ANALISIS BUKU MAX WEBER (THE
PROTESTANT ETHNIC AND THE SPIRIT OF CAPITALISM) DAN ROBERT BELLAH
(TOKUGAWA RELIGION)
Laporan
Diajukan untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Teori Sosiologi dan Antropologi pada Program Pascasarjana Jurusan Pendidikan IPS
Dosen : Prof. Dr. H. Endang Komara, Drs,
M.Si
Disusun Oleh :
Lan Lan Risdiana
12870037
PROGRAM PASCASARJANA JURUSAN PENDIDIKAN IPS
STKIP PASUNDAN CIMAHI
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT karena berkat taufik dan
hidayahnya akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas laporan buku
mengenai “Analisis Buku Max Weber (The Protestant Ethnic And The Spirit Of
Capitalism) dan Robert Bellah (Tokugawa Religion)” dengan baik dan lancar.
Laporan buku ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata
kuliah Teori Sosiologi dan Antropologi pada Program Pascasarjana STKIP
Pasundan Cimahi.
Disadari bahwa laporan ini tidak akan berhasil tanpa
bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka,
atas selesainya penyusunan laoporan buku ini kami ucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu,
diantaranya:
a.
Allah SWT
b.
Prof. Dr. H. Endang Komara,
Drs. M.Si selaku Dosen Mata Kuliah Teori Sosiologi dan Antropologi
c.
Rekan-rekan
Kami
menyadari bahwa keterbatasan kemampuan dan pengetahuan, telah menjauhkan laporan buku ini dari
kesempurnaan. Untuk itu sumbang saran serta kritik yang membangun dari para
pembaca senantiasa kami
harapkan.
Akhirnya besar harapan kami, laporan
ini dapat memberi manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pembaca.
Cimahi, Desember
2012
Penyusun
BAB I
GAMBARAN UMUM ISI BUKU
1.1 Sekilas
Isi Buku Max Weber (The Protestant Ethnic And The Spirit Capitalism)
Buku ini menjelaskan tentang upaya pertama Weber dalam menggunakan
konsep rasionalisasi. Gagasannya bahwa kapitalisme modern berkembang dari
pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan berarti suatu perubahan terhadap
cara keberadaan yang rasional. Pada suatu titik tertentu, rasional ini
berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya,
sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya,
"Semangat Kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah Semangat
Rasionalisme, dalam pengertian yang lebih luas.
1.2 Sekilas Isi Buku Tokugawa Religion (Robert
Bellah)
Buku ini menjelaskan bahwa pada masa Tokugawa agama kristen
dilarang dan orang Jepang diharuskan untuk beragama Budha yang resmi diakui.
Padahal agama Budha pada masa itu telah mengalami masa surut sejak tahun 1600.
Di dalam tradisi religius yang besar ini terdapat banyak sub-sekte yang
berpangkal dari perbedaan-perbedaan doktrinal kecil, pertikaian antar kuil,
persaingan para pendiri, dan sebagainya. Dan setiap sekte memiliki kuil utama
untuk mengontrol pengaturan administratif setiap sekte. Aspek-aspek struktur
sosial Shinto cenderung lebih rumit dibanding yang ada pada Budhisme. Shinto
adalah suatu nama yang digunakan untuk merangkum satu keberagaman fenomena.
BAB II
KAJIAN BUKU
1.1
Max Weber (The Protestant
Ethnic and The Spirit Of Capitalism)
Dalam buku ini Weber memaparkan bahwa etika dan gagasan-gagasan Puritan telah memengaruhi
perkembangan kapitalisme. Namun demikian, devosi
keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan-urusan duniawi,
termasuk pengejaran akan harta kekayaan.
Beliau mendefinisikan semangat
kapitalisme
sebagai gagasan dan kebiasaan yang menunjang
pengejaran keuntungan ekonomi secara rasional. Weber juga menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidaklah
terbatas pada budaya Barat bila hal itu dipandang
sebagai sikap individual, namun bahwa upaya
individual yang heroik (demikian ia menyebutnya) tidak dapat dengan sendirinya
membentuk suatu tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme).
Kecenderungan-kecenderungan yang paling umum adalah
keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimal dan gagasan bahwa kerja
adalah suatu kutukan dan beban yang harus
dihindari khususnya ketika hasilnya melebihi dari kebutuhan untuk kehidupan
yang sederhana.
Setelah mendefinisikan 'semangat kapitalisme'. Weber
berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk menemukan asal-usulnya di dalam
gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William
Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle,John Keats, dan lain-lainnya telah mengomentari kedekatan antara
Protestanisme dengan perkembangan komersialisme.
Weber memperlihatkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu
mendukung pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi
telah memperoleh makna spiritual dan moral yang positif.
Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih
sebagai produk sampingan logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan
advis yang didasarkan pada mereka baik yang baik secara langsung maupun tak
langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan
ekonomi. Weber menelusiri asal-usul etika Protestan pada Reformasi. Dalam pandangannya, di bawah Gereja Katolik Roma seorang individu dapat
dijamin keselamatannya melalui kepercayaan akan sakramen-sakramen gereja dan otoritas hierarkhinya. namun, Reformasi
secara efektif telah menyingkirkan jaminan-jaminan tersebut bagi orang biasa,
meskipun Weber mengakui bahwa seorang "genius keagamaan"
seperti Martin Luther mungkin dapat memiliki
jaminan-jaminan tersebut.
Dalam keadaan tanpa jaminan seperti itu dari otoritas
keagamaan, Weber berpendapat bahwa kaum Protestan mulai mencari
"tanda-tanda" lain yang menunjukkan bahwa mereka selamat. Sukses
dunia menjadi sebuah ukuran keselamatan. Mendahului Adam Smith (tapi dengan menggunakan argumen yang sangat berbeda),
Luther memberikan dukungan awal terhadap pembagian kerja yang mulai berkembang
di Eropa. Karenanya, menurut penafsiran Weber atas Luther, suatu
"panggilan" dari Tuhan tidak lagi terbatas kepada kaum rohaniwan atau
gereja, melainkan berlaku bagi pekerjaan atau usaha apapun. Namun demikian,
Weber melihat pemenuhan etika Protestan bukan dalam Lutheranisme, yang ditolaknya lebih sebagai sebuah agama hamba,
melainkan dalam bentuk Kekristenan yang Calvinis.
Dalam pengertian yang sederhana yang ditemukan Weber
adalah:
a.
Menurut agama-agama Protestan yang
baru, seorang individu secara keagamaan didorong untuk mengikuti suatu
panggilan sekular dengan semangat sebesar mungkin. Seseorang yang hidup menurut
pandangan dunia ini lebih besar kemungkinannya untuk mengakumulasikan uang.
b.
Namun, menurut agama-agama baru ini
(khususnya, Calvinisme), menggunakan uang ini untuk kemewahan pribadi atau
untuk membeli ikon-ikon keagamaan
dianggap dosa. Selain itu, amal umumnya dipandanga negatif karena orang yang
tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang sebagai gabungan dari kemalasan
atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya.
Cara memecahkan keadaan ini, demikian Weber, adalah menginvetasikan uang ini, yang memberikan dukungan besar bagi lahirnya
kapitalisme. Weber percaya bahwa dukungan dari etika Protestan pada umumnya
telah lenyap dari masyarakat. Khususnya, ia mengutip tulisan Benjamin Franklin, yang menekankan kesederhanaan, kerja keras dan
penghematan, namun pada umumnya tidak mengandung isi rohani.
Weber juga mengatakan bahwa sukses dari produksi massal
sebagian disebabkan oleh etika Protestan. Hanya setelah barang-barang mewah
yang mahal ditolak, maka individu-individu dapat menerima produk-produk yang
seragam, seperti pakaian dan mebel, yang ditawarkan oleh industrialisasi. Weber
menegaskan bahwa sementara gagasan-gagasan agama Puritan mempunyai pengaruh
yang besar terhadap perkembangan tatanan ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, mereka bukanlah faktor satu-satunya (yang lainnya termasuk
rasionalisme dalam upaya-upaya ilmiah, penggabungan antara observasi dengan matematika,aturan ilmiah dan yurisprudensi,sistematisasi rasional terhadap pemerintahan, dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang etika Protestan,
menurut Weber, semata-mata hanyalah menyelidiki suatu tahap dari emansipasi dari magi, pembebasan dari ilusi dunia, yang
dianggapnya sebagai ciri khas yang membedakan dari budaya Barat.
Weber mengamati bahwa agama
Kristen memberikan nilai yang positif terhadap dunia material yang bersifat
kodrati. Ia berpendapat bahwa meskipun orang Kristen memiliki tujuan tertinggi di
dunia lain, namun di dunia ini, termasuk aspek-aspek material yang ada padanya
dinilai secara positif sebagai tempat untuk melakukan usaha-usaha yang aktif.
Ia sendiri menemukan sikap terhadap dunia material tersebut teramat kuat
di kalangan orang-orang Kristen Protestan.
Menurut Weber, sikap seperti
itu erat hubungannya dengan salah satu konsep yang berkembang di kalangan
Protestan yakni konsep Beruf (Jerman), atau mungkin lebih jelas dalam
bahasa Inggris sering disebut Calling (panggilan). Bagi dia, konsepsi
tentang ”panggilan” merupakan konsep agama, yang baru muncul semasa reformasi.
Istilah ini tidak ditemukan sebelumnya dalam lingkungan orang Katolik atau
zaman purba, melainkan hanya ditemukan di lingkungan Protestan. Lutherlah yang
mengembangkan konsep ini pada dekade pertama dari aktivitasnya sebagai seorang
Reformator.
Lebih jauh,
Weber menjelaskan bahwa arti penting dari konsep panggilan dalam agama
Protestan adalah untuk membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari
berada dalam pengaruh agama. ‘Panggilan’ bagi seseorang adalah suatu usaha yang
dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, dengan cara
perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-harinya. ‘Panggilan’ merupakan
suatu cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan memenuhi kewajiban
yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai dengan kedudukannya di dunia.
‘Panggilan’ adalah konsepsi agama tentang suatu tugas yang telah ditetapkan
Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas di mana seseorang harus
bekerja.
Namun
demikian, bagi Weber, panggilan sebagaimana dipahami oleh Luther masih
tradisionalistis. Hal ini terutama berdasarkan penekanannya yang kuat terhadap
unsur nasib di mana seseorang tetap berada pada tempatnya sesuai dengan apa
yang telah ditetapkan Tuhan. Dengan demikian, maka tidak mungkin bagi Luther
untuk mengembangkan hubungan yang fundamental antara aktivitas duniawi dengan
prinsip-prinsip keagamaan. Akan tetapi, dengan konsep itu paling tidak Luther
telah meletakkan dasar yang kuat bagi pengembangan konsep tersebut selanjutnya.
Ajaran Luther mengenai
panggilan selanjutnya diteruskan oleh Calvin, meski tidak sama persis. Bagi
Calvin, dunia ada untuk melayani kemuliaan Tuhan dan hanya ada untuk tujuan itu
semata. Orang-orang Kristen terpilih di dunia hanya dimaksudkan untuk
memuliakan Tuhan dengan mematuhi firman-firman-Nya sesuai dengan kemampuan
masing-masing pribadi manusia. Akan tetapi, Tuhan menghendaki adanya pencapaian
sosial dari orang-orang Kristen sebab Tuhan menghendaki bahwa kehidupan sosial
dari orang-orang Kristen semacam itu harus dikelola menurut firman-Nya. Aktivitas
sosial dari orang-orang Kristen di dunia ini adalah in majorem gloriam Dei (semua demi kemuliaan Tuhan). Ciri
ini kemudian dilakukan dalam kerja dalam suatu panggilan hidup yang dapat
melayani kehidupan duniawi dari masyarakatnya.
Weber
menyatakan bahwa berbeda dengan orang-orang Katolik yang melihat kerja sebagai
suatu keharusan demi kelangsungan hidup, maka Calvinisme khususnya sekte-sekte
Puritan telah melihat kerja sebagai panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan
keperluan tetapi sebagai tugas suci. Penyucian kerja berarti mengingkari sikap hidup
keagamaan yang melarikan diri dari dunia.
Weber mencoba
memberi perhatian pada salah satu ajaran Calvinis yang memiliki pengaruh yang
cukup kuat bagi para pengikutnya, yaitu ajaran mengenai predestinasi. Lewat
ajaran predestinasi dikatakan bahwa Allah menerima sebagian orang sehingga
mereka dapat mengharapkan kehidupan, dan memberikan hukuman kepada yang lain
untuk menjalani kebinasaan. Calvin sendiri berpendapat bahwa hal ini terjadi
karena adanya anggapan bahwa yang dimaksudkan sebagai dasar predestinasi adalah
‘Allah tahu segala hal dari sebelumnya.’ Dengan kata lain, apabila kita
menganggap bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum waktunya, kita dapat
menarik suatu kesimpulan bahwa segala hal itu sudah sejak kekal dan sampai
kekal berada di hadapan Allah. Sebelum penciptaan, manusia sebenarnya sudah
ditentukan untuk diselamatkan atau dihukum. Sejak semula, demikian Calvin,
semua orang tidak diciptakan dalam keadaan yang sama. Oleh karena itu, kita
harus mengatakan bahwa dasar predestinasi bukanlah pada pekerjaan
manusia. Artinya, tidak ada satu pun manusia yang mampu mengubah keadaan
tersebut, dan tidak ada yang bisa menolong seseorang yang sudah ditentukan
bahwa ia akan dihukum setelah kematiannya sebab predestinasi adalah keputusan
Allah yang kekal dalam dirinya sendiri, tidak memperhitungkan sesuatu yang
berada di luar.
Weber
berargumentasi bahwa akibat dari ajaran tentang predestinasi bagi para pemeluk
Calvinis adalah adanya suatu kesepian di dalam hati mereka. Artinya, mereka
harus berhadapan dengan nasibnya sendiri yang telah diputuskan Tuhan sejak awal
penciptaan. Mereka harus berhadapan dengan takdirnya secara pribadi dan tidak
dapat memilih seseorang yang dapat memahami secara bersamaan firman Tuhan,
terkecuali hatinya sendiri. Dalam persoalan yang menentukan ini, setiap orang
harus berjalan sendirian saja, tidak seorang pun dapat menolong dirinya,
termasuk kaum agamawan. Tidak pula sakramen, karena sakramen bukanlah sarana
untuk memperoleh rahmat. Bukan pula Gereja, sebab bagaimanapun, keanggotaan
Gereja abadi mencakup mereka yang terkutuk. Akhirnya, bahkan Allah pun tidak
bisa membantu.
Kalau
demikian, bagi para pemeluk Calvinis, usaha untuk mencari identitas dirinya
yang pasti masih merupakan misteri yang belum terungkapkan. Sementara itu, ia
tetap terikat dengan berbagai aktivitas penghidupan dunia. Para pemeluk
Calvinis sadar bahwa adanya dunia adalah diciptakan untuk melakukan pemujaan
terhadap Tuhan, sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri. Begitu pula
terpilihnya orang-orang Kristen di dunia adalah untuk meningkatkan pemujaannya
terhadap Tuhan. Ini berarti bahwa orang Kristen harus mengikuti
perintah-perintah-Nya sesuai dengan kemampuannya yang paling baik. Tuhan
sendiri mengajarkan agar kehidupan sosial ini diatur sesuai dengan
perintah-perintah-Nya. Aktivitas sosial yang dilakukannya semata-mata
diperuntukkan bagi kemuliaan Tuhan. Namun demikian, hal yang paling penting
dari aktivitas-aktivitas itu dilakukan dengan dasar ’kerja dalam panggilan’
untuk melayani kehidupan masyarakat dunia.
Implikasinya
adalah, pertama, setiap orang mempunyai suatu kewajiban untuk menganggap
dirinya sebagai orang terpilih. Ia harus menghilangkan semua sifat
keragu-raguan karena perasaan dosa. Bagi Calvin, adanya rasa kurang percaya
kepada diri sendiri merupakan akibat dari keyakinan yang kurang sepenuhnya.
Adanya sifat keragu-raguan terhadap kepastian pemilihan adalah bukti adanya
keyakinan yang tidak sempurna. Kedua, kegiatan duniawi yang sangat
intens merupakan sarana yang paling baik dan sesuai untuk mengembangkan dan
mempertahankan pemilihan. Weber berpendapat bahwa karena kecenderungannya
tersebut, maka dapatlah dimengerti mengapa orang-orang Calvinis dalam
menghadapi panggilannya di dunia memperlihatkan sikap hidup yang optimis,
positif, dan aktif.
Kesimpulan
yang di dapat dari buku ini, Max Weber mau mencari hubungan antara penghayatan
agama dengan pola-pola perilaku, termasuk ekonomi. Usaha tersebut
dilatarbelakangi oleh pengalamannya sendiri ketika ia memperhatikan kenyataan
yang terjadi di Eropa bahwa orang-orang yang memiliki posisi penting
dalam beberapa bidang pekerjaan, sebagian besar adalah orang-orang yang
menganut agama Kristen Protestan. Bagi Weber, kenyataan seperti itu tentu bukan
suatu kebetulan belaka. Ia berusaha mencari faktor-faktor yang menyebabkan hal
tersebut terjadi. Pada awal pencariannya, Weber memperlihatkan perbedaan yang
mencolok antara orang Katolik dan orang Protestan dalam hal sikap terhadap
pekerjaan. Menurutnya, orang Katolik mempunyai suatu kecenderungan yang lebih
kuat untuk tetap bekerja dalam dunia kerajinan mereka, tanpa ada keinginan
keras untuk maju. Sebaliknya, orang Protestan memiliki keinginan yang kuat dan
tertarik untuk terus meningkat dan berkembang sehingga sasaran mereka adalah
bagian-bagian terpenting dari perusahaan-perusahaan modern.
Lebih jauh,
Weber memusatkan usaha pencariannya pada kalangan Protestan. Ia mengamati bahwa
agama Kristen Protestan memberikan nilai yang positif terhadap dunia material
yang bersifat kodrati. Sikap seperti itu, demikian Weber, erat hubungannya
dengan salah satu konsep yang berkembang di kalangan Protestan yakni konsep ‘panggilan.’
Bagi dia, konsepsi tentang ‘panggilan’ merupakan konsep agama tentang suatu
tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas
di mana seseorang harus bekerja. Ajaran mengenai panggilan ini mula-mula
dicetuskan oleh Luther, namun selanjutnya diteruskan oleh Calvin, meski tidak
sama persis.
Calvin
mengajarkan bahwa aktivitas sosial dari orang-orang Kristen di dunia ini
bertujuan untuk memuliakan Tuhan dengan mematuhi firman-firman-Nya sesuai
dengan kemampuan masing-masing pribadi manusia. Dengan demikian, bagi penganut
Calvinis, kerja dilihat sebagai suatu panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan
keperluan tetapi sebagai tugas suci. Selanjutnya, lewat ajaran mengenai
predestinasi Calvin mengajarkan bahwa setiap orang harus berhadapan dengan
takdirnya secara pribadi sebab tidak ada orang lain atau hal lain yang bisa
membantunya, termasuk Tuhan. Di sinilah Weber melihat bahwa karena
kecenderungannya tersebut, maka dapatlah dimengerti mengapa orang-orang
Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia ini memperlihatkan sikap hidup
yang optimis, positif, dan aktif.
Buku ini juga merupakan upaya pertama Weber dalam menggunakan
konsep rasionalisasi. Gagasannya bahwa kapitalisme modern berkembang dari
pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan berarti suatu perubahan terhadap
cara keberadaan yang rasional. Pada suatu titik tertentu, rasional ini
berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya,
sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya,
"Semangat Kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah Semangat
Rasionalisme, dalam pengertian yang lebih luas.
Selain daripada itu Weber menyatakan
bahwa ketelitian yang khusus, perhitungan
dan kerja keras dari Bisnis Barat didorong oleh perkembangan
etika Protestan yang muncul pada abad ke- 16 dan digerakkan oleh doktrin
Calvinisme, yaitu doktrin tentang takdir. Pemahaman tentang takdir
menuntut adanya kepercayaan bahwa Tuhan
telah memutuskan tentang keselamatan dan keeclakaan. Selain itu,
doktrin tersebut menegaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengetahui
apakah dia termasuk salah seorang yang terpilih. Dalam kondisi seperti mi
menurut Weber, pemeluk Calvinisme mengalami "panik terhadap keselamatan." Cara untuk menenangkan kepanikan tersebut adalah orang harus berpikir bahwa
seseorang tidak akan berhasil tanpa
diberkahi Tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterpilihan.
Untuk mencapai keberhasilan, seseorang harus
melakukan aktivitas kehidupan, termasuk aktivitas ekonomi dan politik, yang dilandasioleh disiplin clan bersahaja, menjauhi kehidupan
bersenangsenang, yang didorong oleh ajaran
keagamaan. Menurut Weber etika kerja dari
Calvinisme yang berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa masyarakat
Barat kepada perkembangan masyarakat kapitalis modern. Jadi, doktrin Calvinisme
tentang takdir memberikan days dorong psikologis
bagi rasionalisasi clan sebagai perangsang yang kuat dalam meningkatkan
pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya.
Weber menjelaskan bahwa
minat paling utamanya adalah lahirnya rasionalisme khas Barat. Dalam bukunya
itu bukanlah buku tentang kelahiran kapitalisme modern, melainkan tentang
asal-usul semangat tertentu yang pada akhirnya membuat kapitalisme modern
berkembang dan mulai mendominasi ekonomi. Menurut pandangan Weber, semangat
kapitalisme tidak dapat didefinisikan begitu saja berdasarkan kerakusan
ekonomi. Dia adalah sistem etika, dan etos, yang memang jadi salah satu pendorong
terjadinya kesuksesan ekonomi. Namun, protestanisme berhasil mengalihkan upaya
mencari keuntungan menjadi semacam jihad moral.
Weber melakukan perbandingan sah antara Barat dan
Cina adalah bahwa keduanya memiliki prasyarat bagi perkembangan kapitalisme. Di
Cina, terdapat tradisi penguasaan secara intens dan persaingan bebas. Ada
industri besar dan peluang kerja luar biasa di tengah-tengah masyarakat.
Terdapat sejumlah gilda yang begitu kuat. Penduduk meningkat. Terjadi
pertumbuhan logam mulia secara terus-menerus. Menurut pandangan Weber, kapitalisme
dasar di Cina menuju kearah yang berlawanan dengan perkembangan perusahaan
ekonomi rasional.
1.2
Robert Bellah (Tokugawa Religion)
Shogun
Tokugawa berkuasa selama 250 tahun sejak tahun 1600. Kekuasaan keshogunan
dimulai ketika Tokugawa Ieyasu berkuasa. Kekuasaan mereka berpusat di tokyo.
Sementara itu yang seharunya memiliki kekuasaan mutlak secara teori yaitu
kaisar bertempat di kyoto. Sejak tahun 1600 Jepang dikuasai oleh klan Tokugawa
dan para pengikutnya seperti para samurai sebagai pemegang militer pada masa
itu. Meskipun mereka berkuasa, kecemasan akan legitimasi kaisar tetap mereka
takuti. Namun pada saat itu kaisar tidak melakukan banyak hal dan karena para
Shogun tetap berkuasa selama beratus tahun yang menjadi sejarah panjang bagi
tumbuhnya masyarakat Jepang.
Tahun 1603,
Tokugawa Ieyasu diangkat sebagai Shogun yang kemudian membentuk pemerintahan di
Edo ( Tokyo), sedangkan Kaisar tetap berada di Kyoto. Shogun yang berasal dari
klan Tokugawa ini memerintah Jepang selama 250 tahun. Pemerintahannya juga
disebut sebagai “Pemerintahan Periode Edo” (1603-1866).
Tahun 1633
Tokugawa Iemetsu (Shogun Ketiga) mengumumkan larangan bagi orang Jepang untuk
bepergian ke luar negeri dan tahun 1639 mulai menerapkan politik isolasi untuk
tidak berhubungan dengan dunia luar, kecuali memberi kebebasan yang sangat
terbatas kepada pedagang china dan Belanda di lingkungan pelabuhan Nagasaki
saja. Masa Tokugawa ini mulai berkembang ajaran Neo-Confucianisme yang menekankan
pentingnya moral, pendidikan dan hirarki dalam kelas sosial.
Samurai
memiliki hirarki paling tinggi di masyarakat, diikuti oleh kelas petani,
kemudian kelas pengrajin (antara lain pembuat senjata pedang dan kerajinan) dan
yang terakhir adalah kelas pedagang. Mereka yang sudah menduduki keempat kelas
sosial tersebut tidak diperkenankan mengubah status sosialnya, sedangkan
penduduk yang macam profesinya tidak termasuk dalam kelas sosial tersebut
dianggap sebagai penduduk kelas lima.
Atas tekanan
kaum intelektual Jepang, tahun 1702 pemerintah mengijinkan masuknya
kesusasteraan asing dari China, Amerika Serikat dan Eropa (Belanda), dan untuk
mengimbanginya semua sekolah di Jepang dalam kurikulumya memberi tekanan pada
elemen nasionalisme yang dilandasi oleh ajaran Shintoisme dan
Confucianisme.
Religi Jepang
memiliki dua konsep dasar mengenai ketuhanan. Yaitu Tuhan sebagai suatu entitas
lebih tinggi yang memlihara, memberikan perlindungan dan cinta. Contoh-contoh
untuk mencakup dewa-dewa langit dan bumi dari penganut Konfusius, Amida dan
Budha-Budha yang lain, dewa-dewa shinto, selain para dewa pelindung lokal dan
para nenek moyang. Kategori ini secara perlahan-lahan dan tanpa terasa bergeser
menjadi tokoh-tokoh negara dan orang tua yang dalam beberapa hal diperlakukan
secara sakral.
Konsep yang
kedua yaitu dia merupakan dasar dari segala yang ada atau inti terdalam dari
realitas. Contoh-contoh untuk ini adalah Tao China, Li dari Neo-Konfusius yang
sering diterjemahkan sebagai nalar, dan pikiran kalau dikaitkan dengan Li,
konsep Budha tentang hakikat Budha, dan istilah kami dalam shinto dalam
pengertiannya yang paling filosofis.
Pandangan
tenatng kemanunggalan manusia, alam dan ketuhanan sebagaimana dikemukakan
hendaknya tidak dipandang sebagaimana dikemukakan hendaknya tidak dipandang
sebagai suatu identitas statis, melainkan adalah suatu harmoni dalam
ketegangan. Rasa syukur seseorang terhadap entitas yang maha tinggi dan maha baik
bukanlah suatu kewajiban yang ringan, tetapi menyangkut pengorbanan langsung
dari kepentingan terdalam seseorang atau bahkan hidupnya.
Ketiga
tradisi religi di atas dikaitkan dengan sejarah masa lalu ketika semua hal
dianggap lebih baik dari saat sekarang ini. Bagi pengikut Konfusius masa itu
adalah abad paling bijak, bagi kaumm Budha, masa kini atau Mappo adalah masa
yang bobrok di mana orang jarang bisa memahami ajaran Budha. Para Shintois
pembaharu mengingatkan kepada masa ketika para kaisar memerintah jepang dalam
kesederhanaan yang murni. Kepercayaan shinto tidak bersifat Siklis, melainkan
satu arah. Hanya dia di antara religi-religi besar tersebut percaya kepada
konsep penciptaan walaupun dalam bentuk mitologi yang agak primitif. Oleh orang
jepang penganut Shinto, sejarah dipandang sebagai saat berlakunya kehendak para
dewa, dan tujuan akhir religi akan tercapai bersama perjalanan waktu dan
sejarah nasib rakyat jepang.
Selama periode Tokugawa,
ketika agama Kristen adalah agama
terlarang, pemerintah menggunakan
Buddhisme dalam menegakkan larangan tersebut.
Setiap keluarga secara hukum diperlukan
untuk milik sebuah kuil Buddha dan harus dipertanyakan
secara berkala oleh pendeta kuil. Pada satu stroke, semua Jepang dimasukkan ke dalam struktur administratif Buddha yang ada. Kelahiran
dan kematian tercatat tercatat di kuil lokal
yang milik keluarga .
Situasi umum cenderung menahan
ketaatan beragama, terutama di kuil Buddha paroki
di mana keanggotaan keluarga adalah wajib, kuil
anggota hubungan dengan agama Buddha
sering datang lebih formalistik dan pragmatis ketimbang masalah keyakinan
keagamaan individu.
Pada masa
Tokugawa agama kristen dilarang dan orang Jepang diharuskan untuk beragama
Budha yang resmi diakui. Padahal agama Budha pada masa itu telah mengalami masa
surut sejak tahun 1600. Di dalam tradisi religius yang besar ini terdapat
banyak sub-sekte yang berpangkal dari perbedaan-perbedaan doktrinal kecil,
pertikaian antar kuil, persaingan para pendiri, dan sebagainya. Dan setiap
sekte memiliki kuil utama untuk mengontrol pengaturan administratif setiap
sekte. Aspek-aspek struktur sosial Shinto cenderung lebih rumit dibanding yang
ada pada Budhisme. Shinto adalah suatu nama yang digunakan untuk merangkum satu
keberagaman fenomena. Pertama, siklus tahunan kaum tani pedesaan disebut
shinto, walaupun banyak elemen Budha dan China yang masuk dalam agama rakyat
ini. Kedua, pemujaan yang luas terhadap dewa-dewa tertentu seperti Jizo atau
Inari. Ketiga, mungkin terdapat kultus-kultus yang mempunyai kuil pusat yang
dipersembahkan kepada dewa-dewa utama dalam mitologi Shinto.
Shinto
nasional berpusat di sekitar istana dan pribadi kaisar. Ajaran-ajarannya
disusun berdasarkan karya-karya “sejarah” yang menggabungkan mitologi nasional
dan sejarah awal istana penguasa. Sebagian dari pusat-pusat kultus besar
tergabung dalam struktur Shinto nasional, dengan beberapa figur sucinya yang
berbeda.
Masa atau era
Tokugawa merupakan era di mana munculnya ajaran Rakyat yaitu Shintoisme.
ajaran ini banyak memasukkan ajaran Budha dan ajaran Konfusius dalam
prakteknya. Hal tersebut karena kuatnya pengaruh ajaran tersebut ketika era
Tokugawa. Namun pada tahun 1600 an Budha tidak terlalu diminati namun
lama-kelamaan rakyat mulai memandang agama ini. Dua konsep religi jepang yaitu
mengenai Tuhan sebagai Entitas yang lebih tinggi dan yang kedua yaitu sebagai
dasar dari segalal inti sesuatu yang terdalam.
Bellah
menjelaskan bahwa sebuah agama yaitu mengatakan: (Dalam rangka memahami sebuah masyarakat dan agama
mereka, kita perlu mengetahui tidak
hanya sekedar pernyataan kepercayaan dan doktrin yang dianut dan dijalankan oleh penganutnya. Pernyataan
dan doktrin tersebut memang fakta-fakta penting, tapi mereka hanya
mengungkapkan kulit luar dari sebuah agama. Kita memang harus mempelajari kulit luar sebelum kita masuk mencapai inti,
namun yang inti inilah yang merupakan makna utama dari sebuah agama yang
terletak di dalam kepribadian penganutnya, yang sangat penting bagi pemahaman kita, meskipun hal ini selalu
sukar untuk ditangkap. Begitu kita dapat menangkap tempat dari sebuah agama dalam pemikiran, perasaan, dan aspirasi
penganutnya, barulah setelah itu kita dapat mulai melihat bagaimana komitmen
keagamaan mereka membentuk dan mempengaruhi keseluruhan kehidupan mereka, dan
bagaimana aspek-aspek lain dari kehidupan mereka, yang pada gilirannya,
mempengaruhi agama mereka).
Metode
penyimpulan dan penafsiran dalam kajian tentang nilai seperti di atas disebut
sebagai metode vers tehen, lawannya adalah metode e r k lar en. Dengan demikian,
kajian tentang nilai memerlukan tenaga peneliti yang benar-benar mempunyai
kemampuan, baik dalam penguasaan konsep maupun dalam ketrampilan metodologis.
Suatu nilai mencakup satu kode (tanda-tanda yang mengandung makna), dan satu
standard (pengukuran, penilaian) yang cukup mantap dalam jangka waktu tertentu,
yang berfungsi dalam mengorganisasikan atau mengatur satu sistem tindakan.
Karena
nilai mengandung pengertian standard, dengan demikian nilai menempatkan suatu
hal, suatu tindakan, suatu ucapan, cara bertindak, atau tujuan dari tindakan dalam satu kontinuum
‘diterima-ditolak’. Nilailah yang menentukan tempat dari sebuah tindakan,
ucapan, dan tujuan tindakan; apakah ditolak atau diterima, atau terletak antara
ditolak dan diterima. Nilai, dalam pengertiannya sebagai standard, adalah
konsepsi tentang the desirable. The desirable tidak sama dengan the desired.
The
desirable adalah konsepsi tentang
sesuatu ‘yang seharusnya
diinginkan’, sedangkan the desired adalah hal ‘yang diinginkan’. Nilai merupakan kriteria dalam
menentukan tentang apa yang seharusnya
diinginkan seseorang sebagai anggota suatu
masyarakat , bukan tentang
apa yang diinginkannya.
Nilai yang dianut seseorang,
atau suatu masyarakat, biasanya
berbentuk samar-samar . Nilai tersebut tidak diungkapkan dalam bentuk verbal
secara komplit dan tepat oleh pemiliknya. Dia lebih implisit daripada
eksplisit. Dia berbentuk ide, atau
pemikiran, yang abstrak dan sangat umum.
1.3 The Protestant Ethnic and
The Spirit of Capitalism dan Tokugawa Religion dilihat dari Perspektif Agama
Islam
Masyarakat Jepang mempunyai
pandangan yang sangat sekuler dan tidak begitu peduli pada agama. Biasanya, orang Jepang melakukan
upacara perkawinan dengan cara Shinto atau Kristen, sedangkan upacara
kematian dengan cara Budha. Bagi kebanyakan orang Jepang, hal itu tidak
dianggap aneh.
Di Jepang jarang sekali kesempatan
yang menjelaskan dirinya mempercayai agama apa. Mereka menganggap agama sebagai
hanya adat atau kebiasaan.
Menurut beberapa pendapat, sekitar 70% orang menjawab tidak memeluk agama. Alasannya karena orang Jepang merasa repot jika masuk salah satu organisasi agama yang dikendalikan oleh ajaran tertentu.
Menurut beberapa pendapat, sekitar 70% orang menjawab tidak memeluk agama. Alasannya karena orang Jepang merasa repot jika masuk salah satu organisasi agama yang dikendalikan oleh ajaran tertentu.
Pengunjung tempat ibadah pada saat
merayakan datangnya tahun baru dilakukan oleh kebanyakan orang Jepang. Pada
upacara menjemput roh nenek moyang yang kembali ke rumahnya (seperti upacara
Galungan di Bali), kebanyakan orang Jepang mudik untuk ikut upacara itu. Tetapi
praktik-praktik ini dianggap sebagai adat, bukan agama.
Dalam undang-undang dasar Jepang,
pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Ketika berakhir perang
dunia kedua, orang Jepang memetuskan bahwa negaranya harus berdasarkan atas
pemisahan agama dari negara. Memang tidak ada sekolah agama negara (seperti IAIN di Indonesia). Dilarang keras
memakai anggaran negara untuk hal-hal agama. Kalau ada kasus pengeluaran
anggaran negara untuk upacara keagamaan, kasus ini diadukan ke pengadilan
sebagai pelanggaran undang-undang dasar. (Tetapi kebanyakannya kasus seperti
itu, keputusannya bahwa upacara itu adat, bukan agama, jadi bukan pelanggaran
undang-undang dasar.)
Sedangkan Protestan memiliki keinginan yang kuat dan
tertarik untuk terus meningkat dan berkembang sehingga sasaran mereka adalah
bagian-bagian terpenting dari perusahaan-perusahaan modern. Weber memusatkan
usaha pencariannya pada kalangan Protestan. Ia mengamati bahwa agama Kristen
Protestan memberikan nilai yang positif terhadap dunia material yang bersifat
kodrati. Sikap seperti itu, demikian Weber, erat hubungannya dengan salah satu
konsep yang berkembang di kalangan Protestan yakni konsep ‘panggilan.’
Bagi dia, konsepsi tentang ‘panggilan’ merupakan konsep agama tentang suatu
tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas
di mana seseorang harus bekerja. Ajaran mengenai panggilan ini mula-mula
dicetuskan oleh Luther, namun selanjutnya diteruskan oleh Calvin, meski tidak
sama persis.
Calvin mengajarkan bahwa aktivitas sosial dari orang-orang
Kristen di dunia ini bertujuan untuk memuliakan Tuhan dengan mematuhi
firman-firman-Nya sesuai dengan kemampuan masing-masing pribadi manusia. Dengan
demikian, bagi penganut Calvinis, kerja dilihat sebagai suatu panggilan. Kerja
tidak sekedar pemenuhan keperluan tetapi sebagai tugas suci. Selanjutnya, lewat
ajaran mengenai predestinasi Calvin mengajarkan bahwa setiap orang harus
berhadapan dengan takdirnya secara pribadi sebab tidak ada orang lain atau hal
lain yang bisa membantunya, termasuk Tuhan. Di sinilah Weber melihat bahwa
karena kecenderungannya tersebut, maka dapatlah dimengerti mengapa orang-orang
Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia ini memperlihatkan sikap hidup
yang optimis, positif, dan aktif.
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini
belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah
masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa
perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak
berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang
agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena
sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat
tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali
kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat
melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak
mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial
yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam
di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari
pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada
suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian
disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan
realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam,
misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi
sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari
keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan
realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas
yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas
budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan
dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa
perkembangan agama dalam sebuah masyarakat baik dalam wacana dan praktis
sosialnya menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu
pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan
hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan seperti yang
tercermin dalam kitab-kitab suci dan konstruksi manusia terjemahan dan
interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek
ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran
agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya primordial yang telah
melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi
terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford
Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di
Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di
Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan
manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh
lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam
sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan
gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek
budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan
politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi
kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia dalam hal ini masalah
interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan
kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan
keragaman masalah sosialnya.
Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu
agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan
terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di
sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas
sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal
yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi
perhatian kajian sosial.
Politik ekonomi kapitalis adalah politik ekonomi persaingan
bebas. Bagi Negara-negara kapitalis, persaingan akan semakin mengkhawatirkan.
Jika persaingannya memiliki kekuatan untuk menjadi Negara industri yang makin
kuat. Karena sebab itu, mereka harus memiliki strategi agar tidak dapat
dikalahkan oleh yang lainnya.
Bahwa banyak sekali dampak-dampak negative yang di
timbulkan. Sistem kapitalis saat ini telah tersebar hampir keseluruh pelosok
Negara. Walaupun tidak secara nyata, tetapi nilai-nilai atau dasar pemikiran
kapitalis sudah banyak dipakai oleh negara negara yang berasaskan demokrasi
seperti Negara kita yaitu Negara Indonesia. Sudah banyak fakta-fakta yang
menunjukan bahwa pemikiran kapitalis sudah menjamur pada sistem di Indonesia
ini. Dan akibatnya banyak sekali dampak-dampak negative yang di rasakan
masyarakat Indonesia, di antaranya :
a.
Kekayaan menumpuk pada beberapa
orang atau perusahaan tertentu.
b.
Negara ini termasuk ke dalam
cengkraman penjajahan ekonomi.
c.
Pengangguran semakin meningkat.
d.
Negara kehilangan sumber-sumber
pendapatannya.
e.
Konsumen terbebani oleh harga-harga
yang melambung.
f.
Sumber daya alam milik rakyat banyak
dikuasai oleh pihak swasta, khususnya pihak asing.
g.
Rakyat terhalang untuk memanfaatkan
milik mereka.
Dengan melihat banyaknya akibat-akibat negative yang di
sebabkan oleh sistem kapitalis jika diterapkan dalam sistem di suatu Negara,
sudah dapat disimpulkan bahwa itu tidak dibenarkan di dalam ajaran Islam.
Karena di dalam agama Islam sudah jelas bahwa di dalam membina pemerintahan,
suatu Negara harus memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya.
Untuk mennghadapi penjajahan ekonomi kapitalis seperti
diatas, tentu tidak bisa dengan solusi yang setengah-setengah. Dan tidak
mungkin juga menggunakan solusi-solusi yang hanya berasal dari teori-teori
ekonomi konvensional, yang hakikatnya merupakan teori ekonomi yang sudah masuk
dalam wilayah ideology kapitalisme itu sendiri.
Sistem ekonomi Islam memiliki pandangan bahwa seluruh harta
yang ada di dunia ini sesungguhnya milik Allah, berdasarkan firman Allah yang
berarti :“dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakannya kepadamu” (QS. An-Nur: 33)
Dari ayat tersebut dapat difahami bahwa harta yang diberikan
Allah kepada manusia adalah merupakan pemberian dari Allah yang dikuasakan
kepadanya. Penguasaan ini berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia
mempunyai hak kepemilikan, tetapi bukan kepemilikan yang sebenarnya.
Sehebat apapun sebuah sistem, tetapi jika pengelolanya tidak
amanah, maka sistem tersebut akan hancur. Dalam sistem Negara yang bercorak
sekularistik seperti di Indonesia ini, yaitu ketika agama dipisahkan dari
pengaturan kenegaraan, akan menyebabakan hubungan dengan syari’at hanya sebagai
aktifitas ibadah ritual saja.
Sedangkan ketika mengelola Negara maka hubungan dengan
syari’at menjadi lemah, bahkan tidak ada sama sekali. Hal inilah yang membuat
atau menjadi sumber terjadinya perpecahan di dalam suatu Negara.Jadi, jika
suatu Negara ingin mencapai kemakmuran, terlebih dahulu membenahi sistem yang
dipakai saat itu. Jika sistemnya sudah sempurna dan diterapkan juga dengan
sempurna maka Negara tersebut akan merasakan kemakmuran dan kesejahteraan pada
masyarakatnya.
BAB III
KOMENTAR
Terdapat persamaan dan perbedaan
antara teori Max Weber The Protestant
Ethic and The Spirit of Capitalism, 1930)
dengan buku Robert Bellah (Tokugawa Religion) dengan Etika/Perspektif Islam. Persamaannya
adalah bahwa ketiganya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism,
Tokugawa Religion) dan Etika/Perspektif Islam melihat bahwa motivasi utama
seseorang bekerja keras adalah bukan untuk mendapatkan keuntungan berupa
materi, melainkan sebagai suatu upaya untuk memenuhi tuntunan atau perintah
dari agama yang dianutnya dan mendorong orang untuk bekerja keras agar mencapai
kesejahtraan hidup.
Perbedaannya adalah bahwa ketiganya
The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Tokugawa Religion) dan
Etika/Perspektif Islam ketiganya berlandaskan pada agama yang berbeda-beda:
Weber pada Protestan, Bellah pada agama-agama di Jepang, dan pendapat ketiga
pada agama Islam.
Weber berpendapat bahwa etika dan
gagasan-gagasan Puritan telah mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Namun
demikian, loyalitas keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap
urusan-urusan duniawi, termasuk pengejaran akan harta kekayaan. Tipe-tipe
Protestanisme tertentu mendukung pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional
dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh makna spiritual dan moral
yang positif. Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut,
melainkan lebih sebagai produk sampingan, logika yang inheren dari
doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada mereka baik yang secara
langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi
pengejaran keuntungan ekonomi.
Bellah menjelaskan begaimana agama di
periode Tokugawa (1600-1868) memantapkan fondasi bagi
ekonomi industri modern Jepang, dan menghilangkan dua miskonsepsi tentang
modernisasi Jepang: bahwa hal tersebut dimulai saat kedatangan Admiral Perry di
tahun 1868, dan
berkembang dengan cepat karena kepintaran orang Jepang dalam meniru.
Ditunjukkan bahwa doktrin Budhisme, Konfusianisme, dan Shinto mendukung bentuk
logika dan pemahaman yang dibutuhkan untuk perkembangan ekonomi. Jepang
sekarang telah menjadi negara adidaya dalam bidang ekonomi serta menjadi model
bagi beberapa negara barat.
Beberapa doktrin dalam Islam juga
menganjurkan manusia untuk bekerja keras, seperti tercermin dalam beberapa ayat
dari Al Qur’an maupun dari Al Hadits, diantaranya: “... dan apabila kamu telah
selesai dengan satu urusan segeralah kerjakan urusan lain karena ada kebaikan
dibaliknya.” “Beribadahlah seakan kamu akan mati besok dan bekerjalah seolah
kamu akan hidup selamanya.” “Sesungguhnya Alloh tidak akan mengubah nasib suatu
kaum kecuali mereka mengubahnya sendiri.”
Teori Max Weber tidak akan bisa
diterapkan di Jepang walaupun sama-sama menjadi Negara modern, karena Eropa
kerja di barat untuk menuju sisten Kapital, sedangkan kerja di Jepang hanyalah
kesenangan untuk membentuk hubungan baik di dalam komunitas. Apalagi dalam
Islam mendewakan pekerjaan, ataupun menuju kapitalis merupakan larangan, karena
kerja keras yang digambarkan dalam Islam adalah untuk mengharap ridlo Allah
semata.
No comments:
Post a Comment