BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebelum Indonesia merdeka Yogyakarta merupakan daerah yang mempunyai
pemerintahan sendiri atau disebut Daerah Swapraja, yaitu Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku
Buwono I
pada tahun 1755, sedangkan Kadipaten Pakualaman
didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono II) yang
bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813. Pemerintah Hindia Belanda
mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah
tangganya sendiri yang dinyatakan dalam kontrak politik. Kontrak politik yang
terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan
kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577. Eksistensi
kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik
pada masa penjajahan Belanda, Inggris, maupun Jepang. Ketika Jepang meninggalkan
Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri
yang merdeka, lengkap dengan sistem pemerintahannya /wilayah dan penduduknya.
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI, bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta
dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu
kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil
KepalaDaerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat
Provinsi di Indonesia yang meliputi Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara
Kadipaten Paku Alaman.
Daerah Istimewa Yogyakarta yang
terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah
dan berbatasan dengan Provinsi
Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah
Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kota
dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan dan 438
desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390
jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki
kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2. Penyebutan nomenklatur Daerah Istimewa
Yogyakarta yang terlalu panjang menyebabkan sering terjadinya penyingkatan
nomenkaltur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa ini sering
diidentikkan dengan kota Yogyakarta sehingga
secara kurang tepat disebut dengan Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta.
Walaupun memiliki luas terkecil kedua setelah Provinsi DKI Jakarta, Daerah
Istimewa ini terkenal di tingkat nasional dan internasional.
Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi
Bali. Selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah
terparah akibat bencana gempa pada tanggal 27 Mei 2006 dan erupsi Gunung Merapi pada media Oktober-November 2010
B.
Tujuan
Tujuan
dari penelitian yang kami lakukan adalah sebagai berikut:
1.
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Politik
Kenegaraan dan Hukum
2. Mempelajari dan
mengetahui sistem hukum yang berlaku di Keraton Yogyakarta.
3.
Menambah wawasan tentang sistem hukum yang berlaku di
Keraton sebagai bahan perbandingan dengan sistem hukum yang ada di
Pemerintahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta
Keberadaan Kota Yogyakarta tidak
bisa lepas dari keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang
memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Mataram dari pengaruh Belanda, merupakan
adik dari Sunan Paku Buwana II. Setelah melalui perjuangan yang panjang, pada
hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 atau bertepatan dengan 13
Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran
menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari . Palihan Nagari inilah yang menjadi
titik awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan
Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing
Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I.
Setelah Perjanjian Giyanti ini, Sri Sultan Hamengku Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil
menunggui pembangunan fisik kraton.
Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti
tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan
Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta
dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di
Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada
hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober
1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam
Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati.
Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan
waktu satu tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan
7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan
Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini
ditandai dengan candra sengkala memet Dwi
Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit
dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol
Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai
sebagai dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu
berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas
pemerintahan baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat
tinggal mulai dibangun secara bertahap. Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi
Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7 Oktober 2009 dan dikuatkan dengan
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua
di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah
negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau
otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum
kemerdekaan. Kesultanan
Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku
Alaman,
sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan
vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai
dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav
Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir
Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status
tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang
disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan
politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya]
sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula
yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa
Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PKI sebagai sebuah daerah bukan lagi
sebagai sebuah negara.
Hamengkubuwana atau Hamengkubuwono
atau Hamengku Buwono atau
lengkapnya Ngarso Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalogo
Ngabdurahman Sayiddin Panotogomo Khalifatullah adalah gelar bagi raja Kesultanan Yogyakarta sebagai penerus
Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta.
Wangsa Hamengkubuwana tercatat sebagai wangsa yang gigih memperjuangkan
kemerdekaan pada masa masing-masing, antara lain Hamengkubuwana
I atau nama mudanya Pangeran Mangkubumi, kemudian penerusnya yang
salah satunya adalah ayah dari Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana III. Sri Sultan Hamengkubuwana
IX pernah menjabat sebagai wakil presiden Indonesia
yang kedua.
No.
|
Nama
|
Dari
|
Sampai
|
Keterangan
|
1.
|
|
|||
2.
|
periode
pertama
|
|||
3.
|
periode
pertama
|
|||
periode
kedua
|
||||
periode
kedua
|
||||
4.
|
|
|||
5.
|
periode
pertama
|
|||
periode
ketiga
|
||||
periode
kedua
|
||||
6.
|
|
|||
7.
|
|
|||
8.
|
|
|||
9.
|
|
|||
10.
|
Sekarang
|
|
B.
Sistem
Hukum yang Berlaku di Keraton Yogyakarta
a. Sistem Hukum Peradilan Nasional
Indonesia tidak
mengenal sistem kerajaan yang mutlak , karena bentuk negara ini adalah republik
yang dipimpin oleh seorang presiden, kata pengamat politik .dari Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta Arie Sujito.
Bentuk negara
Indonesia bukan kerajaan, sehingga tidak mungkin menjalankan pemerintahan
dengan sistem kerajaan yang mutlak Memang di negeri ini terdapat beberapa
keraton, tetapi mereka adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Dengan
demikian, menurut pengamat politik, beberapa keraton termasuk di Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) itu terikat dengan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. "Jadi, tidak ada penguasa keraton yang kebal
hukum, karena negara ini adalah negara hukum. Jika memang terbukti melanggar
hukum tentunya mereka juga akan dikenai sanksi, karena sistem pemerintahan di
negeri ini bukan kerajaan yang mutlak, DIY bukan sistem kerajaan yang mutlak, tetapi
lebih pada tradisi budaya yang keberadaannya berkembang dan mengakar kuat.
Keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai tradisi budaya di DIY
memang kuat.
Dalam konteks itu,
gelar Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang disandang Sri Sultan Hamengku
Buwono X hanya bermakna budaya atau tradisi dan bersifat simbolis, karena tidak
memiliki kekuasaan yang nyata seperti raja dalam sistem kerajaan yang mutlak.
b.
Sistem Hukum Peradilan Kerajaan
Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan
Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah,
dan Pengadilan Darah Dalem.
a. Pengadilan Pradoto merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
b. Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan
pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
c. Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan
pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari
bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal
al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian
berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
d. Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Ponconiti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum)
yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan
mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan
Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradoto sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradoto dan Bale Mangu dihapuskan
masing-masing pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan
pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kasultanan
Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang
digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.
Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab
Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru,
Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir
(khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan
berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek
dan Wetboek van Strafrecht.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat Provinsi di
Indonesia yang meliputi [Negara] Kesultanan Yogyakarta dan [Negara] Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa
Yogyakarta yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian
tengah dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas
3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kota dan empat kabupaten,
yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus
penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404
laki-laki dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar
1.084 jiwa per km2.
Penyebutan
nomenklatur Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menyebabkan sering
terjadinya penyingkatan nomenkaltur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah
Istimewa ini sering diidentikkan dengan kota Yogyakarta sehingga
secara kurang tepat disebut dengan Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta.
Walaupun memiliki luas terkecil kedua setelah Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa ini terkenal di tingkat
nasional dan internasional.
No comments:
Post a Comment