Thursday, December 27, 2012

Makalah Figur Pemimpin Masyarakat Sunda


FIGUR PEMIMPIN MASYARAKAT SUNDA


MAKALAH


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Bahasa dan Sastra Sunda Pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan
               Dosen : Dr. Hj. Iis Ristiani M.Pd


Disusun Oleh :
Lan Lan Risdiana
01020201080192




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA
CIANJUR
2012








BAB I
PENDAHULUAN


1.1     Latar Belakang
          Bila diibaratkan, budaya merupakan akar dari sebuah pohon bernama Indonesia. Maka kebudayaan adalah identitas dari suatu bangsa yang wajib dipertahankan dan dilestarikan. Maysarakat yang tak berbudaya akan menciptakan lingkungan masyarakat yang tidak stabil. Salah satu faktor pembentuk dan penjaga kelestarian suatu kebudayaan adalah figur pemimpin.
          Pemimpin adalah mata bagi orang yang buta, penunjuk arah bagi orang tersesat. Seorang pemimpin sejatinya menjadi pikiran dan hatinya dunia. Seperti hati dan pikiran diri kita, mustahil seorang bisa hidup tanpa keduanya.
Melihat kondisi kepemimpinan di negara tercinta, kita mungkin sepakat negara kita sekarang tengah mengalami krisis kepemimpinan, yang mana berdampak langsung pada berbagai aspek di masarakat seperti sosial, politik, budaya, agama, dan lainya.
          Kepemimpinan seorang pemimpin adalah motor utama penggerak suatu bangsa. Melalui penelitian terhadap kepemimpinan dalam pemimpin Sunda Kuno yang bersumber pada naskah-naskah buhun (kuno) dan wawancara dengan para ahli, penyusun akan mendeskripsikan dan mengguar seperti apa figur pemimpin yang baik dan ideal dalam tataran masyarakat Sunda tempo dulu. Siapa tahu hal ini dapat menginspirasi dan merubah tataran dan pola pikir para pemimpin dan calon seorang pemimpin di masa ini.
1.2     Identifikasi Masalah
          Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka perlu diidentifikasikan beberapa masalah untuk dipaparkan yaitu sebagai berikut.
a.    Bagaimana figur pemimpin Sunda di masa lalu?
b.    Bagaimana menjadi pemimpin yang ideal berdasarkan kriteria naskah Sunda Kuno?

1.3     Tujuan Penulisan
          Tujuan penyusunan makalah ini yaitu:
a.    Mendeskripsikan figur pemimpin Sunda di masa lalu
b.    Memberikan gambaran yang jelas tentang kepemimpinan, agar dapat menjadi cerminan untuk masyarakat di masa kini.


BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

          Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Semboyan Bhineka Tunggal Ikamenandakan bahwa kita negara yang majemuk, namun terlepas dari itu meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan.
          Kebudayaan dan pola pikir bangsa Indonesia, merupakan gabungan dari berbagai budaya dari suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Dalam hal kepemimpinan yang menjadi motornya, bangsa Indonesia pun tentu tidak terlepas dari pengaruh dan nilai-nilai yang ada berakar budaya dari suku-suku bangsa yang ada di nusantara. Namun, apabila kita memperhatikan sistem kepemimpinan negara kita saat ini, pemerintah lebih dominan dengan sistem pemerintahan negara-negara Barat. Yang mana, sistem pemerintahan dengan nilai-nilai lokal (suku bangsanya masing-masing) kian jauh ditinggalkan.
          Pemimpin, tentunya tidak selalu dititikberatkan dalam tataran pemerintahan, tetapi pribadi kita sendiri adalah pemimpin bagi jiwa dan badan kita sendiri, yang mana setiap gerak gerik dan tingkah laku kita akan dipertanggung jawabkan baik langsung maupun tidak langsung terhadap diri kita sendiri, keluarga, bahkan umat dan masyarakat.
          Kita tentu memahami bahwa setiap pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab dan juga bisa menghantarkan yang dipimpinnya ke jalan yang lebih baik, bermartabat, berakhlak mulia, baik di dunia ataupun akhirat kelak.
          Hidayat Suryalaga mengatakan dalam bukunya, seseorang disebut sebagai pemimpin tentulah harus mempunyai konsep (ide, pemikiran), norma (aturan), dan aktualisasinya (perilaku) kepemimpinannya. Intisari kepemimpinan adalah kualitas tingkah laku dan kemampuan individu dalam berinteraksi sosial untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama (2009: 129).

2.1     Figur Pemimpin Sunda yang Kharismatik dan Melegenda, “Prabu Siliwangi”
          Ada satu nama yang kharismatik, dikenang dan selalu dirindukan masyarakat Sunda karena kepemimpinannya yang melegenda, bahkan masih terkenal dan dihormati sampai sekarang. Begitu kuat kharismanya sehingga menembus dunia sastra, historiografi, mitologi bahkan pada tataran ontologi dan religi.
          Nama yang menjadi buah bibir dan panutan batiniah orang Sunda itu adalah Prabu Siliwangi, namanya pekat bernuansakan mitos. Nama lainnya ialah Jayadewata, Prabu Guru Dewata Prama, Sri Sang Ratu Dewata, Kekeumbingan Raja Sunu, Manah Rasa dikenal pula dengan julukan “Sri Baduga Maharaja”, memerintah kerajaan Padjadjaran 1482 – 1521 Masehi. Setelah wafat disebut dengan nama Prabu Ratu. (Suryalaga, H.R Hidayat; 2009:130).
          Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 Masehi ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
          Menurut tradisi lama, orang segan bahkan tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
          “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira“.
          Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
Prasasti Batutulis di Bogor menyebutkan keagungan Sri Baduga Maharaja dalam sejarah.

2.2     Naskah Kuno: Sanghyang Siksakandang Karesian
          Naska kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) ditulis dengan menggunakan aksara sunda kuno, diatas tujuh lembar daun lontar. Bertitimangsa tahun 1518 Masehi, tanpa diketahui siapa nama penulisnya. Naskah aslinya disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor Kropak 630.
          Keberadaan SSKK ibarat penerang ditengah kegelapan informasi mengenai kehidupan orang Sunda di masa lampau. Begitu lengkap informasi yang disampaikannya, sehingga ada yang menamakannya Ensiklopedi Sunda pada zamannya.
          Transkripsi naskah SSKK dilakukan oleh Atja, dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-16 Universitas Padjadjaran Bandung. Sekaligus merupakan hasil penelitian kembali naskah-naskah kuno dari Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
          Dalam kata pengantarnya dikatakan bahwa pemilihan naskah tersebut untuk menyambut Dies Natalis ke-16 Unpad ialah karena kebetulan mempunyai hal-hal yang menarik baik isi maupun kesamaan angka 16-nya. Hal-hal itu adalah :
a.    Siksa Kandang Karesian mempunyai isi semacam ensiklopedi tentang pemerintahan, kepercayaan, kebudayaan, kesusastraan, pertanian, etika, kemiliteran, dan lain-lain, dari masyarakat Sunda
b.    Siksa Kandang Karesian sebuah naskah Kuno yang mempunyai Candrasangkala yang berbunyi: nora catur sagara wulan, bila dibuat tahun Saka ialah 1440, sama dengan tahun 1518AD, atau awal abad ke-16 Masehi.
c.    Siksa Kandang Karesian penting ditranskripsi dan diterjemahkan untuk dijadikan salah satu sumber dalam penelitian, penulisan sejarah, kebudayaan, sastra, kesenian, kepercayaan dari masyarakat Sunda awal abad ke-16 Masehi.
d.   Belum pernah diterjemahkan dan betapa pentingnya naskah ini. Jelas dikemukakan oleh Drs. Amis Sutaarga dalam penelitian sementaranya yang berjudul Prabu Siliwangi, atau Ratu Pakuan Guru Dewata Prana Sri Baduga Maha Raja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran 1471-1513, penerbit P.T. Duta Rakyat Bandung, hal.55, yang berbunyi : “Amat disayangkan, bahwa naskah ini (yang dimaskud adalah Siksa Kandang Karesian) yang sampai sekarang (waktu itu tahun 1965) masih tersimpan dalam koleksi naskah-naskah Museum Pusat di Jakarta belum pernah dibuat transkripsi dan terjemahannya”.
          Isi naskah SSKK tidak merupakan suatu kisah atau cerita sebagaimana Carita Ratu Pakuan, melainkan berisi petunjuk dan bimbingan hidup dan kehidupan manusia di dunia agar mencapai kebahagiaan (mapahayu) dan keunggulan. Dan yang memberikan petunjuk (warahakna) atau petuah adalah Sang Sadu, dan agar menjadi peringatan bagi semua orang. Hal nampak dalam kalimat permulaanya berbunyi : ” ndah nihan warahakna sang sadu, de sang mamaet hayu. Hana Sanghyang siksakanda (ng) Karesian ngaranya; kayat-nakna wong sakabeh”
          Menurut Saleh Danasasmita bahwa SSKK ditulis pada masa Pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M). Sri Baduga Maharaja adalah cucu dari Wastu Kancana, yang pernah tinggal di keraton Surawisesa di Kawali, sehingga dapat disimpulkan, ia mengetahui benar filsafat hidup zaman kakeknya. Menurut Saleh Danasasmita, bahwa dalam Keropak 630 SSKK tersebut terdapat nilai-nilai dan pandangan hidup manusia Jawa Barat, yaitu:
a.    Mahayu dora sapuluh
b.    Mikukuh dasa prebakti
c.    Pancaaksara guruning janma
d.   Mikukuh darma pitutur
e.    Ngawakan tapa di nagara
f.     Tri Tangtu di nu reya
g.    Hirup cukup teu kaleuleuwihi
h.    Ulah pupujieun
i.      Ulah bohong, ulah maling, jeung pamali
          Sesuai dengan amanat dalam prasasti Kawali yang dibuat oleh Wastu Kancana, bahwa secara ringkas kesejahteraan dan kejayaan negara harus melalui dua jalan UTAMA, yaitu: MAGAWE RAHAYU dan MAGAWE KERTA.
          Adapun di luar dari naskah SSKK, masyarakat Sunda juga memiliki pedoman kepemimpinan yang madhani, yaitu tertuang dalam beberapa peribahasa di bawah ini:
          Babasan paribahasa tentang kepeminpinan Sunda:
a.    Sagolek pangkek, sacangreud pageuh; artinya kalau sudah putih ya putih, kalau sudah hitam ya hitam. Apabila keputusan raja sudah dibuat, ya sudah, tidak bisa diganggu gugat.
b.    Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa pemimpin Sunda mempunyai jiwa otoriter, dimana menggunakan keotorisasiannya dalam tempat yang benar, dalam artian tidak menyalahgunakan otoritas yang dimilikinya.
c.    Ngadek sacekna nilas saplasna; artinya dalam hal berbicara, sang raja itu harus jujur dan tepat sasaran. Bicara harus sebenar-benarnya.
d.   Pemimpin dituntut untuk bersikap jujur, baik kepada dirinya sendiri ataupun terhadap orang yang dipimpinnya. Dengan ini tidak ada kebohongan dan kecurangan yang terjadi dalam kepemimpinannya
e.    Ulah dengdek topi; artinya seorang raja, sejatinya tidak memihak pada suatu kelompok atau individu, tapi harus berdasarkan keadilan dan kebenaran.
f.     Seorang pemimpin itu harus adil, tidak boleh memihak pada salah satu kelompok atau individu.
g.    Henteu cueut kanu hideung, henteu ponteng kanu konéng; artinya hampir sama dengan dengdek topi, seorang raja tidak berat sebelah, tapi konsisten dalam menjalankan pemerintahan atas keadilan dan kebenaran.

2.3     Isi Naskah SSKK
          Di dalam naskah SSKK tertulis informasi mengenai paradigma kepemimpinan yang disebut dengan PARIGEUING. Hidayat Suryalaga dalam bukunya menyebutkan Parigeuing sebagai Gaya Kepemimpinan Prabu Siliwangi atau leadership Prabu Siliwangi.
          Perlu kita garis bawahi bahwa seorang pemimpin dijadikan pemimpin oleh komunitasnya karena berkemampuan untuk mengkomunikasikan konsep-konsep kepemimpinanya sehingga mampu mempengaruhi kualitas etos kerja komunitas yang dipimpinnya.
          Menurut pengamatan para ahli strategi, ada empat macam penampilan pemimpin, yaitu yang berkarakter:
a.    Perintis, biasanya sebagai penggerak pemula dengan konsep idenya yang orisinil serta mampu meyakinkan komunitasnya akan kebenaran tujuan yang ingin dicapainya
b.    Penyelaras, seorang pemimpin yang mampu menyelaraskan kelompok komunitasnya, lebih bersifat manajerial. Mengarahkan komunitasnya kepada pencapaian visi dan misi yang hendak diwujudkannya.
c.    Pemberdaya, pemimpin yang berkarakter sebagai pendorong semangat juang, memotivasi etos kerja. Mampu memanfaatkan dan mengoperasionalkan seluruh perangkat yang dimiliki komunitasnya.
d.   Panutan, pemimpin yang berkarakter menjadi suri tauladan seluruh komunitasnya. Keteladanannya mencakup aspek lahir batin serta perilaku kehidupan kesehariannya.
          Masyarakat Sunda pada umumnya lebih cenderung mengangkat pemimpin dengan karakter Panutan, yaitu kecenderungan berpola paternalistik, meskipun begitu karakter lainnya pun dipertimbangkan pula. Nanti akan kami uraikan mengenai unsur kepemimpinan Prabu Siliwangi yang terinformasikan dalam, Parigeuing, Dasa Pasanta dan Pangimbuh Twah, akan tampak jelas muatan keempat karakter pemimpin tersebut diatas.
2.3.1  Parigeuing
          Dalam naskah SSKK yang menggunakan bahasa sunda abad XVI disebutkan bahwa yang disebut Parigeuing adalah “Parigeuing mah ngaranna; bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawangi, nya mana henteu surah nu dipiwarang”(Parigeuing adalah cara memerintah dan menyuruh dengan bahasa yang santun sehingga tidak menimbulkan ketidaksenangan bagi yang diperintahnya).
          Dengan demikian secara tersirat dalam parigeuing diisyaratkan bahwa seorang pemimpin harus piawai berkomunikasi. Mampu berkomunikasi dengan para komunikan secara baik, santun dan benar sesuai hak asasi dan kewajiban asasi manusia. Jadi seyogyanyalah seorang pemimpin terampil dan mampu memanfaatkan aspek bahasa sebagai alat komunikasi, baik dalam tataran retorika, kognitif, afektif, phatik dan persuasif.
          Dalam peribahasa Sunda dikenal “ratu kudu saciduh metu saucap nyata”, pemimpin itu antara ucapan dan perilakunya harus sesuai.
2.3.2 Dasa Pasanta
          Dasa pasanta artinya “sepuluh penenang” yaitu cara memberi perintah yang baik agar orang yang diperintah bisa melaksanakan tugasnya dengan optimal. Kesepuluh cara memerintah yang baik itu adalah:
a.    Guna = perintah itu dipahami manfaat atau kegunanaanya, sehingga tidak terjadi salah pengertian.
b.    Ramah = bijak bestari. Keramahan akan menumbuhkan rasa nyaman dalam bekerja. Iklim yang mengesankan keramahtamahan akan menjadi habitat yang sangat kondusif.
c.    Ho’ok – ho’okeun = kagum. Perintah itu dianggap sebagai representasi kekaguman pemimpin atas prestasi dari orang yang diperintahnya.
d.   Pesok = reueus, bangga. Perintah disampaikan dengan cara yang menimbulkan kebanggaan bagi yang diperintah, hal ini akan memotivasi kepercayaan dirinya.
e.    Asih = kasih sayang. Perintah dilandasi degan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran kasih.
f.     Karunia = karunia, belas kasih. Perintah harus terasa sebagai suatu karunia atau kepercayaan dari pemimpin kepada yang dipimpinnya.
g.    Mukpruk = menenteramkan hati. Pemimpin seyogyanya mampu menenangkan hati yang dipimpinnya antara lain dengan menumbuhkan semangat kerjanya.
h.    Ngulas = mengulas, mengoreksi ataupun memberi pujian. Cara mengulas bisa berbagai macam, yang penting ada respon atas pekerjaan mereka.
i.      Nyecep = memberi perhatian berupa moril maupun materil. Mungkin hanya berupa ucapan terimakasih atau pemberian ala kadarnya sebagai penyejuk hati.
j.      Ngala angen = mampu menarik simpati, sehingga tersambung ikatan silaturahmi yang kental.
          Kaidah dasa panta bila kita simak dengan teliti ternyata berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan antar manusia (human relationship). Selanjutnya dalam SSKK dijelaskan pula bahwa seseorang baru bisa mempunyai keahlian dasa panta, bila kualitas dirinya telah terpenuhi. Maksudnya seorang pemimpin harus mempunyai kharisma, pamor atau tuah yang terbesit dari kualitas batiniahnya, sehingga akan tampak kepemimpinannya.
          Kualitas batiniah seorang pemimpin akan tampak dalam perilaku kesehariannya, dan itu semuanya akan sangat bergantung pada karakter, tabiat atau kepribadian yang melekat pada diri seseorang.


BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
          Membaca naskah kuno secara tidak langsung bisa juga disebut membaca masa lalu atau bisa juga diartikan memahami budaya masa itu, yakni masa ketika naskah tersebut dibuat. Memahami budaya pada dasarnya memahami inti dari budaya itu sendiri yang berupa nilai-nilai dan konsep – konsep dasar yang memberikan arah bagi bermacam tindakan, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kolektif. Dengan itu kita bisa melihat cerminan bagaimana masyarakat lampau bertindak, dan mungkin bisa kita terapkan dalam kehidupan masa sekarang. Salah satunya mengenai kepemimpinan.
          Ada tiga ungkapan yang biasanya dijadikan prasyarat bagi mereka yang berminat menjadi pemimpin, khususnya di tatar Sunda. Ungkapan itu adalah Nyantri, Nyakola, dan Nyunda. Untuk ungkapan yang pertama atau nyantri ini, pemimpin itu harus memiliki kecerdasan spiritual yang disimbolisasikan dengan istilah Nyantri. Spiritual menjadi harga mati sebagai benteng terakhir agar seorang pemimpin sadar betul bahwa kepemimpinannya itu adalah amanah dan harus dipertanggungjawabkan. Dalam era global, pemerintahan dan perusahaan besar yang dapat bertahan sesungguhnya berjangkar pada kunci kepekaan kesantrian ini.
          Nyakola sesungguhnya simbol dari seseorang yang lebih mementingkan nalar ketimbang tubuh. Nalar tidak pernah berhenti berfikir. Tidak pernah berfikir juga menggadaikan nalar untuk kepentingan sesaat, memburu kekuasaan dengan cara yang tidak terhormat. Untuk ungkapan yang ketiga atau Nyunda ini tidak harus dimaksudkan secara reduktif sekedar referensi etnis geografis yang merujuk pada wilayah Pasundan saja, tetapi Nyunda adalah diksi dengan makna seperangkat nilai-nilai kesundaan yang harus dimiliki oleh para pemimpin dan calon pemimpin.
          Nyunda sebenarnya mencerminkan, diantaranya sosok pemimpin yang mampu menyatu dengan rakyat secara tulus (ngumawula ka wayahna), pribadi yang tidak bertingkah (teu ningkah), tidak memperlihatkan sikap tinggi hati kepada orang lain (teu adigung kamagungan), tidak suka dimeriahkan dengan kemegahan (teu paya diagreng-agreng), arif dan adil (agung maklum sarta adil), dan mustahil korupsi (cadu basilat). 13
          Di dalam makalah ini, penyusun telah menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam naskah kuno Sanghyang Siksakandang Karesian, tentang figur seorang pemimpin ideal di masa lalu. Yang mana harapan dan tujuannya ialah agar memberikan sedikit pencerahan, gambaran dan harapan bahwa kita juga bisa mempunyai pemimpin yang kompeten, jujur, adil dan dihormati. Dan jika petuah para sesepuh itu dijalankan dan dilaksanakan secara bijak, maka akan terasa manfaat dan dampaknya, baik bagi pemimpin keluarga atau pemimpin yang lebih tinggi lagi, khususnya bagi pemimpin Indonesia kelak. Maka tidak menutup kemungkinan tanah dan bangsa yang kita pijak ini akan kembali damai sejahtera.

No comments:

Post a Comment