Thursday, December 20, 2012

Artikel Kepemimpinan Sunda

                                             KEPEMIMPINAN MASYARAKAT SUNDA


PENDAHULUAN

Dalam kehidupan masyarakat tradisional atau adat, pola kepemimpinan di antara mereka tidak berdasarkan pada keinginan, cita-cita atau ambisi seseorang, apalagi jika ambisi tersebut diperjuangkan dengan cara-cara yang tidak sepantasnya.

Pemimpin yang tampil, pasti adalah orang yang secara alamiah sudah teruji dalam bayak hal, baik dedikasi, kemampuan, ketulusan dan juga kesiapan memegang amanah. Sedangkan kedudukan atau jabatan apapun, baik di birokrasi, partai, ormas, atau perusahaan, selalu akan menjadi rebutan.

Dari proses kepemimpinan yang penuh permainan dan manipulasi tentunya kita tidak bisa berharap banyak akan munculnya tokoh yang mampu memegang amanah. Kita bisa memprediksi siapapun yang terpilih menjadi presiden, gubernur, bupati, atau walikotapasti akan berpikir ekonomis terlebih dahulu, misalnya menghitung berapa uang yang sudah dikeluarkan selama proses pencalonan dan kampanye.

Merenungkan kearifan lokal bukan berarti kembali ke masa lalu atau menjadi masyarakat tradisional lagi, namun mencari mutiara-mutiara para leluhur dan menjadikannya sebagai pegangan setiap langkah ke depan. Seperti halnya kampung-kampung adat, bukankah negara atau pemerintahan kita juga mempunyai pamali, mempunyai undang-undang atau aturan main, seperti halnya masyarakat Sunda yang memiliki cara atau bentuk kepemimpinan yang berbeda dengan masyarakat yang lainnya.

                                                          PEMBAHASAN

Masyarakat “tradisional” Sunda adalah masyarakat yang memiliki cara pandang kosmologis yang dibentuk oleh sistem kebudayaan ladang atau huma. Sistem yang secara “alamiah” membentuk pribadi yang cenderung memiliki sifat individual dan tidak atau kurang memiliki kepedulian terhadap dunia di luar dirinya (sosial). Masyarakat dengan sistem kebudayaan ladang atau huma (Sunda) tidak memiliki kepentingan terhadap kerjasama sosial bila dibandingkan pada masyarakat sawah. Dengan demikian, sangat sulit mengharapkan kepedulian masyarakat Sunda untuk terlibat dalam persoalan yang berkenaan dengan sesuatu yang berada di luar dunianya. Sedangkan masyarakat Sunda “modern”, yaitu masyarakat Sunda yang kini berada dalam derasnya gelombang perubahan yang terjadi secara cepat dan tidak terduga.

Solidaritas sosial masyarakat Sunda lebih dibangun oleh ikatan keluarga (kerabat dekat). Hal ini merupakan proyeksi dari pola penggarapan huma yang digarap oleh keluarga dan kalau pun memerlukan bantuan mereka dapatkan dari keluarga dekatnya. Oleh karena itu, dalam masyarakat tradisional Sunda, sering ditemukan dalam satu kampung yang dihuni oleh masyarakat yang satu sama lainnya memiliki hubungan keluarga yang berasal dari satu keturunan. Kalau pun terdapat dari luar keluarga bisa dipastikan karena adanya ikatan tertentu (perkawinan) yang membuatnya menjadi bagian dari keluarga besar dari masyarakat tersebut, yaitu melalui pernikahan.

Sikap menutup diri (tidak peduli) masyarakat Sunda dari intervensi keluarga lain dan dari urusan keluarga lain merefleksikan terhadap sikap politiknya. Terdapat, paling tidak, dua sikap masyarakat Sunda ketika berhadapan dengan intervensi dari luar keluarganya, yaitu melawan atau diam. Ketika ia merasa mampu dan dianggap telah menyinggung harga dirinya, perlawanan akan dilakukan secara sengit. Akan tetapi, apabila tidak mampu melawan atau dianggap tidak menyinggung apalagi tidak berhubungan dengan kepentingan keluarganya, mereka cenderung mengambil sikap diam, atau bahkan tidak peduli.

Dalam dunia politik, keterlibatan seseorang (seorang Sunda) lebih disikapi sebagai persoalan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan dan kepentingan masyarakat Sunda secara makro. Keterlibatan seorang individu dari kalangan masyarakat Sunda tidak pernah dipandang sebagai wakil dari keseluruhan masyarakatnya, sejauh berhubungan dengan persoalan politik.

Keterlibatan politis masyarakat awam (somah, di luar link keluarga kerajaan) dalam urusan kenegaraan baru terjadi pada masa penaklukan (melalui perkawinan) Mataram atas Sunda. Banyak masyarakat awam yang berkesempatan menduduki Jabatan strategis, pada masa itu. Kondisi ini digambarkan dalam legenda Pun Boncel. Legenda yang menceritakan bagaimana seorang anak cacah (somah) menjadi priayi. Namun demikian, pencapaian ini seperti digambarkan dalam legenda tersebut, dianggap telah menodai kesucian nilai-nilai primordial (disimbolkan oleh ibu): yang digambarkan sebagi penolakkan anak (kaum somah, yang harus ta’at bukannya memerintah) terhadap ibu (nilai-nilai primordial orang Sunda).

Pengalaman sejarah tersebut tampaknya telah membentuk wilayah sub-sadar masyarakat Sunda, sehingga melahirkan beberapa sikap politik masyarakat Sunda yang cenderung pasif. Peristiwa perpecahan politik dalam sejarah Sunda menjadi trauma politik yang tertanam dalam alam bawah sadar masyarakat Sunda, sehingga mereka cenderung selalu curiga terhadap keterlibatan seseorang dalam kancah politik dan kenegaraan. Sehingga masyarakat Sunda cenderung mengambil sikap diam atau pasif (tidak mendukung dan tidak menampakkan sikap menentang) terhadap individu tertentu yang melibatkan diri dalam percaturan politik, dan cendrung menghindari konflik. Hal tersebut melahirkan sikap tidak pernah memandang positif terhadap keterlibatan somah (wong cilik) dalam percaturan politik dan urusan kenegaraan. Karena, urusan politik adalah urusan (keluarga) kerajaan bukan urusan rakyat. Sebagai bukti, jangankan persoalan politik (kepemimpinan politik) pada skala nasional, bahkan persolaan kepemimpinan politik pada skala regional pun jarang (untuk tidak mengatakan tidak pernah) menjadi bahan pembicaraan serius di kalangan masyarakat Sunda akar rumput, kecuali hanya sebagai pembicaraan sambil lalu.

Maka wajarlah bila sejumlah tulisan berkenaan dengan kepemimpinan (politik) masyarakat Sunda sampai pada suatu kesimpulan yang kurang lebih sama, yaitu sikap pesimis terhadap masa depan partisipasi dan kepemimpinan politik dari masyarakat Sunda. Dengan kata lain, sangat sulit untuk diharapkan tampilnya sosok pemimpin politik dari kalangan masyarakat Sunda yang didukung oleh masyarakatnya sendiri. Sikap pesimis tersebut memang bisa dimaklumi bila melihat indikasi sedikitnya (untuk tidak mengatakan tidak ada) tokoh politik Sunda yang kini manggung dalam pentas politik Nasional. Kalau pun ada bisa dipastikan bukan tampil karena dukungan masa masyarakat Sunda.

Menurut penelitian Robert Wessing, seperti yang pernah dikutip Jakob Sumardjo, pola kepemimpinan dalam masyarakat Sunda tradisional sangat unit, di mana hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya seperti hubungan guru dengan murid. Jika sang pemimpin diibaratkan isi, pengikutnya adalah wadah yang siap menampung limpahan isi. Kualitas dari kepemimpinan semacam ini sangat bergantung pada pribadi pemimpinnya. Seorang pemimpin yang berisi atau berkualitas akan terus mengalirkan isi atau kebaikan kepada para pengikutnya. Pola seperti ini sejalan dengan kepemimpinan dalam tradisi pesantren, di mana kiai adalah pemimpin sekaligus gurru. Kalau kiainya alim atau berisi, tentu santrinya juga akan turut menjadi alim dan berisi pula. Sebailknya, kalau kiainya malah sibuk berpolitik praktis, jangan heran kalau para santrinya akan menjadi broker-broker politik.

A.     KRISIS KEPEMIMPINAN ORANG SUNDA
Bagi orang Sunda, mencari seorang pemimpin selalu terkesan sangat sulit. Hal ini lebih disebabkan oleh kultur dan interpretasi yang keliru pada teks-teks agama yang mereka anggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam nilai budaya “urang Sunda”, maka yang lahir kemudian adalah krisis kepemimpinan yang berujung pada inferioritas orang Sunda dalam pergaulan di lingkup nasional.
Akar-akar historis krisis kepemimpinan orang Sunda yang dimaksud adalah serpihan-serpihan sejarah masa lalu, akumulasi nilai-nilai, dan struktur psikologis yang kita warisi dari masa lalu yang mengendap dalam kesadaran kolektif masyarakat Sunda. Inilah yang dalam ilmu sosiologi disebut “sistem nilai”. Atribut akar-akar krisis tersebut patut dikritisi karena elemen-elemen yang tumbuh pada masyarakat Sunda tadi telah membias sangat jauh dalam stuktur kolektif budaya Sunda dan aktivitas mereka kerap dimanfaatkan oleh para pemimpin “pusat” melalui struktur otoritas.

B.     INTERPRETASI AJARAN AGAMA
Masyarakat Sunda memiliki karakteristik budaya yang diharapkan oleh Islam, maka tidak salah apabila banyak kalangan menyebutkan bahwa budaya Sunda sebenarnya adalah Islam yang pada titik akhir selalu menyebut bahwa Sunda adalah Islam. Menjadi Islam berarti menyandarkan segala pola hidup kepada Al Quran dan Sunah Rasul sebagai pedoman hidup, termasuk dalam hal kepemimpinan. Kita memahami dalil, “Janganlah kamu meminta-minta jabatan”, dengan interpretasi “tidak boleh” mengejar kepemimpinan. Akhirnya yang sering kita saksikan adalah minimnya gaung orang Sunda untuk bersaing memperebutkan kepemimpinan baik di kandang sendiri lebih-lebih di lingkup nasional. Orang Sunda lebih memilih tidak ikut-ikutan dan “mangga akang bae ka payun” daripada harus “berkeringat” menjadi yang terbaik. Hal-hal tersebut sangat tampak dalam pergaulan antar etnis, sipil militer, senior dan junior.

Dalam pergaulan nasional, ketika semua orang dari berbagai daerah dan etnis berkumpul, orang Sunda lebih memilih duduk paling belakang sementara bagian depan “dipersilakan” untuk “diduduki” orang lain. Dalam kasus lain, menjelang berjemaah salat Zuhur para ajengan saling dorong untuk menjadi imam dan semuanya tidak percaya diri karena menganggap rekan mereka yang lebih pantas. Lalu, datanglah seorang berjambang lebat, memakai jubah, dan sorban maju menjadi imam. Semua tentu tidak menolak. Kemudian yang terjadi adalah bacaan al-Fatihah dan suratnya dikeraskan, tidak ruku, tapi terus sujud. Salat menjadi tidak beraturan karena ternyata yang menjadi imam adalah orang gila.

Sejujurnya, fenomena yang kita tampilkan dalam bentuk seperti itu bukan merupakan interpretasi yang benar dari nash. Akhirnya yang tampak dari konsep “mangga ka payun” itu adalah sikap ketidakikhlasan. Mendorong orang lain untuk tampil itu sebenarnya mencari dukungan balik untuknya. Oleh karena itu, kita saksikan di beberapa daerah terjadi pencopotan sekda dan pejabat-pejabat teras lainnya karena walikota atau bupati gerah terhadap bawahannya itu yang ternyata lebih mendapat simpati masyarakat.
Yang dibutuhkan sekarang dari orang Sunda adalah jiwa ksatria. Ia harus berani tampil agresif, menawarkan konsep, dan mengemukakan kemampuannya untuk menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi termaju di Indonesia. Kita harus mulai mengubah pemahaman teks agama dengan interpretasi modern. Berani tampil berdasarkan kemampuan dan bukan atas dasar mencari sesuatu. Kepemimpinan itu memang harus diperjuangkan. Karena menjadi pemimpin adalah amanah, ia harus didukung oleh perangkat ilmu pengetahuan yang cukup dan track-record yang bersih. Ia harus sanggup menjaga, melindungi, dan melestarikan masyarakat dan lingkungannya dengan baik dan jangan membiarkan yang telah rusak menjadi lebih rusak.

C.     KEPEMIMPINAN ORANG SUNDA MENURUT PERSPEKTIF IBNU KHALDUN
Dalam pandangan Ibnu Khaldun kepemimpinan adalah sunnatulloh. Runtuh dan kokohnya suatu kekuasaan sangat bergantung pada ashobiyah (solidaritas sosial). Konsep ashobiyah ini menyiratkan perlunya ruang bagi konflik kepentingan antarpenguasa dan yang dikuasai sehingga kedua belah pihak saling memiliki posisi tawar-menawar untuk mencapai kepentingan yang saling menguntungkan.

Kepemimpinan berdasarkan ashobiyah tersebut, menurut Ibnu Khaldun memiliki enam karakter.
Berpengetahuan disertai kesanggupan untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan hukum. Menurut Ibnu Khaldun, seorang pemimpin harus menempatkan hukum sebagai aturan yang pokok. Ia sendiri tidak boleh bermain dan mempermainkan hukum.

Adil. Artinya bersikap jujur, berpegang pada keadilan, dan memiliki sifat-sifat moral yang baik sehingga perkataan dan tindakannya dapat dipercaya.
Memiliki kesanggupan menjalankan tugas-tugas yang dituntut dari padanya sebagai pemimpin pemerintahan, termasuk melaksanakan hukum yang diputuskan secara konsekuen.
Secara fisik dan mental, ia harus bebas dari cacat yang tidak memungkinkan ia dapat menjalankan tugas sebagai pemimpin yang baik.

Pemimpin sebuah pemerintahan harus berasal dan dipilih dari suku sendiri.
Pemimpin harus lemah lembut dan sopan santun terhadap pengikutnya dan harus mengutamakan kepentingan rakyat dan wajib membelanya dan juga tidak mencari-cari kesalahan rakyat.
Keenam teori Ibnu Khaldun ini merupakan bukti nyata dalam setiap pola kepemimpinan manapun terlebih sebagai mantan aparatur pemerintahan pada zamannya; Ibnu Khaldun pernah merasakan bahwa kepemimpinan yang didukung masyarakat yang berdasarkan solidaritas sosial dan berasal dari suku sendiri akan mampu menjadikan pemerintahannya menjadi kokoh.

                                                            KESIMPULAN
 Masyarakat “tradisional” Sunda adalah masyarakat yang memiliki cara pandang kosmologis yang dibentuk oleh sistem kebudayaan lading atau huma. Sistem yang secara “alamiah” membentuk pribadi yang cenderung memiliki sifat individual dan tidak atau kurang memiliki kepedulian terhadap dunia di luar dirinya (sosial). Dengan demikian, sangat sulit mengharapkan kepedulian masyarakat Sunda untuk terlibat dalam persoalan yang berkenaan dengan sesuatu yang berada di luar dunianya.

Dalam dunia politik, masyarakat Sunda cenderung menunjukkan sikap pesimis terhadap masa depan partisipasi dan kepemimpinan di bidang politik dari masyarakat Sunda. Dengan kata lain, sangat sulit untuk diharapkan tampilnya sosok pemimpin politik dari kalangan masyarakat Sunda yang didukung oleh masyarakatnya sendiri.

Yang harus dilakukan oleh orang Sunda sekarang adalah menumbuhkan jiwa ksatria pada diri sendiri. Sehingga, berani tampil agresif, menawarkan konsep dan menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Dan mulai mengubah pemahaman ajaran agama dengan interpretasi yang modern. Karena menjadi pemimpin adalah amanah, sehingga ia harus sanggup menjaga, melindungi, dan melestarikan masyarakat dan lingkungannya dengan baik.

Dan berdasarkan pandangan Ibnu Khaldun, seorang pemimpin yang baik itu harus memiliki enam karakter, yaitu memiliki pengetahuan, adil, memiliki kesanggupan menjalankan tugas, tidak cacat fisik dan mental, dipilih oleh sukunya sendiri, serta pemimpin harus lemah lembut dan mengutamakan kepentingan rakyatnya.





                                                                 DAFTAR PUSTAKA

Drs. Ahmad Gibson Al-Bustomi, M.Ag. Dosen Filsafat Ushuluddin IAIN Bandung. Sikap Politik Masyarakat Sunda.

No comments:

Post a Comment