Tuesday, September 9, 2014

Makalah Konsep Gender Dalam Komunikasi Interpersonal/Konseling

Makalah Konsep Gender Dalam Komunikasi Interpersonal/Konseling


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
            Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunujukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.
          Hubungan yang sub-ordinasi tersebut dialami oleh kaum perempuan di seluruh dunia, Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia.
          Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum feminisme berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan yang sub-ordinasi tersebut.
          Kemudiaan lahir pula gender aware therapy mengintegrasikan prinsip-prinsip terapi feminis dengan pemahaman tentang gender untuk melakukan intervensi pada konteks sosial, terlibat aktif dalam perubahan dan difokuskan pada kerjasama antara konselor dengan konseli.
          Teknik gender aware therapy memiliki karakteristik pada problem yang akan diselesaikan. Problem yang direkomendasi diselesaikan dengan teknik gender aware therapy berkaitan dengan jenis kelamin dan keluarga (laki-laki, perempuan, pasangan dan keluarga).
          Karena pada dasarnya ketidakadilan gender merupakan berbagai tindak ketidakadilan atau diskriminasi yang bersumber pada keyakinan gender. Ketidak adilan gender sering terjadi di mana-mana ini terkaitan dengan berbagai faktor. Mulai dari kebutuhan ekonomi budaya dan lain lain.


B. Rumusan Masalah
          Rumusan masalah yang hendak di perdalam dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.    Bagaimana konsep gender serta permasalahan nya dalam perilaku sosial budaya masayarakat?
2.    Bagaimna konsep Komunikasi Interpersonal/Konseling?
3.    Bagaimana konsep gender dalam konseling?

C. Tujuan Penulisan
          Tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.    Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah komunikasi kebidanan 
2.    Bagaimana konsep gender serta permasalahan nya dalam perilaku sosial budaya masayarakat?
3.    Bagaimna konsep Komunikasi Interpersonal/Konseling?
4.    Bagaimana konsep gender dalam konseling?


BAB II
KAJIAN PUSTAKA


A. Konsep Gender
     1.  Memahami Arti Gender Secara Umum
          Dari Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia. Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender.
          Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah
          Muchtar, (2001:19) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
         Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain. 
         Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciridari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999:8).
          Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
     2.  Masalah Gender Dalam Perilaku Sosial Budaya Masayarakat
          Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum hukum adat). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunujukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.
          Hubungan yang sub-ordinasi tersebut dialami oleh kaum perempuan di seluruh dunia karena hubungan yang sub-ordinasi tidak saja dialami oleh masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia, namun juga dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat dan lain-lainnya. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum femins berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan yang sub-ordinasi tersebut.
          Ketidakadilan gender merupakan berbagai tindak ketidakadilan atau diskriminasi yang bersumber pada keyakinan gender. Ketidak adilan gender sering terjadi di mana-mana ini terkaitan dengan berbagai faktor.  Mulai dari kebutuhan ekonomi budaya dan lain lain. Sebenarnya masalah gender sudah ada sejak jaman nenek moyang kita, ini merupakan masalah lama yang sulit untuk di selesaikan tanpa ada kesadaran dari berbagai pihak yang bersangkutan.  Budaya yang mengakar di indonesia kalau perempuan hanya melakukan sesuatu yang berkutik didalam rumah membuat ini menjadi kebiasaan yang turun temurun yang sulit di hilangkan. Banyak yang menganggap perbedaan atao dikriminasi gender yang ada pada film itu adalah hal yang biasa dan umum, shingga mereka tidak merasa di diskriminasi, namun akhir-akhir ini muncul berbagai gerakan untuk melawan bbias gender tersebut. Saat ini banyak para wanita bangga merasa hak nya telah sama dengan pria berkat atasa kerja keras R.A Kartini padahal mereka dalam media masih di jajah dan di campakan seperti dahulu.
          Bentuk bentuk ketidak adilan gender Marjinalisasi atau Pemiskinan
Suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan atau laki-laki. Hal ini nampak pada film film yang menggabarkan banyak para kaum lelaki menjadi pemimpin perusahaan menjadi eksmud. Dan sebaliknya banyak para wanita yang digambarkn sebagi pembantu rumah tangga TKW ataupun pengemis, sebenarnya secra tidak langsung membedakan dan mentidak adilkan gender, hal yang lebih mengecewakan ialah para wanita tidak merasa di tindas.
          Subordinasi atau penomorduaan Ialah Sikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki dibangun atas dasar keyakinan satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding yang lain. Ini mempunyai pendapat bahwa lelaki mempunyai lebih unggul. Hal ini berkeyakinan bahwa kalu ada laki laki kenapa harus perempuan. 
          Fenomena ini sering terjadi dalam film, yaitu ketika peran eksmudd yang selalu di perankan oleh pria, jika ada wanita yang berperan seebagai eksmud pastilah dia akan bermasalah dan selalu tidak sesukses pria. Sebenarnya hal ini memag tidak terlalu bnyak di perhitungkan karena ini seperti menyutikan racun pada tubuh. Sedikit sedikit media (film) mengkonstruk budaya pria selalu didepan. 

B. Komunikasi Interpersonal/Konseling
Komunikasi interpersonal adalah pertukaran informasi, perasaan atau pemikiran antar manusia (individu) secara tatap muka (face to face), verbal dan non verbal. Karena sifat dari interaksi ini adalah langsung dan segera, komunikasi interpersonal merupakan inti dari semua hubungan antar manusia sedangkan proses komunikasi interpersonal adalah suatu proses dua arah lingkaran interaktif dimana pihak –pihak yang berkomunikasi saling bertukar pesan secara verbal dan non verbal (arus pesan).
Kedua pihak menjadi pengirim maupun penerima pesan, dalam proses ini si penerima menafsirkan pesan si pengirim sebelumnya dan memberikan tanggapan dengan pesan yang baru, dengan kata lain komunikasi interpersonal adalah proses tatap muka penyampaian informasi dan saling pengertian antara dua atau lebih individu.
Konseling adalah proses pemberian informasi objektif dan lengkap, dilakukan secara sistematik dengan paduan keterampilan komunikasi interpersonal, teknik bimbingan dan penguasaan pengetahuan klinik, bertujuan untuk membantu seseorang mengenali kondisi saat ini, masalah yang sedang di hadapi dan menentukan jalan keluar atau upaya untuk mengatasi masalah tersebut.
Menurut Rochman Natawidjaja, (1987:32), konseling adalah sebagai hubungan timbal balik antara dua individu, dimana yang seorang (konselor) berusaha membantu yang lain (klien) untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam hubungan dengan masalah-masalahyang dihadapi pada waktu yang akan datang.
Konseling adalah proses pemberian bantuan seseorang kepada orang lain dalam membuat suatu keputusan atau memecahkan suatu melalui pemahaman terhadap fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-perasaan klien. (Saraswati Taringan, 2002:27)
Proses konseling menggambarkan adanya kerja sama antara bidan selaku konselor  dengan klien dalam mencari tahu tentang masalah yang dihadapi klien dan bidan agar mencapai jalan keluar pemecahan masalah klien.
Manfaat konseling adalah meningkatkan kemampuan klien dalam mengenal masalah, merumuskan alternatif, memecahkan masalah dan memiliki pengalaman dalam pemecahan masalah secara mandiri.

C. Konsep Gender dalam Konseling
          Pandangan tentang konsep gender secara tradisional menempatkan pihak laki-laki pada sektor publik (di luar rumah tangga) sementara pihak perempuan berada di sektor domestik (rumah tangga). Peran gender diarahkan pada konsep kesetaraan dengan memberikan peluang kepada laki-laki dan perempuan untuk dapat beraktivitas di sektor publik.
          Berkaitan dengan konsep gender tersebut, dimana di masyarakat terdapat ketidakseimbangan peran dan fungsi gender antara laki-laki dan perempuan, kemudian lahirnya feminist counseling dan Gender aware therapy.
1.    Feminist Counseling
a.    Latar Belakang
          Latar belakang munculnya feminist counseling secara ilmiah lebih banyak disebabkan sebagai kritik dan ketidakpuasan terhadap proses terapi kesehatan mental yang memakai pendekatan psikoanalisa sebagai traditional therapy. Perkembangan terapi feminis berimplikasi pada asumsi bahwa terapi feminis hanya relevan untuk memfasilitasi perempuan. Muncul juga pertanyaan apakah ada konseling untuk laki-laki. Pada awalnya, terapi feminis difokuskan pada konseli perempuan namun pada perkembangannya membawa terapi feminis tidak hanya untuk perempuan (not for women only) tetapi dapat untuk konseling bagi laki-laki.
          Terapi feminis muncul empat dekade yang lalu sebagai salah satu kebutuhan psikologis bagi perempuan yang mengalami gangguan psikologis. Pada awal berkembangnya terapi feminis masih ekslusif pada kelompok perempuan. Hal ini disebabkan karena gerakan perempuan untuk mendekonstruksi peran gender bertujuan untuk memperoleh kesetaraan dengan laki-laki. Namun dalam perkembangannya, feminis terapi tidak bersifat non sexist, sehingga pendekatan terapi feminist dapat diaplikasikan pada laki-laki maupun perempuan.
b.   Gerakan Feminisme
          Gerakan feminisme dilandasi oleh ketidakseimbangan peran dan fungsi gender dalam masyarakat. Ketidakseimbangan dapat dianalisis dari adanya kekerasan terhadap perempuan, stereotipe perempuan terhadap tubuhnya, dan masalah perempuan berkaitan dengan keragaman identitas (kemiskinan, rasisme, imigrasi).
          Problematika berkaitan dengan perempuan perlu adanya pendekatan baru dalam mendampingi perempuan untuk mencegah dan memberikan intervensi secara tepat. Untuk lebih memahami kemunculan terapi feminis perlu dikaji secara selintas tentang gerakan sosial yang kemudian memunculkan feminisme, teori feminis dan aplikasi teori feminis dalam seting konseling dan psikoterapi. Ketimpangan gender kemudian memunculkan sebuah gerakan yang disebut feminisme.
          Baumgardner dan Ricards, (2000:38) mendefiniiskan “Feminisme sebagai gerakan keadilan sosial untuk kesetaraan gender dan kebebasan manusia”. Namun demikian muncul kritik bahwa definisi ini mempunyai konotasi negatif karena memilliki stereotype, berlaku untuk semua orang termasuk orang tua. Stereotype yang dimaksud sebagai upaya menuntut keadilan sosial atas munculkan problem ketidakseimbangan gender. Hal ini memunculkan anggapan bahwa ada upaya untuk menggerakkan manusia menuju kebebasan. Namun demikian gerakan feminisme mendasari upaya mengeliminasi bias dan stereotype gender.
          Dalam perkembangannya gerakan feminisme diklasifikasi menjadi tiga gelombang yaitu sebagai berikut:
1)   Gelombang pertama, pada rentang waktu 1848-1920-an.
         Elizabeth Cady Stanton, Matilda Joslyn Gage, Sojourner Truth membawa isu kesetaraan khususnya kebebasan manusia dan hak-hak perempuan dalam pendidikan, perkawinan, kesempatan kerja, dan hak pilih.
         Pada gelombang pertama ada upaya untuk merekonstruksi atas hak-hak yang melekat pada perempuan, tentu saja dilatar belakangi oleh kondisi sosial masyarakat pada waktu itu di mana kesempatan kaum perempuan untuk meningkatkan jenjang pendidikan tidak diakomodasi, pola perkawinan yang cenderung menempatkan perempuan sebagai obyek, minimnya kesempatan kerja bagi perempuan dan tidak adanya hak pilih politik.
2)   Gelombang kedua, pada tahun 1965
         Elizabeth Aileen Hernandez, Betty Friedan, dan Gloria Steinem berupaya membangun kesadaran perempuan dan membantu mengidentifikasi isu seperti hak-hak kesetaraan, kesehatan perempuan, hak-hak reproduksi, kekerasan terhadap perempuan, hak-hak sebagai gay/lesbian, keragaman keluarga.
         Salah satu jargon dalam periode ini adalah the personal is political. Gelombang ketiga. Gerakan feminis selanjutnya dipelopori Naomi Wolf dan Rebecca Walker, berkaitan dengan isu kontemporer yaitu keseimbangan hidup, hak-hak perempuan secara internasional, pelecehan seksual. Pada gelombang ketiga isu yang mempersatukan adalah keragaman ras, sosial dan etnis.
         Feminisme pada gelombang kedua ditandai munculnya empat pola feminisme yaitu liberal, kultural, radikal dan sosialis:
a)    Feminisme liberal memfokuskan pada upaya membantu membangun pola peran sosial gender tradisional. Kelompok ini berupaya untuk mentransformasi peran tradisional gender agar laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama sehingga bebas dari bias gender.
b)   Feminisme kultural menganggap bahwa bentuk penindasan bersumber penilaian terhadap kekuatan, nilai dan peran antara laki-laki dengan perempuan. Tujuan utama feminisme kultural adalah transformasi nilai sosial menuju pada relasi sosial yang bersifat kerja sama, altruisme, saling membutuhkan.
c)    Kelompok Feminisme radikal menyimpulkan bahwa sumber penindasan adalah budaya patriarkhi. Tujuan utama kelompok ini adalah transformasi relasi gender, mengubah institusi sosial dan pihak perempuan memiliki otonomi terkait dengan masalah perkawinan dan seks.
d)   Feminisme sosialis menekankan pada perubahan sosial dengan menjamin keseimbangan kelas, ras, orientasi seksual, ekonomi dan politik.
3)   Gelombang ketiga
         Pada gelombang ini muncul feminisme postmodern yang memiliki pandangan bahwa realitas akan melekat pada hubungan sosial dan konteks sejarah, perubahan sosial dapat terjadi karena adanya kekuatan interaksi. Konsep ini memberi titik tekan pada kekuatan interaksi. Relasi gender dimaknai sebagai interaksi sosial yang dapat bermakna manakala terjadi kerja sama tidak memposisikan salah satu pihak lebih tinggi atau lebih rendah. Pandangan postmodern feminist cenderung menjadi acuan dalam upaya kesetaraan gender karena lebih memberi pengakuan atas relasi gender tanpa mengesampingkan konstruksi anatomis dan perbedaan kodrati pada laki-laki dan perempuan.
         Integrasi terapi feminis dan pemahaman tentang gender ke dalam prinsip konseling merupakan sintesis yang sering disebut sebagai gender aware therapy. Sebagai sebuah konsep yang dikembangkan pada tahun 1990-an, GAT mendorong konselor untuk memfasilitasi eksplorasi pengembangan pemahaman tentang relasi gender.
c.    Pola Yang Dipakai Dalam Praktik Feminisme
          Ada empat pola yang dapat dipakai untuk praktik feminis yaitu kekuatan (power), penindasan (oppression), pemberdayaan (empowerment), and daya lentur (resilience). Dari keempat pola, yang paling tepat untuk pengembangan perempuan adalah pemberdayaan karena dengan prinsip pemberdayaan, masyarakat sekitar ikut terlibat dalam proses penyelesaian masalah perempuan.
          Karakteristik pemberdayaan diarahkan pada evaluasi diri (self-evaluation), comfort-distress ratio, gender and culture-role awareness, personal control/self-efficacy, self-nurturance, problem-solving skills, assertiveness, resource access, gender and cultural flexibility, social activism.
          Pengembangan identitas sosial-personal berkaitan dengan eksplorasi terhadap sosial-personal, pengembangan model identitas sosial-personal, mempelajari tentang identitas gender, analisis peran gender, peran institusi sosial, sosialisasi di level keluarga, media, sistem pendidikan, tempat kerja. Pola pemberdayaan pada terapi feminis adalah identitas sosial dan personal merupakan variabel yang saling bergantung, personal memiliki nilai jadi harus dihargai, kesetaraan dan penghargaan terhadap perspektif perempuan.
2.      Gender Aware Therapy
a.   Perkembangan Gender Aware Therapy
       Perkembangan gender aware therapy ditandai dengan berkembangnya terapi feminis (feminist therapy). Terapi feminis berkembang dari teori-teori feminisme yang berakar dari gerakan feminisme. Perkembangan terapi feminis dipandang tidak memfasilitasi isu-isu gender karena masih difokuskan pada intervensi konseling bagi perempuan dengan kata lain tidak aplikatif untuk konseli laki-laki.
       Beberapa prinsip yang diperhatikan berkenaan dengan praktik feminis adalah menekankan pada keragaman perempuan secara personal dan identitas sosial, membangun kesadaran, hubungan setara antara konselor-konseli, memberikan penghargaan pada perempuan dan proses validasi diri. Mekanisme pemberdayaan menjadi salah satu langkah penting dalam praktik feminis.
       Gender aware therapy mengintegrasikan prinsip-prinsip terapi feminis dengan pemahaman tentang gender untuk melakukan intervensi pada konteks sosial, terlibat aktif dalam perubahan dan difokuskan pada kerjasama antara konselor dengan konseli (Evans, 2005:56).
       Sharf, (2012:34) mengemukakan bahwa “Terapi feminist merupakan pendekatan terapi dengan mengadopsi serta menggunakan berbagai teknik dalam pendekatan selain terapi feminis”. Lebih lanjut (Sharf, 2012:25) “Penggunaan terapi feminis yang diintegrasi dengan teori lain tampak pada konsep feminist psychoanalitic theory, feminist behavioral and cognitive theory, feminist gestalt theory, feminist narrative therapy, feminist therapy and counseling”.
            b.  Tahap-Tahap Dalam Gender Aware Therapy
       Menurut Good, (1990:30), secara umum tahap-tahap konseling gender aware therapy, dibagi dalam tiga tahap yaitu sebagai berikut:
1)   Konseptualisasi problem
       Asesmen awal pada pada konseling, proses konseptualisasi sebagai upaya untuk memahami persepsi individu tentang masalahnya (Good, 1990:34).
       Konselor menggunakan gender aware therapy untuk membantu konseli memahami peran sosial gender yang selama ini dimainkan oleh individu. Konseptualisasi problem difokuskan pada persepsi individu terhadap masalah yang dihadapi terutama berkaitan dengan peran-peran gender yang selama ini diyakini oleh individu. Pada tahap konseptualisasi masalah, konselor akan memiliki informasi awal tentang individu khususnya problem berbasis gender.
2)   Intervensi konseling
       Rentang intervensi pada gender aware therapy meliputi diskusi langsung, memberikan dmotivasi, memberi klarifikasi, melakukan interpretasi, konfrontasi, memberi informasi, eksperimentasi, modeling, terbuka, bibliotherapy dan dukungan dari kelompok.
       Konselor membantu menginternalisasi pemahaman dan pandangan tentang stereotype gender dalam pandangan laki-laki dan perempuan. Pengetahuan, pemahaman dan perspektif baru individu tentang gender akan bermanfaat untuk memberi peluang melatih keterampilan dan sikap dalam kehidupannya.
       Setelah individu memiliki pengetahuan, pemahaman dan pandangan baru tentang konsep gender melalui diskusi maka individu didorong untuk melakukan eksplorasi, bagaimana implikasi perubahan untuk mencegah problem sosial terkait dengan gender.
3)   Terminasi
       Konselor bertanggung jawab mengenali perubahan konsep gender tradisional individu dan membantu untuk belajar dari proses terbangunnya pengetahuan, pemahaman dan pandaingan baru tentang konsep gender. Proses terminasi sebagai upaya untuk belajar memahami perasaan, efikasi diri, percaya diri dan mengarahkan diri.
            c.  Teknik Gender Aware Therapy
       Teknik gender aware therapy memiliki karakteristik pada problem yang akan diselesaikan. Problem yang direkomendasi diselesaikan dengan teknik gender aware therapy berkaitan dengan jenis kelamin dan keluarga (laki-laki, perempuan, pasangan dan keluarga). Perbedaan mendasar pada ketiga dimensi problem adalah pandangan masing-masing person terhadap konsep gender. Hal ini akan berimplikasi pada karakteristik problem yang dihadapi.
       Bagi perempuan, pengembangan karir perempuan masih memiliki banyak kendala, terlebih adanya keyakinan masyarakat yang kurang menerima jika perempuan lebih sukses dari pasangannya. Jika terjadi kasus demikian, tidak jarang muncul konflik yang berakar dari kesuksesan pada pihak perempuan.
       Pada kondisi seperti ini diperlukan pandangan tentang konsep kesetaraan gender. Pada sisi lain, problem yang tidak kalah serius adalah body image. Masyarakat masih melihat sosok perempuan sebagai wakil dari keindahan sehingga secara fisik, perempuan sering dituntut menarik, yang kemudian diterjemahkan dalam ukuran fisik (tinggi, langsing, putih, cantik) dan cenderung mengabaikan kepribadian. Tidak jarang baik pihak perempuan maupun pihak laki-laki sama-sama memiliki stereotype tentang body image, sehingga semakin jauh dari upaya kesetaraan gender. Problem lain yang tidak cukup mengerikan adalah masalah kekerasan seksual, pelecehan dan perkosaan. Problem ini hampir selalu ditemukan pada semua negara.
       Beberapa catatan yang menunjukkan beragam problem perempuan seperti yang di laporkan oleh Rita Chi dan Ying Chung (2005) memaparkan bahwa data statistik dari catatan WHO (2003) menunjukkan ada perbedaan pola stres antara laki-laki dan perempuan yang dipicu oleh keadaan kehidupan sosial seperti ketidakberdayaan, kelelahan, kemarahan, ketakutan, kelaparan, kemiskinan, kelebihan pekerjaan, kekerasan dan ketergantungan ekonomi. Sementara itu sebuah survey juga mencatat bahwa sejumlah 10% s.d. 69% perempuan di dunia mengalami serangan fisik dari pasangan (Rita Chi dan Ying Chung, 2005).
       Problematika yang dihadapi oleh laki-laki berbeda dengan perempuan. Peran tradisional laki-laki menempatkan posisi laki-laki sebagai figur yang mandiri. Stereotype ini berdampak pada peran sosial laki-laki yang dianggap sebagai pelindung dan Problem pada laki-laki adalah keengganan untuk dibantu karena stereotype bahwa laki-laki harus mandiri, tegas dan kuat, turut berkontribusi terhadap ketidakmauan laki-laki untuk memperoleh atau mencari bantuan (Good, 1990:43). Lebih lanjut Good (1990:45) menggaris bawahi bahwa salah satu problem serius bagi laki-laki adalah disfungi seksual.
       Berbeda dengan kedua problem sebelumnya, masalah pasangan dan keluarga problem gender terfokus pada upaya yang lebih erat (intimasi). Pemahaman gender juga diperlukan dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. Pola komunikasi, perkawinan yang kurang memuaskan pasangan, kekerasan dalam rumah tangga, masalah finansial keluarga, mengasuh anak, semua berakar dari pemahaman tentang konsep gender. Prinsip-prinsip gender aware therapy berkontribusi pada efektivitas treatmen untuk mengatasi kompleksitas problem perkawinan dan keluarga (Good, 1990:54).
            d.  Prinsip Gender Aware Therapy
       Terdapat lima prinsip dalam gender aware therapy yaitu sebagai berikut:
1)   Mengintegrasi konsep gender dalam aspek konseling
2)   Mempertimbangkan problem individu disesuaikan dengan konteks sosial
3)   Aktif membantu untuk mengubah pengalaman individu atas ketimpangan gender yang dialami
4)   Menekankan kerjasama dalam konseling
5)   Menghormati individu dalam membuat pilihan
            Prinsip gender aware therapy berkaitan erat dengan konselor dan proses konseling dengan memfokuskan pada keadaan sosial, kebiasaan dan struktur pengembangan individu pada keseluruhan tahap konseling. Jika pada pendekatan konseling lain melakukan eksplorasi secara mendalam tentang problem dan kesulitan individu sebagai komponen penting maka gender aware therapy dapat melakukan eksplorasi jika keadaannya memungkinkan.
            Kontribusi pengembangan gender (pada tataran pemahaman dan kesadaran) pada kepribadian dan perilaku merupakan hal signifikan dan mulai dari awal konseling dieksplorasi pemahamannya karena akan menjadi salah satu pilihan dalam perubahannya.
            Hoffman, (2001:37) menjelaskan bahwa petunjuk efektif untuk melakukan konseling berbasis gender yaitu sebagai berikut:
1)   Konselor harus memahami isu gender;
2)   Sikap konselor harus mendorong terhadap proses sosialisasi kesetaraan gender. Sensitivitas gender dalam konseling tidak hanya ditunjukkan dengan sikap empatik dan fleksibilitas konselor tetapi membantu konseli untuk membangun konsep tentang ekosistem gender, proses sosialisasi gender, konsep androgyny secara umum dan hubungannya dengan gender.
            Brown, (2006:43) mendeskripsikan tiga prinsip konseling gender (orientation feminist to therapy), yaitu
1)   Pendekatan untuk memunculkan kesadaran gender, konseli belajar membedakan antara problem perilaku dalam dirinya dengan konstruksi sosial yang terbangun dalam masyarakat.
2)   Women-validating process, konseli belajar menilai pengalaman-pengalamannya dan mengenali kekuatan-kekuatan pada dirinya;
3)   Hubungan secara egaliter antara konseli dengan konselor ditujukan untuk mendorong kepercayaan dirinya, dan berperan aktif dalam proses konseling.


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
          Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
          Komunikasi interpersonal adalah pertukaran informasi, perasaan atau pemikiran antar manusia (individu) secara tatap muka (face to face), verbal dan non verbal. Sedangkan konseling adalah sebagai hubungan timbal balik antara dua individu, dimana yang seorang (konselor) berusaha membantu yang lain (klien) untuk berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapinya.
          Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan pada umumnya menunujukan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki. Keadaan seperti ini sudah mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminisme berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan.
          Gerakan feminisme dilandasi oleh ketidakseimbangan peran dan fungsi gender dalam masyarakat. Ketidakseimbangan dapat dianalisis dari adanya kekerasan terhadap perempuan, stereotipe perempuan terhadap tubuhnya, dan masalah perempuan berkaitan dengan keragaman identitas (kemiskinan, rasisme, imigrasi).
          Kemudian melahirkan gender aware therapy yang ditandai dengan berkembangnya terapi feminis (feminist therapy) yang mengintegrasikan prinsip-prinsip terapi feminis dengan pemahaman tentang gender untuk melakukan intervensi pada konteks sosial, terlibat aktif dalam perubahan dan difokuskan pada kerjasama antara konselor dengan konseli.
          Problem yang direkomendasi diselesaikan dengan teknik gender aware therapy berkaitan dengan jenis kelamin dan keluarga (laki-laki, perempuan, pasangan dan keluarga). Perbedaan mendasar pada ketiga dimensi problem adalah pandangan masing-masing person terhadap konsep gender. Hal ini akan berimplikasi pada karakteristik problem yang dihadapi.

B. Saran
          Penulis menyarankan agar seorang bidan dapat menerapkan proses konseling yang ditandainya dengan adanya kerja sama antara bidan selaku konselor dengan klien dalam mencari tahu tentang masalah yang dihadapi klien serta bidan tersebut pula bisa memberikan solusi dan membantu dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.

 DAFTAR PUSTAKA


Brown, Barbara. (2006). Foundations of Feminist Therapy. [Online]. Tersedia:http//media.wiley.com/product_data/excerpt/69/04713743/0471374369.pdf.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Good, Glenn E; Gilbert, Lucia A; Scher, Murray. (1990). Gender Aware Therapy: A Synthesis of Feminist Therapy and Knowledge about Gender. Journal of Counseling and Development : JCD; Mar 1990; Research Library.

Hoffman, Rose Marie. (2001). The Measurement of Masculinity and Femininity : Historical Perspective and Implications in Counseling. Dalam Journal of Counseling and Development : JCD. [Online]. Vol. 79 (4). Tersedia : http://www.proquest/pqdweb.

Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14.
Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat. Ghalia: Indonesia, Jakarta

Muchtar, Yati. 2001. Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru.

Natawidjaja, Rachman. 1987. Konseling untuk Memecahkan Masalah. Bandung. Mandar Maju

Rita Chi-Ying Chung. (2005). Women, Human Rights, and Counseling: Crossing International Boundaries. Journal of Counseling and Development : JCD; Summer 2005; Research Library. ProQuest Education Journals.

Sharf, Richard S. (2012). Theories of Psychotherapy and Counseling ; Conceps and Cases. 5th edition. Brooks/Cole. Belmon, CA.

Tarigan, Saraswati. 2002. Konseling dan Klien. Jakarta. PT Java Pustaka Group.





  


No comments:

Post a Comment