BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pada mulanya Keraton Yogyakarta
merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The Imperial House) dari Kesultanan
Yogyakarta. Secara
tradisi lembaga ini disebut Parentah Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam)
yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas mengurus Sultan dan Kerabat
Kerajaan (Royal Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan
Yogyakarta disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah
Nagari (harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem
Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.
Sekitar setahun setelah Kesultanan
Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi) bersama-sama Kadipaten Paku
Alaman diubah
statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari
Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga
Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah
menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas
pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma
tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar
kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian
kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena
hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem)
keraton.
Namun demikian ada perbedaan antara
Keraton Yogyakarta dengan Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain.
Sultan Yogyakarta selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala
Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai
bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto
1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis
diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan
ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah
lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara
1988-1998 Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil
Kepala Daerah Istimewa yang juga Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan
Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk
diangkat menjadi Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat
ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sultan Hamengku Buwono X.
Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta merupakan metamorfosis dari Pemerintahan
Negara Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintahan Negara
Kadipaten Pakualaman,
khususnya bagian Parentah Jawi yang semula dipimpin oleh Pepatih
Dalem untuk Negara Kesultanan Yogyakarta dan Pepatih Pakualaman
untuk Negara Kadipaten Pakualaman. Oleh karena itu Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki hubungan yang kuat dengan Keraton Yogyakarta maupun Puro Paku Alaman. Sehingga tidak mengherankan banyak pegawai negeri sipil
daerah yang juga menjadi Abdidalem Keprajan Keraton maupun Puro. Walau
demikian mekanisme perekrutan calon pegawai negeri sipil daerah tetap dilakukan
sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk
oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status
istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman
sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman,
sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan
vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari
VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC
(Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara
Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut
disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan
Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan
untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan pemerintah
penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi
payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam
BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah
1.2
Rumusan
Masalah
Ø Bagaimana
Sejarah Keraton Yogyakarta
Ø Bagaimana Letak Geografis Daerah
Isrimewa Yogyakarta
Ø Bagaimana Tata Ruang dan
Infrastruktur Daerah Istimewa Yogyakarta
Ø Bagaimana Tata Ruang Arsitektur umum
Keraton Yogyakarta
Ø Bagaimana Hubungan Keraton
Yogyakarta dengan Pemerintah Daerah DIY
1.3
Tujuan
Ø Ingin
mengetahui bagaimana sejarah Keraton Yogyakarta
Ø Ingin
mengetahui bagaimana letak Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta
Ø Ingin
mengetahui bagaimana tata ruang dan Infrastruktur DIY
Ø Ingin
mengetahui bagaimana tata ruang arsitektur Umum Keraton Yogyakarta
Ø Ingin
mengetahui bagaimana hubungan Keraton Yogyakarta dengan Pemerintah Daerah DIY
BAB
II
ISI
LAPORAN
HUBUNGAN
KERATON YOGYAKARTA DALAM PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
2.1
Sejarah
Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah
Istimewa Yogyakarta
adalah Daerah Istimewa setingkat Provinsi di Indonesia
yang meliputi Kesultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta yang
terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2
ini terdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78
kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah
penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986
perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2.
Penyebutan nomenklatur Daerah
Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menyebabkan sering terjadinya
penyingkatan nomenkaltur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa ini
sering diidentikkan dengan kota Yogyakarta sehingga secara kurang tepat disebut dengan Jogja, Yogya,
Yogyakarta, Jogjakarta. Walaupun memiliki luas terkecil kedua setelah Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa ini terkenal di tingkat nasional dan internasional. Daerah
Istimewa Yogyakarta menjadi tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi Bali. Selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah
terparah akibat bencana
gempa pada
tanggal 27 Mei 2006 dan erupsi Gunung Merapi pada medio Oktober-November 2010.
Sebelum Indonesia merdeka,
Yogyakarta merupakan daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut Zelfbestuurlandschappen/Daerah
Swapraja, yaitu Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat
dan Kadipaten Pakualaman. Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755, sedangkan Kadipaten Pakualaman
didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono II) yang
bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813. Pemerintah Hindia Belanda mengakui
Kasultanan dan Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya
sendiri yang dinyatakan dalam kontrak politik. Kontrak politik yang terakhir
Kasultanan tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan kontrak
politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577. Eksistensi kedua
kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada
masa penjajahan Belanda, Inggris, maupun Jepang. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan
tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri yang merdeka, lengkap dengan
sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah dan penduduknya.
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI, bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta
dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu
kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Hal tersebut
dinyatakan dalam:
1. Piagam
kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI.
2. Amanat
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (dibuat secara terpisah).
3. Amanat
Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (dibuat dalam satu naskah).
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya kedudukan DIY sebagai Daerah Otonom setingkat Provinsi sesuai dengan maksud pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) diatur dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok
Pemerintahan Daerah. Sebagai tindak lanjutnya kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta
dibentuk dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 sebagaimana telah diubah
dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara
Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1819) yang sampai saat ini
masih berlaku. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan DIY meliputi Daerah
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada
setiap undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan
DIY tetap diakui, sebagaimana dinyatakan terakhir dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004.
Dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DIY mempunyai peranan yang
penting. Terbukti pada tanggal 4 Januari 1946 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 pernah dijadikan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia.
Tanggal 4 Januari inilah yang kemudian ditetapkan
menjadi hari Yogyakarta Kota Republik pada tahun 2010. Pada saat ini Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat
dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono X dan Kadipaten Pakualaman dipimpin oleh Sri Paku Alam IX, yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur DIY. Keduanya memainkan peran yang menentukan dalam memelihara
nilai-nilai budaya dan adat istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat
Yogyakarta.
2.2
Letak Geografis Daerah Isrimewa
Yogyakarta
DIY terletak di bagian
tengah-selatan Pulau Jawa, secara geografis terletak pada
7o3’-8o12’ Lintang Selatan dan 110o00’-110o50’ Bujur Timur. Berdasarkan bentang
alam, wilayah DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi, yaitu
satuan fisiografi Gunungapi Merapi, satuan fisiografi Pegunungan
Selatan atau
Pegunungan Seribu, satuan fisiografi Pegunungan Kulon
Progo, dan
satuan fisiografi Dataran Rendah.
Satuan fisiografi Gunungapi
Merapi, yang
terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga dataran fluvial gunung
api termasuk juga bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api
merupakan daerah hutan lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan.
Satuan bentang alam ini terletak di Sleman bagian utara. Gunung Merapi yang
merupakan gunungapi aktif dengan karakteristik khusus, mempunyai daya tarik
sebagai obyek penelitian, pendidikan, dan pariwisata.
Satuan Pegunungan
Selatan atau
Pegunungan Seribu, yang terletak di wilayah Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan batu gamping (limestone)
dan bentang alam karst yang tandus dan kekurangan air permukaan, dengan
bagian tengah merupakan cekungan Wonosari (Wonosari Basin) yang telah mengalami pengangkatan
secara tektonik sehingga terbentuk menjadi Plato Wonosari (dataran
tinggi Wonosari). Satuan ini merupakan bentang alam hasil proses solusional
(pelarutan), dengan bahan induk batu gamping dan mempunyai karakteristik
lapisan tanah dangkal dan vegetasi penutup sangat jarang.
Satuan Pegunungan Kulon
Progo, yang
terletak di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang lahan struktural denudasional
dengan topografi berbukit, kemiringan lereng curam dan potensi air tanah kecil.
Satuan Dataran Rendah, merupakan
bentang lahan fluvial (hasil proses pengendapan sungai) yang didominasi
oleh dataran aluvial, membentang di bagian selatan DIY, mulai dari Kulon
Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Satuan ini merupakan
daerah yang subur. Termasuk dalam satuan ini adalah bentang lahan marin
dan eolin yang belum didayagunakan, merupakan wilayah pantai yang
terbentang dari Kulon Progo sampai Bantul. Khusus bentang lahan marin
dan eolin di Parangtritis Bantul, yang terkenal dengan gumuk
pasirnya, merupakan laboratorium alam untuk kajian bentang alam pantai.
Kondisi fisiografi tersebut membawa
pengaruh terhadap persebaran penduduk, ketersediaan prasarana dan sarana
wilayah, dan kegiatan sosial ekonomi penduduk, serta kemajuan pembangunan antar
wilayah yang timpang. Daerah-daerah yang relatif datar, seperti wilayah dataran
fluvial yang meliputi Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten
Bantul (khususnya di wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta) adalah
wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan memiliki kegiatan sosial ekonomi
berintensitas tinggi, sehingga merupakan wilayah yang lebih maju dan
berkembang.
2.3
Tata Ruang dan Infrastruktur DIY
Ø Tata Ruang
Model
yang digunakan dalam tata ruang wilayah DIY adalah corridor development
atau disebut dengan “pemusatan intensitas kegiatan manusia pada suatu koridor
tertentu” yang berfokus pada Kota Yogyakarta dan jalan koridor sekitarnya.
Dalam konteks ini, aspek pengendalian dan pengarahan pembangunan dilakukan
lebih menonjol dalam koridor prioritas, terhadap kegiatan investasi swasta,
dibandingkan dengan investasi pembangunan oleh pemerintah yang dengan
sendirinya harus terkendali. Untuk mendukung aksesibilitas global wilayah DIY,
maka diarahkan pengembangan pusat-pusat pelayanan antara lain Pusat Kegiatan
Nasional (PKN)/Kota Yogyakarta, Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) Sleman, PKW
Bantul, dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010
tentang RTRW Prov DIY 2009-2029 mengatur pengembangan tata ruang di DIY.
Penataan ruang ini juga memiliki keterkaitan dengan mitigasi bencana di DIY.
Ø Infrastruktur/ Prasarana
Prasarana
jalan yang tersedia di Provinsi DIY tahun 2007 meliputi Jalan
Nasional (168,81
Km), Jalan
Provinsi (690,25
Km), dan Jalan
Kabupaten (3.968,88
Km), dengan jumlah jembatan yang tersedia sebanyak 114 buah dengan total
panjang 4.664,13 meter untuk jembatan nasional dan 215 buah dengan total
panjang 4.991,3 meter untuk jembatan provinsi. Di wilayah perkotaan, dengan
kondisi kendaraan bermotor yang semakin meningkat (rata-rata tumbuh 13% per
tahun), sedangkan kondisi jalan terbatas, maka telah mengakibatkan terjadinya
kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas dan terjadinya kecelakaan lalu lintas
yang terus meningkat setiap tahun.
2.4
Tata Ruang Arsitektur Umum Keraton
Yogyakarta
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor
Gautier Thomas Pigeaud
dan Lucien Adam yang menganggapnya sebagai
"arsitek" dari saudara Pakubuwono II Surakarta"[6]. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton
berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta[7] diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di
tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang
tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang
dilakukan oleh Sultan Hamengku
Buwono VIII
(bertahta tahun 1921-1939).
Ø Tata Ruang
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai
dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung[8] Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta
dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler
(Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran,
Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti;
Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks
Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul
(Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing[9][10].
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah
selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks
Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton
menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap
timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan
keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah
Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks
Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di
nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem
pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar
dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain
Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan
Pasar Beringharjo.
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang
ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan
kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh
tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol[11] yang biasanya bergaya Semar Tinandu[12] . Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang
atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng
atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang
khas.
Ø Arsitektur Umum
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya
arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari
budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi
Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut
dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong
(gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang
bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap
seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari
sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap
tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang
berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan
biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau
muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang
terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan
tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong,
stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu
dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun
dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau
dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada
bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi[13]. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang
disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya
termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya,
bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki
detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya.
Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak
memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat
dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.
2.5 Hubungan
Keraton Yogyakarta dengan Pemerintah Daerah DIY
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan
metamorfosis dari Pemerintahan
Negara Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintahan Negara
Kadipaten Pakualaman,
khususnya bagian Parentah Jawi yang semula dipimpin oleh Pepatih
Dalem untuk Negara Kesultanan Yogyakarta dan Pepatih Pakualaman
untuk Negara Kadipaten Pakualaman. Oleh karena itu Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki hubungan yang kuat dengan Keraton Yogyakarta maupun Puro Paku Alaman. Sehingga tidak mengherankan banyak pegawai negeri sipil
daerah yang juga menjadi Abdidalem Keprajan Keraton maupun Puro. Walau
demikian mekanisme perekrutan calon pegawai negeri sipil daerah tetap dilakukan
sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan
UU Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan DIY), Kepala dan Wakil Kepala Daerah
Istimewa diangkat oleh
Presidendari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu, di zaman sebelum
Republik Indonesia, dan yang masih menguasai daerahnya; dengan syarat-syarat
kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di
daerah itu. Dengan demikian Kepala Daerah Istimewa, sampai tahun 1988, dijabat
secara otomatis oleh Sultan Yogyakarta yang bertahta dan Wakil Kepala Daerah
Istimewa, sampai tahun 1998, dijabat secara otomatis oleh Pangeran Paku Alam
yang bertahta.
Nomenklatur Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa baru
digunakan mulai tahun 1999 dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999. Adapun daftar
Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa sebagai berikut:
No.
|
Nama
|
Dari
|
Sampai
|
Keterangan
|
1.
|
Masa
jabatan seumur hidup,
pegawai negara dengan NIP 010000001. |
|||
2.
|
Wakil
Gubernur,
melaksanakan tugas Gubernur dalam jabatan Penjabat Gubernur, Masa jabatan seumur hidup, pegawai negara dengan NIP 010064150. |
|||
3.
|
Masa
jabatan pertama.
|
|||
4.
|
Masa
jabatan kedua.
|
|||
5.
|
Perpanjangan
masa jabatan kedua.
|
|||
6.
|
Perpanjangan
kedua masa jabatan kedua.
|
Ø Bentuk
Keistimewaan
Bentuk keistimewaan bagi Pemerintahan DI Yogyakarta saat ini
masih menjadi ranah politik di DPR Pusat. Namun menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang
juga menjadi landasan UU Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan DIY),
Pemerintahan di Daerah Istimewa tidak berbeda dengan daerah biasa.
Yang berbeda/yang menjadikan istimewa adalah mengenai pengangkatan kepala
daerahnya dan juga boleh memiliki wakil kepala daerah jika daerah istimewa
tersebut merupakan gabungan dari dua daerah atau lebih. Sebab pada saat itu
daerah biasa tidak dapat memiliki wakil kepala daerah. Hanya itulah
satu-satunya bentuk keistimewaan dan tidak ada yang lain.
Adapun alasan keistimewaan Yogyakarta diakui oleh
pemerintahan RI menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan UU
Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan DIY), adalah Yogyakarta mempunyai
hak-hak asal-usul dan di jaman sebelum Republik Indonesia sudah mempunyai
pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa (zelfbestuure landschappen)
Ø Birokrasi
dan Kelembagaan
Di bidang pengembangan kelembagaan Pemerintah Provinsi DIY
telah menetap Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Provinsi DIY,
Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah
Provinsi DIY, Perda Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah, dan
Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DIY; serta menerapkannya mulai tahun 2009.
Lembaga Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta
dirintis dengan pembentukan KNI Daerah Yogyakarta di tahun 1945[44]. Pada Mei 1946 KNI Daerah Yogyakarta dibubarkan dan
dibentuk Parlemen Lokal pertama di Indonesia dengan nama Dewan Daerah. Walaupun
anggotanya tidak dipilih melalui pemilihan umum, parlemen ini tetap bekerja
mewakili rakyat sampai tahun 1948 saat Invasi Belanda ke Kota Yogyakarta. Pada
1951, setelah melalui pemilihan umum bertingkat, terbentuklah parlemen lokal yang lebih permanen dengan nama
"Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta"
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta
merupakan istana resmi Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat
yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi
bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini
masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang
masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga
merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton
merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk
berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu
contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan
lapangan serta paviliun yang luas.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku
Buwono I beberapa
bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah
bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini
digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura
dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah
mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum
menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan
Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh
kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler
(Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul
(Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)[4][5]. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan
budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi
lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan
pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai
filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah
pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk
menjadi salah satu Situs Warisan Dunia
UNESCO.
Ø Kebudayaan
Wujud cagar budaya yang masih
dipergunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu Indonesia
DIY mempunyai beragam potensi
budaya, baik budaya yang tangible (fisik) maupun yang intangible
(non fisik). Potensi budaya yang tangible antara lain kawasan cagar budaya dan
benda cagar budaya sedangkan potensi budaya yang intangible seperti gagasan,
sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang
ada dalam masyarakat.
DIY memiliki tidak kurang dari 515
Bangunan Cagar Budaya yang tersebar di 13 Kawasan Cagar Budaya. Keberadaan
aset-aset budaya peninggalan peradaban tinggi masa lampau tersebut, dengan
Kraton sebagai institusi warisan adiluhung yang masih terlestari keberadaannya,
merupakan embrio dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika masyarakat dalam
berkehidupan kebudayaan terutama dalam berseni budaya dan beradat tradisi.
Selain itu, Provinsi DIY juga mempunyai 30 museum, yang dua diantaranya yaitu museum
Ullen Sentalu dan museum Sonobudoyo diproyeksikan menjadi museum internasional.
Pada 2010, persentase benda cagar budaya tidak bergeak dalam kategori baik
sebesar 41,55%, seangkan kunjungan ke museum mencapai 6,42%[34].
Ø Pariwisata
Museum Hamengku Buwono IX di dalam
kompleks Keraton Yogyakarta, sebuah tujuan wisata
Pariwisata merupakan sektor utama bagi DIY. Banyaknya obyek dan daya
tarik wisata di DIY telah menyerap kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara.
Pada 2010 tercatat kunjungan wisatawan sebanyak 1.456.980 orang, dengan rincian
152.843 dari mancanegara dan 1.304.137 orang dari nusantara[19]. Bentuk wisata di DIY meliputi wisata MICE (Meeting,
Incentive, Convention and Exhibition), wisata budaya, wisata
alam, wisata minat khusus dan berbagai fasilitas wisata lainnya, seperti
resort, hotel, dan restoran. Tercatat ada 37 hotel berbintang dan 1.011 hotel melati di
seluruh DIY pada 2010. Adapaun penyelenggaraan MICEsebanyak 4.509 kali per
tahun atau sekitar 12 kali per hari[20]. Keanekaragaman upacara keagamaan dan budaya dari berbagai
agama serta didukung oleh kreatifitas seni dan keramahtamahan masyarakat,
membuat DIY mampu menciptakan produk-produk budaya dan pariwisata yang
menjanjikan. Pada tahun 2010 tedapat 91 desa wisata dengan 51 diantaranya yang
layak dikunjungi. Tiga desa wisata di kabupaten Sleman hancur terkena erupsi
gunung Merapi
sedang 14 lainnya rusak ringan.
Secara geografis, DIY juga
diuntungkan oleh jarak antara lokasi obyek wisata yang terjangkau dan mudah
ditempuh. Sektor pariwisata sangat signifikan menjadi motor kegiatan
perekonomian DIY yang secara umum bertumpu pada tiga sektor andalan yaitu:
jasa-jasa; perdagangan, hotel dan restoran; serta pertanian. Dalam hal ini
pariwisata memberi efek pengganda (multiplier effect) yang nyata bagi
sektor perdagangan disebabkan meningkatnya kunjungan wisatawan. Selain itu,
penyerapan tenaga kerja dan sumbangan terhadap perekonomian daerah sangat
signifikan.
Ø Filosofi
dan Mitologi Keraton
Pada mulanya Keraton Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga
Istana Kerajaan (The Imperial House) dari Kesultanan
Yogyakarta. Secara
tradisi lembaga ini disebut Parentah Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam)
yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas mengurus Sultan dan Kerabat
Kerajaan (Royal Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta
disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah Nagari
(harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem
Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.
Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah
nJawi) bersama-sama Kadipaten Paku
Alaman diubah
statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari
Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga
Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah
menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal
namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan
masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar
kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian
kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena
hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem)
keraton.
Namun demikian ada perbedaan antara Keraton Yogyakarta
dengan Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta
selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Keraton juga memiliki
kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan
daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950)
sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai
Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa
jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948;
UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998
Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah
Istimewa yang juga Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan Sultan
Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat
menjadi Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang
menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sultan Hamengku Buwono X
Ø Pemerintahan Keraton
Di tengah kesibukannya sebagai gubernur pemimpin empat
kabupaten dan kotamadya, Sultan Hamengkubuwono X tetap menjalankan perannya
memimpin kerajaan. Sebagai raja bertahta (Ngarso Dalem), ia bertanggung
jawab menjalankan roda pemerintahan keraton (Peperintahan Karaton).
Layaknya sebuah negara, Peperintahan Karaton punya struktur
birokrasi dengan tugas dan fungsi sampai ke tingkat bawah. Konsepnya semacam
departemen, dan dinas dalam birokrasi modern. Lembaga pembantu Sultan ini
dipegang oleh para pengageng.
Tulang punggung pemerintahan keraton ada pada di Pengageng
Sri Wandowo. Itu semacam sekretariat negara. Jabatan itu kini dipegang adik
kandung Sultan, Gusti Bandoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo. Dia bertugas
sebagai perantara, antara Sultan dan pengageng, atau abdi dalem lainnya di
kawedanan.
Dalam memimpin keraton, Sultan tak lagi terjun langsung ke
dalam rapat-rapat, atau pembahasan program. Sultan hanya memberikan
persetujuan, atau instruksi. Semua titahnya dituang dalam surat keputusan
(dhawuh dalem), yang ditulis dalam bahasa Jawa halus.
Dalam setahun, Sultan setidaknya membuat lebih dari tiga
keputusan. Terakhir, dia menaikkan gaji dan program pendidikan bagi abdi dalem.
“Segala keputusan yang diambil Sultan, akan dilaksanakan hingga tingkat bawah
melalui Gusti Joyo,” kata GBPH Yudhaningrat, yang juga adik Sultan.
Walau tidak terlibat langsung di rumah tangga keraton,
Sultan tetap muncul pada setiap upacara besar keraton. Misalnya Grebeg Syawal
dan Pisowanan Ageng. Sultan tetap menjadi simbol tertinggi keraton.
Di Peperintahan Karaton, Gusti Joyo adalah nomor satu. Dia
mengendalikan sejumlah kawedanan, lembaga yang menangani aneka urusan keraton.
Mulai dari perawatan museum dan benda antik, organisasi adat dan budaya Jawa,
tanah, bangunan, tari, gamelan, makanan tradisional, gelar, hingga upacara
kesultanan.
Setiap kawedanan punya pemimpin, kantor, dan abdi dalem.
Mereka berkantor di lingkungan keraton, wajib pakai surjan, kemben, dan jarik.
Sementara yang beraktivitas di luar, boleh pakai busana modern. Umumnya batik.
Abdi dalem bekerja berdasar aturan rumah tangga keraton, dan
surat dawuh dalem. Sekitar 1.000 dari 3.000 abdi dalem mendapat bayaran. Kecil
memang, hanya Rp.35 ribu sebulan. Bayaran ini sebagai simbol kasih sayang raja
kepada rakyatnya yang mengabdi.
"Hampir semua abdi dalem punya pekerjaan lain guna
menopang ekonomi keluarga. Sebagai abdi dalem, saya bekerja setiap hari. Saya
punya 12 hari untuk mengurus sawah," kata Joyo Pradata, yang menjadi abdi
dalem sejak 1975.
Selain mendapat kucuran dana APBN, keraton mencukupi
kebutuhan internal melalui pengelolaan aset. Ada sejumlah tanah milik keraton
yang disewakan kepada masyarakat. "Pemasukan ini kemudian diolah bendahara
keraton untuk rumah tangga keraton," kata Gusti Yudha. Dia tak menyebutkan
berapa persisnya kebutuhan dan belanja keraton setiap tahunnya.
Ø Kekuasaan
menciut
Menilik sejarah, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, pada
mulanya, adalah negara dependen di bawah Kerajaan Belanda. Memiliki wilayah
kekuasaan sendiri, sekaligus berwenang penuh mengelola sumber daya ekonomi.
Meski di bawah Sultan, pada zaman kolonial itu pemerintahan
dibagi dua. Pertama, Parentah Ageng Karaton, untuk urusan domestik keraton.
Kedua, Parentah Nagari, untuk urusan luar. Dalam tugasnya, Sultan dibantu
Pepatih yang dulunya adalah kepanjangan tangan Belanda.
Restorasi pemerintahan keraton terjadi pada masa Sultan
Hamengkubuwono IX. Keraton memutuskan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sebagai konsekuensinya, administrasi keraton dijalankan berdasar
peraturan daerah di Indonesia.
Parentah Ageng Keraton masih bertahan. Namun, tak lagi
menyentuh ranah politik. “Jadi, bisa dikatakan kekuasan keraton menciut.
Dulunya punya kekuasaan politik, layaknya sebuah negara merdeka, kini hanya
berkuasa secara kultural,” kata sejarawan UGM, Djoko Suryo.
Pemerintah pusat mengakomodasi kekuasaan Sultan lewat aturan
keistimewaan. Aturan ini memuat ketetapan raja bertahta sebagai kepala daerah
atau gubernur. Tak seperti nasib raja-raja lain di Nusantara, Sultan masih
punya jangkauan politik di kancah pemerintahan modern.
Walau Sultan punya dua kaki di pusat pemerintahan daerah dan
keraton, namun tak ada struktur yang mengikat keduanya. Tiap pemerintahan
berjalan sendiri. Keraton bergerak sesuai sistem tata praja. Pemerintahan
daerah berjalan sesuai peraturan perundangan yang berlaku di seluruh Indonesia.
Kini,
keistimewaan yang mengakomodasi kekuasaan Sultan di struktur pemerintahan
modern, itu tengah diuji di tingkat pusat. Dalam draf Rancangan Undang-undang
Keistimewaan Yogyakarta, terbuka kemungkinan gubernur Yogyakarta bukan berasal
dari kalangan keraton.
Jika itu
terjadi, Sultan kelak hanya menjadi simbol kultural. Dengan posisi yang mungkin
lebih baik dari raja-raja lain di nusantara.
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang
kabinet terbatas tanggal 26 November 2010 yang menyebutkan bahwa sistem
pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta bertabrakan dengan nilai-nilai
demokrasi dan konstitusi telah mengundang kontroversi. Dari tukang parkir,
penjaja dagangan di pinggiran Malioboro hingga politisi senayan beramai-ramai
mengemukakan pendapatnya. Polemik posisi keistimewaan Yogyakarta sebenarnya
bukan isu yang baru meski status keistimewaan sebenarnya telah disandang
Yogyakarta sebagai bagian dari warisan sejarah sebelum kemerdekaan Indonesia
terjadi. Dalam rentetan sejarah, cikal bakal Daerah Istimewa Yogyakarta,
Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam pernah menjadi negara bagian atau
vassal state berbagai rejim yang pernah berkuasa yang dimulai dari masa
kolonial Belanda maupun masa pendudukan Jepang.
Pada awal kemerdekaan, tuntutan Yogyakarta yang diwakili
oleh Pangeran Puruboyo pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 untuk menjadikan kooti sebagai daerah
yang otonom penuh ditolak oleh Soekarno karena dianggap bertentangan dengan
bentuk kesatuan yang telah dipilih Indonesia. Dengan mengabulkan tuntutan
Yogyakarta berarti ada negara di dalam negara karena koti/kooti untuk
merujuk pada salah satu wilayah bentukan Jepang yang berhak mengatur dan
mengurus wilayahnya sendiri yang pada masa Kolonial Belanda dikenal sebagai zelfbestuurende
lanschappen. Alotnya pergulatan mengenai status kooti ini membuat PPKI memilih
menunda dan menetapkan ‘status quo’ pada kooti sampai peraturan perundangan
mengenai pemerintah daerah terwujud. Penundaan ini juga ‘dibaca’ sebagai upaya
untuk menunggu dahulu sikap dua kerajaan di Yogyakarta (Kesultanan Yogyakarta
dan Kadipaten Paku Alam) terhadap kemerdekaan Indonesia.
Keraguan Jakarta terhadap Yogyakarta pun kemudian dijawab
dengan keluarnya pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang kemudian disusul
oleh sikap yang sama dari Sri Paduka Paku Alam VIII untuk bergabung dalam Republik
Indonesia melalui dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945.
Keluarnya dekrit sebagai sikap kedua kerajaan di Yogyakarta atas kemerdekaan
Indonesia tidak serta merta menyelesaikan persoalan posisi keduanya didalam
negara Republik Indonesia.
Meskipun sikap Jakarta tentang posisi daerah-daerah yang
berhak mengatur dan mengurus diri sendiri belum terbentuk, kedua penguasa
kerajaan di Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam
VIII justru mengeluarkan kesepakatan untuk menyatukan kekuasaan dalam satu
bendera daerah dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejalan dengan penyatuan
dua kekuasaan monarkhi yang ada di Yogyakarta ini dikeluarkan pula maklumat 18
Mei 1946 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan Yogyakarta dengan membagi
kewenangan antara legislatif dan eksekutif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh
Dewan daerah, Dewan kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kelurahan. Sementara
kekuasaan eksekutif dipegang secara bersama-sama antara Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, Sri Paduka Paku Alam VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota
serta Bupati Pamong Praja Kabupaten.
Proses integrasi Yogyakarta dengan Negara Republik Indonesia
tentulah membawa konsekuensi masuknya sistem pemerintahan modern dalam sistem
kerajaan dan kesultanan Yogyakarta meski status istimewa telah diberikan dengan
keluarnya undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang penetapan aturan-aturan pokok
mengenai Pemerintahan di daerah-daerah yang mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Ada logika-logika meritokrasi yang mesti ‘dipatuhi’ oleh
Yogyakarta ketika menyatakan diri masuk dalam Negara Republik Indonesia. Tetapi
konsep kekuasaan eksekutif di tangan Sultan beserta para bupati ini justru
menjadi semacam jembatan pertemuan antara sistem tradisional dengan sistem
pemerintahan modern hingga menyebabkan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta relatif
‘terjaga’ hingga sekarang.
Konsep ini relatif tetap bertahan dan berjalan dengan
derajat yang ‘berbeda’ meski berbagai perubahan dari sisi peraturan perundangan
yang mengatur posisi daerah-daerah yang memiliki kewenangan mengatur rumah
tangga sendiri telah dijalankan. Pada jaman dahulu para bupati yang membawahi
daerah-daerah administrasi di bawah kesultanan semacam Kabupaten Kota
Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul dan
Kabupaten Kulon Progo otomatis memangku jabatan juga sebagai kepala birokrasi
kerajaan atau abdi dalem keprajan. Struktur ini yang menjadi cikal bakal
penopang kuatnya kekuasaan Kesultanan Yogyakarta hingga sekarang meskipun telah
bergabung dengan Pemerintahan Republik Indonesia. Sistem ini relatif mudah
dilaksanakan oleh pihak kerajaan karena pemangku atau yang menjadi bupati di
beberapa wilayah tersebut masih memiliki hubungan ‘kekeluargaan’ dengan pihak
kerajaan. Melalui jenjang kepangkatan yang berbeda masing-masing dari mereka
berhak menyandang gelar kepangkatan yang berlaku di dalam sistem pemerintahan
kerajaan.
Bagaimana dengan kondisi sekarang dimana posisi-posisi
bupati hingga tingkat kelurahan dan desa tidak serta merta diisi oleh pihak
keluarga kerajaan karena berbagai sistem pemerintahan yang mengaturnya. Jabatan
politis yang dipangku oleh Bupati dan Walikota yang dipilih secara langsung
oleh rakyat maupun jajaran birokrasi pemerintahan yang tersebar di seluruh
tingkatan wilayah kabupaten/kota hingga tingkat kelurahan logikanya akan
memutus mata rantai hubungan antara sistem pemerintahan modern dengan sistem
tradisional milik kerajaan. Tetapi dalam kenyataannya sistem pemerintahan
kerajaan yang tercermin dalam konsep abdi dalem ini relatif masih
bertahan hingga sekarang.
Ada dua jalur yang digunakan oleh pihak kerajaan untuk
‘mengikat’ masyarakat dan birokrasi pemerintahan di Yogyakarta dalam sistem
pemerintahan kerajaan yaitu melalui konsep abdi dalem punokawan dan abdi
dalem keprajan. Abdi dalem punokawan adalah kesempatan yang
diberikan oleh pihak kerajaan Yogyakarta bagi masyarakat luas untuk menjadi abdi
dalem (dalam kamus bahasa Indonesia abdi berarti bawahan, pelayan, hamba
atau budak tebusan) di dalam keraton Yogyakarta. Abdi dalem punokawan
ini layaknya seoang pegawai yang memiliki tugas pokok dan gaji sesuai dengan
pangkat dan kedudukan (kalenggahan). Jenjang pangkatnya dari posisi
terendah hingga tertinggi meliputi magang, jajar, bekel enom,
bekel sepuh, lurah enom, lurah sepuh, penewu, wedono,
riyo bupati anom, bupati anom, bupati kliwon, bupati
nayoko, dan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH). Kenaikan pangkat berlaku
empat tahun sekali dan memenuhi daftar hadir serta ‘sowan bekti’
(ritual untuk menunjukkan kesetiaan). Meskipun pangkat dapat naik setiap empat
tahun terakhir tetapi dua pangkat tertinggi (bupati nayaka dan KPH) menjadi
wewenang kraton (mirunggan). Ada beberapa konpensasi yang bisa
didapatkan oleh orang-orang yang menjadi abdi dalem punokawan dari gelar dan
nama pemberian kerajaan hingga ‘kalungguhan’ yang bisa disandang oleh mereka.
Sementara itu abdi dalem keprajan adalah kesempatan
bagi birokrat-birokrat yang ada di Yogyakarta (bahkan dalam beberapa kasus
berasal dari luar Yogyakarta) untuk mendapatkan gelar kepangkatan yang berlaku
dalam sistem pemerintahan kerajaan. Untuk menjadi abdi dalem keprajan relatif
lebih ‘mudah’ dibanding menjadi abdi dalem punokawan berdasarkan
tanggung jawab yang mesti diembannya. Selain itu abdi dalem keprajan
menggunakan sistem kepangkatan yang sama digunakan oleh Pegawai Negeri Sipil.
Jika seseorang mengajukan diri menjadi abdi dalem keprajan maka golongan yang
dimiliki dalam jenjang kepangkatan Pegawai Negeri Sipil yang dijadikan pijakan
untuk memberi pangkat dalam sistem kerajaan Yogyakarta. Abdi dalem keprajan
tidak menerima gaji tetapi wajib mengikuti beberapa kegiatan seperti sowan
bekti, acara ngabekten, grebegan, jamasan pasak, mios
dan kudur gongso dll. Kenaikan pangkat abdi dalem keprajan sama
dengan abdi dalem punokawan yaitu setiap empat tahun sekali dengan
mendasarkan pada sikap dan perilakunya yang baik. Kedua bentuk abdi dalem
ini menggambarkan adanya hubungan yang saling menguntungkan diantara keduanya.
Bagi keraton keberadaan abdi dalem adalah sebagai pengukur pengaruh dan
eksistensi serta penerimaan masyarakat akan kekuasaan kerajaan. Sementara bagi
masyarakat yang memilih untuk menjadi abdi dalem ada semacam kepuasan
batin (ngalap berkah) dan posisi yang bergengsi secara sosial akibat
gelar maupun nama pemberian pihak kerajaan Yogyakarta kepada mereka.
Dari semua penjelasan mengenai konsep birokrasi kerajaan
yang tercermin dalam abdi dalem punokawan dan keprajan ini
terlihat bahwa keberadaan mereka menjadi salah satu mesin penopang eksistensi
kerajaan Yogyakarta. Kerajaan Yogyakarta mampu membangun sistem pemerintahan
yang ‘berbeda’ yang merupakan perpaduan antara sistem tradisional kerajaan
dengan sistem birokrasi modern. Di satu sisi kerajaan Yogyakarta membangun
birokrasi tradisional melalui abdi dalem punokawan yang bertugas
mengurusi urusan domestik kerajaan. Sementara di sisi lain kerajaan Yogyakarta
tetap tidak ketinggalan pengaruhnya dalam sistem birokrasi modern milik Negara
Republik Indonesia karena hubungan yang dibangun melalui abdi dalem keprajan.
Tidak mengherankan jika kerajaan Yogyakarta termasuk diantara sejumlah kerajaan
di Nusantara yang masih mampu menjaga eksistensi kekuasaan karena
‘kepandaiannya’ menjaga modal kultural dan mengkonversinya sesuai kebutuhan
jaman.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat
atau Keraton Yogyakarta
merupakan istana resmi Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat
yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi
bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini
masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang
masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga
merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton
merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk
berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu
contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan
lapangan serta paviliun yang luas.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk
oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status
istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman
sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman,
sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan
vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari
VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC
(Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara
Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut
disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan
Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan
untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan pemerintah
penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi
payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI
dan PPKI sebagai sebuah daerah
3.2
Saran
Ø Diharapkan
kedepannya dapat tetap menjaga dan melestarikan warisan kebudayaan bangsa
khususnya tradisi yang ada di dalam keraton agar tidak punah tergerus oleh
perkembangan zaman.
Ø Bagi
pemerintah daerah DIY, diharapkan lebih aktif mempromosikan tempat – tempat
wisata ada di daerah Jogyakarta, khususnya keraton Yogyakarta yang merupakan
ciri khas dari DIY kepada para wisatawan lokal maupun mancanegara. Agar bisa
menambah anggaran pendapatan daerah. karena pariwisata didaerah ini merupakan
salahsatu penopang terbesar bagi pendapatan asli daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment