hjkkkladhnkaslan mlALIRAN
UTILITARIANISME DAN ALIRAN SEJARAH
Makalah
Diajukan untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Pendidikan PolitikPada
Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pembina :
Drs. Yahya
Mulyadi M. Pd
Dosen Pelaksana :
Rina Mutia
Iryana M.Pd
Disusun Oleh :
Nama : Lan Lan Risdiana
NPM : 01020201080192
Tingkat : III A
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA
CIANJUR
2010
KATA PENGANTAR
Puji dan
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat taufik dan hidayahnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalahyang berjudul “Aliran
Utilitarianisme dan aliran sejarah”dengan baik dan lancar.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Hubungan
Internasional pada jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Suryakancana Cianjur
Disadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Maka, atas selesainya penyusunan makalah ini kami ucapkan banyak terima kasihke pada semua pihak
yang telah membantu, diantaranya:
a.
Allah SWT
b.
Dra. Rina
Meutia Iryana, M. Pd selaku dosen pelaksana mata kuliah Filsafat Hukum
c.
Orang tua
d.
Rekan-rekan
Kami menyadari bahwa keterbatasan kemampuan dan pengetahuan,
telah menjauhkan makalah ini dari kesempurnaan. Untuk itu sumbang saran serta kritik yang membangun dari para pembaca senantiasa penulis harapkan.
Akhirnya
besar harapan kami, makalah ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang
bergerak dari dunia pendidikan pada umumnya
Cianjur,
April 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Seperti
diketahui, bahwa berbicara tentang kekuatan mengikat dari pada hukum, atau
mengapa hukum ditaati oleh manusia atau masyarakat, maka kita berhadapan dengan
adanya pandangan beberapa aliran atau mazhab dalam kajian Ilmu Hukum
secara umum.
Adanya
beberapa aliran atau mazhab ini, antara lain ditegaskan oleh Sudarsono
dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum (1991: 103-104) menyatakan;
"Permasalahan pertama berkaitan erat dengan ketaatan terhadap hukum, dalam
kaitan ini timbul beberapa teori dan aliran pendapat di dalam Ilmu Pengetahuan
Hukum yang lebih dikenal dengan adanya mazhab.
Kendati
tidak semua ahli merumuskan klasifikasi aliran hukum seperti tersebut, namun
sekedar pegangan dapat dikatakan bahwa membahas tentang kekuatan mengikat hukum
melahirkan sejumlah aliran atau mashab yang antara lain dikemu kakan di atas.
Salah
satu diantara aliran yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah aliran Utilitarianisme dan aliran historis atau aliran
sejarah sebagai salah satu aliran yang relatif cukup tua dalam sejarah
perkembangan hukum.
Utilitarianisme ialah idea atau fahaman dalam falsafah moral yang menekankan prinsip manfaat atau kegunaan
dalam menilai sesuatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar. Dengan
prinsip kegunaan dimaksudkan prinsip yang menjadikan kegunaan sebagai tolok
ukur pokok untuk menilai dan mengambil keputusan apakah suatu tindakan itu
secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Tindakan yang secara moral benar
adalah tindakan yang berguna. Suatu tindakan dinilai berguna kalau akibat
tindakan tersebut, secara keseluruhan, dengan memperhitungkan semua phak yang
terlibat dan tanpa membeza-bezakan, membawa akibat baik berupa kegembiraan atau kebahagiaaan yang semakin besar bagi semakin banyak orang.
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang
meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan ini diartikan
sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu
hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia
atau tidak. Oleh karena itu tugas hukum adalah mengantarkan manusia menuju The
Ultimate Good. Sehingga esensi hukum harus bermanfaat, artinya hukum yang dapat
membahagiakan sebagaian terbesar masyarakat.
Lahirnya aliran
sejarah adalah sebagai akibat adanya keberatan terhadap pandangan hukum alam
yang dapat berlaku secara universal. Latar belakang lahirnya aliran historis
tersebut, dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Ilmu
Hukum (1996: 277) yang menyatakan bahwa "Baik aliran positivisme dan
aliran sejarah serta anthropologi merupakan reaksi terhadap teori-teori hukum
alam. Benih-benih bagi tumbuhnya pendekatan sejarah tersimpan pada abad-abad
sebelumnya, terutama dalam hubungannya dengan dasar-dasar yang dipakai untuk
menyusun teori-teori tersebut".
Sebagian dari pokok aliran
historis menyatakan bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir
dan tumbuh dari dan dengan rakyat, berkembang bersama dengan rakyat, namun ia
akan mati, manakala rakyat kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich
aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen eigentuum
lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Untuk
memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Filsafat Hukum
2. Mendeskripsikan
tentang aliran Utilitarianisme dan aliran sejarah dalam filsafat hukum.
BAB II
ISI
2.1
Aliran
Utilitarianisme
A. Pelopor Aliran Utilitarianisme
Aliran ini dipelopori
oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von
Jhering (1818-1889).
B. Pengertian Aliran Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, yang berarti
berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga sering
disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory).
Utilitarianisme sebagai teori sistematis pertama kali dipaparkan oleh Jeremy
Bentham dan muridnya, John
Stuart Mill. Utilitarianisme
merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang
berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah
yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya
perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan
menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan.
C.
Ajaran
Pokok Utilitarianisme
1. Seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa,
sehingga memajukan kebahagiaan (kesenangan) terbesar dari sejumlah besar orang.
2. Tindakan secara moral dapat
dibenarkan jika ia menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan,
dibandingkan tindakan yang mungkin diambil dalam situasi dan kondisi yang sama.
4. Ajaran bahwa prinsip kegunaan terbesar hendaknya
menjadi kriteria dalam perkara etis. Kriteria itu harus diterapkan pada
konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari keputusan-keputusan etis.
D. Pandangan Aliran Utilitarianisme
Utilitarianisme ialah idea atau fahaman dalam falsafah moral yang menekankan prinsip manfaat atau kegunaan
dalam menilai sesuatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar. Dengan
prinsip kegunaan dimaksudkan prinsip yang menjadikan kegunaan sebagai tolok
ukur pokok untuk menilai dan mengambil keputusan apakah suatu tindakan itu
secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Tindakan yang secara moral benar
adalah tindakan yang berguna. Suatu tindakan dinilai berguna kalau akibat
tindakan tersebut, secara keseluruhan, dengan memperhitungkan semua phak yang
terlibat dan tanpa membeda-bedakan, membawa akibat baik berupa kegembiraan atau kebahagiaaan yang semakin besar bagi semakin banyak
orang.
Bentham berpendapat
bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan.Manusia selalu berusaha
memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya.Kebaikan adalah
kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan.Tugas hukum adalah memelihara
kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan.
Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan
kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk
itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka
akan terjadi homo homini lupus
(manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). Oleh karena itu, ajaran
Bentham dikenal sebagai utilitarianisme
yang individual.
Penulis lain yang
tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak dipengaruhi
oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia ialah
kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang membangkitkan
nafsunya.Mill juga menolak pandangan Kant yang mengajarkan bahwa individu harus
bersimpati pada kepentingan umum.Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan
antara kegunaan dan keadilan. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan
dapat membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang
tidak menyenangkannya.
Pendapat lain
dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme yang
individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai pandangan
utilitarianisme yang bersifat sosial,
jadi merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan oleh Bentham,
Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah
untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia
mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan
menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari
tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan
kepentingan-kepentingan orang lain.
Utilitarianisme secara utuh dirumuskan oleh Jeremy
Bentham dan dikembangkan secara lebih luas oleh James Mill dan John Stuart
Mill. Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang
mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan)
terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan
intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Bagi
Bentham, moralitas bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan
pada aturan-aturan abstrak, melainkan tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan
sebanyak mungkin kebahagiaan di dunia ini. Oleh karena itu, Bentham
memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas Kegunaan
atau Manfaat’ (the principle of utility).
Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah
asas yang menyuruh setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan
kebahagiaan atau kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk
sebanyak mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh karena
itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia, mestilah juga
merupakan ukuran moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan
cara’.
Bentham memperkenalkan metode untuk memilih tindakan
yang disebut denganutility calculus, hedonistic calculus,
atau felicity calculus. Menurutnya, pilihan moral harus dijatuhkan
pada tindakan yang lebih banyak jumlahnya dalam memberikan kenikmatan daripada
penderitaan yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Jumlah kenikmatan
ditentukan oleh intensitas, durasi, kedekatan dalam ruang, produktivitas
(kemanfaatan atau kesuburan), dan kemurnian (tidak diikuti oleh perasaan yang
tidak enak seperti sakit atau kebosanan dan sejenisnya).
1.
Para utilitarian
menyusun argumennya dalam tiga langkah berikut berkaitan dengan pembenaran
euthanasia (mercy killing):
2.
Perbuatan yang benar
secara moral ialah yang paling banyak memberikan jumlah kenikmatan dan
kebahagiaan pada manusia.
3.
Setidaknya dalam
beberapa kesempatan, perbuatan yang paling banyak memberikan jumlah kenikmatan
dan kebahagiaan pada manusia bisa dicapai melalui euthanasia.
4.
Oleh karena itu,
setidaknya dalam beberapa kesempatan, euthanasia dapat dibenarkan secara moral.
Sekalipun
mungkin argumen di atas tampak bertentangan dengan agama, Bentham mengesankan
bahwa agama akan mendukung, bukan menolak, sudut-pandang utilitarian bilamana
para pemeluknya benar-benar memegang pandangan mereka tentang Tuhan yang penuh
kasih sayang.
Pada sisi lain, para utilitarian menolak eksperimen2
saintifik tertentu yang melibatkan binatang, lantaran kebahagiaan atau
kenikmatan harus dipelihara terkait dengan semua makhluk yang bisa
merasakannya—terlepas apakah ia mukhluk berakal atau tidak. Lagi2, buat mereka,
melakukan hal yang menambah penderitaan adalah tindakan imoral.
Singkatnya, Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh
Jeremy Bentham, James Mill dan, anaknya, John Stuart Mill, dapat diringkas
dalam tiga proposisi berikut:Pertama, semua tindakan mesti dinilai
benar/baik atau salah/jelek semata-mata berdasarkan konsekuensi2 atau
akibat2nya. Kedua, dalam menilai konsekuensi2 atau akibat2 itu,
satu-satunya hal yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau penderitaan yang
dihasilkannya. Jadi, tindakan2 yang benar adalah yang menghasilkan surplus kebahagiaan
terbesar ketimbang penderitaan. Ketiga, dalam mengkalkulasi
kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan, tidak boleh
kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting daripada kebahagiaan
orang lain. Kesejahteraan tiap orang sama penting dalam penilaian dan kalkulasi
untuk memilih tindakan.
Gagasan Utilitarianisme yang menyatakan bahwa
‘kebahagiaan itu adalah hal yang diinginkan dan satu-satunya tujuan yang
diinginkan, semua hal lain diinginkan demi mencapai tujuan itu’ jelas mirip
dengan gagasan Hedonisme. Dan Hedonisme, seperti kita tahu, adalah keyakinan
klasik bahwa kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan adalah kebaikan tertinggi
dalam kehidupan.Istilah Hedonisme sendiri beasal dari kata
Yunani yang bermakna kesenangan. Hanya saja, Epicurus, tokoh utama Hedonisme
percaya bahwa manusia seharusnya mencari berbagai kesenangan, kebahagiaan dan
kenikmatan pikiran ketimbang tubuh. Katanya, orang bijak harus menghindari
kesenangan2 yang akhirnya akan berujung pada penderitaan.
Utilitarianisme cenderung menyamakan
kebaikan dengan kebahagiaan. Hedonisme gagal karena kesenangan inderawi
sederhana pada akhirnya bertentangan dengan tujuan-tujuan yang lebih kompleks.
Asketisme gagal karena usahanya memberangus nafsu dan tujuan-tujuan alamiah.
Egoisme gagal karena kebebasan personal yang tidak dapat diganggu gugat pada
akhirnya akan bertentangan dengan perlindungan maksimalnya. Stoisisme
menyamakan kebaikan dengan kebajikan. Eksistensialisme dan pesimisme salah
karena menga
Definisi Nilai Nilai,
dalam filsafat, adalah suatu prinsip atau standar untuk mempertimbangkan baik
buruknya sesuatu. Baik adalah sesuatu yang menyenangkan dan sesuai bagi maksud
tertentu, sedangkan buruk berarti yang tidak menyenangkan dan tidak sesuai bagi
maksud tertentu. Benar adalah kesesuaian putusan atau hasil kebaikan tertinggi
(dan tidak sekedar mendekati kebaikan), sedangkan salah berarti ketidaksesuaian
putusan atau hasil kebaikan tertinggi.
Sumber Nilai-Nilai
Nilai-nilai diturunkan dari maksud-maksud dan keinginan-keinginan. Keinginan
adalah hasrat-hasrat yang muncul dari muatan rasa senang dan rasa sakit.
Keinginan-keinginan tersebut bisa saja berbenturan antara satu dengan yang
lain, seiring dengan maksud dan kemampuan. Maksud adalah hasrat bagi
tercapainya tujuan tertentu. Kebahagiaan adalah kecenderungan manusia untuk
mencapai pemenuhan keinginan-keinginan dan hasrat-hasratnya. Tujuan tertinggi
bagi sebagian besar umat manusia adalah keterjagaan diri yang menampak pada
tiga hal: Keberlangsungan hidup personal: keberlanjutan tubuh, pikiran dan jiwa
Keberlangsungan genetis: keberlanjutan keluarga Keberlangsungan memetic:
keberlanjutan ingatan dan kreasi-kreasi Minoritas umat manusia memilih
tujuan-tujuan alternatif seperti rasa senang, sakit, pengetahuan, keindahan,
kasih sayang, keadilan, kelanjutan ekosistem, kapabilitas, ketentraman, atau
pembinasaan. Nilai intrinsik adalah nilai yang berasal dari maksud atau
keinginan yang berujung pada maksud dan keinginan itu sendiri, dan tidak murni
muncul dari maksud dan keinginan yang lain.
2.2 Aliran Sejarah
A.
Pelopor
Aliran Sejarah
Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich
Carl von Savigny (1778-1861) dan Puchta (1789-1846).
B.
Pengertian
Aliran Sejarah
Istilah
sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (شجرة: šajaratun) yang artinya
pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (تاريخ ). Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau
penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu atau orang pandai.
Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history,
yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.
C. Pandangan Aliran Sejarah
Sebagian dari pokok ajarannya
ialah bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh
dari dan dengan rakyat, berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati,
manakala rakyat kehilangan kepribadiannya (das
recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich aus mit
diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen eigentuum lichkeit
verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai
berikut:
1.
Jangan sampai kepentingan dari
golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2.
Tidak selamanya peraturan
perundang-undangan timbul begitu saja, karena dalam kenyataannya banyak
ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang tidak akan terbentuk tanpa
perjuangan keras.
3.
Jangan sampai peranan hakim dan
ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya,
tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi bentuk
hukum.
4.
Dalam banyak kasus peniruan
memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui oleh penganut Mazhab
Sejarah. Banyak bangsa yang dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan
mendapat pengaruh dari Hukum Perancis.
Tulisan von Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap
Thibaut , di samping itu juga hendak memberi tempat yang terhormat bagi hukum rakyat Jerman yang
asli di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan agar hukum Jerman itu
berkembang menjadi hukum nasional Jerman.Tantangan von Savigny terhadap
kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak
memiliki kodifikasi hukum perdata.Pengaruh pandangan von Savigny juga terasa
sampai jauh ke luar batas negeri Jerman.
Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid
von Savigny berpendapat bahwa hukum
dapat berbentuk:
1.
Langsung, berupa adat-istiadat.
2.
Melalui undang-undang.
3.
Melalui ilmu hukum dalam bentuk
karya para ahli hukum.
Namun ketika pembentukan hukum tersebut masih berhubungan erat
dengan jiwa bangsa (volksgeist) yang
bersangkutan.
Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian “bangsa” ke dalam dua
jenis, yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut “bangsa alam” dan
bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional
(negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
Menurut
Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui
kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negera mengesahkan
hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta mengutamakan pembentukan hukum
dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi
sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam adat-istiadat bangsa dan
pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum.Adat-istadat bangsa hanya berlaku
sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara.Sama halnya dengan pengolahan hukum
oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran mereka tentang hukum memerlukan pengesahan
negara supaya berlaku sebagai hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara
tidak membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa
bantuan kaum yuris, tanpa menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan
dipraktikkan sebagai adat-istiadat.
Membahas tentang pandangan mazhab historis, oleh Lili Rasjidi dalam bukunya
yang berjudul Dasar-dasar Filsafat Hukum (1996: 69) mengemukakan bahwa
"Pandangan Von Savigny berpangkal kepada bahwa di dunia ini terdapat
macam-macam bangsa yang pada tiap-tiap bangsa tersebut mempunyai suatu
Volkgeist-jiwa rakyat. Jiwa ini berbeda-beda, baik menurut waktu maupun menurut
tempat. Pencerminan dari pada adanya jiwa yang berbeda ini nampak pada
kebudayaan dari bangsa tadi yang berbeda-beda. Ekspresi itu nampak pula pada
hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada tiap tempat dan waktu".
Ungkapan di atas, menunjukkan bahwa,
aliran historis adalah bahwa hukum merupakan pencerminan atau penjelmaan dari
jiwa rakyat yang ada dalam suatu tempat tertentu, Oleh karena jiwa rakyat
relatif berbeda dengan rakyat di tempat lainnya dan pada waktu tertentu, maka
konsekwensinya adalah bahwa hukum tidak mungkin ada yang bersifat universal
seperti pandangan aliran hukum alam.
Ini
berarti bahwa hukum tidak selalu sama antara tempat yang satu dengan tempat
yang lainnya, karena pada setiap tempat di dunia ini didiami oleh penduduk atau
rakyat yang memiliki semangat dan jiwa yang berbeda-beda yang menentukan isi
hukum yang ada di tempat yang bersangkutan.
Bukan
cuma itu, hukum juga berbeda antara waktu tertentu dengan waktu lainnya, baik
sebelum maupun sesudahnya, sehingga dengan demikian menurut pandangan aliran
ini adalah suatu hal yang tidak mungkin jiika ada suatu jenis hukum yang
dapat berlaku di mana dan kapan saja di dunia ini sebagaimana
dikemukakan oleh aliran hukum alam.
Penjelasan
yang lebih rinci tentang pandangan aliran historis ini, dikemukakan oleh Riduan
Syahrani dalam bukunya yang berjudul Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (1999: 43),
dengan mengutip pendapat W. Friedmann dalam bukunya Legal Theory yang
dikutip oleh Utrecht, menyimpulkan pendapat Von Savigny sebagai berikut:
1. Hukum tidak
dibuat (hasil penggunaan rasio), tetapi ditemukan (didapatkan),
2. Masyarakat
dunia terbagi dalam banyak masyarakat, yang masing-masing mempunyai volkgeist sendiri,
yaitu suatu adat-istiadat sendiri. Sumber hukum satu-satunya adalah kesadaran
hukum rakyat ini menjadi dasar (hukum) kebiasaan maupun (hukum) undang-undang.
Maka dari itu hukum kebiasaan dan undang-undang kedudukannya sederajat,
3. Yang
menjadi sumber satu-satunya dari hukum ialah kesadaran hukum rakyat.
Kebiasaan dan Undang-undang sebenarnya bukan sumber dari hukum, tetapi hanya
suatu kenbron (sumber pengenal hukum) yang membuktikan adanya hukum itu. Orang
yang hidup dalam suatu masyarakat luas, tidak dapat menyatakan hukum sendiri.
Sumber
hukum satu-satunya menurut aliran atau mazhab tersebut hanya kesadaran hukum
rakyat yang ada dan juga sekaligus sebagai dasar lahirnya hukum kebiasaan.
Mengingat bahwa jiwa rakyat atau juga sering disebut sebagai kesadaran hukum
berbeda antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, sehingga
hukumpun berbeda antara tempat yang satu dengan tempat lainnya.
Kebiasaan
dan Undang-Undang sebenarnya bukanlah sumber hukum, melainkan hanya sebagai
tanda untuk mengenal adanya hukum. Masyarakat atau individu tidak dapat
menyatakan adanya hukum, walaupun sesungguhnya hukum itu merupakan jiwa dan
semangatnya. Yang dapat menyatakan hukum hanyalah para sarjana hukum. Ini
dimaksudkan bahwa sarjana hukum itulah yang dianggap mengetahui dan dapat
menilai jiwa rakyat, sehingga dapat mencetuskannya sebagai hukum yang ada pada
waktu itu, apakah dalam bentuk Undang-Undang atau bentuk lainnya. Sarjana hukum
itu pulalah yang menyatakan dilaksanakannya hukum itu di dalam suatu
masyarakat.
Dengan pandangan
seperti tersebut, maka kiranya jelas bahwa pandangan aliran historis sangat
berbeda dengan Pandangan aliran hukum alam yang mengajarkan adanya suatu hukum
yang secara qodrati dapat berlaku secara universal, baik dalam arti tempat
berlakunya, maupun waktunya. Wallahu a’lam
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut kaum
utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau
mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik bagi
diri sendiri ataupun orang lain.Adapun maksimalnya adalah dengan memperbesar
kegunaan, manfaat, dan keuntungan yang dihasilkan oleh perbuatan yang akan
dilakukan. Perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan kebahagiaan
daripada penderitaan, manfaat daripada kesia-siaan, keuntungan daripada
kerugian, bagi sebagian besar orang.Dengan demikian, perbuatan manusia baik
secara etis dan membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri
sendiri dan orang lain.
Seseorang hendaknya
bertindak sedemikian rupa, sehingga memajukan kebahagiaan (kesenangan) terbesar
dari sejumlah besar orang.Tindakan secara moral dapat
dibenarkan jika ia menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan,
dibandingkan tindakan yang mungkin diambil dalam situasi dan kondisi yang
sama.Secara umum, harkat atau nilai moral tindakan dinilai menurut kebaikan dan keburukan
akibatnya.Ajaran bahwa prinsip kegunaan terbesar hendaknya menjadi kriteria
dalam perkara etis.Kriteria itu harus diterapkan pada konsekuensi-konsekuensi
yang timbul dari keputusan-keputusan etis.
Lahirnya aliran sejarah adalah
sebagai akibat adanya keberatan terhadap pandangan hukum alam yang dapat
berlaku secara universal. Aliran menyatakan bahwa hukum merupakan pencerminan
atau penjelmaan dari jiwa rakyat yang ada dalam suatu tempat tertentu,
Oleh karena jiwa rakyat relatif berbeda dengan rakyat di tempat lainnya dan
pada waktu tertentu, maka konsekwensinya adalah bahwa hukum tidak mungkin ada
yang bersifat universal seperti pandangan aliran hukum alam.
Ini
berarti bahwa hukum tidak selalu sama antara tempat yang satu dengan tempat
yang lainnya, karena pada setiap tempat di dunia ini didiami oleh penduduk atau
rakyat yang memiliki semangat dan jiwa yang berbeda-beda yang menentukan isi
hukum yang ada di tempat yang bersangkutan.
3.2 Saran
Kami memberi saran kepada dunia
pendidikan dan khususnya kepada guru Pendidikan kewarganegaraan agar mengenai
materi aliran utilitarianisme dan aliran sejarah agar dapat diajarkan kepada
peserta didik dengan maksimal supaya para peserta didik dapat memahaminya
dengan baik.
No comments:
Post a Comment