SEJARAH
DEMOKRASI
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
dari Mata Kuliah Isu-Isu Ham dan Demokrasi pada Program
Pascasarjana Jurusan Pendidikan IPS
Dosen : Prof. Dr. Sc. H. M. Ahman Sya, Drs, M.Pd,
M.Sc
Disusun Oleh :
Lan Lan Risdiana
12870037
PROGRAM PASCASARJANA JURUSAN
PENDIDIKAN IPS
STKIP
PASUNDAN CIMAHI
2013
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukurkami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat taufik dan hidayahnya akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan
makalah yang berjudul “SEJARAH
DEMOKRASI” dengan baik dan lancar
Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah
satu tugas dari mata kuliah Isu-Isu Ham dan Demokrasi pada Program Pascasarjana Jurusan
Pendidikan IPS STKIP Pasundan Cimahi.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka, atas
selesainya penyusunan makalah ini kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu, diantaranya:
a. Prof.
Dr. Sc. H. M. Ahman Sya, Drs, M.Pd, M.Sc selaku dosen mata kuliah Isu-isu
Ham dan Demokrasi
b.
Orang tua
c.
Rekan-rekan
Kami menyadari bahwa keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan, telah menjauhkan makalah ini dari kesempurnaan. Untuk itu sumbang
saran serta kritik yang membangun dari para pembaca senantiasa kami harapkan.
Akhirnya
besar harapan kami, makalah ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang
bergerak dari dunia pendidikan pada umumnya
Cimahi, Januari
2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Orde Baru adalah sebutan
bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan
Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan
semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh
Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik
korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat
yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968,
MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden,
dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978,
1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden
Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Bagaimana
orang menyeimbangkan demokrasi? Bisakah kita menerima pemerintahan oleh
mayoritas, sementara minoritas tetap dihormati dan dilindungi? Sistem demokrasi
di seluruh dunia harus menghadapi pertanyaan tentang bagaimana menjaga
keseimbangan antara gagasan ‘pemerintahan oleh mayoritas’ di satu pihak, dan
gagasan demokrasi yang mempertimbangkan ‘para individu’ di pihak lain. Masalah
ini sebenarnya sudah cukup lama dikenali. Para ahli teori demokrasi seperti
Alexis De Tocqueville and John Stuart Mill pernah menyinggung gagasan tentang
‘Tirani Mayoritas’ dalam studinya yang sangat terkenal “Democracy in America” dalam abad ke 19,
sementara Mill pernah mengingatkan kita tentang bagaimana mayoritas dapat
meloloskan hukum atau undang-undang yang memiliki pengaruh sangat menjijikkan
bagi kelompok minoritas.
Maka, orang
juga kerap bertanya apakah demokrasi? Apakah demokrasi berarti bahwa negara
harus melindungi para individu, ataukah
demokrasi hanya berarti sebagai pemerintahan oleh mayoritas? Juga di Indonesia,
ketika demokratisasi tidak segera membuahkan hasil berupa kesejahteraan dan
stabilitas sosial-politik yang lebih baik (seperti yang tersirat dalam ungkapan
bahwa “demokrasi kita sudah keblablasan”), maka ada alasan bagi sebagian orang
yang menginginkan agar Indonesia kembali pada sistem lama, yaitu pada model
kekuasaan otoritarian yang menjanjikan terciptanya kesejahteraan dan stabilitas
dalam waktu yang cepat.
Demokrasi
jelas disadari bukan sebagai sistem yang sempurna, tetapi ada petunjuk kuat
bahwa demokrasi adalah sistem terbaik di antara sistem lain dalam pengaturan pemerintahan
manusia oleh manusia yang pernah dicoba dalam sejarah. Karena itu, seperti yang
sering disuarakan oleh sejumlah ahli, yang diperlukan sesungguhnya adalah
pendalaman demokrasi (deepening demokrasi), bukan menolak demokrasi itu
sendiri.
Pada tingkat
kekuasaan, demokratisasi akan berarti keharusan untuk memperkuat paham
kedaulatan rakyat (people sovereignty) dan menegakkan aturan main demokratis
(dalam bentuk konstitusi dan rule of law), namun pada level akar rumput dan di
kalangan generasi muda, tantangan demokratisasi menunjukkan wajah yang agak
berlainan.
Michael
Oakeshott dan F.A. Hayek pernah menyatakan bahwa sivitas atau negara sebagai
bentuk purposive association yaitu pengelompokkan yang dibentuk karena
persamaan tujuan atau maksud (shared purposes or goals), memiliki kecenderungan
mencerabut kebebasan berasosiasi bagi kelompok-kelompok yang memiliki tujuan
sendiri yang dianggap seolah-olah berbeda dengan tujuan bangsa secara keseluruhan. Akibatnya, negara
purposive (yang dilawankan dengan ‘enterprise association) semacam itu mau
tidak mau cenderung melanggar kebebasan berasosiasi, menuntut keharusan
partisipasi dalam kelompok yang mendukung tujuan-tujuan dari sivitas (negara),
dan pada saat yang bersamaan menindas siapapun yang menganggu usaha pencapaian
tujuan yang dimaksukan (purposive goals). Pada akhirnya, hanya dengan
memastikan pemerintah bersikap netral dalam kaitannya dengan berbagai tujuan
yang ada dalam masyarakat, maka civil society akan bisa bertumbuh dengan subur.
Meskipun kebebasan berasosiasi tidak disebut dengan cara yang sama seperti
kebebasan berpendapat (free speech) dan kebebasan berkumpul (freedom of
assembly), kebebasan itu nampak menjadi salah satu “kebebasan dasar” dari banyak masyarakat liberal setidaknya
menurut para pemikir seperti Rawls, Mill dan banyak pemikir liberal yang lain.
Tetapi
gagasan tentang netralitas negara mendapatkan kritik karena dianggap tidak
mencerminkan kenyataan sebenarnya dari kebijakan yang sering dan bisa diambil
oleh negara. Misalnya, kebijakan hukum yang diambil oleh negara selalu
mengandung konsepsi tersembunyi mengenai pengertian tentang hidup yang baik.
Lebih tajam lagi, para pengkritiknya (yaitu kelompok komunitarian yang diwakili
oleh tokoh seperti William Galston, Michael Sandel, dan Benjamin Barber) tidak
mempercayai klaim liberal bahwa
masyarakat sipil memiliki kemampuan untuk mengarahkan dirinya sendiri,
menyatakan, sebagaimana pernah dikemukakan juga oleh Alexis de Tocqueville
bahwa adanya dorongan dalam masyarakat sipil sendiri yang mungkin menghambat
pembentukan asosiasi sipil. Ada kecenderungan dalam masyarakat sipil itu
sendiri—misalnya dalam bentuk sentralisasi ekonomi, monopoli media, pemaksaan
kepentingan khusus, dan partai politik yang terorganisasi--membatasi jangkauan
kemungkinan yang dapat diberikan pada individu. Jelas bahwa sejumlah tujuan
(ends) tidak bebas dipilih oleh para individu,
melainkan justru ‘terberikan’ (given) atau dipaksa diberlakukan oleh
kesempitan peluang atau ketiadaan kesempatan.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas,
dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa arti istilah dan sejarah demokrasi?
b. Apa contoh tindakan yang menentang demokrasi?
c. Bagaimana demokrasi di Indonesia?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah pendidikan kewarganegaraan tetapi juga
untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada pembaca mengenai arti istilah
dan sejarah demokrasi, contoh tindakan yang menentang demokrasi, dan
pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Arti Istilah dan Sejarah Demokrasi
Istilah
“demokrasi” berasal dari yunani kuno yang diutarakan di Athena Kuno pada abad
ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah
sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah
ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak
negara.
Kata
“demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos
/cratein yang berarti pemerintahan. Sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata
kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab
demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu
negara.
Demokrasi
menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara
dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip
semacam ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta
sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata
tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan
absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi
manusia.
Demikian
pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan
berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan
tunjangan anggota-anggotanya tanpa memperdulikan aspirasi rakyat, tidak akan
membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya,
setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus
ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntibilitas dari setiap lembaga negara
dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi
kekuasaan lembaga negara tersebut.
2.2 Kegagalan Demokrasi Indonesia
Indonesia
tengah dilanda berbagai masalah yang kompleks. Sistem demokrasi yang seyogyanya
menghasilkan masyarakat yang bebas dan sejahtera, tidak terlihat hasilnya,
malah kenyataannya bertolak belakang. Berikut ini adalah beberapa fenomena
kegagalan demokrasi di Indonesia.
a.
Pertama, Presiden tidak cukup kuat untuk menjalankan
kebijakannya. Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini membuat posisi
presiden presiden kuat dalam ati sulit untuk digulingkan.
b.
Namun, di parlemen tidak terdapat partai yang dominan,
termasuk partai yang mengusung pemerintah. Ditambah lagi peran lagislatif yang
besar pasca reformasi ini dalam menentukan banyak kebijakan presiden. Dalam
memberhentikan menteri misalnya, presiden sulit untuk memberhentikan menteri
karena partai yang “mengutus” menteri tersebut akan menarik dukungannya dari
pemerintah dan tentunya akan semakin memperlemah pemerintah. Hal ini membuat
presiden sulit mengambil langkah kebijakannya dan mudah di-“setir” oleh partai.
c.
Kedua, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat
justru di tengah kebebasan demokrasi. Tingkat kesejahteraan menurun setelah
reformasi, yang justru saat itulah dimulainya kebebasan berekspresi,
berpendapat, dll. Ini aneh mengingat sebenarnya tujuan dari politik adalah
kesejahteraan. Demokrasi atau sistem politik lainnya hanyalah sebuah alat.
Begitu pula dengan kebebasan dalam alam demokrasi, hanyalah alat untuk mencapai
kesejahteraan.
d.
Ketiga, tidak berjalannya fungsi partai politik.
Fungsi partai politik paling tidak ada tiga: penyalur aspirasi rakyat,
pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama, dan sarana pendidikan politik
masyarakat. Selama ini dapat dikatakan ketiganya tidak berjalan. Partai politik
lebih mementingkan kekuasaan daripada aspirasi rakyat.
e.
Fungsi partai politik sebagai pemusatan
kepentingan-kepentingan yang sama pun tidak berjalan mengingat tidak adanya
partai politik yang konsisten dengan ideologinya. Partai politik sebagai sarana
pendidikan politik masyarakat lebih parah. Kita melihat partai mengambil suara
dari masyarakat bukan dengan pencerdasan terhadap visi, program partai, atau
kaderisasi. Melainkan dengan uang, artis, kaos, yang sama sekali tidak
mencerdaskan malah membodohi masyarakat.
f.
Keempat, ketidakstabilan kepemimpinan nasional. Jika
kita cermati, semua pemimpin bangsa ini mualai dari Soekarno sampai Gus Dur,
tidak ada yang kepemimpinannya berakhir dengan bahagia. Semua berakhir tragis
alias diturunkan. Ini sebenarnya merupakan dampak dari tidak adanya pendidikan
politik bagi masyarakat. Budaya masyarakat Indonesia tentang pemimpinnya adalah
mengharapkan hadirnya “Ratu Adil” yang akan menyelesaikan semua masalah mereka.
Ini bodoh. Masyarakat tidak diajari bagaimana merasionalisasikan
harapan-harapan mereka. Mereka tidak diajarkan tentang proses dalam
merealisasikan harapan dan tujuan nasional.
Hal ini diperburuk dengan sistem pemilihan pemimpin
yang ada sekarang (setelah otonomi), termasuk pemilihan kepala daerah yang
menghabiskan biaya yang mahal. Calon pemimpin yang berkualitas namun tidak
berduit akan kalah populer dengan calon yang tidak berkualitas namun memiliki
uang yang cukup untuk kampanye besar-besaran, memasang foto wajah mereka
besar-besar di setiap perempatan. Masyarakat yang tidak terdidik tidak dapat
memilih pemimpin berdasarkan value.
g.
Kelima, birokrasi yang politis, KKN, dan
berbelit-belit. Birokrasi semasa orde baru sangat politis. Setiap PNS itu
Korpri dan wadah Korpri adalah Golkar. Jadi sama saja dengan PNS itu Golkar.
Ini berbahaya karena birokrasi merupakan wilayah eksekusi kebijakan. Jika birokrasi
tidak netral, maka jika suatu saat partai lain yang memegang pucuk kebijakan,
maka dia akan sulit dalam menjalankan kebijakannya karena birokrasi yang
seharusnya menjalankan kebijakan tersebut memihak pada partai lain. Aknibatnya
kebijakan tinggal kebijakan dan tidak terlaksana. Leibih parahnya, ini dapat
memicu reformasi birokrasi besar-besaran setiap kali ada pergantian
kepemimpinan dan tentunya ini bukanlah hal yang baik untuk stabilitas
pemerintahan. Maka seharusnya birokrasi itu netral.
Banyak sekali kasus KKN dalam birokrasi. Contoh kecil
adalah pungli, suap, dll. Ini menjadi bahaya laten karena menimbulkan
ketidakpercayaan yang akut dari masyarakat kepada pemerintah. Selain itu
berdampak pula pada iklim investasi. Investor tidak berminat untuk berinvestasi
karena adanya kapitalisasi birokrasi.
Hal di atas mendorong pada birokrasi yang tidak
rasional. Kinerja menjadi tidak professional, urusan dipersulit, dsb. Prinsip
yang digunakan adalah “jika bisa dipersulit, buat apa dipermudah”.
h.
Keenam, banyaknya ancaman separatisme. Misalnya Aceh,
Papua, RMS, dll. Ini merupakan dampak dari dianaktirikannya daerah-daerah
tersebut semasa orde baru, yang tentunya adalah kesalahan pemerintah dalam
“mengurus anak”. Tentunya ini membuat ketahanan nasional Indonesia menjadi
lemah, mudah diadu domba, terkurasnya energi bangsa ini, dan mudah dipengaruhi
kepentingan asing.
2.3 Kegagalan Demokrasi Elitis Di Indonesia
Sejak
Pemilu 1999, secara formal Indonesia telah menempuh rute demokrasi dalam
perjalanan politiknya sebagai bangsa menuju masa depan dimana, semua hak asasi
dari semua dimajukan dan dilindungi.
Jika
rute ini bisa ditempuh dengan sukses, Indonesia akan menjadi negara demokrasi
terbesar ketiga di dunia setelah AS dan India, negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia. Tetapi jika pilihan untuk menempuh demokrasi ini gagal, maka
kegagalannya akan menjadi kegagalan keempat dalam pengalaman sejarahnya sejak
1945. Seperti diketahui, kegagalan pertama terjadi pada 1959 ketika demokrasi
liberal diganti menjadi demokrasi terpimpin. Kegagalan kedua terjadi pada
1965/66 dengan dimusnahkannya gerakan kiri dan demokrasi kerakyatannya. Dan
kegagalan ketiga adalah pupusnya upaya-upaya kelas menengah liberal pada awal
1970an untuk meliberalisasi politik Orde Baru yang diikuti oleh pelembagaan
sistem politik otoritarian hingga 1998.
Pengalaman
selama lima tahun terakhir ini memperlihatkan beberapa gejala bahwa ternyata
demokrasi liberal pasca reformasi tidak berhasil menanggulangi masalah-masalah
kritis yang dihadapi bangsa, bahkan cenderung mengidap potensi-potensi
kegagalan:
Institusi-institusi
demokrasi telah dikuasai (kembali) oleh kalangan elite; sementara para aktivis
pro-demokrasi yang dulu merebutnya dari Orde Baru tetap berada pada posisi
marginal. Demokrasi liberal ternyata hanya menguntungkan kalangan elite, dan
menjadi suatu bentuk demokrasi elitis – untuk tidak menyebutnya oligarki
liberal;
Korupsi
terus tidak tertanggulangi, bahkan makin merajalela sampai ke tingkat lokal.
Sementara desentralisasi berpotensi menyebabkan munculnya kekuasaan bos-lokal
yang pada gilirannya berpotensi menjadi kaki-tangan berbagai kekuatan
sentralistis yang berada di Jakarta, Tokyo, New York, London dan pusat-pusat
kekuasaan ekonomi politik.
Depolitisasi
masyarakat sipil masih terus berlangsung dengan menguatnya suasana anti-politik
yang terus meluas. Partisipasi memang tumbuh subur, tetapi perluasan
partisipasi tampaknya tidak berbanding lurus dengan perubahan hubungan-hubungan
kekuasaan yang memungkinkan rakyat banyak menikmati sumber-sumber daya politik
dan ekonomi.
Kegagalan
demokrasi tampaknya juga disebabkan karena faktor lain, yakni bahwa para aktor
pro-demokrasi tidak cukup punya akses, kemauan, dan kapasitas untuk
mengendalikan (controle) proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan mereka. Mereka terus berada di barisan anti-negara, di luar sistem,
di luar struktur. Urusan demokrasi bagaimanapun masih dipahami oleh para
aktivis sebagai urusan pergantian rezim, padahal agenda demokratisasi
memerlukan energi lebih besar untuk rekonstruksi negara dan masyarakat.
2.4 Demokrasi di Indonesia
Demokrasi
di negara Indonesia sudah mengalami kemajuan yang pesat. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan dibebaskan menyelenggarakan kebebasan pers, kebebasan
masyarakat dalam berkeyakinan, berbicara, berkumpul, mengeluarkan
pendapat, mengkritik bahkan mengawasi jalannya pemerintahan. Tapi bukan berarti
demokrasi di Indonesia saat ini sudah berjalan sempurna. Masih banyak persoalan
yang muncul terhadap pemerintah yang belum sepenuhnya bisa menjamin kebebasan
warga negaranya. Seperti meningkatnya angka pengangguran, bertambahnya
kemacetan di jalan, semakin parahnya banjir, dan masalah korupsi.
Dalam
kehidupan berpolitik di setiap negara yang kerap selalu menikmati kebebasan
berpolitik namun tidak semua kebebasan berpolitik berjalan sesuai dengan yang
diinginkan, karena pada hakikatnya semua sistem politik mempunyai kekuatan dan
kelemahannya masing-masing. Demokrasi adalah sebuah proses yang terus menerus
merupakan gagasan dinamis yang terkait erat dengan perubahan. Jika suatu negara
mampu menerapkan kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan dengan sempurna, maka
negara tersebut adalah negara yang sukses menjalankan sistem demokrasi.
Sebaliknya, jika suatu negara itu gagal menggunakan sistem pemerintahan
demokrasi, maka negara itu tidak layak disebut sebagai negara demokrasi. Oleh
karena itu, kita sebagai warga negara Indonesia yang menganut sistem
pemerintahan yang demokrasi, kita sudah sepatutnya untuk terus menjaga,
memperbaiki, dan melengkapi kualitas-kualitas demokrasi yang sudah ada. Demi
tercapainya suatu kesejahteraan, tujuan dari cita-cita demokrasi yang
sesungguhnya akan mengangkat Indonesia kedalam suatu perubahan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Istilah
“demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena Kuno pada abad
ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah
sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah
ini telah berubah sejalan dengan waktu dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” dibanyak
negara.
Kata
“demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat dan
kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata
kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab
demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu
negara.
Negara
Indonesia menunjukkan sebuah Negara yang sukses menuju demokrasi sebagai bukti
yang nyata, dalam pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Selain itu
bebas menyelenggarakan kebebasan pers. Semua warga negara bebas berbicara,
mengeluarkan pendapat, mengkritik bahkan mengawasi jalannya pemerintahan.
Demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat bahkan dalam memilih
salah satu keyakinanpun dibebaskan.
Pelaksanaan
demokrasi di Indonesia yang meliputi: pada masa orde lama, orde baru, masa
reformasi yang terdiri dari: Reformasi pada masa B.J. Habiebie, Megawati
Soekarno Putri, Abdurrahman Wahid/Gusdur, hingga presiden yang sekarang Susilo
Bambang Yudhoyono.
3.2 Saran
Demokrasi di Indonesia yang
berdasarkan atas demkrasi pancasila hendaknya benar-benar dapat dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab serta dapat menjungjung tinggi atas kepentingan
rakyat di atas segala-galanya dari kepentingan pribadi.
No comments:
Post a Comment