta warisan diselenggarakan setelah pewaris meninggal
dunia.
2. Pembagian
harta warisan dengan perbandingan dua banding satu, atau satu banding setengah,
yaitu untuk anak laki-laki dan perempuan
3. Isteri
atau janda memperoleh bagian yaitu seperdelapan dari harta warisan
Sedangkan
unsur-unsur yang diambil dari system kewarisan adat jawa adalah klasifikasi
harta beradasarkan harta sultan dan harta kesultanan. Harta yang disebut
pertama sebagai harta biasa. Harta biasa itu di masyarakat jawa dibagikan
kepada seluruh ahli waris. Sedangkan harta yang disebut harta kesultanan
merupakan harta istimewa. Harta istimewa dalam masyarakat Jawa sebagai harta
tanah yang subur. Tanah yang subur itu diwariskan secara tunggal kepada salah
satu ahli waris yang biasanya anak tertua. Meski diwariskan secara tunggal,
harta tanah subur digunakan untuk kepentingan keluarga.
Ada
Unsur-unsur dalam pelaksanaan kewarisan kesultanan Yogyakarta yang disesuaikan
dengan unsur kewarisan adat Jawa. Unsur ini adalah adopsi ahli waris pengganti.
Ahli waris pengganti terjadi dalam pelaksanaan kewarisan kesultanan Yogyakarta.
Disamping itu, ada unsur yang tidak ada menganut pola hokum kewarisan islam
maupun kewarisan adat jawa. Unsure ini ialah harta warisan tidak dikategorisasi
berdasarkan hubungan perkawinan (harta bersama atau harta bawaan) sebagaimana
terjadi dalam hokum waris islam maupun hokum waris jawa.
Ketiadaan klasifikasi harta warisan berdasarkan
hubungan perkawinan ini merupakan ciri
khas dalam pelaksanaan pembagian harta warisan di Kesultanan Yogyakarta.
Pelaksanaan
kewarisan di kesultanan Yogyakarta secara asasi menganut beberapa asas.
Asas-asas itu antara lain:
1. Asas
Bilateral
Asas bilateral ialah seseorang yang menerima hak kewarisan
dari dua garis keturunan kekerabatan, yakni
garis darah laki-laki maupun pihak kerabatdari garis darah perempuan. Artinya,
seseorang berhak menerima warisan dari kedua belah pihak baik baik dari
garis keturunan laki-laki maupun garisketurunan
perempuan. Maka hak dan kedudukan yang sama juga berlaku untuk saudara
laki-laki dan perempuan agar saling mewarisi.
2. Asas
Individual
Asas Individual adalah harta warisan dibagi sesuai dengan
ahli waris untuk dimiliki secara individu. Keseluruhan harta warisan
dinyatakan dalam nilai tertentu yang
dibagikan kepada ahli waris menurut kadar bagian masing-masing.
3. Asas
Keutamaan
Asas keutamaaan
merupakan penerimaan harta kewarisan, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang
menyebabkan satunpihak lebih berhak dibandingkan dengan pihak lain, dan selama
pihak yang lebih berhak itu masih ada, maka pihak yang lain tidak menerimanya.
4. Asas
Pergantian Ahli Waris
Asas penggantian ahli waris adalah ahli
waris pokok yang meninggal terlebih dahulu daripada pewaris maka kedudukan sebagai ahli
waris dapat digantikananaknya.
5. Asas
Perdamaian
Asas perdamaian
yakni para ahli waris mengadakan rembug keluargauntuk membuat kesepakatan mengenai
pembagian harta warisan. Asal semua ahli warissepakat
dengan suatu kesepakatan untuk membagi harta warisan cara yang merekasepakati.
6. Asas
Personalitas Keislaman
Asas personalitas keislaman adalah seluruh ahli waris
dan pewaris beragama Islam. AgamaIslam merupakan agama resmi Kesultanan
Yogyakarta
7. Asas
Kewarisan semata akibat kematian
Asas kewarisan semata akibat kematian merupakan Proses
pewarisanatas peralihan harta warisan dari
pewaris kepada generasi berikut sebagai ahli waris,dilaksanakan setelah
orang yang memiliki harta sudah meninggal dunia.
8. Asas
mayorat laki-laki
Asas mayorat laki-laki
adalah suatu sistem kewarisan yang anak tertua laki-laki maupun perempuan pada
saat wafatnya pewaris berhak untuk mewarisi seluruh atau sejumlah harta pokok
dari harta peninggalan. Di Keraton Kesultanan Yogyakarta seseorang dapat menguasai
dan mewarisi harta sultan sebagai kepala keraton atau harta kesultanan harus
anak laki-laki. Anak laki-laki berhak atas tahta trah kesultanan sebagai sultan
sekaligus menguasai serta mengelola harta kesultanan. Maka, di Kesultanan
Yogyakarta berlaku asas kewarisan atas dasar mayorat lelaki. Hubungan hukum
islam dengan hukum Kesultanan Yogyakarta terjadi konvergensi unsur-unsur waris.
Artinya, hukum kewarisan swargi Sultan Hamengku Buwono IV menyatukan
unsur-unsur dari sistem hukum waris islam dan hukum waris adat jawa.
C.
Sistem
Hukum Nikah Kesultanan Yogjakarta
Sama
halnya dengan system kewarisan, system pernikahan Kesultanan Yogyakarta juga
dipengaruhi oleh system hokum nikah Islam. Pelaksanaan system pernikahan di
lingkungan Kesultanan Yogyakarta mengakomodasi khasanan local nilai-nilai
budaya Jawa.
1. Upacara
adat pernikahan secara umum
Pada dasarnya adat
perkawinan suku bangsa di Indonesia bertolak dari anggapan masyarakat bahwa
perkainan adalah suatu hal luhur yang harus dialami manusia. Di Indonesia pada
dasarnya pernikahan bukanlah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan tetapi juga merupakan proses menyatunya dua keluarga. Orang jawa
mengenal istilah kandung ketut, persaudaraan yang terjadi karena suatu
perkawinan.
Upacara pernikahan
seperli halnya upacara kematian dan kelahiran. Umumnya diselenggarakan secara
gotong royong. Semua kerabat ikut memberikan bantuan bagi terselenggaranya
upacara pernikahan itu. Demikian juga para tetangga dan kenalan lain.
penyelenggaraan upacara ini selalu diwarnai oleh suasana pesta gembira.
Hampir semua urutan
tata tertib upacara pernikahan mengandung pemikiran filsafat atau perlambang
tertentu. Karena itu, kalau ada suatu bagian upacara yang tidak dapat
diselenggarakan atau terlampaui secara tidak sengaja, maka harus ada syarat
yang menjadi penggantinya. Jika syarat pengganti ini tidak dipenuhi,
dikhawatirkan bahwa mempelai yang dinikahkan akan mendapatkan pengalaman yang
tidak diharapkan.
2. Upacara
dan adat pernikahan Kesultanan Yogyakarta
Upacara adat yang ada
di daerah Jawa pada umumnya menggunakan adat Surakarta atau Yogyakarta yang
sudah dipengaruhi adat dan penjajahan. Upacara dan adat perkawinan di
Yogyakarta seperti halnya upacara dan adat perkawinan di daerah lainnya di
Indonesia yang sifatnya unik karena mengandung banyak makna tertentu dan
menarik dan tidak adapat diperoleh di negara-negara lainnya. Dan sudah
diketahui oleh umum bahwa Yogyakarta ini, masyarakatnya dikenal halus dan
kebudayaannya masih kental, pelaksanaan upacara adat pernikahan Keraton
Kesultanan Yogyakarta hampir sama dengan Solo.
Berikut
Tata Cara pernikahan adat Keraton Kesultanan Yogyakarta
a) Nontoni
Nontoni adalah upacara
untuk melihat calon pasangan yang akan dikawininya. Dimasa lalu orang yang akan
nikah belum tentu kenal terhadap orang yang akan dinikahinya, bahkan terkadang
belum pernah melihatnya, meskipun ada kemungkinan juga mereka sudah tahu dan
mengenal atau pernah melihatnya.
Agar ada gambaran siapa
jodohnya nanti maka diadakan tata cara nontoni. Biasanya tata cara ini
diprakarsai pihak pria. Setelah orang tua si perjaka yang akan diperjodohkan
telah mengirimkan penyelidikannya tentang keadaan si gadis yang akan diambil
menantu. Penyelidikan itu dinamakan dom sumuruping banyu atau penyelidikan
secara rahasia.
Setelah hasil nontoni
ini memuaskan, dan siperjaka sanggup menerima pilihan orang tuanya, maka
diadakan musyawarah diantara orang tua / pinisepuh si perjaka untuk menentukan
tata cara lamaran.
b) Lamaran
Melamar artinya
meminang, karena pada zaman dulu diantara pria dan wanita yang akan menikah
terkadang masih belum saling mengenal, jadi hal ini orang tualah yang
mencarikan jodoh dengan cara menanyakan kepada seseorang apakah puterinya sudah
atau belum mempunyai calon suami. Dari sini bisa dirembug hari baik untuk
menerima lamaran atas persetujuan bersama.
Upacara lamaran: Pada
hari yang telah ditetapkan, datanglah utusan dari calon besan yaitu orang tua
calon pengantin pria dengan membawa oleh-oleh. Pada zaman dulu yang lazim
disebut Jodang ( tempat makanan dan lain sebagainya ) yang dipikul oleh empat
orang pria. Makanan tersebut biasanya terbuat dari beras ketan antara
lain : Jadah, wajik, rengginan dan sebagainya. Menurut naluri makanan
tersebut mengandung makna sebagaimana sifat dari bahan baku ketan yang banyak
glutennya sehingga lengket dan diharapkan kelak kedua pengantin dan antar besan
tetap lengket (pliket,Jawa). Setelah lamaran diterima kemudian kedua belah
pihak merundingkan hari baik untuk melaksanakan upacara peningsetan. Banyak
keluarga Jawa masih melestarikan sistem pemilihan hari pasaran pancawara
dalam menentukan hari baik untuk upacara peningsetan dan hari ijab pernikahan.
c) Peningsetan
Kata peningsetan adalah
dari kata dasar singset (Jawa) yang berarti ikat, peningsetan jadi berarti
pengikat. Peningsetan adalah suatu upacara penyerahan sesuatu sebagai pengikat
dari orang tua pihak pengantin pria kepada pihak calon pengantin putri. Menurut
tradisi peningset terdiri dari : Kain batik, bahan kebaya, semekan,
perhiasan emas, uang yang lazim disebut tukon ( imbalan) disesuaikan kemampuan
ekonominya, jodang yang berisi: jadah, wajik, rengginan, gula, teh, pisang raja
satu tangkep, lauk pauk dan satu jenjang kelapa yang dipikul tersendiri, satu
jodoh ayam hidup. Untuk menyambut kedatangan ini diiringi dengan gending Nala
Ganjur . Biasanya penentuan hari baik pernikahan ditentukan bersama antara
kedua pihak setelah upacara peningsetan.
d) Upacara Tarub
Tarub adalah hiasan
janur kuning ( daun kelapa yang masih muda ) yang dipasang tepi tratag yang
terbuat dari bleketepe ( anyaman daun kelapa yang hijau ). Pemasangan tarub
biasanya dipasang saat bersamaan dengan memandikan calon pengantin ( siraman,
Jawa ) yaitu satu hari sebelum pernikahan itu dilaksanakan.
Untuk perlengkapan
tarub selain janur kuning masih ada lagi antara lain yang disebut dengan
tuwuhan. Adapun macamnya :
·
Dua batang pohon pisang
raja yang buahnya tua/matang.
·
Dua janjang kelapa
gading ( cengkir gading, Jawa )
·
Dua untai padi yang
sudah tua.
·
Dua batang pohon tebu
wulung ( tebu hitam ) yang lurus.
·
Daun beringin
secukupnya.
·
Daun dadap srep.
Tuwuhan dan gegodongan
ini dipasang di kiri pintu gerbang satu unit dan dikanan pintu gerbang satu
unit ( bila selesai pisang dan kelapa bisa diperebutkan pada anak-anak ) Selain
pemasangan tarub diatas masih delengkapi dengan perlengkapan-perlengkapan sbb.
(Ini merupakan petuah dan nasehat yang adi luhung, harapan serta do'a kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa ) yang dilambangkan melalui:
1.
Pisang raja dan pisang
pulut yang berjumlah genap.
2.
Jajan pasar
3.
Nasi liwet yang dileri
lauk serundeng.
4.
Kopi pahit, teh pahit,
dan sebatang rokok.
5.
Roti tawar.
6.
Jadah bakar.
7.
Tempe keripik.
8.
Ketan, kolak, apem.
9.
Tumpeng gundul
10.
Nasi golong sejodo yang
diberi lauk.
11.
Jeroan sapi, ento-ento,
peyek gereh, gebing
12.
Golong lulut.
13.
Nasi gebuli
14.
Nasi punar
15.
Ayam 1 ekor
16.
Pisang pulut 1 lirang
17.
Pisang raja 1 lirang
18.
Buah-buahan + jajan
pasar ditaruh yang tengah-tengahnya diberi tumpeng kecil.
19.
Daun sirih, kapur dan
gambir
20.
Kembang telon (melati,
kenanga dan kantil)
21.
Jenang merah, jenang
putih, jenang baro-baro.
22.
Empon-empon, temulawak,
temu giring, dlingo, bengle, kunir, kencur.
23.
Tampah(niru) kecil yang
berisi beras 1 takir yang diatasnya 1 butir telor ayam mentah, uang logam, gula
merah 1 tangkep, 1 butir kelapa.
24.
Empluk-empluk tanah
liat berisi beras, kemiri gepak jendul, kluwak, pengilon, jungkat, suri, lenga
sundul langit
25.
Ayam jantan hidup
26.
Tikar
27.
Kendi, damar jlupak
(lampu dari tanah liat) dinyalakan
28.
Kepala/daging kerbau
dan jeroan komplit
29.
Tempe mentah terbungkus
daun dengan tali dari tangkai padi ( merang )
30.
Sayur pada mara
31.
Kolak kencana
32.
Nasi gebuli
33.
Pisang emas 1 lirang
Masih ada lagi petuah-petuah
dan nasehat-nasehat yang dilambangkan melalui : Tumpeng kecil-kecil merah,
putih,kuning, hitam, hijau, yang dilengkapi dengan buah-buahan, bunga telon,
gocok mentah dan uang logam yang diwadahi diatas ancak yang ditaruh di:
1.
Area sumur
2.
Area memasak nasi
3.
Tempat membuat minum
4.
Tarub
5.
Untuk menebus
kembarmayang ( kaum )
6.
Tempat penyiapan
makanan yanh akan dihidangkan.
7.
Jembatan
8.
Prapatan.
e) Nyantri
Upacara nyantri adalah
menitipkan calon pengantin pria kepada keluarga pengantin putri 1 sampai 2 hari
sebelum pernikahan. Calon pengantin pria ini akan ditempat kan dirumsh saudara
atau tetangga dekat. Upacara nyantri ini dimaksudkan untuk melancarkan jalannya
upacara pernikahan, sehingga saat-saat upacara pernikahan dilangsungkan maka
calon pengantin pria sudah siap dit3empat sehingga tidak merepotkan pihak
keluarga pengantin putri.
f) Upacara Siraman
Siraman dari kata dasar
siram ( Jawa ) yang berarti mandi. Yang dimaksud dengan siraman adalah
memandikan calon pengantin yang mengandung arti membershkan diri agar menjadi
suci dan murni. Bahan-bahan untuk upacara siraman :
·
Kembang setaman
secukupnya
·
Lima macam konyoh panca
warna ( penggosok badan yang terbuat dari beras kencur yang dikasih pewarna)
·
Dua butir kelapa hijau
yang tua yang masih ada sabutnya.
·
Kendi atai klenting
·
Tikar ukuran ½ meter
persegi
·
Mori putih ½ meter
persegi
·
Daun-daun :
kluwih, koro, awar-awar, turi, dadap srep, alang-alang
·
Dlingo bengle
·
Lima macam bangun tulak
( kain putih yang ditepinnya diwarnai biru)
·
Satu macam yuyu
sekandang ( kain lurik tenun berwarna coklat ada garis-garis benang kuning)
·
Satu macam pulo watu
(kain lurik berwarna putih lorek hitam), 1 helai letrek ( kain kuning), 1 helai
jinggo (kain merah).
·
Sampo dari londo merang
( air dari merang yang dibakar didalam jembangan dari tanah liat kemudian saat
merangnya habis terbakar segera apinya disiram air, air ini dinamakan air
londo)
·
Asem, santan kanil,
2meter persegi mori, 1 helai kain nogosari, 1 helai kain grompol, 1 helai kain
semen, 1 helai kain sidomukti atau kain sidoasih
·
Sabun dan handuk.
Saat akan melaksanakan
siraman ada petuah-petuah dan nasehat serta doa-doa dan harapan yang di
simbulkan dalam:
·
Tumpeng robyong
·
Tumpeng gundul
·
Nasi asrep-asrepan
·
Jajan pasar, pisang
raja 1 sisir, pisang pulut 1 sisir, 7 macam jenang
·
Empluk kecil ( wadah
dari tanah liat) yang diisi bumbu dapur dan sedikit beras
·
Satu butir telor ayam
mentah
·
Juplak diisi minyak
kelapa
·
satubutir kelapa hijau
tanpa sabut
·
Gula jawa 1 tangkep
·
Satu ekor
ayam jantan
Untuk menjaga kesehatan
calon pengantin supaya tidak kedinginan maka ditetapkan tujuh orang yang
memandikan, tujuh sama dengan pitu ( Jawa ) yang berarti pitulung (Jawa) yang
berarti pertolongan. Upacara siraman ini diakhiri oleh juru rias ( pemaes ) dengan
memecah kendi dari tanah liat.
g) Midodareni
Midodareni
berasal dari kata dasar widodari ( Jawa ) yang berarti bidadari yaitu putri
dari sorga yang sangat cantik dan sangat harum baunya. Midodareni biasanya
dilaksanakan antara jam 18.00 sampai dengan jam 24.00 ini disebut juga sebagai
malam midodareni, calon penganten tidak boleh tidur.
Saat akan melaksanakan
midodaren ada petuah-petuah dan nasehat serta doa-doa dan harapan yang di
simbulkan dalam:
1) Sepasang
kembarmayang ( dipasang di kamar pengantin )
2) Sepasang
klemuk ( periuk ) yang diisi dengan bumbu pawon, biji-bijian, empon-empon dan
dua helai bangun tulak untuk menutup klemuk tadi
3) Sepasang
kendi yang diisi air suci yang cucuknya ditutup dengan daun dadap srep ( tulang
daun/ tangkai daun ), Mayang jambe (buah pinang), daun sirih yang dihias dengan
kapur.
4) Baki
yang berisi potongan daun pandan, parutan kencur, laos, jeruk purut, minyak
wangi, baki ini ditaruh dibawah tepat tidur supaya ruangan berbau wangi.
Adapun dengan
selesainya midodareni saat jam 24.00 calon pengantin dan keluarganya bisa makan
hidangan yang terdiri dari :
·
Nasi gurih
·
Sepasang ayam yang
dimasak lembaran ( ingkung, Jawa )
·
Sambel pecel, sambel
pencok, lalapan
·
Krecek
·
Roti tawar, gula jawa
·
Kopi pahit dan teh
pahit
·
Rujak degan
·
Dengan lampu juplak
minyak kelapa untuk penerangan ( jaman dulu)
h) Upacara Langkahan
Langkahan berasal dari
kata dasar langkah (Jawa) yang berarti lompat, upacara langkahan disini
dimaksudkan apabila pengantin menikah mendahului kakaknya yang belum nikah , maka
sebelum akad nikah dimulai maka calon pengantin diwajibkan minta izin kepada
kakak yang dilangkahi.
i) Upacara Ijab
Ijab atau ijab kabul
adalah pengesahan pernihakan sesuai agama pasangan pengantin. Secara tradisi
dalam upacara ini keluarga pengantin perempuan menyerahkan / menikahkan anaknya
kepada pengantin pria, dan keluarga pengantin pria menerima pengantin wanita
dan disertai dengan penyerahan emas kawin bagi pengantin perempuan. Upacara
ijab qobul biasanya dipimpin oleh petugas dari kantor urusan agama sehingga
syarat dan rukunnya ijab qobul akan syah menurut syariat agama dan disaksikan
oleh pejabat pemerintah atau petugas catatan sipil yang akan mencatat
pernikahan mereka di catatan pemerintah.
j) Upacara Panggih
Panggih ( Jawa )
berarti bertemu, setelah upacara akad nikah selesai baru upacara panggih bisa
dilaksanaakan,. Pengantin pria kembali ketempat penantiannya, sedang pengantin
putri kembali ke kamar pengantin. Setelah semuanya siap maka upacara panggih
dapat segera dimulai.
Untuk melengkapi upacara
panggih tersebut sesuai dengan busana gaya Yogyakarta dengan iringan gending
Jawa:
·
Gending Bindri untuk
mengiringi kedatangan penantin pria
·
Gending Ladrang
Pengantin untuk mengiringi upacara panggih mulai dari balangan ( saling
melempar ) sirih, wijik ( pengantin putri mencuci kaki pengantin pria ), pecah
telor oleh pemaes.
·
Gending Boyong/Gending
Puspowarno untuk mengiringi tampa kaya (kacar-kucur), lambang penyerahan
nafkah dahar walimah. Setelah dahar walimah selesai, gending itu bunyinya
dilemahkan untuk mengiringi datangnya sang besan dan dilanjutkan upacara sungkeman
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah
penulis melakukan penelitian, maka penulis dapat menarik kesimpulan:
1 Indonesia
merupakan negara yang sangat kaya akan budaya, itu terlihat dari tata cara
pernikahan yang banyak ditemukan, salah satnya terdapat di Yogyakarta.
2 Kesultanan
Yogyakarta bernama asli Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara idependen
yang berbentuk kerajaan.Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan
dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk
Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta
3 Sistem
Hukum Islam banyak mempengaruhi system-sistem di lingkungan Keraton Kesultanan
Yogyakarta, salah satunya yaitu pada system Hukum Waris dan Hukum Pernikahan
4 Selain
hokum islam Keraton Kesultanan Yogyakarta juga dipengaruhi oleh system hokum
adat Jawa.
5 Dalam
pernikahan keratin seorang anggota kesultanan tidak diharuskan kembali menikah
dengan anggota kesultanan lagi.
B.
Saran
1. Sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia kita harus lebih mencintai adat dan budaya
yang ada di dalam masyarakat Indonesia
2. Sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia, kita sebagai generasi muda harus mau ikut
mengenal dan ikut melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia
3. Agar
mahasiswa sebagai calon guru dapat memperkenalkan budaya-budaya yang ada di
negara Indonesia kepada anak-anak didiknya kelak, agar mau ikut melestarikan
budaya-budaya yang ada di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Wignjodipoero, soerojo.1995. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat.
Jakarta. PT. Gunung Agung