ETIKA
KEPEMIMPINAN SUNDA
ALatar Belakang Masalah
Secara
umum kebudayaan atau kultur terejawantahkan dalam tiga aspek. Pertama,
sebagai suatu kelompok ide-ide atan gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
aturan-aturan dan sebagainya (cultural system).Kedua,
sebagai satu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia (social system). Dan ketiga, sebagai
benda-benda hasil karya manusia.
Sunda
sebagai salah satu etnis/ suku bangsa juga memiliki corak kebudayaan tertentu
yang berbeda dengan etnis lain yang ada di Indonesia ini. Kebudayaan
dalam aspek pertama yakni berupa ide, gagasan, norma (etika) dan aturan-aturan
termanifestasikan dalam kehidupan masyarakatnya. Lebih jelas lagi dapat dilihat
dalam struktur dan kultur masyarakat yakni etnis Sunda.
Struktur dan kultur tersebut tentu ada sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapainya dalam kehidupan bermasyarakat.
Setiap
bangsa termasuk etnis Sunda harus mengetahui dengan jelas kemana
arah tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itulah diperlukan adanya sebuah
pandangan hidup (way of life). Pandangan hidup atau filsafat
hidup adalah konsep yang dimiliki seseorang atau golongan dalam
suatu masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah
kehidupan di dunia. Filsafat hidup ini kemudian menjadi landasan atau dasar
suatu masyarakat dalam melakukan berbagai aktifitas dalam kehuidupannya, baik
sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial. Dengan filsafat /
pandangan hidup inilah suatu bangsa akan melihat persoalan-persoalan yang
dihadapinya dan menentukan arah serta cara memecahkan persoalan-persoalan yang
ada dihadapannya.
Ajip
Rosidi pernah mengungkapkan bahwa pandangan hidup orang sunda
terbagi menjadi lima aspek diantaranya: Pertama, pandangan
hidup tentang manusia sebagai pribadi; orang Sunda berpandangan bahwa
manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan senantiasa sadar bahwa dirinya
hanya bagian kecil saja dari alam semesta.
Kedua, pandangan
hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat; orang Sunda menghindari
persaingan, lebih mengutamakan kerja sama untuk kepentingan bersama. Lebih
menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Semangat
bekerjasama dalam masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan. Harus saling
hormat dan bertatakrama, sopan dalam berkata, sikap dan kelakuan. Harus saling
sayangi sesama anggota masyarakat.
Ketiga, Pandangan
hidup tentang hubungan manusia dengan alam; orang Sunda beranggapan bahwa
lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal kepada manusia apabila dijaga
kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan baik dan digunakan hanya
secukupnya saja. Kalau alam digunakan secara berlebihan apalagi kalau tidak
dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan
kesengsaraan.
Keempat, Pandangan
hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan; sejak pra-Islam, orang Sunda
percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu Esa. Meskipun pernah
memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di
bawah Sang Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal. Tuhan
Maha Mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat mahluk-Nya, karena itu manusia
wajib berbakti dan mengabdi kepada Tuhan.
Dan kelima,
pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan
batiniah; orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerjasama
untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak
mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada kecepatan
menyelesaikannya.
Jika
mempelajari filsafat hidup orang Sunda, sedikitnya mengandung dua
kepentingan, pertamakepentingan dalam sekala nasional dan global,
dan kedua kepentingan untuk suku Sunda itu sendiri. Orang
Sunda tumbuh sepanjang perjalanan sejarahnya dari dulu hingga sekarang dalam
lingkup lemah cai (tanah air)-nya yang kini dikenal sebagai
Jawa Barat.
Dalam
masalah politik dan kepemimpinan khususnya budaya politik, juga tidak
terlepas dari pandangan, termasuk pandangan hidup orang Sunda. Pandangan
hidup orang Sunda sebagai pribadi tercermin dalam beberapa babasan seperti “kudu
hade gogog hade tagog” yaitu harus baik budi bahasa dan
baik tingkah lakunya. Segala perkataan harus dipertimbangkan sebelum diucapkan
sebagai salah satu upaya mengendalikan diri. Hal ini terbukti ketika terjadinya
perseteruan politik pada akhir masa Orde Baru, kota Bandung tetap aman dan
terkendali. Proses politik yang memanas diseputaran Ibu Kota tidak sampai
pada Bandung sebagai puseurSunda (Jawa Barat).
Dalam
budaya Sunda pemimpin diartikan sebagai pusat yang dikelilingi oleh para
pengikut. Hubungan pengikut dan pemimpin di sini adalah hubungan dependen atau
saling berkaitan (hubungan ketergantungan kepada sang pusat, yaitu pemimpin). Pusat,
atau pemimpin dalam konteks ini memiliki posisi lebih tinggi daripada para
pengikutnya. Relasi keduanya bersifat suprior-imperior, dapat
dikatakan bahwa posisi pemimpin di atas dan pengikut di bawah. Pemimpin
diposisi atas, karena memang mempunyai kelebihan . Karena kelebihan atau
keistimewaan yang dimilikinya tersebut, maka setiap pemimpin dikatakan memiliki
“isi”, sedangkan para pengikutnya adalah “wadah” atau tempat. Pada mulanya si
pemimpin sendiri juga merupakan sebuah wadah, tetapi karena bakat dan usahanya,
maka wadah itu penuh isi.
Kualitas
kepemimpinan Sunda terletak pada kualitas pemimpinnya. Pemimpin
yang memiliki kualitas lebih (ilmu) akan mengalirkan ilmu tersebut, sesuai
dengan potensi wadah-wadah itu sendiri. Namun, tidak setiap pengikut berkembang
sama seperti pendahulunya, tetapi pengikut itu diberi kesempatan untuk
mengembangkan diri menjadi “pusat” baru dengan membentuk lingkungan pengikut sendiri.
Penyebaran “pusat” ini dilakukan secara bebas dan sukarela oleh para pengikut,
sesuai dengan potensi masing-masing.
Masyarakat
Sunda mengakui bahwa pemimpin Sunda yang disegani, artinya pemimpin yang penuh
dengan kualitas atau isi. Pemimpin seperti ini pasti akan mempunyai para
pengikut yang tersebar di mana-mana. Mereka kemudian lama kelamaam dapat
berdiri secara independent sebagai pusat-pusat baru yang
merdeka, dalam arti bahwa para murid hanya punya ikatan dengan guru-pusat,
tetapi tidak punya ikatan apapun antara sesama murid atau pengikut.
Dari
sisi kepemimpinan nasional, etnis Sunda yang merupakan etnis kedua di
negeri ini belum bisa menunjukan eksistensinya dikancah nasional. Padahal
secara sosiologis dan geografis Sunda memiliki keunggulan dibanding
dengan etnis lain misalnya Melayu atau Minang. Atas dasar itu
maka penelitian ini difokuskan pada etika kepemimpinan Sunda sebagai upaya
mengungkap sesuatu yang tersembunyi (nalar) yang melingkupi Masyarakat Sunda.
Penelitian
ini dilakukan karena secara faktual terjadi gap antara nilai-nilai
etis-filosofis terkait kepemimpinan Sunda dengan realitas yang terjadi dimana
orang Sunda belum bisa berbicara banyak terkait kepemimpinan nasional.
B Perumusan Masalah
Etnis
Sunda merupakan etnis terbesar kedua yang berada di Indonesia ini.
Secara politis dan geografis, Sunda memiliki peran strategis dalam kepemimpinan
nasional. Realitasnya, orang Sunda jarang sekali mengambil peran-peran
strategis itu. Ketika orang Sunda “manggung” terkadang meraka melepaskan
identitas kesundaannya. Dalam penelitian ini penulis hendak melihat landasan
etis-filosofis kepemimpinan Sunda. Bagaiman sesungungnya orang
Sunda melihat kepemimpinan?
Dari
rumusan masalah di atas maka penulis turunkan dalan beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
- Bagaimana struktur nalar etis-filosofis masyarakat Sunda?
- Apa yang menjadi landasan etis orang Sunda dalam mengejawantahkan kepemimpinannya?
- Sejauh Mana Pengeruh Etika Kepemimpinan Sunda dalam realitas kehidupan kontemporer?
CTujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian
di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana struktur nalar etis-filosofis masyarakat Sunda.
- Untuk mengkaji dan menganalisis apa yang menjadi landasan etis orang Sunda dalam mengejawantahkan kepemimpinannya.
- Untuk mengkaji dan menganalisis sejauh mana pengeruh etika kepemimpinan Sunda dalam realitas kehidupan kontemporer?
DKegunaan Penelitian
1Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat
mambantu mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya filsafat moral (etika)
diantaranya:
- penelitian ini dapat memperkaya khajanah rujukan dalam mempelajari filsafat lokal khususnya filsafat Sunda.
- Secara psikologis, masyarakat sunda yang nota bene merupakan komunitas terbesar kedua dapatmerumuskan konsepsi dasar kepemimpinannya.
- Selain itu, dapat pula menjadi bahan ajar dalam mata kuliah Etika II yang lebih menitikberaktan pada aspek etika masyarakat lokal.
2Secara praktis, hasil penelitian ini dapat
membantu mengembangkan aspek praktis dari ilmu filsafat diantaranya:
- Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi masyarakat Sunda khususnya dan masyarakat umum.
- Secara ilmiah etika kepemimpinan sunda ini telah terumuskan maka secara praktis masyarakat bisa mengembangkannya sesuai dengan realitas zaman.
EKajian Riset Sebelumnya
Secara
umum, riset atau penelitian yang sudah dilakukan pada masyarakat Sunda lebih
bersipat umum, misalnya: Pertama, kajian yang dilakukan oleh
Hidayat Suryalaga yang memfokuskan pada filsafat sunda secara umum. Kedua, Suwarsih
Warnaén dkk., mengkaji Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin
dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Ketiga, Yus Rusyana dkk,
memfokuskan kajian pada Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin
dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini.
Ajip
Rosidi juga melakukan pelbagai penelitian tentang Sunda dari berbagai segi
sosiologis, politis, filosofis dan psikologis. Kemudian kajian dari Dewi
Kurniasih yang membahas tentang Kepemimpinan Politik Orang Sunda.
Serta penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan Sunda sebagai objek
kajiannya.
Dalam penelitian ini pembahasan difokuskan
pada aspek kerifan-kearifan lokal (local wisdom) Sunda yang
menginspirasi model kepemimpinan orang Sunda. Local wisdom ini
menjadi landasan etis-filosofis orang Sunda dalam menghadapi isu kepemimpinan.
Adapun
teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori kritik nalar. Teori ini
dipakai untuk mengungkap struktur nalar yang digunakan sebuah komunitas atau
kelompok yang secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi pandangan hidup, sikap
dan prilaku kelompok tersebut.
F. Kerangka Teori.
Seperti
yang telah diketahui kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting
dalam kehidupan sosial, baik sebagai komunitas etnis, budaya, maupun
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini didasarkan atas asumsi
bahwa faktor kepemimpinan akan turut menentukan tercapai atau tidaknya tujuan
kelompok atau negara yang terwujud dalam sebuah model kebijakan dan
pembangunan.
Dalam
usaha memahami pola kepemimpinan dalam budaya Sunda, sebenarnya ada dua konsep
pendekatan yang dapat digunakan. Pertama, konsep “strategic
elite” dari yang dipopulerkan oleh Suzanna Keller (1963) dan kedua,
konsep “solidaririty makers dan administrator” dari
yang sipelopori oleh Herbert Feith (1962)
Suzanna
Keller bertitik tolak dari anggapan bahwa dalam setiap sektor kehidupan dalam
masyarakat itu terdapat sekelompok orang yang dianggap tokoh/ elitnya. Akan
tetapi, tidak semua anggota kelompok elit itu berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat. Di antara kelompok elit yang memiliki pengaruh kepada masyarakat
itu, disebut “strate elite”. Sedangkan Herbert Feith mengemukakan bahwa
ada tipe kepemimpinan lain yang disebut tipe administror yang mengutamakan
pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial dan organisasi negara pada umumnya.
Tipe kepemimpinan administrator itu dapat kita lihat dalam diri mantan Wakil
Presiden RI,Bung Hatta dan juga Juanda (yang notabene orang Sunda)
Figur
pemimpin ideal yang diharapkan orang Sunda adalah seorang pemimpin yang dapat
membawa fungsi atau peranan untuk menguasai, mengatur dan mengawasi agar tujuan
kolektif dapat tercapai dengan tetap menjaga nilai sosial kultural Sunda. Hal
inilah yang seringkali menjadi dasar bahwa otoritas tradisional dapat diterima
masyarakat tanpa mempersoalkan legitimasinya, begitu pula dalam hal
kepemimpinan Sunda.
Pendekatan
di atas, setidaknya dapat menerangkan peranan pemimpin Sunda dalam situasi
institusional atau konteks sosial kulturalnya. Hal ini sangat relevan dengan
studi perbandingan tentang pelbagai tipe kepemimpinan dalam belbagai situasi
kultural. Kepemimpinan Sunda masih memerlukan citra kepemimpinan yang bersifat
kharismatik disamping mitos-mitos orang diciptakan disekitarnya.
Secara
teoritis tipologi kepemimpinan Sunda bisa dilihat dari dua model di atas. Untuk
bisa menggali secara mendalam landasan etis-filosofis kepemimpinan
Sunda, maka perlu kiranya penulis menggali strtuktur
nalar etis-filosofis masyarakat Sunda. Untuk membongkar struktur
nalar tersebut maka digunakanlah teori ‘Kritik Nalar’ yang di populerkan
Mohamad Abed Al-Jabiri dalam membongkara nalar Arab (naqd al-aql
al-arabi)dan Muhammad Arkoun dalam membongkar nalar Islam (naqd
al-aql al-islami). Dengan menggunakan kritik nalar tersebut diharapkan bisa
mengungkap selubung-selubung ideologis yang membatasi orang Sunda dalam
mengejawantahkan kepemimpinannya.
GHipotesis
Jika
asumsi tersebut dihubungkan dengan masalah penelitian di atas, maka dapat
dikemukakan beberapa hipotesis sebagai berikut
- Secara teoritis masyarakat Sunda memiliki struktur nalar etis-filosofis yang menjadi nalar dalam kehidupan
- Sikap dan prilaku kepemimpinan orang Sunda dipengaruhi oleh etika kepemimpinan Sunda yang sudah menjadi nalar dalam kehidupan masyarakatnya.
HMetode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode/
pendekatan kualitatif, karena data yang dikumpulkan lebih bersifat teoritis dan
tidak memelukan variabel pengubah data (yang biasanya dipake dalam penelitian
kuantitatif).
2. Sumber Data
a. Data primer
Data primer diambil dari sumber
pustaka yang ditulis oleh orang Sunda yang relepan dengan kajian ini. Selain
itu juga data ini diambil dari hasil wawancara dengan tokoh atau masyarakat
terkait dengan tema penelitian ini.
b. Data sekunder
Data sekunder diambil dari sumber
pustaka yang mendukung pada penelitian ini.
3. Jenis data
Data yang dukumpulkan dalam penelitian
ini daalah data kualitatif yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik
dan konsep-konsep yang terkait dengan etika kepemimpiana Sunda. Selain itu,
data juga berbentuk pendapat dan pandangan tokoh berkaitan dengan konsep di
atas.
4. Teknik pengumpulan data
Adapun tehnik pengumpulan data
melalui dua cara, yaitu book survey dan wawancara. Book survey
dilakukan karena data-data yang diambil dari penelitian ini berasal dari buku
dan model pustaka yang lain. Guna melengkapi data pustaka tersebut, kemudian
dilakukan wawancara kepada para tokoh Sunda dan pemerhati/ ahli kesundaan. Dari
dua langkah ini diharapkan data yang terkumpul dalam penelitian ini akan saling
melengkapi.
5. Pengolahan dan analisis data
Dalam penelitian kualitatif analisis
data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan secara induktif dengan
alasan bahwa: Pertama, penelitian kualitatif memperhatikan
kenyataan-kenyataan ganda sebagaimana terdapat dalam data. Kedua,
hubungan peneliti dan objek menjadi eksplisit. Ketiga, latar
peneliti menjadi lebih jelas sehingga makna kontekstual dari data bisa
terungkap. Dan keempat, hubungan antara fakta atau gejala dapat
diungap secara mendalam.
Adapun tahapan yang ditempuh dalam
proses analisis data adalah sebagai berikut:
a. Pemrosesan satuan data. Dalam tahapan ini peneliti
mempelajari seluruh data yang terkumpul, diklasifikasi sesuai dengan tipe dan
karakteristiknya. Dalam tahapan ini dilakukan reduksi dengan memilih hal-hal
yang pokok yang sesuai dengan tema/ masalah yang penting.
b. Kategorisasi. Dalam proses ini peneliti membuat
keriteria-keriteria masalah sebagai pedoman dalam tahap kategorisasi ini.
c. Penafsiran data. Target dari penafsiran data ini
adalah diperoleh deskrifsi komprehensif mengenai masalah dlam penelitian ini.
No comments:
Post a Comment