Monday, September 15, 2014

Hubungan Keraton Yogyakarta Dalam Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB I
PENDAHULUAN



1.1         Latar Belakang
Pada mulanya Keraton Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The Imperial House) dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisi lembaga ini disebut Parentah Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan (Royal Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah Nagari (harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.
Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi) bersama-sama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem) keraton.
Namun demikian ada perbedaan antara Keraton Yogyakarta dengan Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang juga Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sultan Hamengku Buwono X.
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan metamorfosis dari Pemerintahan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintahan Negara Kadipaten Pakualaman, khususnya bagian Parentah Jawi yang semula dipimpin oleh Pepatih Dalem untuk Negara Kesultanan Yogyakarta dan Pepatih Pakualaman untuk Negara Kadipaten Pakualaman. Oleh karena itu Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki hubungan yang kuat dengan Keraton Yogyakarta maupun Puro Paku Alaman. Sehingga tidak mengherankan banyak pegawai negeri sipil daerah yang juga menjadi Abdidalem Keprajan Keraton maupun Puro. Walau demikian mekanisme perekrutan calon pegawai negeri sipil daerah tetap dilakukan sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah

1.2         Rumusan Masalah
Ø Bagaimana Sejarah Keraton Yogyakarta
Ø Bagaimana Letak Geografis Daerah Isrimewa Yogyakarta
Ø Bagaimana Tata Ruang dan Infrastruktur Daerah Istimewa Yogyakarta
Ø Bagaimana Tata Ruang Arsitektur umum Keraton Yogyakarta
Ø Bagaimana Hubungan Keraton Yogyakarta dengan Pemerintah Daerah DIY

1.3         Tujuan
Ø Ingin mengetahui bagaimana sejarah Keraton Yogyakarta
Ø Ingin mengetahui bagaimana letak Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta
Ø Ingin mengetahui bagaimana tata ruang dan Infrastruktur DIY
Ø Ingin mengetahui bagaimana tata ruang arsitektur Umum Keraton Yogyakarta
Ø Ingin mengetahui bagaimana hubungan Keraton Yogyakarta dengan Pemerintah Daerah DIY

  


BAB II
ISI LAPORAN
HUBUNGAN KERATON YOGYAKARTA DALAM PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


2.1         Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat Provinsi di Indonesia yang meliputi Kesultanan Yogyakarta dan  Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2.
Penyebutan nomenklatur Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menyebabkan sering terjadinya penyingkatan nomenkaltur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa ini sering diidentikkan dengan kota Yogyakarta sehingga secara kurang tepat disebut dengan Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta. Walaupun memiliki luas terkecil kedua setelah Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa ini terkenal di tingkat nasional dan internasional. Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi Bali. Selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah terparah akibat bencana gempa pada tanggal 27 Mei 2006 dan erupsi Gunung Merapi pada medio Oktober-November 2010.
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut Zelfbestuurlandschappen/Daerah Swapraja, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755, sedangkan Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri yang dinyatakan dalam kontrak politik. Kontrak politik yang terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris, maupun Jepang. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri yang merdeka, lengkap dengan sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah dan penduduknya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI, bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Hal tersebut dinyatakan dalam:
1.  Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI.
2.  Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (dibuat secara terpisah).
3. Amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (dibuat dalam satu naskah).
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya kedudukan DIY sebagai Daerah Otonom setingkat Provinsi sesuai dengan maksud pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) diatur dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah. Sebagai tindak lanjutnya kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1819) yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan DIY meliputi Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada setiap undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan DIY tetap diakui, sebagaimana dinyatakan terakhir dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DIY mempunyai peranan yang penting. Terbukti pada tanggal 4 Januari 1946 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 pernah dijadikan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Tanggal 4 Januari inilah yang kemudian ditetapkan menjadi hari Yogyakarta Kota Republik pada tahun 2010. Pada saat ini Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kadipaten Pakualaman dipimpin oleh Sri Paku Alam IX, yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Keduanya memainkan peran yang menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.

2.2         Letak Geografis Daerah Isrimewa Yogyakarta
DIY terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, secara geografis terletak pada 7o3’-8o12’ Lintang Selatan dan 110o00’-110o50’ Bujur Timur. Berdasarkan bentang alam, wilayah DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi, yaitu satuan fisiografi Gunungapi Merapi, satuan fisiografi Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu, satuan fisiografi Pegunungan Kulon Progo, dan satuan fisiografi Dataran Rendah.
Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, yang terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga dataran fluvial gunung api termasuk juga bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan. Satuan bentang alam ini terletak di Sleman bagian utara. Gunung Merapi yang merupakan gunungapi aktif dengan karakteristik khusus, mempunyai daya tarik sebagai obyek penelitian, pendidikan, dan pariwisata.
Satuan Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu, yang terletak di wilayah Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan batu gamping (limestone) dan bentang alam karst yang tandus dan kekurangan air permukaan, dengan bagian tengah merupakan cekungan Wonosari (Wonosari Basin) yang telah mengalami pengangkatan secara tektonik sehingga terbentuk menjadi Plato Wonosari (dataran tinggi Wonosari). Satuan ini merupakan bentang alam hasil proses solusional (pelarutan), dengan bahan induk batu gamping dan mempunyai karakteristik lapisan tanah dangkal dan vegetasi penutup sangat jarang.
Satuan Pegunungan Kulon Progo, yang terletak di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit, kemiringan lereng curam dan potensi air tanah kecil.
Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial (hasil proses pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang di bagian selatan DIY, mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Satuan ini merupakan daerah yang subur. Termasuk dalam satuan ini adalah bentang lahan marin dan eolin yang belum didayagunakan, merupakan wilayah pantai yang terbentang dari Kulon Progo sampai Bantul. Khusus bentang lahan marin dan eolin di Parangtritis Bantul, yang terkenal dengan gumuk pasirnya, merupakan laboratorium alam untuk kajian bentang alam pantai.
Kondisi fisiografi tersebut membawa pengaruh terhadap persebaran penduduk, ketersediaan prasarana dan sarana wilayah, dan kegiatan sosial ekonomi penduduk, serta kemajuan pembangunan antar wilayah yang timpang. Daerah-daerah yang relatif datar, seperti wilayah dataran fluvial yang meliputi Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul (khususnya di wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta) adalah wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan memiliki kegiatan sosial ekonomi berintensitas tinggi, sehingga merupakan wilayah yang lebih maju dan berkembang.

2.3         Tata Ruang dan Infrastruktur DIY
Ø Tata Ruang
Model yang digunakan dalam tata ruang wilayah DIY adalah corridor development atau disebut dengan “pemusatan intensitas kegiatan manusia pada suatu koridor tertentu” yang berfokus pada Kota Yogyakarta dan jalan koridor sekitarnya. Dalam konteks ini, aspek pengendalian dan pengarahan pembangunan dilakukan lebih menonjol dalam koridor prioritas, terhadap kegiatan investasi swasta, dibandingkan dengan investasi pembangunan oleh pemerintah yang dengan sendirinya harus terkendali. Untuk mendukung aksesibilitas global wilayah DIY, maka diarahkan pengembangan pusat-pusat pelayanan antara lain Pusat Kegiatan Nasional (PKN)/Kota Yogyakarta, Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) Sleman, PKW Bantul, dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW Prov DIY 2009-2029 mengatur pengembangan tata ruang di DIY. Penataan ruang ini juga memiliki keterkaitan dengan mitigasi bencana di DIY.
Ø Infrastruktur/ Prasarana
Prasarana jalan yang tersedia di Provinsi DIY tahun 2007 meliputi Jalan Nasional (168,81 Km), Jalan Provinsi (690,25 Km), dan Jalan Kabupaten (3.968,88 Km), dengan jumlah jembatan yang tersedia sebanyak 114 buah dengan total panjang 4.664,13 meter untuk jembatan nasional dan 215 buah dengan total panjang 4.991,3 meter untuk jembatan provinsi. Di wilayah perkotaan, dengan kondisi kendaraan bermotor yang semakin meningkat (rata-rata tumbuh 13% per tahun), sedangkan kondisi jalan terbatas, maka telah mengakibatkan terjadinya kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas dan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang terus meningkat setiap tahun.

2.4         Tata Ruang Arsitektur Umum Keraton Yogyakarta
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara Pakubuwono II Surakarta"[6]. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta[7] diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939).
Ø Tata Ruang
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung[8] Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing[9][10].
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol[11] yang biasanya bergaya Semar Tinandu[12] . Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Ø Arsitektur Umum
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi[13]. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.

2.5  Hubungan Keraton Yogyakarta dengan Pemerintah Daerah DIY
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan metamorfosis dari Pemerintahan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintahan Negara Kadipaten Pakualaman, khususnya bagian Parentah Jawi yang semula dipimpin oleh Pepatih Dalem untuk Negara Kesultanan Yogyakarta dan Pepatih Pakualaman untuk Negara Kadipaten Pakualaman. Oleh karena itu Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki hubungan yang kuat dengan Keraton Yogyakarta maupun Puro Paku Alaman. Sehingga tidak mengherankan banyak pegawai negeri sipil daerah yang juga menjadi Abdidalem Keprajan Keraton maupun Puro. Walau demikian mekanisme perekrutan calon pegawai negeri sipil daerah tetap dilakukan sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan UU Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan DIY), Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presidendari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu, di zaman sebelum Republik Indonesia, dan yang masih menguasai daerahnya; dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Dengan demikian Kepala Daerah Istimewa, sampai tahun 1988, dijabat secara otomatis oleh Sultan Yogyakarta yang bertahta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, sampai tahun 1998, dijabat secara otomatis oleh Pangeran Paku Alam yang bertahta.
Nomenklatur Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa baru digunakan mulai tahun 1999 dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999. Adapun daftar Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa sebagai berikut:
No.
Nama
Dari
Sampai
Keterangan
1.
Masa jabatan seumur hidup,
pegawai negara dengan NIP 010000001.
2.
Wakil Gubernur,
melaksanakan tugas Gubernur dalam jabatan Penjabat Gubernur,
Masa jabatan seumur hidup,
pegawai negara dengan NIP 010064150.
3.
Masa jabatan pertama.
4.
Masa jabatan kedua.
5.
Perpanjangan masa jabatan kedua.
6.
Perpanjangan kedua masa jabatan kedua.
Ø Bentuk Keistimewaan
Bentuk keistimewaan bagi Pemerintahan DI Yogyakarta saat ini masih menjadi ranah politik di DPR Pusat. Namun menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan UU Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan DIY), Pemerintahan di Daerah Istimewa tidak berbeda dengan daerah biasa. Yang berbeda/yang menjadikan istimewa adalah mengenai pengangkatan kepala daerahnya dan juga boleh memiliki wakil kepala daerah jika daerah istimewa tersebut merupakan gabungan dari dua daerah atau lebih. Sebab pada saat itu daerah biasa tidak dapat memiliki wakil kepala daerah. Hanya itulah satu-satunya bentuk keistimewaan dan tidak ada yang lain.
Adapun alasan keistimewaan Yogyakarta diakui oleh pemerintahan RI menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan UU Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan DIY), adalah Yogyakarta mempunyai hak-hak asal-usul dan di jaman sebelum Republik Indonesia sudah mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa (zelfbestuure landschappen)
Ø Birokrasi dan Kelembagaan
Di bidang pengembangan kelembagaan Pemerintah Provinsi DIY telah menetap Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Provinsi DIY, Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi DIY, Perda Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah, dan Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DIY; serta menerapkannya mulai tahun 2009.
Lembaga Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta dirintis dengan pembentukan KNI Daerah Yogyakarta di tahun 1945[44]. Pada Mei 1946 KNI Daerah Yogyakarta dibubarkan dan dibentuk Parlemen Lokal pertama di Indonesia dengan nama Dewan Daerah. Walaupun anggotanya tidak dipilih melalui pemilihan umum, parlemen ini tetap bekerja mewakili rakyat sampai tahun 1948 saat Invasi Belanda ke Kota Yogyakarta. Pada 1951, setelah melalui pemilihan umum bertingkat, terbentuklah parlemen lokal yang lebih permanen dengan nama "Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta"
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)[4][5]. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Ø Kebudayaan
Wujud cagar budaya yang masih dipergunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu Indonesia
DIY mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang tangible (fisik) maupun yang intangible (non fisik). Potensi budaya yang tangible antara lain kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya sedangkan potensi budaya yang intangible seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.
DIY memiliki tidak kurang dari 515 Bangunan Cagar Budaya yang tersebar di 13 Kawasan Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya peninggalan peradaban tinggi masa lampau tersebut, dengan Kraton sebagai institusi warisan adiluhung yang masih terlestari keberadaannya, merupakan embrio dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika masyarakat dalam berkehidupan kebudayaan terutama dalam berseni budaya dan beradat tradisi. Selain itu, Provinsi DIY juga mempunyai 30 museum, yang dua diantaranya yaitu museum Ullen Sentalu dan museum Sonobudoyo diproyeksikan menjadi museum internasional. Pada 2010, persentase benda cagar budaya tidak bergeak dalam kategori baik sebesar 41,55%, seangkan kunjungan ke museum mencapai 6,42%[34].
Ø Pariwisata
Museum Hamengku Buwono IX di dalam kompleks Keraton Yogyakarta, sebuah tujuan wisata
Pariwisata merupakan sektor utama bagi DIY. Banyaknya obyek dan daya tarik wisata di DIY telah menyerap kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Pada 2010 tercatat kunjungan wisatawan sebanyak 1.456.980 orang, dengan rincian 152.843 dari mancanegara dan 1.304.137 orang dari nusantara[19]. Bentuk wisata di DIY meliputi wisata MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition), wisata budaya, wisata alam, wisata minat khusus dan berbagai fasilitas wisata lainnya, seperti resort, hotel, dan restoran. Tercatat ada 37 hotel berbintang dan 1.011 hotel melati di seluruh DIY pada 2010. Adapaun penyelenggaraan MICEsebanyak 4.509 kali per tahun atau sekitar 12 kali per hari[20]. Keanekaragaman upacara keagamaan dan budaya dari berbagai agama serta didukung oleh kreatifitas seni dan keramahtamahan masyarakat, membuat DIY mampu menciptakan produk-produk budaya dan pariwisata yang menjanjikan. Pada tahun 2010 tedapat 91 desa wisata dengan 51 diantaranya yang layak dikunjungi. Tiga desa wisata di kabupaten Sleman hancur terkena erupsi gunung Merapi sedang 14 lainnya rusak ringan.
Secara geografis, DIY juga diuntungkan oleh jarak antara lokasi obyek wisata yang terjangkau dan mudah ditempuh. Sektor pariwisata sangat signifikan menjadi motor kegiatan perekonomian DIY yang secara umum bertumpu pada tiga sektor andalan yaitu: jasa-jasa; perdagangan, hotel dan restoran; serta pertanian. Dalam hal ini pariwisata memberi efek pengganda (multiplier effect) yang nyata bagi sektor perdagangan disebabkan meningkatnya kunjungan wisatawan. Selain itu, penyerapan tenaga kerja dan sumbangan terhadap perekonomian daerah sangat signifikan.
Ø Filosofi dan Mitologi Keraton
Pada mulanya Keraton Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The Imperial House) dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisi lembaga ini disebut Parentah Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan (Royal Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah Nagari (harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.
Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi) bersama-sama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem) keraton.
Namun demikian ada perbedaan antara Keraton Yogyakarta dengan Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang juga Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sultan Hamengku Buwono X
Ø Pemerintahan Keraton
Di tengah kesibukannya sebagai gubernur pemimpin empat kabupaten dan kotamadya, Sultan Hamengkubuwono X tetap menjalankan perannya memimpin kerajaan. Sebagai raja bertahta (Ngarso Dalem), ia bertanggung  jawab menjalankan roda pemerintahan keraton (Peperintahan Karaton).
Layaknya sebuah negara, Peperintahan Karaton punya struktur birokrasi dengan tugas dan fungsi sampai ke tingkat bawah. Konsepnya semacam departemen, dan dinas dalam birokrasi modern. Lembaga pembantu Sultan ini dipegang oleh para pengageng.
Tulang punggung pemerintahan keraton ada pada di Pengageng Sri Wandowo. Itu semacam sekretariat negara. Jabatan itu kini dipegang adik kandung Sultan, Gusti Bandoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo. Dia bertugas sebagai perantara, antara Sultan dan pengageng, atau abdi dalem lainnya di kawedanan.
Dalam memimpin keraton, Sultan tak lagi terjun langsung ke dalam rapat-rapat, atau pembahasan program. Sultan hanya memberikan persetujuan, atau instruksi. Semua titahnya dituang dalam surat keputusan (dhawuh dalem), yang ditulis dalam bahasa Jawa halus.
Dalam setahun, Sultan setidaknya membuat lebih dari tiga keputusan. Terakhir, dia menaikkan gaji dan program pendidikan bagi abdi dalem. “Segala keputusan yang diambil Sultan, akan dilaksanakan hingga tingkat bawah melalui Gusti Joyo,” kata GBPH Yudhaningrat, yang juga adik Sultan.
Walau tidak terlibat langsung di rumah tangga keraton, Sultan tetap muncul pada setiap upacara besar keraton. Misalnya Grebeg Syawal dan Pisowanan Ageng. Sultan tetap menjadi simbol tertinggi keraton.
Di Peperintahan Karaton, Gusti Joyo adalah nomor satu. Dia mengendalikan sejumlah kawedanan, lembaga yang menangani aneka urusan keraton. Mulai dari perawatan museum dan benda antik, organisasi adat dan budaya Jawa, tanah, bangunan, tari, gamelan, makanan tradisional, gelar, hingga upacara kesultanan.
Setiap kawedanan punya pemimpin, kantor, dan abdi dalem. Mereka berkantor di lingkungan keraton, wajib pakai surjan, kemben, dan jarik. Sementara yang beraktivitas di luar, boleh pakai busana modern. Umumnya batik.
Abdi dalem bekerja berdasar aturan rumah tangga keraton, dan surat dawuh dalem. Sekitar 1.000 dari 3.000 abdi dalem mendapat bayaran. Kecil memang, hanya Rp.35 ribu sebulan. Bayaran ini sebagai simbol kasih sayang raja kepada rakyatnya yang mengabdi.
"Hampir semua abdi dalem punya pekerjaan lain guna menopang ekonomi keluarga. Sebagai abdi dalem, saya bekerja setiap hari. Saya punya 12 hari untuk mengurus sawah," kata Joyo Pradata, yang menjadi abdi dalem sejak 1975.
Selain mendapat kucuran dana APBN, keraton mencukupi kebutuhan internal melalui pengelolaan aset. Ada sejumlah tanah milik keraton yang disewakan kepada masyarakat. "Pemasukan ini kemudian diolah bendahara keraton untuk rumah tangga keraton," kata Gusti Yudha. Dia tak menyebutkan berapa persisnya kebutuhan dan belanja keraton setiap tahunnya.
Ø Kekuasaan menciut
Menilik sejarah, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, pada mulanya, adalah negara dependen di bawah Kerajaan Belanda. Memiliki wilayah kekuasaan sendiri, sekaligus berwenang penuh mengelola sumber daya ekonomi.
Meski di bawah Sultan, pada zaman kolonial itu pemerintahan dibagi dua. Pertama, Parentah Ageng Karaton, untuk urusan domestik keraton. Kedua,  Parentah Nagari, untuk urusan luar. Dalam tugasnya, Sultan dibantu Pepatih yang dulunya adalah kepanjangan tangan Belanda.
Restorasi pemerintahan keraton terjadi pada masa Sultan Hamengkubuwono IX. Keraton memutuskan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekuensinya, administrasi keraton dijalankan berdasar peraturan daerah di Indonesia.
Parentah Ageng Keraton masih bertahan. Namun, tak lagi menyentuh ranah politik. “Jadi, bisa dikatakan kekuasan keraton menciut. Dulunya punya kekuasaan politik, layaknya sebuah negara merdeka, kini hanya berkuasa secara kultural,” kata sejarawan UGM, Djoko Suryo.
Pemerintah pusat mengakomodasi kekuasaan Sultan lewat aturan keistimewaan. Aturan ini memuat ketetapan raja bertahta sebagai kepala daerah atau gubernur. Tak seperti nasib raja-raja lain di Nusantara, Sultan masih punya jangkauan politik di kancah pemerintahan modern.
Walau Sultan punya dua kaki di pusat pemerintahan daerah dan keraton, namun tak ada struktur yang mengikat keduanya. Tiap pemerintahan berjalan sendiri. Keraton bergerak sesuai sistem tata praja. Pemerintahan daerah berjalan sesuai peraturan perundangan yang berlaku di seluruh Indonesia.
Kini, keistimewaan yang mengakomodasi kekuasaan Sultan di struktur pemerintahan modern, itu tengah diuji di tingkat pusat. Dalam draf Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta, terbuka kemungkinan gubernur Yogyakarta bukan berasal dari kalangan keraton.
Jika itu terjadi, Sultan kelak hanya menjadi simbol kultural. Dengan posisi yang mungkin lebih baik dari raja-raja lain di nusantara.
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang kabinet terbatas tanggal 26 November 2010 yang menyebutkan bahwa sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi telah mengundang kontroversi. Dari tukang parkir, penjaja dagangan di pinggiran Malioboro hingga politisi senayan beramai-ramai mengemukakan pendapatnya. Polemik posisi keistimewaan Yogyakarta sebenarnya bukan isu yang baru meski status keistimewaan sebenarnya telah disandang Yogyakarta sebagai bagian dari warisan sejarah sebelum kemerdekaan Indonesia terjadi. Dalam rentetan sejarah, cikal bakal Daerah Istimewa Yogyakarta, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam pernah menjadi negara bagian atau vassal state berbagai rejim yang pernah berkuasa yang dimulai dari masa  kolonial Belanda maupun masa pendudukan Jepang.
Pada awal kemerdekaan, tuntutan Yogyakarta yang diwakili oleh Pangeran Puruboyo pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 untuk menjadikan kooti sebagai daerah yang otonom penuh ditolak oleh Soekarno karena dianggap bertentangan dengan bentuk kesatuan yang telah dipilih Indonesia. Dengan mengabulkan tuntutan Yogyakarta berarti ada negara di dalam negara karena koti/kooti untuk merujuk pada salah satu wilayah bentukan Jepang yang berhak mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri yang pada masa Kolonial Belanda dikenal sebagai zelfbestuurende lanschappen. Alotnya pergulatan mengenai status kooti ini membuat PPKI memilih menunda dan menetapkan ‘status quo’ pada kooti sampai peraturan perundangan mengenai pemerintah daerah terwujud. Penundaan ini juga ‘dibaca’ sebagai upaya untuk menunggu dahulu sikap dua kerajaan di Yogyakarta (Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam) terhadap kemerdekaan Indonesia.
Keraguan Jakarta terhadap Yogyakarta pun kemudian dijawab dengan keluarnya pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang kemudian disusul oleh sikap yang sama dari Sri Paduka Paku Alam VIII untuk bergabung dalam Republik Indonesia melalui dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Keluarnya dekrit sebagai sikap kedua kerajaan di Yogyakarta atas kemerdekaan Indonesia tidak serta merta menyelesaikan persoalan posisi keduanya didalam negara Republik Indonesia.
Meskipun sikap Jakarta tentang posisi daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus diri sendiri belum terbentuk, kedua penguasa kerajaan di Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII justru mengeluarkan kesepakatan untuk menyatukan kekuasaan dalam satu bendera daerah dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejalan dengan penyatuan dua kekuasaan monarkhi yang ada di Yogyakarta ini dikeluarkan pula maklumat 18 Mei 1946 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan Yogyakarta dengan membagi kewenangan antara legislatif dan eksekutif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan daerah, Dewan kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kelurahan. Sementara kekuasaan eksekutif dipegang secara bersama-sama antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Paduka Paku Alam VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota serta Bupati Pamong Praja Kabupaten.
Proses integrasi Yogyakarta dengan Negara Republik Indonesia tentulah membawa konsekuensi masuknya sistem pemerintahan modern dalam sistem kerajaan dan kesultanan Yogyakarta meski status istimewa telah diberikan dengan keluarnya undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang penetapan aturan-aturan pokok mengenai Pemerintahan di daerah-daerah yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Ada logika-logika meritokrasi yang mesti ‘dipatuhi’ oleh Yogyakarta ketika menyatakan diri masuk dalam Negara Republik Indonesia. Tetapi konsep kekuasaan eksekutif di tangan Sultan beserta para bupati ini justru menjadi semacam jembatan pertemuan antara sistem tradisional dengan sistem pemerintahan modern hingga menyebabkan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta relatif ‘terjaga’ hingga sekarang.
Konsep ini relatif tetap bertahan dan berjalan dengan derajat yang ‘berbeda’ meski berbagai perubahan dari sisi peraturan perundangan yang mengatur posisi daerah-daerah yang memiliki kewenangan mengatur rumah tangga sendiri telah dijalankan. Pada jaman dahulu para bupati yang membawahi daerah-daerah administrasi di bawah kesultanan semacam Kabupaten Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulon Progo otomatis memangku jabatan juga sebagai kepala birokrasi kerajaan atau abdi dalem keprajan. Struktur ini yang menjadi cikal bakal penopang kuatnya kekuasaan Kesultanan Yogyakarta hingga sekarang meskipun telah bergabung dengan Pemerintahan Republik Indonesia. Sistem ini relatif mudah dilaksanakan oleh pihak kerajaan karena pemangku atau yang menjadi bupati di beberapa wilayah tersebut masih memiliki hubungan ‘kekeluargaan’ dengan pihak kerajaan. Melalui jenjang kepangkatan yang berbeda masing-masing dari mereka berhak menyandang gelar kepangkatan yang berlaku di dalam sistem pemerintahan kerajaan.
Bagaimana dengan kondisi sekarang dimana posisi-posisi bupati hingga tingkat kelurahan dan desa tidak serta merta diisi oleh pihak keluarga kerajaan karena berbagai sistem pemerintahan yang mengaturnya. Jabatan politis yang dipangku oleh Bupati dan Walikota yang dipilih secara langsung oleh rakyat maupun jajaran birokrasi pemerintahan yang tersebar di seluruh tingkatan wilayah kabupaten/kota hingga tingkat kelurahan logikanya akan memutus mata rantai hubungan antara sistem pemerintahan modern dengan sistem tradisional milik kerajaan.  Tetapi dalam kenyataannya sistem pemerintahan kerajaan yang tercermin dalam konsep abdi dalem ini relatif masih bertahan hingga sekarang.
Ada dua jalur yang digunakan oleh pihak kerajaan untuk ‘mengikat’ masyarakat dan birokrasi pemerintahan di Yogyakarta dalam sistem pemerintahan kerajaan yaitu melalui konsep abdi dalem punokawan dan abdi dalem keprajan. Abdi dalem punokawan adalah kesempatan yang diberikan oleh pihak kerajaan Yogyakarta bagi masyarakat luas untuk menjadi abdi dalem (dalam kamus bahasa Indonesia abdi berarti bawahan, pelayan, hamba atau budak tebusan) di dalam keraton Yogyakarta. Abdi dalem punokawan ini layaknya seoang pegawai yang memiliki tugas pokok dan gaji sesuai dengan pangkat dan kedudukan (kalenggahan). Jenjang pangkatnya dari posisi terendah hingga tertinggi meliputi magang, jajar, bekel enom, bekel sepuh, lurah enom, lurah sepuh, penewu, wedono, riyo bupati anom, bupati anom, bupati kliwon, bupati nayoko, dan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH). Kenaikan pangkat berlaku empat tahun sekali dan memenuhi daftar hadir serta ‘sowan bekti’ (ritual untuk menunjukkan kesetiaan). Meskipun pangkat dapat naik setiap empat tahun terakhir tetapi dua pangkat tertinggi (bupati nayaka dan KPH) menjadi wewenang kraton (mirunggan). Ada beberapa konpensasi yang bisa didapatkan oleh orang-orang yang menjadi abdi dalem punokawan dari gelar dan nama pemberian kerajaan hingga ‘kalungguhan’ yang bisa disandang oleh mereka.
Sementara itu abdi dalem keprajan adalah kesempatan bagi birokrat-birokrat yang ada di Yogyakarta (bahkan dalam beberapa kasus berasal dari luar Yogyakarta) untuk mendapatkan gelar kepangkatan yang berlaku dalam sistem pemerintahan kerajaan. Untuk menjadi abdi dalem keprajan relatif lebih ‘mudah’ dibanding menjadi abdi dalem punokawan berdasarkan tanggung jawab yang mesti diembannya. Selain itu abdi dalem keprajan menggunakan sistem kepangkatan yang sama digunakan oleh Pegawai Negeri Sipil. Jika seseorang mengajukan diri menjadi abdi dalem keprajan maka golongan yang dimiliki dalam jenjang kepangkatan Pegawai Negeri Sipil yang dijadikan pijakan untuk memberi pangkat dalam sistem kerajaan Yogyakarta. Abdi dalem keprajan tidak menerima gaji tetapi wajib mengikuti beberapa kegiatan seperti sowan bekti, acara ngabekten, grebegan, jamasan pasak, mios dan kudur gongso dll. Kenaikan pangkat abdi dalem keprajan sama dengan abdi dalem punokawan yaitu setiap empat tahun sekali  dengan mendasarkan pada sikap dan perilakunya yang baik. Kedua bentuk abdi dalem ini menggambarkan adanya hubungan yang saling menguntungkan diantara keduanya. Bagi keraton keberadaan abdi dalem adalah sebagai pengukur pengaruh dan eksistensi serta penerimaan masyarakat akan kekuasaan kerajaan. Sementara bagi masyarakat yang memilih untuk menjadi abdi dalem ada semacam kepuasan batin (ngalap berkah) dan posisi yang bergengsi secara sosial akibat gelar maupun nama pemberian pihak kerajaan Yogyakarta kepada mereka.
Dari semua penjelasan mengenai konsep birokrasi kerajaan yang tercermin dalam abdi dalem punokawan dan keprajan ini terlihat bahwa keberadaan mereka menjadi salah satu mesin penopang eksistensi kerajaan Yogyakarta. Kerajaan Yogyakarta mampu membangun sistem pemerintahan yang ‘berbeda’ yang merupakan perpaduan antara sistem tradisional kerajaan dengan sistem birokrasi modern. Di satu sisi kerajaan Yogyakarta membangun birokrasi tradisional melalui abdi dalem punokawan yang bertugas mengurusi urusan domestik kerajaan. Sementara di sisi lain kerajaan Yogyakarta tetap tidak ketinggalan pengaruhnya dalam sistem birokrasi modern milik Negara Republik Indonesia karena hubungan yang dibangun melalui abdi dalem keprajan. Tidak mengherankan jika kerajaan Yogyakarta termasuk diantara sejumlah kerajaan di Nusantara yang masih mampu menjaga eksistensi kekuasaan karena ‘kepandaiannya’ menjaga modal kultural dan mengkonversinya sesuai kebutuhan jaman.

  

BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah

3.2         Saran
Ø Diharapkan kedepannya dapat tetap menjaga dan melestarikan warisan kebudayaan bangsa khususnya tradisi yang ada di dalam keraton agar tidak punah tergerus oleh perkembangan zaman.
Ø Bagi pemerintah daerah DIY, diharapkan lebih aktif mempromosikan tempat – tempat wisata ada di daerah Jogyakarta, khususnya keraton Yogyakarta yang merupakan ciri khas dari DIY kepada para wisatawan lokal maupun mancanegara. Agar bisa menambah anggaran pendapatan daerah. karena pariwisata didaerah ini merupakan salahsatu penopang terbesar bagi pendapatan asli daerah.


  
DAFTAR PUSTAKA




No comments:

Post a Comment