Thursday, January 3, 2013

Makalah Aliran Utilitarianisme dan Aliran Sejarah


hjkkkladhnkaslan mlALIRAN UTILITARIANISME DAN ALIRAN SEJARAH


Makalah


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Pendidikan PolitikPada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan
                         Dosen Pembina   : Drs. Yahya Mulyadi M. Pd
                         Dosen Pelaksana : Rina Mutia Iryana M.Pd


  
Disusun Oleh :
Nama          : Lan Lan Risdiana
NPM           : 01020201080192
Tingkat      : III A


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA
CIANJUR
2010


                                                                KATA PENGANTAR


          Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat taufik dan hidayahnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalahyang berjudul “Aliran Utilitarianisme dan aliran sejarah”dengan baik dan lancar.
          Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Hubungan Internasional pada jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Suryakancana Cianjur
          Disadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka, atas selesainya penyusunan makalah ini kami ucapkan banyak terima kasihke pada semua pihak yang telah membantu, diantaranya:
a.    Allah SWT
b.    Dra. Rina Meutia Iryana, M. Pd selaku dosen pelaksana mata kuliah Filsafat Hukum
c.    Orang tua
d.   Rekan-rekan
Kami menyadari bahwa keterbatasan kemampuan dan pengetahuan, telah menjauhkan makalah ini dari kesempurnaan. Untuk itu sumbang saran serta kritik yang membangun dari para pembaca senantiasa penulis harapkan.
          Akhirnya besar harapan kami, makalah ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang bergerak dari dunia pendidikan pada umumnya

Cianjur,  April 2012


                                                                                                               Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang
          Seperti diketahui, bahwa berbicara tentang kekuatan mengikat dari pada hukum, atau mengapa hukum ditaati oleh manusia atau masyarakat, maka kita berhadapan dengan adanya pandangan  beberapa aliran atau mazhab dalam kajian Ilmu Hukum secara umum.
          Adanya beberapa aliran atau mazhab ini, antara lain ditegaskan  oleh Sudarsono dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum (1991: 103-104) menyatakan; "Permasalahan pertama berkaitan erat dengan ketaatan terhadap hukum, dalam kaitan ini timbul beberapa teori dan aliran pendapat di dalam Ilmu Pengetahuan Hukum yang lebih dikenal dengan adanya mazhab.
          Kendati tidak semua ahli merumuskan klasifikasi aliran hukum seperti tersebut, namun sekedar pegangan dapat dikatakan bahwa membahas tentang kekuatan mengikat hukum melahirkan sejumlah aliran atau mashab yang antara lain dikemu kakan di atas.
       Salah satu diantara aliran yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah aliran Utilitarianisme dan aliran historis atau aliran sejarah sebagai salah satu aliran yang relatif cukup tua dalam sejarah perkembangan hukum.
Utilitarianisme ialah idea atau fahaman dalam falsafah moral yang menekankan prinsip manfaat atau kegunaan dalam menilai sesuatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar. Dengan prinsip kegunaan dimaksudkan prinsip yang menjadikan kegunaan sebagai tolok ukur pokok untuk menilai dan mengambil keputusan apakah suatu tindakan itu secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Tindakan yang secara moral benar adalah tindakan yang berguna. Suatu tindakan dinilai berguna kalau akibat tindakan tersebut, secara keseluruhan, dengan memperhitungkan semua phak yang terlibat dan tanpa membeza-bezakan, membawa akibat baik berupa kegembiraan atau kebahagiaaan yang semakin besar bagi semakin banyak orang.
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan ini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Oleh karena itu tugas hukum adalah mengantarkan manusia menuju The Ultimate Good. Sehingga esensi hukum harus bermanfaat, artinya hukum yang dapat membahagiakan sebagaian terbesar masyarakat.
Lahirnya aliran sejarah adalah sebagai akibat adanya keberatan terhadap pandangan hukum alam yang dapat berlaku secara universal. Latar belakang lahirnya aliran historis tersebut, dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hukum (1996: 277) yang menyatakan bahwa "Baik aliran positivisme dan aliran sejarah serta anthropologi merupakan reaksi terhadap teori-teori hukum alam. Benih-benih bagi tumbuhnya pendekatan sejarah tersimpan pada abad-abad sebelumnya, terutama dalam hubungannya dengan dasar-dasar yang dipakai untuk menyusun teori-teori tersebut".
          Sebagian dari pokok aliran historis menyatakan bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat, berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.

1.2  Tujuan Penulisan
1.    Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Filsafat Hukum
2.    Mendeskripsikan tentang aliran Utilitarianisme dan aliran sejarah dalam filsafat hukum.




BAB II
ISI


2.1         Aliran Utilitarianisme
A.      Pelopor Aliran Utilitarianisme
          Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889).
         
B.       Pengertian Aliran Utilitarianisme
          Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory). Utilitarianisme sebagai teori sistematis pertama kali dipaparkan oleh Jeremy Bentham dan muridnya, John Stuart Mill. Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan.

C.      Ajaran Pokok Utilitarianisme
1.    Seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa, sehingga memajukan kebahagiaan (kesenangan) terbesar dari sejumlah besar orang.
2.    Tindakan secara moral dapat dibenarkan jika ia menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan, dibandingkan tindakan yang mungkin diambil dalam situasi dan kondisi yang sama.
3.    Secara umum, harkat atau nilai moral tindakan dinilai menurut kebaikan dan keburukan akibatnya.
4.    Ajaran bahwa prinsip kegunaan terbesar hendaknya menjadi kriteria dalam perkara etis. Kriteria itu harus diterapkan pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari keputusan-keputusan etis.

D.      Pandangan Aliran Utilitarianisme
          Utilitarianisme ialah idea atau fahaman dalam falsafah moral yang menekankan prinsip manfaat atau kegunaan dalam menilai sesuatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar. Dengan prinsip kegunaan dimaksudkan prinsip yang menjadikan kegunaan sebagai tolok ukur pokok untuk menilai dan mengambil keputusan apakah suatu tindakan itu secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Tindakan yang secara moral benar adalah tindakan yang berguna. Suatu tindakan dinilai berguna kalau akibat tindakan tersebut, secara keseluruhan, dengan memperhitungkan semua phak yang terlibat dan tanpa membeda-bedakan, membawa akibat baik berupa kegembiraan atau kebahagiaaan yang semakin besar bagi semakin banyak orang.
          Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan.Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya.Kebaikan adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan.Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). Oleh karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.
          Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya.Mill juga menolak pandangan Kant yang mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum.Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.
          Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial,  jadi merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.
          Utilitarianisme secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan dikembangkan secara lebih luas oleh James Mill dan John Stuart Mill. Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Bagi Bentham, moralitas bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak mungkin kebahagiaan di dunia ini. Oleh karena itu, Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas Kegunaan atau Manfaat’ (the principle of utility).
          Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah asas yang menyuruh setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan atau kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia, mestilah juga merupakan ukuran moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan cara’.
          Bentham memperkenalkan metode untuk memilih tindakan yang disebut denganutility calculus, hedonistic calculus, atau felicity calculus. Menurutnya, pilihan moral harus dijatuhkan pada tindakan yang lebih banyak jumlahnya dalam memberikan kenikmatan daripada penderitaan yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Jumlah kenikmatan ditentukan oleh intensitas, durasi, kedekatan dalam ruang, produktivitas (kemanfaatan atau kesuburan), dan kemurnian (tidak diikuti oleh perasaan yang tidak enak seperti sakit atau kebosanan dan sejenisnya).
1.    Para utilitarian menyusun argumennya dalam tiga langkah berikut berkaitan dengan pembenaran euthanasia (mercy killing):
2.    Perbuatan yang benar secara moral ialah yang paling banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia.
3.    Setidaknya dalam beberapa kesempatan, perbuatan yang paling banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia bisa dicapai melalui euthanasia.
4.    Oleh karena itu, setidaknya dalam beberapa kesempatan, euthanasia dapat dibenarkan secara moral.
          Sekalipun mungkin argumen di atas tampak bertentangan dengan agama, Bentham mengesankan bahwa agama akan mendukung, bukan menolak, sudut-pandang utilitarian bilamana para pemeluknya benar-benar memegang pandangan mereka tentang Tuhan yang penuh kasih sayang.
          Pada sisi lain, para utilitarian menolak eksperimen2 saintifik tertentu yang melibatkan binatang, lantaran kebahagiaan atau kenikmatan harus dipelihara terkait dengan semua makhluk yang bisa merasakannya—terlepas apakah ia mukhluk berakal atau tidak. Lagi2, buat mereka, melakukan hal yang menambah penderitaan adalah tindakan imoral.
          Singkatnya, Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh Jeremy Bentham, James Mill dan, anaknya, John Stuart Mill, dapat diringkas dalam tiga proposisi berikut:Pertama, semua tindakan mesti dinilai benar/baik atau salah/jelek semata-mata berdasarkan konsekuensi2 atau akibat2nya. Kedua, dalam menilai konsekuensi2 atau akibat2 itu, satu-satunya hal yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkannya. Jadi, tindakan2 yang benar adalah yang menghasilkan surplus kebahagiaan terbesar ketimbang penderitaan. Ketiga, dalam mengkalkulasi kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan, tidak boleh kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Kesejahteraan tiap orang sama penting dalam penilaian dan kalkulasi untuk memilih tindakan.
          Gagasan Utilitarianisme yang menyatakan bahwa ‘kebahagiaan itu adalah hal yang diinginkan dan satu-satunya tujuan yang diinginkan, semua hal lain diinginkan demi mencapai tujuan itu’ jelas mirip dengan gagasan Hedonisme. Dan Hedonisme, seperti kita tahu, adalah keyakinan klasik bahwa kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan adalah kebaikan tertinggi dalam kehidupan.Istilah Hedonisme sendiri beasal dari kata Yunani yang bermakna kesenangan. Hanya saja, Epicurus, tokoh utama Hedonisme percaya bahwa manusia seharusnya mencari berbagai kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pikiran ketimbang tubuh. Katanya, orang bijak harus menghindari kesenangan2 yang akhirnya akan berujung pada penderitaan.
          Utilitarianisme cenderung menyamakan kebaikan dengan kebahagiaan. Hedonisme gagal karena kesenangan inderawi sederhana pada akhirnya bertentangan dengan tujuan-tujuan yang lebih kompleks. Asketisme gagal karena usahanya memberangus nafsu dan tujuan-tujuan alamiah. Egoisme gagal karena kebebasan personal yang tidak dapat diganggu gugat pada akhirnya akan bertentangan dengan perlindungan maksimalnya. Stoisisme menyamakan kebaikan dengan kebajikan. Eksistensialisme dan pesimisme salah karena menga
          Definisi Nilai Nilai, dalam filsafat, adalah suatu prinsip atau standar untuk mempertimbangkan baik buruknya sesuatu. Baik adalah sesuatu yang menyenangkan dan sesuai bagi maksud tertentu, sedangkan buruk berarti yang tidak menyenangkan dan tidak sesuai bagi maksud tertentu. Benar adalah kesesuaian putusan atau hasil kebaikan tertinggi (dan tidak sekedar mendekati kebaikan), sedangkan salah berarti ketidaksesuaian putusan atau hasil kebaikan tertinggi.
          Sumber Nilai-Nilai Nilai-nilai diturunkan dari maksud-maksud dan keinginan-keinginan. Keinginan adalah hasrat-hasrat yang muncul dari muatan rasa senang dan rasa sakit. Keinginan-keinginan tersebut bisa saja berbenturan antara satu dengan yang lain, seiring dengan maksud dan kemampuan. Maksud adalah hasrat bagi tercapainya tujuan tertentu. Kebahagiaan adalah kecenderungan manusia untuk mencapai pemenuhan keinginan-keinginan dan hasrat-hasratnya. Tujuan tertinggi bagi sebagian besar umat manusia adalah keterjagaan diri yang menampak pada tiga hal: Keberlangsungan hidup personal: keberlanjutan tubuh, pikiran dan jiwa Keberlangsungan genetis: keberlanjutan keluarga Keberlangsungan memetic: keberlanjutan ingatan dan kreasi-kreasi Minoritas umat manusia memilih tujuan-tujuan alternatif seperti rasa senang, sakit, pengetahuan, keindahan, kasih sayang, keadilan, kelanjutan ekosistem, kapabilitas, ketentraman, atau pembinasaan. Nilai intrinsik adalah nilai yang berasal dari maksud atau keinginan yang berujung pada maksud dan keinginan itu sendiri, dan tidak murni muncul dari maksud dan keinginan yang lain.


2.2  Aliran Sejarah
A.      Pelopor Aliran Sejarah
          Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl von Savigny (1778-1861) dan Puchta (1789-1846).

B.       Pengertian Aliran Sejarah
          Istilah sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (شجرة: šajaratun) yang artinya pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (تاريخ ). Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.

C.      Pandangan Aliran Sejarah
            Sebagian dari pokok ajarannya ialah bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat, berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
          Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai berikut:
1.    Jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2.    Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, karena dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras.
3.    Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya, tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi bentuk hukum.
4.    Dalam banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui oleh penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari Hukum Perancis.
          Tulisan von Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap Thibaut , di samping itu juga hendak memberi tempat  yang terhormat bagi hukum rakyat Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan agar hukum Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman.Tantangan von Savigny terhadap kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak memiliki kodifikasi hukum perdata.Pengaruh pandangan von Savigny juga terasa sampai jauh ke luar batas negeri Jerman.
          Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von Savigny  berpendapat bahwa hukum dapat berbentuk:
1.    Langsung, berupa adat-istiadat.
2.    Melalui undang-undang.
3.    Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
          Namun ketika pembentukan hukum tersebut masih berhubungan erat dengan jiwa bangsa (volksgeist) yang bersangkutan.
          Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian “bangsa” ke dalam dua jenis, yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut “bangsa alam” dan bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara. Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
      Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum.Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara.Sama halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adat-istiadat.
          Membahas tentang pandangan mazhab historis, oleh Lili Rasjidi dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Filsafat Hukum (1996: 69) mengemukakan bahwa "Pandangan Von Savigny berpangkal kepada bahwa di dunia ini terdapat macam-macam bangsa yang pada tiap-tiap bangsa tersebut mempunyai suatu Volkgeist-jiwa rakyat. Jiwa ini berbeda-beda, baik menurut waktu maupun menurut tempat. Pencerminan dari pada adanya jiwa yang berbeda ini nampak pada kebudayaan dari bangsa tadi yang berbeda-beda. Ekspresi itu nampak pula pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada tiap tempat dan waktu".
Ungkapan di atas, menunjukkan bahwa, aliran historis adalah bahwa hukum merupakan pencerminan atau penjelmaan dari jiwa rakyat yang ada dalam suatu tempat tertentu, Oleh karena jiwa rakyat relatif berbeda dengan rakyat di tempat lainnya dan pada waktu tertentu, maka konsekwensinya adalah bahwa hukum tidak mungkin ada yang bersifat universal seperti pandangan aliran hukum alam.
          Ini berarti bahwa hukum tidak selalu sama antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya, karena pada setiap tempat di dunia ini didiami oleh penduduk atau rakyat yang memiliki semangat dan jiwa yang berbeda-beda yang menentukan isi hukum yang ada di tempat yang bersangkutan.
          Bukan cuma itu, hukum juga berbeda antara waktu tertentu dengan waktu lainnya, baik sebelum maupun sesudahnya, sehingga dengan demikian menurut pandangan aliran ini adalah suatu hal yang tidak mungkin jiika ada suatu jenis hukum yang  dapat  berlaku di mana dan kapan saja di dunia ini sebagaimana dikemukakan oleh aliran hukum alam.
          Penjelasan yang lebih rinci tentang pandangan aliran historis ini, dikemukakan oleh Riduan Syahrani dalam bukunya yang berjudul Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (1999: 43), dengan mengutip pendapat W. Friedmann dalam bukunya Legal Theory yang dikutip oleh Utrecht, menyimpulkan pendapat Von Savigny sebagai berikut:
1.    Hukum tidak dibuat (hasil penggunaan rasio), tetapi ditemukan (didapatkan),
2.    Masyarakat dunia terbagi dalam banyak masyarakat, yang masing-masing mempunyai volkgeist sendiri, yaitu suatu adat-istiadat sendiri. Sumber hukum satu-satunya adalah kesadaran hukum rakyat ini menjadi dasar (hukum) kebiasaan maupun (hukum) undang-undang. Maka dari itu hukum kebiasaan dan undang-undang kedudukannya sederajat,
3.    Yang  menjadi sumber satu-satunya dari hukum ialah kesadaran hukum rakyat. Kebiasaan dan Undang-undang sebenarnya bukan sumber dari hukum, tetapi hanya suatu kenbron (sumber pengenal hukum) yang membuktikan adanya hukum itu. Orang yang hidup dalam suatu masyarakat luas, tidak dapat menyatakan hukum sendiri.
          Sumber hukum satu-satunya menurut aliran atau mazhab tersebut hanya kesadaran hukum rakyat yang ada dan juga sekaligus sebagai dasar lahirnya hukum kebiasaan. Mengingat bahwa jiwa rakyat atau juga sering disebut sebagai kesadaran hukum  berbeda antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, sehingga hukumpun berbeda antara tempat yang satu dengan tempat lainnya.
          Kebiasaan dan Undang-Undang sebenarnya bukanlah sumber hukum, melainkan hanya sebagai tanda untuk mengenal adanya hukum. Masyarakat atau individu tidak dapat menyatakan adanya hukum, walaupun sesungguhnya hukum itu merupakan jiwa dan semangatnya. Yang dapat menyatakan hukum hanyalah para sarjana hukum. Ini dimaksudkan bahwa sarjana hukum itulah yang dianggap mengetahui dan dapat menilai jiwa rakyat, sehingga dapat mencetuskannya sebagai hukum yang ada pada waktu itu, apakah dalam bentuk Undang-Undang atau bentuk lainnya. Sarjana hukum itu pulalah yang menyatakan dilaksanakannya hukum itu di dalam suatu masyarakat.
          Dengan pandangan seperti tersebut, maka kiranya jelas bahwa pandangan aliran historis sangat berbeda dengan Pandangan aliran hukum alam yang mengajarkan adanya suatu hukum yang secara qodrati dapat berlaku secara universal, baik dalam arti tempat berlakunya, maupun waktunya. Wallahu a’lam

 

BAB III
PENUTUP


3.1  Kesimpulan
          Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain.Adapun maksimalnya adalah dengan memperbesar kegunaan, manfaat, dan keuntungan yang dihasilkan oleh perbuatan yang akan dilakukan. Perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan kebahagiaan daripada penderitaan, manfaat daripada kesia-siaan, keuntungan daripada kerugian, bagi sebagian besar orang.Dengan demikian, perbuatan manusia baik secara etis dan membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri sendiri dan orang lain.
Seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa, sehingga memajukan kebahagiaan (kesenangan) terbesar dari sejumlah besar orang.Tindakan secara moral dapat dibenarkan jika ia menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan, dibandingkan tindakan yang mungkin diambil dalam situasi dan kondisi yang sama.Secara umum, harkat atau nilai moral tindakan dinilai menurut kebaikan dan keburukan akibatnya.Ajaran bahwa prinsip kegunaan terbesar hendaknya menjadi kriteria dalam perkara etis.Kriteria itu harus diterapkan pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari keputusan-keputusan etis.
Lahirnya aliran sejarah adalah sebagai akibat adanya keberatan terhadap pandangan hukum alam yang dapat berlaku secara universal. Aliran menyatakan bahwa hukum merupakan pencerminan atau penjelmaan dari jiwa rakyat yang ada dalam suatu tempat tertentu, Oleh karena jiwa rakyat relatif berbeda dengan rakyat di tempat lainnya dan pada waktu tertentu, maka konsekwensinya adalah bahwa hukum tidak mungkin ada yang bersifat universal seperti pandangan aliran hukum alam.
          Ini berarti bahwa hukum tidak selalu sama antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya, karena pada setiap tempat di dunia ini didiami oleh penduduk atau rakyat yang memiliki semangat dan jiwa yang berbeda-beda yang menentukan isi hukum yang ada di tempat yang bersangkutan.


3.2     Saran
          Kami memberi saran kepada dunia pendidikan dan khususnya kepada guru Pendidikan kewarganegaraan agar mengenai materi aliran utilitarianisme dan aliran sejarah agar dapat diajarkan kepada peserta didik dengan maksimal supaya para peserta didik dapat memahaminya dengan baik.




















             

No comments:

Post a Comment