TEORI POSITIVISME DAN TEORI HUKUM MURNI
MAKALAH
Diajukan untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Filsafat Hukum Pada
Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pembina :
Yahya
Mulyadi M.Pd
Dosen Pelaksana :
Dra. Rina
Mutia Iryana M.Pd
Disusun Oleh :
Lan Lan
Risdiana
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA
CIANJUR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tumbuhnya
berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang
tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila pada masa lalu,
filsafat merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya
tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan
kajian tersendiri dara para ahli hukum.
Teori ilmu
hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan
mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum
adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada
dasar-dasar filsafat yang paling dalam.
Teori hukum merupakan kelanjutan dari
usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif
sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan
untuk menjelaskan tentang hukum.
Teori hukum dipelajari sudah sejak
zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai
pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad
kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari
filsafat agama, etika atau politik.
Para ahli fikir hukum terbesar pada
awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik.
Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik
ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini.
Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan
penelitian hukum.
Teori-teori hukum pada zaman dahulu
dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum
modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri.
Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli
hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas
keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.
Munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai
bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal
adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini
menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh
pengetahuan.
Positivisme adalah suatu
aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya
bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah
hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas
hukum dalam masyarakat.
Pemikir
positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang
berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri
menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command).
Selanjutnya
muncul teori hukum murni ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat
saksama dari aliran positivisme. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran
yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu
dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada.
Teori hukum murni adalah teori yang
berasal dari aliran hukum positif, dimana di dalam teori ini berusaha untuk
memberikan pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang “murni“ terlepas dari
segala unsur lain yang berasal dari luar ilmu hukum itu sendiri.
Teori
hukum murni berusaha untuk memisahkan pengertian antara ilmu hukum dari
pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu sistem yang
berjalan secara independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum moral.
Hans Kelsen (1881-1973), adalah
pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum
murni).
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana teori Positivisme dalam aliran
filsafat hukum?
2.
Bagaimana teori hukum murni dalam aliran
filsafat hukum?
1.3
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah
Filsafat Hukum pada program studi Pendidikan Kewarganegaraan semester 8
2.
Mendeskripsikan
teori Positivisme dalam aliran filsafat hukum
3.
Mendeskripsikan teori hukum murni dalam aliran
filsafat hukum
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Positivisme
2.1.1 Pelopor Teori Positivisme
Pemikir positivisme hukum yang
terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah
perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada
unsur “perintah” (command). Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap,
logis, dan tertutup.
2.1.2 Sejarah Kemunculan Teori Positivisme
Sebelum Abad Ke-18 Pikiran Berkenaan
Dengan Positivisme Hukum Sudah Ada, Tetapi pemikiran itu baru menguat setelah
lahirnya negara-negara modern.
Di sisi lain, pemikiran positivisme hukum
juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu) dan sekaligus
menunjukkan perbedaannya dari pemikiran hukum kodrat, dimana hukum kodrat
disibukkan dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, sedangkan pada
positivisme hukum aktivitas justru diturunkan kepada permasalahan konkrit.
Melalui positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis
dalam arti yang mutlak dan positivisme hukum seringkali dilihat sebagai aliran
hukum yang memisahkan antara hukum dengan moral dan agama. Bahkan tidak sedikit
pembicaraan terhadap positivisme hukum sampai pada kesimpulan, bahwa dalam
kacamata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command
from the lawgivers), hukum hukum itu identik dengan undang-undang.
Bahwa munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di
berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu
aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik.
Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana
untuk memperoleh pengetahuan.
2.1.3 Kajian Dalam Teori Positivisme
Positivisme Hukum (Aliran Hukum
Positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara
hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das
sollen). Dalam pandangan positivis, tidak ada hukum lain, kecuali perintah penguasa.
Bahkan, bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme
berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan Undang-Undang.
Positivisme adalah suatu
aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut
paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif
itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam
masyarakat. Termasuk dalam aliran ini ajaran Analytical Jurisprudence yang
dikemukakan oleh John Austin. Inti dari ajaran Analytical Jurisprudence adalah Law
is a command (hukum merupakan perintah dari penguasa).
John Austin mendefinisikan hukum
sebagai berikut:
”Law is a command set, either
directly or circuitously, by a sovereign individual or body, to a members of
some independent political society in which his auhority is supreme.” Jadi hukum
adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak
yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang
independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas yang
tertinggi.
Menurut Austin hukum adalah
peraturan-peraturan yang berisi perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang
berakal dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap
mereka itu. Jadi, landasan dari hukum adalah “kekuasaan dari penguasa”. Austin
menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup
(closed logical system), dimana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya
dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang
telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan nilai-nilai yang baik atau
buruk.
Karakteristik hukum yang terpenting
menurut Austin terletak pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami
sebagai suatu perintah dari penguasa. Akan tetapi tidak semua perintah
oleh Austin dianggap sebagai sebagai hukum, menurut pandangannya hanya oleh
perintah-perintah umum yang mengharuskan seseorang atau orang-orang untuk
bertindak untuk menaati hukum tersebut.
Kata kunci dalam hukum menurut
Austin adalah perintah yang diartikan perintah umum dari entitas politik yang
memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme
political authority), yang berfungsi mengatur perilaku anggota
masyarakat. Yang memiliki kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok
individu. Syaratnya : (1) individu atau kelompok individu merupakan orang atau
sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan (2)
individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun
juga di atasnya. Jadi sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi
yang de facto dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat sementara
ia sendiri tidak tunduk pada siapa pun.
Hukum menurut Austin harus dipahami
dalam arti perintah karena hukum seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih
(apakah mematuhi atau tidak mematuhi). Hukum bersifat non optional.
Karena itu, Austin menegaskan bahwa hukum bukan setumpuk peraturan atau nasihat
moral. Ketika hukum tidak lagi dapat dipaksakan, yakni pelanggarannya dikenai
hukuman atau sanksi hukum. Dengan demikian, kepatuhan pada hukum adalah
kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Menyebut perintah sebagai hukum tetapi
dalam praktek tidak dapat ditegakkan melalui penerapan sanksi hukum adalah
absurd, karena hukum yang demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya
sebagai alat kontrol terhadap tingkah laku masyarakat. Padahal, demikian
Austin, mengontrol perilaku masyarakat adalah fungsi utama hukum. Dalam arti
ini, sebetulnya Austin sepakat dengan Aquinas yang juga melihat hukum sebagai
alat kontrol sosial. Akan tetapi, berbeda dengan Aquinas yang melihat hukum
tertuma sebagai hasil kerja rasio, Austin justru menekankan watak perintah
hukum yang bersumber pada kedaulatan penguasa. Dalam arti ini, pandangan hukum
Aquinas lebih lunak dibandingkan dengan pandangan Austin.
Hukum sebagai perintah, menurut Austin,
memuat dua elemen dasar yaitu sebagai berikut:
1.
Hukum sebagai perintah mengandung
pentingnya keinginan, yakni keinginan dari seorang penguasa bahwa seseorang
harus melakukan atau menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Karena itu,
keinginan dalam arti hukum memiliki kekhususan, yakni bahwa “pihak yang terkena
hukum harus menanggung akibat yang tidak menyenangkan atau membahayakan dari
yang lain apabila gagal memenuhi hukum yang berlaku.” Dengan demikian, hukum
dalam arti perintah yang mengungkapkan keinginan penguasa pada dasarnya memuat
ancaman hukuman bagi siapa pun yang berada di bawah hukum yang berlaku.
2.
Bahwa hukum memiliki kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang tidak menyenangkan atau bahkan membahayakan subjek
yang melanggarnya. Individu yang terkena perintah dengan sendirinya terikat,
wajib berada dibawah keharusan untuk melakukan apa yang diperintahkan.
Kegagalan memenuhi tuntutan perintah akan berakibat bahwa subjek yang terkena
perintah mendapat sanksi hukum
Kemudian
Austin mengungkapkan dua pembedaan besar berkaitan dengan hukum yaitu sebagai
berikut:
1.
Hukum Tuhan
Adalah hukum yang diciptakan Tuhan untuk makhluk
ciptaan-Nya. Hukum ini merupakan suatu moral hidup manusia dalam arti sejati.
2.
Hukum manusia
Adalah hukum yang dibuat manusia untuk manusia. Hukum
manusia ini dibedakan menjadi 2 yaitu:
1)
Hukum yang sebenarnya (properly
so called). Hukum ini sebagai superior politik atau dalam melaksanakan
hak-hak yang diberikan oleh otoritas politik.
2)
Hukum yang sebenarnya bukan hukum
(improperly so called). Hukum ini dibuat oleh manusia tetapi tidak sebagai yang
memiliki otoritas politik atau dalam melaksanakan hak yang dimiliki. Hal ini
mencakup oleh Austin disebut sebagai hukum-hukum yang ada karena analogi,
misalnya aturan-aturan yang menyangkut keanggotaan seseorang dalam kelompok
tertentu.
Jika
mengacu pada apa yang dikatakan oleh Austin maka menurut Huijbers ada dua hal
yang patut dicatat, yaitu sebagai berikut:
1.
Bidang yuridis mendapat tempat yang
terbatas, yaitu menjadi unsur negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah
suatu negara.
2.
Hukum mengandung arti kemajemukan
sebab terdapat beberapa bidang hukum di samping negara, walaupun bidang-bidang
itu tidak mempunyai arti hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti yang
sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh
negara. Hukum-hukum lain dapat disebut hukum, tetapi tidak memiliki arti
yuridis yang sesungguhnya.
2.1.4 Kritikan Terhadap Austin Tentang Teori
Perintah (Teori Positivisme).
Catatan
kritis terhadap konsepsi Austin tentang teori perintah mendapat kritikan antara
lain oleh Hans Kelsen dan H.L.A. Hart. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah,
apabila hukum hanya dipahami sebagai perintah, sementara perintah selalu
dikaitkan dengan keinginan dan sanksi.
1.
Krtikan dari Hans Kelsen
Sebagaimana dikutip oleh Murphy dan
Coleman sepakat bahwa sanksi memang penting dalam hukum. Perintah sebagai hukum
harus memiliki kemampuan memaksa. Meskipun begitu, bagi Kelsen, konsep sanksi
bukanlah suatu yang esensial untuk memberi status bagi perintah. Menurutnya
sanksi hukum hanya relevan dalam konteks hukum pidana (criminal law) tetapi
tidak pada jenis hukum lainnya. Apabila konsep sanksi dipaksakan menjadi esensi
hukum, aka hukum direduksi menjadi hukum pidna. Padahal disamping hukum pidana
masih terdapat hukum perdata (private law)
2. Kritikan
dari H.L.A Hart
Kritik yang cukup penting diberikan
oleh H.L.A Hart terhadap pemikiran Austin. Hart mencatat tiga kelemahan
pokok dari teori perintah Austin. Semua kesulitan dalam teori Austin, menurut
Hart, terletak pada pandangan Austin yang melihat hukum sebagai emanasi atau
jelmaan diri dari penguasa absolut. Kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Hukum harus memiliki keberlangsungan
hukum, tidak boleh tergantung seluruhnya pada person tertentu. Hukum harus
memiliki kemampuan bertahan melampaui person-person yang menciptakannya (transpersonal
continuity). Mengasalkan hukum pada pribadi tertentu, dalam hal ini
penguasa absolut, akan menimbulkan problem kekosongan hukum ketika yang
bersangkutan meninggal dunia.
2)
Hukum seharusnya berlaku bagi
segenap anggota masyarakat termasuk penguasa. Dengan menjadikan hukum sebagai
jelmaan keinginan penguasa, tidak jelas apakah penguasa sendiri tunduk pada
hukum yang berlaku. Teori kedaulatan Austin tidak tegas membuka kemungkinan
bagi penguasa untuk tunduk pada hukum buatannya sendiri. Dengan demikian, teori
kedaulatan Austin menciptakan problem of self-limitation karena tidak
mudah seorang penguasa memerintah dirinya sendiri. Tentu saja ini membuka
peluang terjadinya kesewenang-wenangan penguasa.
3)
Austin gagal membedakan dengan tepat
konsep “konsep berada di bawah kewajiban” dan “berada di bawah paksaan”.
Menurut Hart tunduk pada kewajiban (under a duty) dan dipaksa (being
obliged atau being forced) mengikuti kemauan adalah dua hal yang berbeda.
Bertolak dari kritik ini Hart membangun teorinya dengan merujuk bahwa validitas
hukum tidak pada individu atau kelompok individu yang berdaulat, melainkan pada
sistem. Hukum tidak bergantung pada orang tetapi pada sistem (Lembaga
peraturan).
2.2
Teori Hukum Murni
2.2.1 Pelopor Teori Hukum Murni
Hans Kelsen (1881-1973), adalah
pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum
murni).
2.2.2
Kajian
Dala Teori Hukum Murni
Teori hukum murni ini lazim dikaitkan
dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian
pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu
pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan
sebagainya.
Teori hukum murni adalah teori yang
berasal dari aliran hukum positif, dimana di dalam teori ini berusaha untuk
memberikan pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang “murni“ terlepas dari
segala unsur lain yang berasal dari luar ilmu hukum itu sendiri.
Dapat
digambarkan bahwa antara abad 19 dan 20, kemurnian suatu ilmu pengetahuan
menjadi sesuatu hal yang sudah tidak ideal lagi, hal ini misalnya dapat dilihat
dari adanya yurisprudensi-yurisprudensi dimana di dalam yurisprudensi-yurisprudensi
tersebut banyak dipengaruhi oleh banyak hal-hal lainnya seperti unsur psikologi
dan biologi yang ada pada waktu itu, sehingga di dalam keadaan seperti itu
untuk menemukan suatu ilmu hukum yang murni merupakan suatu hal yang sulit
untuk didapatkan.
Teori
hukum murni berusaha untuk memisahkan pengertian antara ilmu hukum dari
pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu sistem yang
berjalan secara independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum moral.
Suatu norma dapat menjadi suatu produk hukum yang valid hanya dikarenakan norma
tersebut sudah dituangkan di dalam suatu bentuk undang-undang yang dilahirkan
melalui suatu prosedur hukum dan hal ini berlakuk sebagai suatu hukum yang
positif.
Teori
Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif,
yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat
etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan
suatu ilmu pengetahuan hukum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang
tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana
yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas.
Kelsen
juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh
karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan
subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya
benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha
menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan
peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus
diikuti orang.
Teori
hukum murni ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat saksama dari
aliran positivisme. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat
ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk
peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori
tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan;
“Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena
titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan
sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum.
Dari
uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang
hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena
itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena
dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga tidak boleh dicemari oleh
ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
Teori
hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi,
sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen
adalah sebagai berikut :
1. Tujuan
teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi
kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity)
2. Teori
hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang
hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada
3. Ilmu
hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
4. Sebagai
suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan
efektifitas norma-norma hukum
5. Suatu
teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi
yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik
6. Hubungan
antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti
antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Pada
dasarnya Inti ajaran Hans kelsen terkait dengan Hukum Murni ada tiga konsep,
yaitu:
1. Ajaran murni
hukum Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum
seperti sejarah, moral, sosiologis, politik, dan sebagainya.
2. Ajaran tentang Grundnorm
merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu
tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara Grundnorm yang ada pada
tata hukum A tidak mesti sama dengan Grundnorm pada tata hukum B. Grundnorm
ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm
memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
3. Ajaran tentang Stufenbautheorie,
peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada
dipuncak piramida, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma
dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah makin konkrit. Dalam proses itu,
apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu
yang “dapat” dilakukan.
Salah satu ciri yang menonjol pada
teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai
alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik,
sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap
tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan
alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang
memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen
yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil
yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan
hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk
melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini
tidak perlu sama untuk setiap tata hukum; tetapi ia selalu akan ada, apakah
dalam bentuk tertulis, atau sebagai suatu pernyataan yang tidak tertulis.
Grundnorm
ini merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah
yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipetuhi dan dia pula yang
memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum di situ harus dilaksanakan. Oleh
karena itu ia lebih merupakan suatu dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu
akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui
dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari
dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh.
Inilah yang disebut revolusi.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Teori hukum merupakan kelanjutan dari
usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif
sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan
untuk menjelaskan tentang hukum. Tumbuhnya berbagai aliran dalam
filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam
lapangan ilmu hukum
Teori positivisme adalah suatu
aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya
bersangkut paut dengan hukum positif saja. Pemikir
positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang
berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa.
Selanjutnya berkembang teori hukum
murni yang pelopor dari teori ini yaitu Hans
Kelsen (1881-1973). Teori murni berasal dari aliran hukum positif,
dimana di dalam teori ini berusaha untuk memberikan pengertian hukum dilihat
sebagai sesuatu yang “murni“ terlepas dari segala unsur lain yang berasal dari
luar ilmu hukum itu sendiri yang memisahkan ilmu hukum dari pengaruh
norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu sistem yang berjalan
secara independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum moral.
3.2
Saran
Tumbuhnya berbagai aliran dalam
filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang tidak hentinya dalam
lapangan ilmu hukum. Dewasa ini filsafat hukum telah menjadi bahan kajian
tersendiri dara para ahli hukum. Oleh karena itu para ahli hukum agar dalam memberikan
pemikiran filsafatnya selalu mengedepankan manfaatnya bagi dunia pendidikan,
serta dari masing-masing para ahli hukum tersebut dapat saling menghormati
pemikiran-pemikiran filsafat dari para ahli hukum yang lain. Sehingga tidak
saling menjelekkan/menjatuhkan kepada
para ahli hukum dari pemikiran filsafat yang kajinya tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H.R. Otje Salman S., SH.
2010. Filsafat Hukum. Bandung. PT Refika
Aditama
http://muhammadnurulhuda15.blogspot.com/2011/10/teori-hukum-murni.html
http://tubiwityu.typepad.com/blog/2010/02/teori-hukum.html
http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/28/pemikiran-teori-hukum-murni/
No comments:
Post a Comment