FIGUR PEMIMPIN MASYARAKAT SUNDA
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
dari Mata Kuliah Bahasa dan Sastra Sunda Pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen
: Dr. Hj. Iis Ristiani M.Pd
Disusun Oleh :
Lan
Lan Risdiana
01020201080192
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SURYAKANCANA
CIANJUR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bila diibaratkan, budaya
merupakan akar dari sebuah pohon bernama Indonesia. Maka kebudayaan adalah
identitas dari suatu bangsa yang wajib dipertahankan dan dilestarikan.
Maysarakat yang tak berbudaya akan menciptakan lingkungan masyarakat yang tidak
stabil. Salah satu faktor pembentuk dan penjaga kelestarian suatu kebudayaan
adalah figur pemimpin.
Pemimpin adalah mata bagi
orang yang buta, penunjuk arah bagi orang tersesat. Seorang pemimpin sejatinya
menjadi pikiran dan hatinya dunia. Seperti hati dan pikiran diri kita, mustahil
seorang bisa hidup tanpa keduanya.
Melihat kondisi kepemimpinan di negara tercinta, kita mungkin sepakat
negara kita sekarang tengah mengalami krisis kepemimpinan, yang mana berdampak
langsung pada berbagai aspek di masarakat seperti sosial, politik, budaya,
agama, dan lainya.
Kepemimpinan seorang
pemimpin adalah motor utama penggerak suatu bangsa. Melalui penelitian terhadap
kepemimpinan dalam pemimpin Sunda Kuno yang bersumber pada naskah-naskah buhun (kuno)
dan wawancara dengan para ahli, penyusun akan mendeskripsikan dan mengguar
seperti apa figur pemimpin yang baik dan ideal dalam tataran masyarakat Sunda
tempo dulu. Siapa tahu hal ini dapat menginspirasi dan merubah tataran dan pola
pikir para pemimpin dan calon seorang pemimpin di masa ini.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah dikemukakan sebelumnya, maka perlu diidentifikasikan beberapa
masalah untuk dipaparkan yaitu sebagai berikut.
a.
Bagaimana figur pemimpin Sunda di masa
lalu?
b.
Bagaimana menjadi pemimpin yang ideal
berdasarkan kriteria naskah Sunda Kuno?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah
ini yaitu:
a.
Mendeskripsikan figur pemimpin Sunda di
masa lalu
b.
Memberikan gambaran yang jelas tentang
kepemimpinan, agar dapat menjadi cerminan untuk masyarakat di masa kini.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
Negara Indonesia adalah
negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama.
Semboyan Bhineka Tunggal Ikamenandakan bahwa kita negara yang
majemuk, namun terlepas dari itu meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu
tujuan.
Kebudayaan dan pola pikir bangsa
Indonesia, merupakan gabungan dari berbagai budaya dari suku-suku bangsa yang
ada di Indonesia. Dalam hal kepemimpinan yang menjadi motornya, bangsa
Indonesia pun tentu tidak terlepas dari pengaruh dan nilai-nilai yang ada
berakar budaya dari suku-suku bangsa yang ada di nusantara. Namun, apabila kita
memperhatikan sistem kepemimpinan negara kita saat ini, pemerintah lebih
dominan dengan sistem pemerintahan negara-negara Barat. Yang mana, sistem
pemerintahan dengan nilai-nilai lokal (suku bangsanya masing-masing) kian jauh
ditinggalkan.
Pemimpin, tentunya tidak
selalu dititikberatkan dalam tataran pemerintahan, tetapi pribadi kita sendiri
adalah pemimpin bagi jiwa dan badan kita sendiri, yang mana setiap gerak gerik
dan tingkah laku kita akan dipertanggung jawabkan baik langsung maupun tidak
langsung terhadap diri kita sendiri, keluarga, bahkan umat dan masyarakat.
Kita tentu memahami bahwa
setiap pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab dan juga bisa menghantarkan
yang dipimpinnya ke jalan yang lebih baik, bermartabat, berakhlak mulia, baik
di dunia ataupun akhirat kelak.
Hidayat Suryalaga mengatakan
dalam bukunya, seseorang disebut sebagai pemimpin tentulah harus mempunyai
konsep (ide, pemikiran), norma (aturan), dan aktualisasinya (perilaku) kepemimpinannya.
Intisari kepemimpinan adalah kualitas tingkah laku dan kemampuan individu dalam
berinteraksi sosial untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama (2009:
129).
2.1 Figur Pemimpin Sunda yang
Kharismatik dan Melegenda, “Prabu Siliwangi”
Ada satu nama yang
kharismatik, dikenang dan selalu dirindukan masyarakat Sunda karena
kepemimpinannya yang melegenda, bahkan masih terkenal dan dihormati sampai
sekarang. Begitu kuat kharismanya sehingga menembus dunia sastra,
historiografi, mitologi bahkan pada tataran ontologi dan religi.
Nama yang menjadi buah bibir
dan panutan batiniah orang Sunda itu adalah Prabu Siliwangi, namanya pekat
bernuansakan mitos. Nama lainnya ialah Jayadewata, Prabu Guru Dewata Prama, Sri
Sang Ratu Dewata, Kekeumbingan Raja Sunu, Manah Rasa dikenal pula dengan
julukan “Sri Baduga Maharaja”, memerintah kerajaan Padjadjaran 1482 – 1521
Masehi. Setelah wafat disebut dengan nama Prabu Ratu. (Suryalaga, H.R Hidayat;
2009:130).
Di Jawa Barat, Sri Baduga
ini lebih dikenal dengan nama Prabu
Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630sebagai
lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 Masehi ketika Sri Baduga masih
hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini
menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga
mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias
Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama, orang
segan bahkan tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru
pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam
literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama
pribadi, ia menulis:
“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang
Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran
swaraga nira“.
Indonesia: Hanya orang Sunda
dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi
raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
Prasasti Batutulis di Bogor menyebutkan keagungan Sri
Baduga Maharaja dalam sejarah.
2.2 Naskah Kuno: Sanghyang
Siksakandang Karesian
Naska kuno Sanghyang Siksa Kandang
Karesian (SSKK) ditulis dengan menggunakan aksara sunda kuno, diatas tujuh
lembar daun lontar. Bertitimangsa tahun 1518 Masehi, tanpa diketahui siapa nama
penulisnya. Naskah aslinya disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor
Kropak 630.
Keberadaan SSKK ibarat penerang
ditengah kegelapan informasi mengenai kehidupan orang Sunda di masa lampau.
Begitu lengkap informasi yang disampaikannya, sehingga ada yang menamakannya
Ensiklopedi Sunda pada zamannya.
Transkripsi naskah SSKK dilakukan oleh
Atja, dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-16 Universitas Padjadjaran
Bandung. Sekaligus merupakan hasil penelitian kembali naskah-naskah kuno dari
Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
Dalam kata pengantarnya dikatakan
bahwa pemilihan naskah tersebut untuk menyambut Dies Natalis ke-16 Unpad ialah
karena kebetulan mempunyai hal-hal yang menarik baik isi maupun kesamaan angka
16-nya. Hal-hal itu adalah :
a. Siksa
Kandang Karesian mempunyai isi semacam ensiklopedi tentang pemerintahan,
kepercayaan, kebudayaan, kesusastraan, pertanian, etika, kemiliteran, dan
lain-lain, dari masyarakat Sunda
b. Siksa
Kandang Karesian sebuah naskah Kuno yang mempunyai Candrasangkala yang
berbunyi: nora catur sagara wulan, bila dibuat tahun Saka ialah 1440, sama
dengan tahun 1518AD, atau awal abad ke-16 Masehi.
c. Siksa
Kandang Karesian penting ditranskripsi dan diterjemahkan untuk dijadikan salah
satu sumber dalam penelitian, penulisan sejarah, kebudayaan, sastra, kesenian,
kepercayaan dari masyarakat Sunda awal abad ke-16 Masehi.
d.
Belum pernah diterjemahkan dan betapa pentingnya
naskah ini. Jelas dikemukakan oleh Drs. Amis Sutaarga dalam penelitian
sementaranya yang berjudul Prabu Siliwangi, atau Ratu Pakuan Guru Dewata Prana
Sri Baduga Maha Raja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran 1471-1513, penerbit P.T.
Duta Rakyat Bandung, hal.55, yang berbunyi : “Amat disayangkan, bahwa naskah
ini (yang dimaskud adalah Siksa Kandang Karesian) yang sampai sekarang (waktu
itu tahun 1965) masih tersimpan dalam koleksi naskah-naskah Museum Pusat di
Jakarta belum pernah dibuat transkripsi dan terjemahannya”.
Isi naskah SSKK tidak merupakan suatu
kisah atau cerita sebagaimana Carita Ratu Pakuan, melainkan berisi petunjuk dan
bimbingan hidup dan kehidupan manusia di dunia agar mencapai kebahagiaan
(mapahayu) dan keunggulan. Dan yang memberikan petunjuk (warahakna) atau petuah
adalah Sang Sadu, dan agar menjadi peringatan bagi semua orang. Hal nampak
dalam kalimat permulaanya berbunyi : ” ndah nihan warahakna sang sadu,
de sang mamaet hayu. Hana Sanghyang siksakanda (ng) Karesian ngaranya;
kayat-nakna wong sakabeh”
Menurut Saleh Danasasmita bahwa SSKK
ditulis pada masa Pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M). Sri Baduga
Maharaja adalah cucu dari Wastu Kancana, yang pernah tinggal di keraton
Surawisesa di Kawali, sehingga dapat disimpulkan, ia mengetahui benar filsafat
hidup zaman kakeknya. Menurut Saleh Danasasmita, bahwa dalam Keropak 630 SSKK
tersebut terdapat nilai-nilai dan pandangan hidup manusia Jawa Barat, yaitu:
a. Mahayu
dora sapuluh
b. Mikukuh
dasa prebakti
c. Pancaaksara
guruning janma
d. Mikukuh
darma pitutur
e. Ngawakan
tapa di nagara
f. Tri
Tangtu di nu reya
g. Hirup
cukup teu kaleuleuwihi
h. Ulah
pupujieun
i.
Ulah bohong, ulah maling, jeung pamali
Sesuai dengan amanat dalam prasasti
Kawali yang dibuat oleh Wastu Kancana, bahwa secara ringkas kesejahteraan dan
kejayaan negara harus melalui dua jalan UTAMA, yaitu: MAGAWE RAHAYU dan MAGAWE
KERTA.
Adapun di luar dari naskah SSKK,
masyarakat Sunda juga memiliki pedoman kepemimpinan yang madhani,
yaitu tertuang dalam beberapa peribahasa di bawah ini:
Babasan paribahasa tentang kepeminpinan
Sunda:
a. Sagolek
pangkek, sacangreud pageuh; artinya kalau sudah putih ya putih, kalau sudah
hitam ya hitam. Apabila keputusan raja sudah dibuat, ya sudah, tidak bisa
diganggu gugat.
b. Dalam
hal ini, kita bisa melihat bahwa pemimpin Sunda mempunyai jiwa otoriter, dimana
menggunakan keotorisasiannya dalam tempat yang benar, dalam artian tidak
menyalahgunakan otoritas yang dimilikinya.
c. Ngadek
sacekna nilas saplasna; artinya dalam hal berbicara, sang raja itu harus
jujur dan tepat sasaran. Bicara harus sebenar-benarnya.
d. Pemimpin
dituntut untuk bersikap jujur, baik kepada dirinya sendiri ataupun terhadap
orang yang dipimpinnya. Dengan ini tidak ada kebohongan dan kecurangan yang
terjadi dalam kepemimpinannya
e. Ulah
dengdek topi; artinya seorang raja, sejatinya tidak memihak pada
suatu kelompok atau individu, tapi harus berdasarkan keadilan dan kebenaran.
f. Seorang
pemimpin itu harus adil, tidak boleh memihak pada salah satu kelompok atau
individu.
g. Henteu
cueut kanu hideung, henteu ponteng kanu konéng;
artinya hampir sama dengan dengdek topi, seorang raja tidak berat sebelah, tapi
konsisten dalam menjalankan pemerintahan atas keadilan dan kebenaran.
2.3 Isi Naskah SSKK
Di dalam naskah SSKK
tertulis informasi mengenai paradigma kepemimpinan yang disebut dengan PARIGEUING.
Hidayat Suryalaga dalam bukunya menyebutkan Parigeuing sebagai Gaya
Kepemimpinan Prabu Siliwangi atau leadership Prabu Siliwangi.
Perlu kita garis bawahi
bahwa seorang pemimpin dijadikan pemimpin oleh komunitasnya karena berkemampuan
untuk mengkomunikasikan konsep-konsep kepemimpinanya sehingga mampu
mempengaruhi kualitas etos kerja komunitas yang dipimpinnya.
Menurut pengamatan para ahli
strategi, ada empat macam penampilan pemimpin, yaitu yang berkarakter:
a. Perintis,
biasanya sebagai penggerak pemula dengan konsep idenya yang orisinil serta
mampu meyakinkan komunitasnya akan kebenaran tujuan yang ingin dicapainya
b. Penyelaras,
seorang pemimpin yang mampu menyelaraskan kelompok komunitasnya, lebih bersifat
manajerial. Mengarahkan komunitasnya kepada pencapaian visi dan misi yang
hendak diwujudkannya.
c. Pemberdaya,
pemimpin yang berkarakter sebagai pendorong semangat juang, memotivasi etos
kerja. Mampu memanfaatkan dan mengoperasionalkan seluruh perangkat yang
dimiliki komunitasnya.
d.
Panutan, pemimpin yang berkarakter menjadi suri
tauladan seluruh komunitasnya. Keteladanannya mencakup aspek lahir batin serta
perilaku kehidupan kesehariannya.
Masyarakat Sunda pada
umumnya lebih cenderung mengangkat pemimpin dengan karakter Panutan,
yaitu kecenderungan berpola paternalistik, meskipun begitu karakter lainnya pun
dipertimbangkan pula. Nanti akan kami uraikan mengenai unsur kepemimpinan Prabu
Siliwangi yang terinformasikan dalam, Parigeuing, Dasa Pasanta dan
Pangimbuh Twah, akan tampak jelas muatan keempat karakter pemimpin tersebut
diatas.
2.3.1 Parigeuing
Dalam naskah SSKK yang
menggunakan bahasa sunda abad XVI disebutkan bahwa yang disebut Parigeuing adalah
“Parigeuing mah ngaranna; bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawangi,
nya mana henteu surah nu dipiwarang”(Parigeuing adalah cara memerintah dan menyuruh dengan bahasa yang santun
sehingga tidak menimbulkan ketidaksenangan bagi yang diperintahnya).
Dengan demikian secara
tersirat dalam parigeuing diisyaratkan bahwa seorang pemimpin
harus piawai berkomunikasi. Mampu berkomunikasi dengan para komunikan secara
baik, santun dan benar sesuai hak asasi dan kewajiban asasi manusia. Jadi
seyogyanyalah seorang pemimpin terampil dan mampu memanfaatkan aspek bahasa
sebagai alat komunikasi, baik dalam tataran retorika, kognitif, afektif, phatik
dan persuasif.
Dalam peribahasa Sunda
dikenal “ratu kudu saciduh metu saucap nyata”, pemimpin itu antara ucapan dan
perilakunya harus sesuai.
2.3.2 Dasa Pasanta
Dasa pasanta artinya
“sepuluh penenang” yaitu cara memberi perintah yang baik agar orang yang
diperintah bisa melaksanakan tugasnya dengan optimal. Kesepuluh cara memerintah
yang baik itu adalah:
a. Guna =
perintah itu dipahami manfaat atau kegunanaanya, sehingga tidak terjadi salah
pengertian.
b. Ramah =
bijak bestari. Keramahan akan menumbuhkan rasa nyaman dalam bekerja. Iklim yang
mengesankan keramahtamahan akan menjadi habitat yang sangat kondusif.
c. Ho’ok
– ho’okeun = kagum. Perintah itu dianggap sebagai representasi
kekaguman pemimpin atas prestasi dari orang yang diperintahnya.
d. Pesok = reueus,
bangga. Perintah disampaikan dengan cara yang menimbulkan kebanggaan bagi yang
diperintah, hal ini akan memotivasi kepercayaan dirinya.
e. Asih =
kasih sayang. Perintah dilandasi degan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran
kasih.
f. Karunia =
karunia, belas kasih. Perintah harus terasa sebagai suatu karunia atau
kepercayaan dari pemimpin kepada yang dipimpinnya.
g. Mukpruk =
menenteramkan hati. Pemimpin seyogyanya mampu menenangkan hati yang dipimpinnya
antara lain dengan menumbuhkan semangat kerjanya.
h. Ngulas =
mengulas, mengoreksi ataupun memberi pujian. Cara mengulas bisa berbagai macam,
yang penting ada respon atas pekerjaan mereka.
i. Nyecep =
memberi perhatian berupa moril maupun materil. Mungkin hanya berupa ucapan
terimakasih atau pemberian ala kadarnya sebagai penyejuk hati.
j.
Ngala angen = mampu menarik simpati, sehingga
tersambung ikatan silaturahmi yang kental.
Kaidah dasa panta bila
kita simak dengan teliti ternyata berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan
antar manusia (human relationship). Selanjutnya dalam SSKK dijelaskan pula
bahwa seseorang baru bisa mempunyai keahlian dasa panta, bila
kualitas dirinya telah terpenuhi. Maksudnya seorang pemimpin harus mempunyai
kharisma, pamor atau tuah yang terbesit dari kualitas batiniahnya, sehingga
akan tampak kepemimpinannya.
Kualitas batiniah seorang
pemimpin akan tampak dalam perilaku kesehariannya, dan itu semuanya akan sangat
bergantung pada karakter, tabiat atau kepribadian yang melekat pada diri
seseorang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Membaca naskah kuno secara
tidak langsung bisa juga disebut membaca masa lalu atau bisa juga diartikan
memahami budaya masa itu, yakni masa ketika naskah tersebut dibuat. Memahami
budaya pada dasarnya memahami inti dari budaya itu sendiri yang berupa nilai-nilai
dan konsep – konsep dasar yang memberikan arah bagi bermacam tindakan, baik
yang dilakukan secara perseorangan maupun kolektif. Dengan itu kita bisa
melihat cerminan bagaimana masyarakat lampau bertindak, dan mungkin bisa kita
terapkan dalam kehidupan masa sekarang. Salah satunya mengenai kepemimpinan.
Ada tiga ungkapan yang
biasanya dijadikan prasyarat bagi mereka yang berminat menjadi pemimpin,
khususnya di tatar Sunda. Ungkapan itu adalah Nyantri, Nyakola, dan
Nyunda. Untuk ungkapan yang pertama atau nyantri ini, pemimpin itu
harus memiliki kecerdasan spiritual yang disimbolisasikan dengan istilah Nyantri.
Spiritual menjadi harga mati sebagai benteng terakhir agar seorang pemimpin
sadar betul bahwa kepemimpinannya itu adalah amanah dan harus dipertanggungjawabkan.
Dalam era global, pemerintahan dan perusahaan besar yang dapat bertahan
sesungguhnya berjangkar pada kunci kepekaan kesantrian ini.
Nyakola sesungguhnya simbol dari seseorang yang lebih mementingkan nalar ketimbang
tubuh. Nalar tidak pernah berhenti berfikir. Tidak pernah berfikir juga
menggadaikan nalar untuk kepentingan sesaat, memburu kekuasaan dengan cara yang
tidak terhormat. Untuk ungkapan yang ketiga atau Nyunda ini
tidak harus dimaksudkan secara reduktif sekedar referensi etnis geografis yang
merujuk pada wilayah Pasundan saja, tetapi Nyunda adalah diksi dengan makna
seperangkat nilai-nilai kesundaan yang harus dimiliki oleh para pemimpin dan
calon pemimpin.
Nyunda sebenarnya
mencerminkan, diantaranya sosok pemimpin yang mampu menyatu dengan rakyat
secara tulus (ngumawula ka wayahna), pribadi yang tidak bertingkah (teu
ningkah), tidak memperlihatkan sikap tinggi hati kepada orang lain (teu
adigung kamagungan), tidak suka dimeriahkan dengan kemegahan (teu
paya diagreng-agreng), arif dan adil (agung maklum sarta adil),
dan mustahil korupsi (cadu basilat). 13
Di dalam makalah ini,
penyusun telah menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam naskah kuno
Sanghyang Siksakandang Karesian, tentang figur seorang pemimpin ideal di masa
lalu. Yang mana harapan dan tujuannya ialah agar memberikan sedikit pencerahan,
gambaran dan harapan bahwa kita juga bisa mempunyai pemimpin yang kompeten,
jujur, adil dan dihormati. Dan jika petuah para sesepuh itu dijalankan dan
dilaksanakan secara bijak, maka akan terasa manfaat dan dampaknya, baik bagi
pemimpin keluarga atau pemimpin yang lebih tinggi lagi, khususnya bagi pemimpin
Indonesia kelak. Maka tidak menutup kemungkinan tanah dan bangsa yang kita
pijak ini akan kembali damai sejahtera.
No comments:
Post a Comment