Friday, January 4, 2013

Laporan Analisis Buku Max Weber dan Robert Bellah


ANALISIS BUKU MAX WEBER (THE PROTESTANT ETHNIC AND THE SPIRIT OF CAPITALISM) DAN ROBERT BELLAH
(TOKUGAWA RELIGION)

Laporan


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Teori Sosiologi dan Antropologi pada Program Pascasarjana Jurusan Pendidikan IPS
              Dosen  : Prof. Dr. H. Endang Komara, Drs, M.Si

  Disusun Oleh :
                          Lan Lan Risdiana       
                               12870037




 
PROGRAM PASCASARJANA JURUSAN PENDIDIKAN IPS
STKIP PASUNDAN CIMAHI
2012


KATA PENGANTAR

          Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat taufik dan hidayahnya akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas laporan buku mengenai “Analisis Buku Max Weber (The Protestant Ethnic And The Spirit Of Capitalism) dan Robert Bellah (Tokugawa Religion)” dengan baik dan lancar.
          Laporan buku ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Teori Sosiologi dan Antropologi pada Program Pascasarjana STKIP Pasundan Cimahi.
          Disadari bahwa laporan  ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka, atas selesainya penyusunan laoporan buku ini kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, diantaranya:
a.    Allah SWT
b.    Prof. Dr. H. Endang Komara, Drs. M.Si selaku Dosen Mata Kuliah Teori Sosiologi dan Antropologi
c.    Rekan-rekan
Kami menyadari bahwa keterbatasan kemampuan dan pengetahuan, telah menjauhkan laporan buku ini dari kesempurnaan. Untuk itu sumbang saran serta kritik yang membangun dari para pembaca senantiasa kami harapkan.
          Akhirnya besar harapan kami, laporan ini dapat memberi manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pembaca.


Cimahi,  Desember 2012

                                   Penyusun



BAB I
GAMBARAN UMUM ISI BUKU


1.1     Sekilas Isi Buku Max Weber (The Protestant Ethnic And The Spirit Capitalism)
          Buku ini menjelaskan tentang upaya pertama Weber dalam menggunakan konsep rasionalisasi. Gagasannya bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan berarti suatu perubahan terhadap cara keberadaan yang rasional. Pada suatu titik tertentu, rasional ini berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya, sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya, "Semangat Kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah Semangat Rasionalisme, dalam pengertian yang lebih luas.

1.2     Sekilas Isi Buku Tokugawa Religion (Robert Bellah)
          Buku ini menjelaskan bahwa pada masa Tokugawa agama kristen dilarang dan orang Jepang diharuskan untuk beragama Budha yang resmi diakui. Padahal agama Budha pada masa itu telah mengalami masa surut sejak tahun 1600. Di dalam tradisi religius yang besar ini terdapat banyak sub-sekte yang berpangkal dari perbedaan-perbedaan doktrinal kecil, pertikaian antar kuil, persaingan para pendiri, dan sebagainya. Dan setiap sekte memiliki kuil utama untuk mengontrol pengaturan administratif setiap sekte. Aspek-aspek struktur sosial Shinto cenderung lebih rumit dibanding yang ada pada Budhisme. Shinto adalah suatu nama yang digunakan untuk merangkum satu keberagaman fenomena.






BAB II
KAJIAN BUKU


1.1         Max Weber (The Protestant Ethnic and The Spirit Of Capitalism)
          Dalam buku ini Weber memaparkan bahwa etika dan gagasan-gagasan Puritan telah memengaruhi perkembangan kapitalisme. Namun demikian, devosi keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan-urusan duniawi, termasuk pengejaran akan harta kekayaan.
          Beliau mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai gagasan dan kebiasaan yang menunjang pengejaran keuntungan ekonomi secara rasional. Weber juga menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidaklah terbatas pada budaya Barat bila hal itu dipandang sebagai sikap individual, namun bahwa upaya individual yang heroik (demikian ia menyebutnya) tidak dapat dengan sendirinya membentuk suatu tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme).
          Kecenderungan-kecenderungan yang paling umum adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimal dan gagasan bahwa kerja adalah suatu kutukan dan beban yang harus dihindari khususnya ketika hasilnya melebihi dari kebutuhan untuk kehidupan yang sederhana.
          Setelah mendefinisikan 'semangat kapitalisme'. Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk menemukan asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William PettyMontesquieuHenry Thomas Buckle,John Keats, dan lain-lainnya telah mengomentari kedekatan antara Protestanisme dengan perkembangan komersialisme.
          Weber memperlihatkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh makna spiritual dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih sebagai produk sampingan logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan advis yang didasarkan pada mereka baik yang baik secara langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi. Weber menelusiri asal-usul etika Protestan pada Reformasi. Dalam pandangannya, di bawah Gereja Katolik Roma seorang individu dapat dijamin keselamatannya melalui kepercayaan akan sakramen-sakramen gereja dan otoritas hierarkhinya. namun, Reformasi secara efektif telah menyingkirkan jaminan-jaminan tersebut bagi orang biasa, meskipun Weber mengakui bahwa seorang "genius keagamaan" seperti Martin Luther mungkin dapat memiliki jaminan-jaminan tersebut.
          Dalam keadaan tanpa jaminan seperti itu dari otoritas keagamaan, Weber berpendapat bahwa kaum Protestan mulai mencari "tanda-tanda" lain yang menunjukkan bahwa mereka selamat. Sukses dunia menjadi sebuah ukuran keselamatan. Mendahului Adam Smith (tapi dengan menggunakan argumen yang sangat berbeda), Luther memberikan dukungan awal terhadap pembagian kerja yang mulai berkembang di Eropa. Karenanya, menurut penafsiran Weber atas Luther, suatu "panggilan" dari Tuhan tidak lagi terbatas kepada kaum rohaniwan atau gereja, melainkan berlaku bagi pekerjaan atau usaha apapun. Namun demikian, Weber melihat pemenuhan etika Protestan bukan dalam Lutheranisme, yang ditolaknya lebih sebagai sebuah agama hamba, melainkan dalam bentuk Kekristenan yang Calvinis.
          Dalam pengertian yang sederhana yang ditemukan Weber adalah:
a.    Menurut agama-agama Protestan yang baru, seorang individu secara keagamaan didorong untuk mengikuti suatu panggilan sekular dengan semangat sebesar mungkin. Seseorang yang hidup menurut pandangan dunia ini lebih besar kemungkinannya untuk mengakumulasikan uang.
b.    Namun, menurut agama-agama baru ini (khususnya, Calvinisme), menggunakan uang ini untuk kemewahan pribadi atau untuk membeli ikon-ikon keagamaan dianggap dosa. Selain itu, amal umumnya dipandanga negatif karena orang yang tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang sebagai gabungan dari kemalasan atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya.

          Cara memecahkan keadaan ini, demikian Weber, adalah menginvetasikan uang ini, yang memberikan dukungan besar bagi lahirnya kapitalisme. Weber percaya bahwa dukungan dari etika Protestan pada umumnya telah lenyap dari masyarakat. Khususnya, ia mengutip tulisan Benjamin Franklin, yang menekankan kesederhanaan, kerja keras dan penghematan, namun pada umumnya tidak mengandung isi rohani.
          Weber juga mengatakan bahwa sukses dari produksi massal sebagian disebabkan oleh etika Protestan. Hanya setelah barang-barang mewah yang mahal ditolak, maka individu-individu dapat menerima produk-produk yang seragam, seperti pakaian dan mebel, yang ditawarkan oleh industrialisasi. Weber menegaskan bahwa sementara gagasan-gagasan agama Puritan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan tatanan ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, mereka bukanlah faktor satu-satunya (yang lainnya termasuk rasionalisme dalam upaya-upaya ilmiah, penggabungan antara observasi dengan matematika,aturan ilmiah dan yurisprudensi,sistematisasi rasional terhadap pemerintahan, dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang etika Protestan, menurut Weber, semata-mata hanyalah menyelidiki suatu tahap dari emansipasi dari magipembebasan dari ilusi dunia, yang dianggapnya sebagai ciri khas yang membedakan dari budaya Barat.
Weber mengamati bahwa agama Kristen memberikan nilai yang positif terhadap dunia material yang bersifat kodrati. Ia berpendapat bahwa meskipun orang Kristen memiliki tujuan tertinggi di dunia lain, namun di dunia ini, termasuk aspek-aspek material yang ada padanya dinilai secara positif sebagai tempat untuk melakukan usaha-usaha yang aktif. Ia  sendiri menemukan sikap terhadap dunia material tersebut teramat kuat di kalangan orang-orang Kristen Protestan.
Menurut Weber, sikap seperti itu erat hubungannya dengan salah satu konsep yang berkembang di kalangan Protestan yakni konsep Beruf (Jerman), atau mungkin lebih jelas dalam bahasa Inggris sering disebut Calling (panggilan). Bagi dia, konsepsi tentang ”panggilan” merupakan konsep agama, yang baru muncul semasa reformasi. Istilah ini tidak ditemukan sebelumnya dalam lingkungan orang Katolik atau zaman purba, melainkan hanya ditemukan di lingkungan Protestan. Lutherlah yang mengembangkan konsep ini pada dekade pertama dari aktivitasnya sebagai seorang Reformator.
          Lebih jauh, Weber menjelaskan bahwa arti penting dari konsep panggilan dalam agama Protestan adalah untuk membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. ‘Panggilan’ bagi seseorang adalah suatu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, dengan cara perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-harinya. ‘Panggilan’ merupakan suatu cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai dengan kedudukannya di dunia. ‘Panggilan’ adalah konsepsi agama tentang suatu tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas di mana seseorang harus bekerja.
          Namun demikian, bagi Weber, panggilan sebagaimana dipahami oleh Luther masih tradisionalistis. Hal ini terutama berdasarkan penekanannya yang kuat terhadap unsur nasib di mana seseorang tetap berada pada tempatnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Tuhan. Dengan demikian, maka tidak mungkin bagi Luther untuk mengembangkan hubungan yang fundamental antara aktivitas duniawi dengan prinsip-prinsip keagamaan. Akan tetapi, dengan konsep itu paling tidak Luther telah meletakkan dasar yang kuat bagi pengembangan konsep tersebut selanjutnya.
Ajaran Luther mengenai panggilan selanjutnya diteruskan oleh Calvin, meski tidak sama persis. Bagi Calvin, dunia ada untuk melayani kemuliaan Tuhan dan hanya ada untuk tujuan itu semata. Orang-orang Kristen terpilih di dunia hanya dimaksudkan untuk memuliakan Tuhan dengan mematuhi firman-firman-Nya sesuai dengan kemampuan masing-masing pribadi manusia. Akan tetapi, Tuhan menghendaki adanya pencapaian sosial dari orang-orang Kristen sebab Tuhan menghendaki bahwa kehidupan sosial dari orang-orang Kristen semacam itu harus dikelola menurut firman-Nya. Aktivitas sosial dari orang-orang Kristen di dunia ini adalah in majorem gloriam Dei (semua demi kemuliaan Tuhan). Ciri ini kemudian dilakukan dalam kerja dalam suatu panggilan hidup yang dapat melayani kehidupan duniawi dari masyarakatnya.
          Weber menyatakan bahwa berbeda dengan orang-orang Katolik yang melihat kerja sebagai suatu keharusan demi kelangsungan hidup, maka Calvinisme khususnya sekte-sekte Puritan telah melihat kerja sebagai panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan keperluan tetapi sebagai tugas suci. Penyucian kerja berarti mengingkari sikap hidup keagamaan yang melarikan diri dari dunia.
          Weber mencoba memberi perhatian pada salah satu ajaran Calvinis yang memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi para pengikutnya, yaitu ajaran mengenai predestinasi. Lewat ajaran predestinasi dikatakan bahwa Allah menerima sebagian orang sehingga mereka dapat mengharapkan kehidupan, dan memberikan hukuman kepada yang lain untuk menjalani kebinasaan. Calvin sendiri berpendapat bahwa hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa yang dimaksudkan sebagai dasar predestinasi adalah ‘Allah tahu segala hal dari sebelumnya.’ Dengan kata lain, apabila kita menganggap bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum waktunya, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa segala hal itu sudah sejak kekal dan sampai kekal berada di hadapan Allah. Sebelum penciptaan, manusia sebenarnya sudah ditentukan untuk diselamatkan atau dihukum. Sejak semula, demikian Calvin, semua orang tidak diciptakan dalam keadaan yang sama. Oleh karena itu, kita harus mengatakan bahwa dasar predestinasi  bukanlah pada pekerjaan manusia. Artinya, tidak ada satu pun manusia yang mampu mengubah keadaan tersebut, dan tidak ada yang bisa menolong seseorang yang sudah ditentukan bahwa ia akan dihukum setelah kematiannya sebab predestinasi adalah keputusan Allah yang kekal dalam dirinya sendiri, tidak memperhitungkan sesuatu yang berada di luar.
          Weber berargumentasi bahwa akibat dari ajaran tentang predestinasi bagi para pemeluk Calvinis adalah adanya suatu kesepian di dalam hati mereka. Artinya, mereka harus berhadapan dengan nasibnya sendiri yang telah diputuskan Tuhan sejak awal penciptaan. Mereka harus berhadapan dengan takdirnya secara pribadi dan tidak dapat memilih seseorang yang dapat memahami secara bersamaan firman Tuhan, terkecuali hatinya sendiri. Dalam persoalan yang menentukan ini, setiap orang harus berjalan sendirian saja, tidak seorang pun dapat menolong dirinya, termasuk kaum agamawan. Tidak pula sakramen, karena sakramen bukanlah sarana untuk memperoleh rahmat. Bukan pula Gereja, sebab bagaimanapun, keanggotaan Gereja abadi mencakup mereka yang terkutuk. Akhirnya, bahkan Allah pun tidak bisa membantu.  
          Kalau demikian, bagi para pemeluk Calvinis, usaha untuk mencari identitas dirinya yang pasti masih merupakan misteri yang belum terungkapkan. Sementara itu, ia tetap terikat dengan berbagai aktivitas penghidupan dunia. Para pemeluk Calvinis sadar bahwa adanya dunia adalah diciptakan untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan, sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri. Begitu pula terpilihnya orang-orang Kristen di dunia adalah untuk meningkatkan pemujaannya terhadap Tuhan. Ini berarti bahwa orang Kristen harus mengikuti perintah-perintah-Nya sesuai dengan kemampuannya yang paling baik. Tuhan sendiri mengajarkan agar kehidupan sosial ini diatur sesuai dengan perintah-perintah-Nya. Aktivitas sosial yang dilakukannya semata-mata diperuntukkan bagi kemuliaan Tuhan. Namun demikian, hal yang paling penting dari aktivitas-aktivitas itu dilakukan dengan dasar ’kerja dalam panggilan’ untuk melayani kehidupan masyarakat dunia.
          Implikasinya adalah, pertama, setiap orang mempunyai suatu kewajiban untuk menganggap dirinya sebagai orang terpilih. Ia harus menghilangkan semua sifat keragu-raguan karena perasaan dosa. Bagi Calvin, adanya rasa kurang percaya kepada diri sendiri merupakan akibat dari keyakinan yang kurang sepenuhnya. Adanya sifat keragu-raguan terhadap kepastian pemilihan adalah bukti adanya keyakinan yang tidak sempurna. Kedua, kegiatan duniawi yang sangat intens merupakan sarana yang paling baik dan sesuai untuk mengembangkan dan mempertahankan pemilihan. Weber berpendapat bahwa karena kecenderungannya tersebut, maka dapatlah dimengerti mengapa orang-orang Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia memperlihatkan sikap hidup yang optimis, positif, dan aktif.
          Kesimpulan yang di dapat dari buku ini, Max Weber mau mencari hubungan antara penghayatan agama dengan pola-pola perilaku, termasuk ekonomi. Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh pengalamannya sendiri ketika ia memperhatikan kenyataan yang terjadi  di Eropa bahwa orang-orang yang memiliki posisi penting dalam beberapa bidang pekerjaan, sebagian besar adalah orang-orang yang menganut agama Kristen Protestan. Bagi Weber, kenyataan seperti itu tentu bukan suatu kebetulan belaka. Ia berusaha mencari faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pada awal pencariannya, Weber memperlihatkan perbedaan yang mencolok antara orang Katolik dan orang Protestan dalam hal sikap terhadap pekerjaan. Menurutnya, orang Katolik mempunyai suatu kecenderungan yang lebih kuat untuk tetap bekerja dalam dunia kerajinan mereka, tanpa ada keinginan keras untuk maju. Sebaliknya, orang Protestan memiliki keinginan yang kuat dan tertarik untuk terus meningkat dan berkembang sehingga sasaran mereka adalah bagian-bagian terpenting dari perusahaan-perusahaan modern.
          Lebih jauh, Weber memusatkan usaha pencariannya pada kalangan Protestan. Ia mengamati bahwa agama Kristen Protestan memberikan nilai yang positif terhadap dunia material yang bersifat kodrati. Sikap seperti itu, demikian Weber, erat hubungannya dengan salah satu konsep yang berkembang di kalangan Protestan yakni konsep panggilan.’ Bagi dia, konsepsi tentang ‘panggilan’ merupakan konsep agama tentang suatu tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas di mana seseorang harus bekerja. Ajaran mengenai panggilan ini mula-mula dicetuskan oleh Luther, namun selanjutnya diteruskan oleh Calvin, meski tidak sama persis.
          Calvin mengajarkan bahwa aktivitas sosial dari orang-orang Kristen di dunia ini bertujuan untuk memuliakan Tuhan dengan mematuhi firman-firman-Nya sesuai dengan kemampuan masing-masing pribadi manusia. Dengan demikian, bagi penganut Calvinis, kerja dilihat sebagai suatu panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan keperluan tetapi sebagai tugas suci. Selanjutnya, lewat ajaran mengenai predestinasi Calvin mengajarkan bahwa setiap orang harus berhadapan dengan takdirnya secara pribadi sebab tidak ada orang lain atau hal lain yang bisa membantunya, termasuk Tuhan. Di sinilah Weber melihat bahwa karena kecenderungannya tersebut, maka dapatlah dimengerti mengapa orang-orang Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia ini memperlihatkan sikap hidup yang optimis, positif, dan aktif. 
          Buku ini juga merupakan upaya pertama Weber dalam menggunakan konsep rasionalisasi. Gagasannya bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan berarti suatu perubahan terhadap cara keberadaan yang rasional. Pada suatu titik tertentu, rasional ini berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya, sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya, "Semangat Kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah Semangat Rasionalisme, dalam pengertian yang lebih luas.
          Selain daripada itu Weber menyatakan bahwa ketelitian yang khusus, perhi­tungan dan kerja keras dari Bisnis Barat didorong oleh perkembangan etika Protestan yang muncul pada abad ke- 16 dan digerakkan oleh doktrin Calvinisme, yaitu doktrin tentang takdir. Pemahaman tentang takdir menuntut adanya keper­cayaan bahwa Tuhan telah memutuskan tentang keselama­tan dan keeclakaan. Selain itu, doktrin tersebut menegaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengetahui apakah dia termasuk salah seorang yang terpilih. Dalam kondisi seperti mi menurut Weber, pemeluk Calvinisme mengalami "panik terhadap keselamatan." Cara untuk menenangkan kepani­kan tersebut adalah orang harus berpikir bahwa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkahi Tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterpilihan. Untuk mencapai keberhasilan, seseorang harus melakukan aktivitas kehidup­an, termasuk aktivitas ekonomi dan politik, yang dilandasioleh disiplin clan bersahaja, menjauhi kehidupan bersenang­senang, yang didorong oleh ajaran keagamaan. Menurut Weber etika kerja dari Calvinisme yang berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa masyarakat Barat kepada perkembangan masyarakat kapitalis modern. Jadi, doktrin Calvinisme tentang takdir memberikan days dorong psikolo­gis bagi rasionalisasi clan sebagai perangsang yang kuat da­lam meningkatkan pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya.
          Weber menjelaskan bahwa minat paling utamanya adalah lahirnya rasionalisme khas Barat. Dalam bukunya itu bukanlah buku tentang kelahiran kapitalisme modern, melainkan tentang asal-usul semangat tertentu yang pada akhirnya membuat kapitalisme modern berkembang dan mulai mendominasi ekonomi. Menurut pandangan Weber, semangat kapitalisme tidak dapat didefinisikan begitu saja berdasarkan kerakusan ekonomi. Dia adalah sistem etika, dan etos, yang memang jadi salah satu pendorong terjadinya kesuksesan ekonomi. Namun, protestanisme berhasil mengalihkan upaya mencari keuntungan menjadi semacam jihad moral.
          Weber melakukan perbandingan sah antara Barat dan Cina adalah bahwa keduanya memiliki prasyarat bagi perkembangan kapitalisme. Di Cina, terdapat tradisi penguasaan secara intens dan persaingan bebas. Ada industri besar dan peluang kerja luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Terdapat sejumlah gilda yang begitu kuat. Penduduk meningkat. Terjadi pertumbuhan logam mulia secara terus-menerus. Menurut pandangan Weber, kapitalisme dasar di Cina menuju kearah yang berlawanan dengan perkembangan perusahaan ekonomi rasional.

1.2         Robert Bellah (Tokugawa Religion)
          Shogun Tokugawa berkuasa selama 250 tahun sejak tahun 1600. Kekuasaan keshogunan dimulai ketika Tokugawa Ieyasu berkuasa. Kekuasaan mereka berpusat di tokyo. Sementara itu yang seharunya memiliki kekuasaan mutlak secara teori yaitu kaisar bertempat di kyoto. Sejak tahun 1600 Jepang dikuasai oleh klan Tokugawa dan para pengikutnya seperti para samurai sebagai pemegang militer pada masa itu. Meskipun mereka berkuasa, kecemasan akan legitimasi kaisar tetap mereka takuti. Namun pada saat itu kaisar tidak melakukan banyak hal dan karena para Shogun tetap berkuasa selama beratus tahun yang menjadi sejarah panjang bagi tumbuhnya masyarakat Jepang.  
          Tahun 1603, Tokugawa Ieyasu diangkat sebagai Shogun yang kemudian membentuk pemerintahan di Edo ( Tokyo), sedangkan Kaisar tetap berada di Kyoto. Shogun yang berasal dari klan Tokugawa ini memerintah Jepang selama 250 tahun. Pemerintahannya juga disebut sebagai “Pemerintahan Periode Edo” (1603-1866).
          Tahun 1633 Tokugawa Iemetsu (Shogun Ketiga) mengumumkan larangan bagi orang Jepang untuk bepergian ke luar negeri dan tahun 1639 mulai menerapkan politik isolasi untuk tidak berhubungan dengan dunia luar, kecuali memberi kebebasan yang sangat terbatas kepada pedagang china dan Belanda di lingkungan pelabuhan Nagasaki saja. Masa Tokugawa ini mulai berkembang ajaran Neo-Confucianisme yang menekankan pentingnya moral, pendidikan dan hirarki dalam kelas sosial.
          Samurai memiliki hirarki paling tinggi di masyarakat, diikuti oleh kelas petani, kemudian kelas pengrajin (antara lain pembuat senjata pedang dan kerajinan) dan yang terakhir adalah kelas pedagang. Mereka yang sudah menduduki keempat kelas sosial tersebut tidak diperkenankan mengubah status sosialnya, sedangkan penduduk yang macam profesinya tidak termasuk dalam kelas sosial tersebut dianggap sebagai penduduk kelas lima.
          Atas tekanan kaum intelektual Jepang, tahun 1702 pemerintah mengijinkan masuknya kesusasteraan asing dari China, Amerika Serikat dan Eropa (Belanda), dan untuk mengimbanginya semua sekolah di Jepang dalam kurikulumya memberi tekanan pada elemen nasionalisme yang dilandasi oleh ajaran Shintoisme dan  Confucianisme.
          Religi Jepang memiliki dua konsep dasar mengenai ketuhanan. Yaitu Tuhan sebagai suatu entitas lebih tinggi yang memlihara, memberikan perlindungan dan cinta. Contoh-contoh untuk mencakup dewa-dewa langit dan bumi dari penganut Konfusius, Amida dan Budha-Budha yang lain, dewa-dewa shinto, selain para dewa pelindung lokal dan para nenek moyang. Kategori ini secara perlahan-lahan dan tanpa terasa bergeser menjadi tokoh-tokoh negara dan orang tua yang dalam beberapa hal diperlakukan secara sakral.
          Konsep yang kedua yaitu dia merupakan dasar dari segala yang ada atau inti terdalam dari realitas. Contoh-contoh untuk ini adalah Tao China, Li dari Neo-Konfusius yang sering diterjemahkan sebagai nalar, dan pikiran kalau dikaitkan dengan Li, konsep Budha tentang hakikat Budha, dan istilah kami dalam shinto dalam pengertiannya yang paling filosofis.
          Pandangan tenatng kemanunggalan manusia, alam dan ketuhanan sebagaimana dikemukakan hendaknya tidak dipandang sebagaimana dikemukakan hendaknya tidak dipandang sebagai suatu identitas statis, melainkan adalah suatu harmoni dalam ketegangan. Rasa syukur seseorang terhadap entitas yang maha tinggi dan maha baik bukanlah suatu kewajiban yang ringan, tetapi menyangkut pengorbanan langsung dari kepentingan terdalam seseorang atau bahkan hidupnya.
          Ketiga tradisi religi di atas dikaitkan dengan sejarah masa lalu ketika semua hal dianggap lebih baik dari saat sekarang ini. Bagi pengikut Konfusius masa itu adalah abad paling bijak, bagi kaumm Budha, masa kini atau Mappo adalah masa yang bobrok di mana orang jarang bisa memahami ajaran Budha. Para Shintois pembaharu mengingatkan kepada masa ketika para kaisar memerintah jepang dalam kesederhanaan yang murni. Kepercayaan shinto tidak bersifat Siklis, melainkan satu arah. Hanya dia di antara religi-religi besar tersebut percaya kepada konsep penciptaan walaupun dalam bentuk mitologi yang agak primitif. Oleh orang jepang penganut Shinto, sejarah dipandang sebagai saat berlakunya kehendak para dewa, dan tujuan akhir religi akan tercapai bersama perjalanan waktu dan sejarah nasib rakyat jepang.     
          Selama periode Tokugawa, ketika agama Kristen adalah agama terlarang, pemerintah menggunakan Buddhisme dalam menegakkan larangan tersebut. Setiap keluarga secara hukum diperlukan untuk milik sebuah kuil Buddha dan harus dipertanyakan secara berkala oleh pendeta kuil. Pada satu stroke, semua Jepang dimasukkan ke dalam struktur administratif Buddha yang ada. Kelahiran dan kematian tercatat tercatat di kuil lokal yang milik keluarga . Situasi umum cenderung menahan ketaatan beragama, terutama di kuil Buddha paroki di mana keanggotaan keluarga adalah wajib, kuil anggota hubungan dengan agama Buddha sering datang lebih formalistik dan pragmatis ketimbang masalah keyakinan keagamaan individu.
          Pada masa Tokugawa agama kristen dilarang dan orang Jepang diharuskan untuk beragama Budha yang resmi diakui. Padahal agama Budha pada masa itu telah mengalami masa surut sejak tahun 1600. Di dalam tradisi religius yang besar ini terdapat banyak sub-sekte yang berpangkal dari perbedaan-perbedaan doktrinal kecil, pertikaian antar kuil, persaingan para pendiri, dan sebagainya. Dan setiap sekte memiliki kuil utama untuk mengontrol pengaturan administratif setiap sekte. Aspek-aspek struktur sosial Shinto cenderung lebih rumit dibanding yang ada pada Budhisme. Shinto adalah suatu nama yang digunakan untuk merangkum satu keberagaman fenomena. Pertama, siklus tahunan kaum tani pedesaan disebut shinto, walaupun banyak elemen Budha dan China yang masuk dalam agama rakyat ini. Kedua, pemujaan yang luas terhadap dewa-dewa tertentu seperti Jizo atau Inari. Ketiga, mungkin terdapat kultus-kultus yang mempunyai kuil pusat yang dipersembahkan kepada dewa-dewa utama dalam mitologi Shinto.
          Shinto nasional berpusat di sekitar istana dan pribadi kaisar. Ajaran-ajarannya disusun berdasarkan karya-karya “sejarah” yang menggabungkan mitologi nasional dan sejarah awal istana penguasa. Sebagian dari pusat-pusat kultus besar tergabung dalam struktur Shinto nasional, dengan beberapa figur sucinya yang berbeda.
          Masa atau era Tokugawa merupakan era di mana munculnya ajaran Rakyat yaitu Shintoisme.  ajaran ini banyak memasukkan ajaran Budha dan ajaran Konfusius dalam prakteknya. Hal tersebut karena kuatnya pengaruh ajaran tersebut ketika era Tokugawa. Namun pada tahun 1600 an Budha tidak terlalu diminati namun lama-kelamaan rakyat mulai memandang agama ini. Dua konsep religi jepang yaitu mengenai Tuhan sebagai Entitas yang lebih tinggi dan yang kedua yaitu sebagai dasar dari segalal inti sesuatu yang terdalam.
          Bellah menjelaskan bahwa sebuah agama yaitu mengatakan: (Dalam rangka memahami sebuah masyarakat dan agama mereka, kita perlu  mengetahui tidak hanya sekedar pernyataan kepercayaan dan doktrin yang dianut  dan dijalankan oleh penganutnya. Pernyataan dan doktrin tersebut memang fakta-fakta penting, tapi mereka hanya mengungkapkan kulit luar dari sebuah agama. Kita memang harus mempelajari  kulit luar sebelum kita masuk mencapai inti, namun yang inti inilah yang merupakan makna utama dari sebuah agama yang terletak di dalam kepribadian penganutnya, yang sangat penting  bagi pemahaman kita, meskipun hal ini selalu sukar untuk ditangkap. Begitu kita dapat menangkap tempat dari sebuah  agama dalam pemikiran, perasaan, dan aspirasi penganutnya, barulah setelah itu kita dapat mulai melihat bagaimana komitmen keagamaan mereka membentuk dan mempengaruhi keseluruhan kehidupan mereka, dan bagaimana aspek-aspek lain dari kehidupan mereka, yang pada gilirannya, mempengaruhi agama mereka).
          Metode penyimpulan dan penafsiran dalam kajian tentang nilai seperti di atas disebut sebagai metode vers tehen,   lawannya   adalah metode e r k lar en. Dengan demikian, kajian tentang nilai memerlukan tenaga peneliti yang benar-benar mempunyai kemampuan, baik dalam penguasaan konsep maupun dalam ketrampilan metodologis. Suatu nilai mencakup satu kode (tanda-tanda yang mengandung makna), dan satu standard (pengukuran, penilaian) yang cukup mantap dalam jangka waktu tertentu, yang berfungsi dalam mengorganisasikan atau mengatur satu sistem tindakan. 
          Karena nilai mengandung pengertian standard, dengan demikian nilai menempatkan suatu hal, suatu tindakan, suatu ucapan, cara bertindak, atau tujuan  dari tindakan dalam satu kontinuum ‘diterima-ditolak’. Nilailah yang menentukan tempat dari sebuah tindakan, ucapan, dan tujuan tindakan; apakah ditolak atau diterima, atau terletak antara ditolak dan diterima. Nilai, dalam pengertiannya sebagai standard, adalah konsepsi tentang the desirable. The desirable tidak sama dengan the  desired.
          The desirable  adalah konsepsi   tentang  sesuatu  ‘yang seharusnya diinginkan’, sedangkan the desired adalah hal ‘yang  diinginkan’. Nilai merupakan kriteria dalam menentukan tentang  apa yang seharusnya diinginkan seseorang sebagai anggota suatu  masyarakat ,   bukan   tentang   apa   yang diinginkannya. Nilai  yang dianut   seseorang,   atau  suatu masyarakat, biasanya berbentuk samar-samar . Nilai tersebut tidak diungkapkan dalam bentuk verbal secara komplit dan tepat oleh pemiliknya. Dia lebih implisit daripada eksplisit. Dia berbentuk ide, atau  pemikiran, yang abstrak dan sangat umum.

1.3  The Protestant Ethnic and The Spirit of Capitalism dan Tokugawa Religion dilihat dari Perspektif Agama Islam
Masyarakat Jepang mempunyai pandangan yang sangat sekuler dan tidak begitu peduli pada agama.            Biasanya, orang Jepang melakukan upacara perkawinan dengan cara Shinto atau Kristen, sedangkan upacara kematian dengan cara Budha. Bagi kebanyakan orang Jepang, hal itu tidak dianggap aneh.
Di Jepang jarang sekali kesempatan yang menjelaskan dirinya mempercayai agama apa. Mereka menganggap agama sebagai hanya adat atau kebiasaan.
Menurut beberapa pendapat, sekitar 70% orang menjawab tidak memeluk agama. Alasannya karena orang Jepang merasa repot jika masuk salah satu organisasi agama yang dikendalikan oleh ajaran tertentu.
Pengunjung tempat ibadah pada saat merayakan datangnya tahun baru dilakukan oleh kebanyakan orang Jepang. Pada upacara menjemput roh nenek moyang yang kembali ke rumahnya (seperti upacara Galungan di Bali), kebanyakan orang Jepang mudik untuk ikut upacara itu. Tetapi praktik-praktik ini dianggap sebagai adat, bukan agama.
Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Ketika berakhir perang dunia kedua, orang Jepang memetuskan bahwa negaranya harus berdasarkan atas pemisahan agama dari negara. Memang tidak ada sekolah agama negara  (seperti IAIN di Indonesia). Dilarang keras memakai anggaran negara untuk hal-hal agama. Kalau ada kasus pengeluaran anggaran negara untuk upacara keagamaan, kasus ini diadukan ke pengadilan sebagai pelanggaran undang-undang dasar. (Tetapi kebanyakannya kasus seperti itu, keputusannya bahwa upacara itu adat, bukan agama, jadi bukan pelanggaran undang-undang dasar.)   
Sedangkan Protestan memiliki keinginan yang kuat dan tertarik untuk terus meningkat dan berkembang sehingga sasaran mereka adalah bagian-bagian terpenting dari perusahaan-perusahaan modern. Weber memusatkan usaha pencariannya pada kalangan Protestan. Ia mengamati bahwa agama Kristen Protestan memberikan nilai yang positif terhadap dunia material yang bersifat kodrati. Sikap seperti itu, demikian Weber, erat hubungannya dengan salah satu konsep yang berkembang di kalangan Protestan yakni konsep panggilan.’ Bagi dia, konsepsi tentang ‘panggilan’ merupakan konsep agama tentang suatu tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas di mana seseorang harus bekerja. Ajaran mengenai panggilan ini mula-mula dicetuskan oleh Luther, namun selanjutnya diteruskan oleh Calvin, meski tidak sama persis.
Calvin mengajarkan bahwa aktivitas sosial dari orang-orang Kristen di dunia ini bertujuan untuk memuliakan Tuhan dengan mematuhi firman-firman-Nya sesuai dengan kemampuan masing-masing pribadi manusia. Dengan demikian, bagi penganut Calvinis, kerja dilihat sebagai suatu panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan keperluan tetapi sebagai tugas suci. Selanjutnya, lewat ajaran mengenai predestinasi Calvin mengajarkan bahwa setiap orang harus berhadapan dengan takdirnya secara pribadi sebab tidak ada orang lain atau hal lain yang bisa membantunya, termasuk Tuhan. Di sinilah Weber melihat bahwa karena kecenderungannya tersebut, maka dapatlah dimengerti mengapa orang-orang Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia ini memperlihatkan sikap hidup yang optimis, positif, dan aktif. 
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat baik dalam wacana dan praktis sosialnya menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci dan konstruksi manusia terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya primordial yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Politik ekonomi kapitalis adalah politik ekonomi persaingan bebas. Bagi Negara-negara kapitalis, persaingan akan semakin mengkhawatirkan. Jika persaingannya memiliki kekuatan untuk menjadi Negara industri yang makin kuat. Karena sebab itu, mereka harus memiliki strategi agar tidak dapat dikalahkan oleh yang lainnya.
Bahwa banyak sekali dampak-dampak negative yang di timbulkan. Sistem kapitalis saat ini telah tersebar hampir keseluruh pelosok Negara. Walaupun tidak secara nyata, tetapi nilai-nilai atau dasar pemikiran kapitalis sudah banyak dipakai oleh negara negara yang berasaskan demokrasi seperti Negara kita yaitu Negara Indonesia. Sudah banyak fakta-fakta yang menunjukan bahwa pemikiran kapitalis sudah menjamur pada sistem di Indonesia ini. Dan akibatnya banyak sekali dampak-dampak negative yang di rasakan masyarakat Indonesia, di antaranya :
a.    Kekayaan menumpuk pada beberapa orang atau perusahaan tertentu.
b.    Negara ini termasuk ke dalam cengkraman penjajahan ekonomi.
c.    Pengangguran semakin meningkat.
d.   Negara kehilangan sumber-sumber pendapatannya.
e.    Konsumen terbebani oleh harga-harga yang melambung.
f.     Sumber daya alam milik rakyat banyak dikuasai oleh pihak swasta, khususnya pihak asing.
g.    Rakyat terhalang untuk memanfaatkan milik mereka.
Dengan melihat banyaknya akibat-akibat negative yang di sebabkan oleh sistem kapitalis jika diterapkan dalam sistem di suatu Negara, sudah dapat disimpulkan bahwa itu tidak dibenarkan di dalam ajaran Islam. Karena di dalam agama Islam sudah jelas bahwa di dalam membina pemerintahan, suatu Negara harus memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya.
Untuk mennghadapi penjajahan ekonomi kapitalis seperti diatas, tentu tidak bisa dengan solusi yang setengah-setengah. Dan tidak mungkin juga menggunakan solusi-solusi yang hanya berasal dari teori-teori ekonomi konvensional, yang hakikatnya merupakan teori ekonomi yang sudah masuk dalam wilayah ideology kapitalisme itu sendiri.
Sistem ekonomi Islam memiliki pandangan bahwa seluruh harta yang ada di dunia ini sesungguhnya milik Allah, berdasarkan firman Allah yang berarti :“dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu” (QS. An-Nur: 33)
Dari ayat tersebut dapat difahami bahwa harta yang diberikan Allah kepada manusia adalah merupakan pemberian dari Allah yang dikuasakan kepadanya. Penguasaan ini berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak kepemilikan, tetapi bukan kepemilikan yang sebenarnya.
Sehebat apapun sebuah sistem, tetapi jika pengelolanya tidak amanah, maka sistem tersebut akan hancur. Dalam sistem Negara yang bercorak sekularistik seperti di Indonesia ini, yaitu ketika agama dipisahkan dari pengaturan kenegaraan, akan menyebabakan hubungan dengan syari’at hanya sebagai aktifitas ibadah ritual saja.
Sedangkan ketika mengelola Negara maka hubungan dengan syari’at menjadi lemah, bahkan tidak ada sama sekali. Hal inilah yang membuat atau menjadi sumber terjadinya perpecahan di dalam suatu Negara.Jadi, jika suatu Negara ingin mencapai kemakmuran, terlebih dahulu membenahi sistem yang dipakai saat itu. Jika sistemnya sudah sempurna dan diterapkan juga dengan sempurna maka Negara tersebut akan merasakan kemakmuran dan kesejahteraan pada masyarakatnya. 


BAB III
KOMENTAR

          Terdapat persamaan dan perbedaan antara teori Max Weber  The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, 1930) dengan buku Robert Bellah (Tokugawa Religion) dengan Etika/Perspektif Islam. Persamaannya adalah bahwa ketiganya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Tokugawa Religion) dan Etika/Perspektif Islam melihat bahwa motivasi utama seseorang bekerja keras adalah bukan untuk mendapatkan keuntungan berupa materi, melainkan sebagai suatu upaya untuk memenuhi tuntunan atau perintah dari agama yang dianutnya dan mendorong orang untuk bekerja keras agar mencapai kesejahtraan hidup.
          Perbedaannya adalah bahwa ketiganya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Tokugawa Religion) dan Etika/Perspektif Islam ketiganya berlandaskan pada agama yang berbeda-beda: Weber pada Protestan, Bellah pada agama-agama di Jepang, dan pendapat ketiga pada agama Islam.
          Weber berpendapat bahwa etika dan gagasan-gagasan Puritan telah mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Namun demikian, loyalitas keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan-urusan duniawi, termasuk pengejaran akan harta kekayaan. Tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh makna spiritual dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih sebagai produk sampingan, logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada mereka baik yang secara langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi.
          Bellah menjelaskan begaimana agama di periode Tokugawa (1600-1868) memantapkan fondasi bagi ekonomi industri modern Jepang, dan menghilangkan dua miskonsepsi tentang modernisasi Jepang: bahwa hal tersebut dimulai saat kedatangan Admiral Perry di tahun 1868, dan berkembang dengan cepat karena kepintaran orang Jepang dalam meniru. Ditunjukkan bahwa doktrin Budhisme, Konfusianisme, dan Shinto mendukung bentuk logika dan pemahaman yang dibutuhkan untuk perkembangan ekonomi. Jepang sekarang telah menjadi negara adidaya dalam bidang ekonomi serta menjadi model bagi beberapa negara barat.
          Beberapa doktrin dalam Islam juga menganjurkan manusia untuk bekerja keras, seperti tercermin dalam beberapa ayat dari Al Qur’an maupun dari Al Hadits, diantaranya: “... dan apabila kamu telah selesai dengan satu urusan segeralah kerjakan urusan lain karena ada kebaikan dibaliknya.” “Beribadahlah seakan kamu akan mati besok dan bekerjalah seolah kamu akan hidup selamanya.” “Sesungguhnya Alloh tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka mengubahnya sendiri.”
          Teori Max Weber tidak akan bisa diterapkan di Jepang walaupun sama-sama menjadi Negara modern, karena Eropa kerja di barat untuk menuju sisten Kapital, sedangkan kerja di Jepang hanyalah kesenangan untuk membentuk hubungan baik di dalam komunitas. Apalagi dalam Islam mendewakan pekerjaan, ataupun menuju kapitalis merupakan larangan, karena kerja keras yang digambarkan dalam Islam adalah untuk mengharap ridlo Allah semata. 




No comments:

Post a Comment