Makalah Konsep Gender Dalam Komunikasi Interpersonal/Konseling
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat
dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial,
ekonomi, budaya dan hukum. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam
berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunujukan hubungan yang
sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila
dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.
Hubungan yang sub-ordinasi tersebut dialami oleh kaum
perempuan di seluruh dunia, Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya
pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada
tangan laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia.
Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari
kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan
keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum feminisme berjuang untuk menuntut
kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar
terhindar dari keadaan yang sub-ordinasi tersebut.
Kemudiaan
lahir pula gender aware therapy mengintegrasikan
prinsip-prinsip terapi feminis dengan pemahaman tentang gender untuk melakukan
intervensi pada konteks sosial, terlibat aktif dalam perubahan dan difokuskan
pada kerjasama antara konselor dengan konseli.
Teknik gender aware therapy memiliki karakteristik pada problem
yang akan diselesaikan. Problem yang direkomendasi diselesaikan dengan teknik gender aware therapy berkaitan
dengan jenis kelamin dan keluarga (laki-laki, perempuan, pasangan dan
keluarga).
Karena pada dasarnya ketidakadilan gender merupakan
berbagai tindak ketidakadilan atau diskriminasi yang bersumber pada keyakinan
gender. Ketidak adilan gender sering terjadi di mana-mana ini terkaitan dengan
berbagai faktor. Mulai dari kebutuhan ekonomi budaya dan lain lain.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah yang hendak di perdalam dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimana konsep gender serta
permasalahan nya dalam perilaku sosial
budaya masayarakat?
2.
Bagaimna konsep Komunikasi
Interpersonal/Konseling?
3. Bagaimana
konsep gender dalam konseling?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan
makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Untuk
memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah komunikasi kebidanan
2.
Bagaimana konsep gender
serta permasalahan nya dalam perilaku
sosial budaya masayarakat?
3.
Bagaimna konsep Komunikasi
Interpersonal/Konseling?
4. Bagaimana
konsep gender dalam konseling?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Gender
1. Memahami
Arti Gender Secara Umum
Dari Wikipedia bahasa Indonesia
dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan
diferensiasi seksual pada manusia. Istilah “gender” yang berasal dari bahasa
Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex
dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan
kata gender.
Sex adalah
perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis
kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Dalam kaitan
dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan
laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah
Muchtar, (2001:19) menegasakan bahwa
istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender
sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena
sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu
persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender
sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi
penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme
yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran
fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat
terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari
unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis
dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan
karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih
banyak para ilmuwan yang lain.
Dalam
buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan
dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciridari sifat itu merupakan
sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada
perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat
tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain
(Mansour Fakih 1999:8).
Secara umum, pengertian Gender adalah
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai
dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender
adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam
hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
2. Masalah
Gender Dalam Perilaku Sosial Budaya Masayarakat
Hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam
bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum (baik hukum tertulis maupun
tidak tertulis yakni hukum hukum adat). Hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunujukan
hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah
bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.
Hubungan yang sub-ordinasi tersebut
dialami oleh kaum perempuan di seluruh dunia karena hubungan yang sub-ordinasi
tidak saja dialami oleh masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat
Indonesia, namun juga dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju
seperti Amerika Serikat dan lain-lainnya. Keadaan yang demikian tersebut
dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang
menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia.
Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena
kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas.
Oleh karenanya kaum femins berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan
kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan yang
sub-ordinasi tersebut.
Ketidakadilan gender merupakan
berbagai tindak ketidakadilan atau diskriminasi yang bersumber pada keyakinan
gender. Ketidak adilan gender sering terjadi di mana-mana ini terkaitan dengan
berbagai faktor. Mulai dari kebutuhan ekonomi budaya dan lain lain.
Sebenarnya masalah gender sudah ada sejak jaman nenek moyang kita, ini
merupakan masalah lama yang sulit untuk di selesaikan tanpa ada kesadaran dari
berbagai pihak yang bersangkutan. Budaya yang mengakar di indonesia kalau
perempuan hanya melakukan sesuatu yang berkutik didalam rumah membuat ini
menjadi kebiasaan yang turun temurun yang sulit di hilangkan. Banyak yang
menganggap perbedaan atao dikriminasi gender yang ada pada film itu adalah hal
yang biasa dan umum, shingga mereka tidak merasa di diskriminasi, namun
akhir-akhir ini muncul berbagai gerakan untuk melawan bbias gender tersebut.
Saat ini banyak para wanita bangga merasa hak nya telah sama dengan pria berkat
atasa kerja keras R.A Kartini padahal mereka dalam media masih di jajah dan di
campakan seperti dahulu.
Bentuk bentuk ketidak adilan gender
Marjinalisasi atau Pemiskinan
Suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan atau laki-laki. Hal ini nampak pada film film yang menggabarkan banyak para kaum lelaki menjadi pemimpin perusahaan menjadi eksmud. Dan sebaliknya banyak para wanita yang digambarkn sebagi pembantu rumah tangga TKW ataupun pengemis, sebenarnya secra tidak langsung membedakan dan mentidak adilkan gender, hal yang lebih mengecewakan ialah para wanita tidak merasa di tindas.
Suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan atau laki-laki. Hal ini nampak pada film film yang menggabarkan banyak para kaum lelaki menjadi pemimpin perusahaan menjadi eksmud. Dan sebaliknya banyak para wanita yang digambarkn sebagi pembantu rumah tangga TKW ataupun pengemis, sebenarnya secra tidak langsung membedakan dan mentidak adilkan gender, hal yang lebih mengecewakan ialah para wanita tidak merasa di tindas.
Subordinasi atau penomorduaan Ialah
Sikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang
lebih rendah dibanding laki-laki dibangun atas dasar keyakinan satu jenis
kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding yang lain. Ini
mempunyai pendapat bahwa lelaki mempunyai lebih unggul. Hal ini berkeyakinan
bahwa kalu ada laki laki kenapa harus perempuan.
Fenomena ini sering terjadi dalam
film, yaitu ketika peran eksmudd yang selalu di perankan oleh pria, jika ada
wanita yang berperan seebagai eksmud pastilah dia akan bermasalah dan selalu
tidak sesukses pria. Sebenarnya hal ini memag tidak terlalu bnyak di
perhitungkan karena ini seperti menyutikan racun pada tubuh. Sedikit sedikit
media (film) mengkonstruk budaya pria selalu didepan.
B. Komunikasi
Interpersonal/Konseling
Komunikasi interpersonal adalah pertukaran informasi,
perasaan atau pemikiran antar manusia (individu) secara tatap muka (face to
face), verbal dan non verbal. Karena sifat dari interaksi ini adalah langsung
dan segera, komunikasi interpersonal merupakan inti dari semua hubungan antar
manusia sedangkan proses komunikasi interpersonal adalah suatu proses dua arah
lingkaran interaktif dimana pihak –pihak yang berkomunikasi saling bertukar
pesan secara verbal dan non verbal (arus pesan).
Kedua pihak menjadi pengirim maupun penerima pesan, dalam
proses ini si penerima menafsirkan pesan si pengirim sebelumnya dan memberikan
tanggapan dengan pesan yang baru, dengan kata lain komunikasi interpersonal
adalah proses tatap muka penyampaian informasi dan saling pengertian antara dua
atau lebih individu.
Konseling adalah proses pemberian informasi objektif
dan lengkap, dilakukan secara sistematik dengan paduan keterampilan komunikasi
interpersonal, teknik bimbingan dan penguasaan pengetahuan klinik, bertujuan
untuk membantu seseorang mengenali kondisi saat ini, masalah yang sedang di
hadapi dan menentukan jalan keluar atau upaya untuk mengatasi masalah tersebut.
Menurut Rochman Natawidjaja, (1987:32), konseling
adalah sebagai hubungan timbal balik antara dua individu, dimana yang seorang
(konselor) berusaha membantu yang lain (klien) untuk mencapai pengertian
tentang dirinya sendiri dalam hubungan dengan masalah-masalahyang dihadapi pada
waktu yang akan datang.
Konseling adalah proses pemberian bantuan seseorang
kepada orang lain dalam membuat suatu keputusan atau memecahkan suatu melalui
pemahaman terhadap fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-perasaan klien.
(Saraswati Taringan, 2002:27)
Proses konseling menggambarkan adanya kerja sama
antara bidan selaku konselor dengan klien dalam mencari tahu tentang
masalah yang dihadapi klien dan bidan agar mencapai jalan keluar pemecahan
masalah klien.
Manfaat
konseling adalah meningkatkan kemampuan klien dalam mengenal masalah,
merumuskan alternatif, memecahkan masalah dan memiliki pengalaman dalam
pemecahan masalah secara mandiri.
C. Konsep Gender dalam Konseling
Pandangan tentang konsep gender secara
tradisional menempatkan pihak laki-laki pada sektor publik (di luar rumah
tangga) sementara pihak perempuan berada di sektor domestik (rumah tangga).
Peran gender diarahkan pada konsep kesetaraan dengan memberikan peluang kepada
laki-laki dan perempuan untuk dapat beraktivitas di sektor publik.
Berkaitan dengan konsep gender
tersebut, dimana di masyarakat terdapat ketidakseimbangan peran dan fungsi
gender antara laki-laki dan perempuan, kemudian lahirnya feminist counseling
dan Gender aware therapy.
1.
Feminist Counseling
a.
Latar Belakang
Latar
belakang munculnya feminist counseling secara ilmiah lebih banyak
disebabkan sebagai kritik dan ketidakpuasan terhadap proses terapi kesehatan
mental yang memakai pendekatan psikoanalisa sebagai traditional therapy.
Perkembangan terapi feminis berimplikasi pada asumsi bahwa terapi feminis hanya
relevan untuk memfasilitasi perempuan. Muncul juga pertanyaan apakah ada
konseling untuk laki-laki. Pada awalnya, terapi feminis difokuskan pada konseli
perempuan namun pada perkembangannya membawa terapi feminis tidak hanya untuk
perempuan (not for women only) tetapi dapat untuk konseling bagi
laki-laki.
Terapi
feminis muncul empat dekade yang lalu sebagai salah satu kebutuhan psikologis
bagi perempuan yang mengalami gangguan psikologis. Pada awal berkembangnya
terapi feminis masih ekslusif pada kelompok perempuan. Hal ini disebabkan
karena gerakan perempuan untuk
mendekonstruksi peran gender bertujuan untuk memperoleh kesetaraan dengan
laki-laki. Namun dalam perkembangannya, feminis terapi tidak bersifat non
sexist, sehingga pendekatan terapi feminist dapat diaplikasikan pada laki-laki
maupun perempuan.
b. Gerakan
Feminisme
Gerakan feminisme dilandasi oleh
ketidakseimbangan peran dan fungsi gender dalam masyarakat. Ketidakseimbangan
dapat dianalisis dari adanya kekerasan terhadap perempuan, stereotipe perempuan
terhadap tubuhnya, dan masalah perempuan berkaitan dengan keragaman identitas
(kemiskinan, rasisme, imigrasi).
Problematika berkaitan dengan
perempuan perlu adanya pendekatan baru dalam mendampingi perempuan untuk
mencegah dan memberikan intervensi secara tepat. Untuk lebih memahami
kemunculan terapi feminis perlu dikaji secara selintas tentang gerakan sosial
yang kemudian memunculkan feminisme, teori feminis dan aplikasi teori feminis
dalam seting konseling dan psikoterapi. Ketimpangan gender kemudian memunculkan
sebuah gerakan yang disebut feminisme.
Baumgardner dan Ricards, (2000:38) mendefiniiskan
“Feminisme sebagai gerakan keadilan sosial untuk kesetaraan gender dan
kebebasan manusia”. Namun demikian muncul kritik bahwa definisi ini mempunyai
konotasi negatif karena memilliki stereotype, berlaku untuk semua orang
termasuk orang tua. Stereotype yang dimaksud sebagai upaya menuntut keadilan
sosial atas munculkan problem ketidakseimbangan gender. Hal ini memunculkan
anggapan bahwa ada upaya untuk menggerakkan manusia menuju kebebasan. Namun
demikian gerakan feminisme mendasari upaya mengeliminasi bias dan stereotype
gender.
Dalam perkembangannya gerakan
feminisme diklasifikasi menjadi tiga gelombang yaitu sebagai berikut:
1)
Gelombang pertama, pada rentang waktu 1848-1920-an.
Elizabeth Cady Stanton, Matilda Joslyn
Gage, Sojourner Truth membawa isu kesetaraan khususnya kebebasan manusia dan
hak-hak perempuan dalam pendidikan, perkawinan, kesempatan kerja, dan hak
pilih.
Pada gelombang pertama ada upaya untuk
merekonstruksi atas hak-hak yang melekat pada perempuan, tentu saja dilatar
belakangi oleh kondisi sosial masyarakat pada waktu itu di mana kesempatan kaum
perempuan untuk meningkatkan jenjang pendidikan tidak diakomodasi, pola
perkawinan yang cenderung menempatkan perempuan sebagai obyek, minimnya kesempatan
kerja bagi perempuan dan tidak adanya hak pilih politik.
2)
Gelombang kedua, pada tahun 1965
Elizabeth Aileen Hernandez, Betty
Friedan, dan Gloria Steinem berupaya membangun kesadaran perempuan dan membantu
mengidentifikasi isu seperti hak-hak kesetaraan, kesehatan perempuan, hak-hak
reproduksi, kekerasan terhadap perempuan, hak-hak sebagai gay/lesbian,
keragaman keluarga.
Salah satu jargon dalam periode ini
adalah the personal is political. Gelombang ketiga. Gerakan feminis
selanjutnya dipelopori Naomi Wolf dan Rebecca Walker, berkaitan dengan isu
kontemporer yaitu keseimbangan hidup, hak-hak perempuan secara internasional,
pelecehan seksual. Pada gelombang ketiga isu yang mempersatukan adalah
keragaman ras, sosial dan etnis.
Feminisme pada gelombang kedua ditandai
munculnya empat pola feminisme yaitu liberal, kultural, radikal dan sosialis:
a)
Feminisme liberal memfokuskan pada upaya membantu membangun pola peran
sosial gender tradisional. Kelompok ini berupaya untuk mentransformasi peran
tradisional gender agar laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama
sehingga bebas dari bias gender.
b)
Feminisme kultural menganggap bahwa bentuk penindasan bersumber
penilaian terhadap kekuatan, nilai dan peran antara laki-laki dengan perempuan.
Tujuan utama feminisme kultural adalah transformasi nilai sosial menuju pada
relasi sosial yang bersifat kerja sama, altruisme, saling membutuhkan.
c)
Kelompok Feminisme radikal menyimpulkan bahwa sumber
penindasan adalah budaya patriarkhi. Tujuan utama kelompok ini adalah
transformasi relasi gender, mengubah institusi sosial dan pihak perempuan
memiliki otonomi terkait dengan masalah perkawinan dan seks.
d)
Feminisme sosialis menekankan pada perubahan sosial dengan menjamin
keseimbangan kelas, ras, orientasi seksual, ekonomi dan politik.
3)
Gelombang
ketiga
Pada gelombang ini muncul feminisme
postmodern yang memiliki pandangan bahwa realitas akan melekat pada
hubungan sosial dan konteks sejarah, perubahan sosial dapat terjadi karena
adanya kekuatan interaksi. Konsep ini memberi titik tekan pada kekuatan
interaksi. Relasi gender dimaknai sebagai interaksi sosial yang dapat bermakna manakala
terjadi kerja sama tidak memposisikan salah satu pihak lebih tinggi atau lebih
rendah. Pandangan postmodern feminist cenderung menjadi acuan dalam
upaya kesetaraan gender karena lebih memberi pengakuan atas relasi gender tanpa
mengesampingkan konstruksi anatomis dan perbedaan kodrati pada laki-laki dan
perempuan.
Integrasi terapi feminis dan pemahaman
tentang gender ke dalam prinsip konseling merupakan sintesis yang sering
disebut sebagai gender aware therapy. Sebagai sebuah konsep yang
dikembangkan pada tahun 1990-an, GAT mendorong konselor untuk memfasilitasi
eksplorasi pengembangan pemahaman tentang relasi gender.
c. Pola
Yang Dipakai Dalam Praktik Feminisme
Ada empat pola yang dapat dipakai
untuk praktik feminis yaitu kekuatan (power), penindasan (oppression),
pemberdayaan (empowerment), and daya lentur (resilience). Dari
keempat pola, yang paling tepat untuk pengembangan perempuan adalah
pemberdayaan karena dengan prinsip pemberdayaan, masyarakat sekitar ikut
terlibat dalam proses penyelesaian masalah perempuan.
Karakteristik pemberdayaan diarahkan
pada evaluasi diri (self-evaluation), comfort-distress ratio, gender and
culture-role awareness, personal control/self-efficacy, self-nurturance,
problem-solving skills, assertiveness, resource access, gender and cultural
flexibility, social activism.
Pengembangan identitas sosial-personal
berkaitan dengan eksplorasi terhadap sosial-personal, pengembangan model
identitas sosial-personal, mempelajari tentang identitas gender, analisis peran
gender, peran institusi sosial, sosialisasi di level keluarga, media, sistem
pendidikan, tempat kerja. Pola pemberdayaan pada terapi feminis adalah
identitas sosial dan personal merupakan variabel yang saling bergantung,
personal memiliki nilai jadi harus dihargai, kesetaraan dan penghargaan
terhadap perspektif perempuan.
2. Gender Aware Therapy
a. Perkembangan Gender Aware Therapy
Perkembangan
gender aware therapy ditandai dengan berkembangnya terapi feminis (feminist
therapy). Terapi feminis berkembang dari teori-teori feminisme yang berakar
dari gerakan feminisme. Perkembangan terapi feminis dipandang tidak
memfasilitasi isu-isu gender karena masih difokuskan pada intervensi konseling
bagi perempuan dengan kata lain tidak aplikatif untuk konseli laki-laki.
Beberapa
prinsip yang diperhatikan berkenaan dengan praktik feminis adalah menekankan
pada keragaman perempuan secara personal dan identitas sosial, membangun
kesadaran, hubungan setara antara konselor-konseli, memberikan penghargaan pada
perempuan dan proses validasi diri. Mekanisme pemberdayaan menjadi salah satu
langkah penting dalam praktik feminis.
Gender
aware therapy mengintegrasikan
prinsip-prinsip terapi feminis dengan pemahaman tentang gender untuk melakukan
intervensi pada konteks sosial, terlibat aktif dalam perubahan dan difokuskan
pada kerjasama antara konselor dengan konseli (Evans, 2005:56).
Sharf, (2012:34) mengemukakan bahwa “Terapi
feminist merupakan pendekatan terapi dengan mengadopsi serta menggunakan
berbagai teknik dalam pendekatan selain terapi feminis”. Lebih lanjut (Sharf,
2012:25) “Penggunaan terapi feminis yang diintegrasi dengan teori lain tampak
pada konsep feminist psychoanalitic
theory, feminist behavioral and cognitive theory, feminist gestalt theory,
feminist narrative therapy, feminist therapy and counseling”.
b. Tahap-Tahap Dalam Gender Aware Therapy
Menurut Good, (1990:30), secara umum
tahap-tahap konseling gender aware therapy, dibagi dalam tiga tahap yaitu
sebagai berikut:
1)
Konseptualisasi
problem
Asesmen awal pada pada konseling, proses
konseptualisasi sebagai upaya untuk memahami persepsi individu tentang
masalahnya (Good, 1990:34).
Konselor menggunakan gender aware
therapy untuk membantu konseli memahami peran sosial gender yang selama ini
dimainkan oleh individu. Konseptualisasi problem difokuskan pada persepsi
individu terhadap masalah yang dihadapi terutama berkaitan dengan peran-peran
gender yang selama ini diyakini oleh individu. Pada tahap konseptualisasi masalah,
konselor akan memiliki informasi awal tentang individu khususnya problem
berbasis gender.
2)
Intervensi
konseling
Rentang intervensi pada gender aware
therapy meliputi diskusi langsung, memberikan dmotivasi, memberi
klarifikasi, melakukan interpretasi, konfrontasi, memberi informasi,
eksperimentasi, modeling, terbuka, bibliotherapy dan dukungan dari kelompok.
Konselor membantu menginternalisasi
pemahaman dan pandangan tentang stereotype gender dalam pandangan laki-laki dan
perempuan. Pengetahuan, pemahaman dan perspektif baru individu tentang gender
akan bermanfaat untuk memberi peluang melatih keterampilan dan sikap dalam
kehidupannya.
Setelah individu memiliki pengetahuan,
pemahaman dan pandangan baru tentang konsep gender melalui diskusi maka
individu didorong untuk melakukan eksplorasi, bagaimana implikasi perubahan
untuk mencegah problem sosial terkait dengan gender.
3)
Terminasi
Konselor bertanggung jawab mengenali
perubahan konsep gender tradisional individu dan membantu untuk belajar dari
proses terbangunnya pengetahuan, pemahaman dan pandaingan baru tentang konsep
gender. Proses terminasi sebagai upaya untuk belajar memahami perasaan, efikasi
diri, percaya diri dan mengarahkan diri.
c. Teknik
Gender Aware Therapy
Teknik gender aware therapy memiliki karakteristik pada problem
yang akan diselesaikan. Problem yang direkomendasi diselesaikan dengan teknik gender aware therapy berkaitan
dengan jenis kelamin dan keluarga (laki-laki, perempuan, pasangan dan
keluarga). Perbedaan mendasar pada ketiga dimensi problem adalah pandangan
masing-masing person terhadap konsep gender. Hal ini akan berimplikasi pada
karakteristik problem yang dihadapi.
Bagi
perempuan, pengembangan
karir perempuan masih memiliki banyak kendala, terlebih adanya keyakinan
masyarakat yang kurang menerima jika perempuan lebih sukses dari pasangannya.
Jika terjadi kasus demikian, tidak jarang muncul konflik yang berakar dari
kesuksesan pada pihak perempuan.
Pada
kondisi seperti ini diperlukan pandangan tentang konsep kesetaraan gender. Pada
sisi lain, problem yang tidak kalah serius adalah body image. Masyarakat
masih melihat sosok perempuan sebagai wakil dari keindahan sehingga secara fisik,
perempuan sering dituntut menarik, yang kemudian diterjemahkan dalam ukuran
fisik (tinggi, langsing, putih, cantik) dan cenderung mengabaikan kepribadian.
Tidak jarang baik pihak perempuan maupun pihak laki-laki sama-sama memiliki
stereotype tentang body image, sehingga
semakin jauh dari upaya kesetaraan gender. Problem lain yang tidak cukup
mengerikan adalah masalah kekerasan seksual, pelecehan dan perkosaan. Problem
ini hampir selalu ditemukan pada semua negara.
Beberapa catatan yang menunjukkan beragam
problem perempuan seperti yang di laporkan oleh Rita Chi dan Ying Chung (2005)
memaparkan bahwa data statistik dari catatan WHO (2003) menunjukkan ada
perbedaan pola stres antara laki-laki dan perempuan yang dipicu oleh keadaan
kehidupan sosial seperti ketidakberdayaan, kelelahan, kemarahan, ketakutan,
kelaparan, kemiskinan, kelebihan pekerjaan, kekerasan dan ketergantungan
ekonomi. Sementara itu sebuah survey juga mencatat bahwa sejumlah 10% s.d. 69%
perempuan di dunia mengalami serangan fisik dari pasangan (Rita Chi dan Ying
Chung, 2005).
Problematika yang dihadapi oleh laki-laki
berbeda dengan perempuan. Peran tradisional laki-laki menempatkan posisi
laki-laki sebagai figur yang mandiri. Stereotype ini berdampak pada peran
sosial laki-laki yang dianggap sebagai pelindung dan Problem pada laki-laki
adalah keengganan untuk dibantu karena stereotype bahwa laki-laki harus
mandiri, tegas dan kuat, turut berkontribusi terhadap ketidakmauan laki-laki
untuk memperoleh atau mencari bantuan (Good, 1990:43). Lebih lanjut Good (1990:45)
menggaris bawahi bahwa salah satu problem serius bagi laki-laki adalah disfungi
seksual.
Berbeda dengan kedua problem sebelumnya,
masalah pasangan dan keluarga problem gender terfokus pada upaya yang lebih
erat (intimasi). Pemahaman gender juga diperlukan dalam kehidupan perkawinan
dan keluarga. Pola komunikasi, perkawinan yang kurang memuaskan pasangan,
kekerasan dalam rumah tangga, masalah finansial keluarga, mengasuh anak, semua
berakar dari pemahaman tentang konsep gender. Prinsip-prinsip gender aware
therapy berkontribusi pada efektivitas treatmen untuk mengatasi
kompleksitas problem perkawinan dan keluarga (Good, 1990:54).
d. Prinsip
Gender Aware Therapy
Terdapat lima prinsip dalam gender aware therapy yaitu sebagai berikut:
1)
Mengintegrasi
konsep gender dalam aspek konseling
2)
Mempertimbangkan
problem individu disesuaikan dengan konteks sosial
3)
Aktif
membantu untuk mengubah pengalaman individu atas ketimpangan gender yang
dialami
4)
Menekankan
kerjasama dalam konseling
5)
Menghormati
individu dalam membuat pilihan
Prinsip gender aware therapy berkaitan erat dengan konselor dan
proses konseling dengan memfokuskan pada keadaan sosial, kebiasaan dan struktur
pengembangan individu pada keseluruhan tahap konseling. Jika pada pendekatan
konseling lain melakukan eksplorasi secara mendalam tentang problem dan
kesulitan individu sebagai komponen penting maka gender aware therapy dapat melakukan eksplorasi jika
keadaannya memungkinkan.
Kontribusi pengembangan gender (pada
tataran pemahaman dan kesadaran) pada kepribadian dan perilaku merupakan hal
signifikan dan mulai dari awal konseling dieksplorasi pemahamannya karena akan
menjadi salah satu pilihan dalam perubahannya.
Hoffman, (2001:37) menjelaskan
bahwa petunjuk efektif untuk melakukan konseling berbasis gender yaitu sebagai
berikut:
1)
Konselor
harus memahami isu gender;
2)
Sikap
konselor harus mendorong terhadap proses sosialisasi kesetaraan gender.
Sensitivitas gender dalam konseling tidak hanya ditunjukkan dengan sikap
empatik dan fleksibilitas konselor tetapi membantu konseli untuk membangun
konsep tentang ekosistem gender, proses sosialisasi gender, konsep androgyny
secara umum dan hubungannya dengan gender.
Brown, (2006:43) mendeskripsikan
tiga prinsip konseling gender (orientation feminist to therapy), yaitu
1)
Pendekatan
untuk memunculkan kesadaran gender, konseli belajar membedakan antara problem
perilaku dalam dirinya dengan konstruksi sosial yang terbangun dalam
masyarakat.
2)
Women-validating
process, konseli
belajar menilai pengalaman-pengalamannya dan mengenali kekuatan-kekuatan pada
dirinya;
3)
Hubungan
secara egaliter antara konseli dengan konselor ditujukan untuk mendorong
kepercayaan dirinya, dan berperan aktif dalam proses konseling.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum, pengertian Gender adalah
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai
dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender
adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam
hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Komunikasi interpersonal adalah
pertukaran informasi, perasaan atau pemikiran antar manusia (individu) secara
tatap muka (face to face), verbal dan non verbal. Sedangkan konseling adalah
sebagai hubungan timbal balik antara dua individu, dimana yang seorang
(konselor) berusaha membantu yang lain (klien) untuk berusaha menyelesaikan
masalah-masalah yang sedang dihadapinya.
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam
berbagai bidang kehidupan pada umumnya menunujukan bahwa kedudukan perempuan
lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki. Keadaan seperti ini
sudah mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminisme berjuang
untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang
kehidupan.
Gerakan feminisme dilandasi oleh
ketidakseimbangan peran dan fungsi gender dalam masyarakat. Ketidakseimbangan
dapat dianalisis dari adanya kekerasan terhadap perempuan, stereotipe perempuan
terhadap tubuhnya, dan masalah perempuan berkaitan dengan keragaman identitas
(kemiskinan, rasisme, imigrasi).
Kemudian melahirkan gender aware therapy yang ditandai
dengan berkembangnya terapi feminis (feminist therapy) yang mengintegrasikan
prinsip-prinsip terapi feminis dengan pemahaman tentang gender untuk melakukan
intervensi pada konteks sosial, terlibat aktif dalam perubahan dan difokuskan
pada kerjasama antara konselor dengan konseli.
Problem
yang direkomendasi diselesaikan dengan teknik gender aware therapy berkaitan dengan jenis kelamin dan
keluarga (laki-laki, perempuan, pasangan dan keluarga). Perbedaan mendasar pada
ketiga dimensi problem adalah pandangan masing-masing person terhadap konsep
gender. Hal ini akan berimplikasi pada karakteristik problem yang dihadapi.
B. Saran
Penulis
menyarankan agar seorang bidan dapat menerapkan proses konseling yang ditandainya
dengan adanya kerja sama antara bidan selaku konselor dengan klien dalam
mencari tahu tentang masalah yang dihadapi klien serta bidan tersebut pula bisa
memberikan solusi dan membantu dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Barbara. (2006). Foundations of Feminist Therapy. [Online].
Tersedia:http//media.wiley.com/product_data/excerpt/69/04713743/0471374369.pdf.
Fakih,
Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Good, Glenn E; Gilbert, Lucia A; Scher, Murray. (1990). Gender Aware
Therapy: A Synthesis of Feminist Therapy and Knowledge about Gender. Journal
of Counseling and Development : JCD; Mar 1990; Research Library.
Hoffman, Rose Marie. (2001). The Measurement of Masculinity and
Femininity : Historical Perspective and Implications in Counseling. Dalam Journal
of Counseling and Development : JCD. [Online]. Vol. 79 (4). Tersedia : http://www.proquest/pqdweb.
Jurnal
Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14.
Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat. Ghalia: Indonesia, Jakarta
Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat. Ghalia: Indonesia, Jakarta
Muchtar,
Yati. 2001. Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru.
Natawidjaja, Rachman. 1987. Konseling
untuk Memecahkan Masalah. Bandung. Mandar Maju
Rita Chi-Ying Chung. (2005). Women, Human Rights, and Counseling:
Crossing International Boundaries. Journal of Counseling and Development :
JCD; Summer 2005; Research Library. ProQuest Education Journals.
Sharf, Richard S. (2012). Theories of Psychotherapy and Counseling ;
Conceps and Cases. 5th edition. Brooks/Cole. Belmon, CA.
Tarigan,
Saraswati. 2002. Konseling dan Klien. Jakarta. PT Java Pustaka Group.
No comments:
Post a Comment