UNDANG-UNDANG DASAR DAN KONSTITUSI
MAKALAH
Diajukan untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Kapita Selekta Ilmu Politik Pada Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan
Dosen Pembina :
Iyep Chandra
Hermawan M. Pd
Dosen Pelaksana :
Dr. Beny Ahmad
Benyamin
Disusun Oleh :
Lan Lan
Risdiana
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA
CIANJUR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pengertian
konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada
juga yang menyamakan dengan pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu politik
istilah constitutin merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari
peraturan-perturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.
Undang-Undang
Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar semua undang-undang dan
peraturan lain dalam suatu negara yang mengatur bentuk, sistem pemerintahan,
pembagian kekuasaan, wewenang badan-badan pemerintahan,dll.
Keterkaitan konstitusi dengan UUD
yaitu konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak ter tulis sedangkan UUD
adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh karenanya makin
elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu
pemeritahan diselenggarakan
Konstitusi model Amerika (yang
tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad UUD” dimulai dengan diundangkannya UUD tertulis yang
pertama yaitu UUD Amerika Serikat pada tahun 1789 dan deklarasi francis tentang
hak-hak manusia dan warga negara 1789. Kedua dokumen tersebut selain memberikan
model yang kemudian diikuti oleh para perancng UUD yang lain, dalam hal bentuk
maupun substansi, juga memberikan berbagai wawasan mengenai mengapa dan
bagaimana UUD harus ada yang kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi
tertulis di berbagai negara di Eropa.
Undang-Undang Dasar
berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang
selanjutnya ditentukan sebagai ideologi yang melandasi negara. UUD menentukan
cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini melakukan kerjasama dan
menyesuaikan diri satu sama lain; UUD merekam hubungan kekuasaan dalam suatu
negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau
disingkat UUD 1945 atau UUD '45, adalah hukum dasar tertulis (basiclaw),
konstitusi pemerintahan
negara Republik Indonesia saat ini.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
peranan konstitusi dan Undang-Undang Dasar dalam praktik ketatanegaraan
2. Bagaimana
peranan konvensi dalam praktik ketatanegaraan
3.
Seperi apa Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan peranan konstitusi dan Undang-Undang Dasar
dalam praktik ketatanegaraan
2. Mendeskripsikan
peranan konvensi dalam praktik ketatanegaraan
3.
Mendeskripsikan Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pertumbuhan Konstitusi
Secara
etimologis antara kata” konstitusi” ,”konstitusional”, dan,”konstitusionalisme”
inti maknanya sama, namun penggunaan atau penerapannya berbeda. Konstitusi
adalah segala ketentuan da aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-undang Dasar,
dan sebagainya), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain,
segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang
didasarkan atau tidak menyimpangi konstitusi, berarti tindakan ( kebijakan)
tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitualisme,
yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak – hak rakyat
melalui konstitusi.
Catatan
historis timbulnya negara konstitusional, sebenarnya merupakan proses sejarah
yang panjang dan selalu menarik untuk dikaji. Konstitusi sebagai suatu kerangka
kehidupan politik telah disusun melalui dan oleh hukum, yaitu sejak jaman
sejarah Yunani, di mana mereka telah mengenal beberapa kumpulan hukum (secara
kitab hukum). Pada masa kejayaannya ( antara tahun 624-404 S.M.) Athena pernah
mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil
terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.
Pemahaman
awal tentang”konstitusi” pada masa itu, hanyalah merupakan suatu kumpulan dari
peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Kemudian pada masa kekaisaran Roma,
pengertian constitusionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan
ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para preator.
Termasuk didalamnya pernyataan-pernyataan pendapat dari para ahli
hukum/negarawan, serta adat kebiasaan setempat, disamping undang-undang.
Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan. Dimana
konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para kaisar Roma,
telah menjelma dalam bentuk L’Etat general di prancis, bahkan kegandrungan
orang Romawi akan ordo et unitas telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya
paham:” demokrasi perwakilan” dan “Nasionalisme” . dua paham inilah merupakan
cikal bakal munculnya paham konstitusionalisme modern.
Pada
zaman abad pertengahan, corak konstitusionalismenya bergeser kearah feodalisme.
Sistem feodal ini mengandung suatu pengertian bahwa tanah dikuasai oleh para
tuan tanah. Suasana seperti ini dibarengi oleh adanya keyakinan bahwa setiap
orang harus mengabdi pada salah satu tuan tanahnya. Sehingga raja yang
semestinya mempunyai status lebih tinggi dari pada tuan tanah, menjadi tidak
mendapat tempat.
Pada
abad VII (zaman klasik) lahirlah piagam/konstitusi Madinah. Piagam Madinah
adalah konstitusi Negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik islam,
tepat nya sekitar tahun 622 M.
Di
Eropa kontinental, pihak rajalah yang memperoleh kemenangan yaitu ditandai
dengan semakin kokohnya absolutisme, khususnya di Prancis, Rusia, Prusia, dan
Austria pada abad ke 15. Gejala ini
dimahkotai oleh ucapan L’Etat C’est moi-nya Louis XIV (1638-1715) dari Prancis.
Lain
halnya dengan di inggris, kaum bangsawanlah yang mendapat kemenangan dan
sebagai puncak kemenangannya di tandai dengan pecahnya The Glorious Revolution
(1688). Kemenangan kaum bangsawan dalam revolusi istana ini telah menyebabkan
berakhirnya absolutisme di inggris, serta munculnya parlemen sebagai pemegang
kedaulatan. Pada akhirnya, 12 negara koloni inggris mengeluarkan Declarations
of Independence dan menetapkan
konstitusi-konstitusinya sebagai dasar negara yang berdaulat yaitu tepatnya
pada tahun 1776. Deklarasi ini merupakan bentuk konkretisasi dari berbagai
teori perjanjian.
Perjalanan
sejarah berikutnya, pada tahun 1789 meletus revolusi dalam monarki absolutisme
di Prancis yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan dimasyarakat dan
terganggunya stabilitas keamanan negara. Sampai pada akhirnya, 20 juni 1789
Estats Generaux memproklamirkan dirinya konstituante, walaupun baru pada
tanggal 14 septembr 1791 konstitusi pertama di Eropa diterima oleh Louis XVI.
Sejak itu, sebagia besar dari negara – negara di dunia, baik monarki maupun
republik, negara kesatuan maupun federal, sama-sama mendasarkan atas suatu
konstitusi.
Di
Prancis muncul sebuah buku yang berjudul Du Contract Social karya J.J.
Rousseau. Dalam buku ini Rosseau mengatakan “ manusia itu lahir bebas dan
sederajat dalam hak-haknya “, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak
umum (rakyat). Tesis Rousseau ini sangat menjiwai De Declaration des Droit de
I’Homme et du Citoyen, karena deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan
konstitusi Prancis (1791) khusus nya yang menyangkut hak-hak asasi manusia.
Pada masa inilah awal dari konkretisasi konstitusi dalam arti tertulis (modern)
seperti yang ada di Amerika.
Konstitusi
model Amerika (yang tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad UUD” dimulai dengan diundangkannya UUD tertulis
yang pertama yaitu UUD Amerika Serikat pada tahun 1789 dan deklarasi francis
tentang hak-hak manusia dan warga negara 1789. Kedua dokumen tersebut selain
memberikan model yang kemudian diikuti oleh para perancng UUD yang lain, dalam
hal bentuk maupun substansi, juga memberikan berbagai wawasan mengenai mengapa
dan bagaimana UUD harus ada yang kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi
tertulis di berbagai negara di Eropa. Seperti konstitusi Spanyol (1812),
konstitusi di Nerwegia (1814), konstitusi di Nederland (1815), konstitusi di
Belgia (1831), konstitusi di Itali (1848), konstitusi di Australia (1861), dan
konstitusi di Swedia (1866), sampai pada abad XIX, tinggal Inggris, Hongaria
dan Rusia yang belum mempunyai konstitusi secara tertulis. Tapi perlu diingat
bahwa konstitusi-konstitusi waktu itu belum menjadi hukum dasar yang penting.
Konstitusi
sebagai Undang-Undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai arti penting atau
sering disebut dengan “konstitusi modern”, baru muncul bersamaan dengan semakin
berkembangnya “sistem demokrasi perwakilan dan konsep nasionalisme” . demokrasi
perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat akan kehadiran lembaga
legislatif. Lembaga ini diharapkan dapat membuat undang-undang untuk mengurangi
serta membatasi dominasi hak-hak raja. Alasan inilah yang mendudukan konstitusi
(yang tertulis) itu sebagai hukum dasar yang lebih tinggi dari pada raja,
sekaligus terkandung maksud memperkokoh Lembaga Perwakilan Rakyat.
Pada
giliran berikutnya, masa Perang Dunia I tahun 1914 telah banyak memberikan
dorongan yang dahsyat bagi konstitusionalisme, yaitu dengan jalan menghancurkan
pemerintahan yang tidak liberal, dan menciptakan negara-negara baru dengan
konstitusi yang berasarkan demokrasi dan nasionalisme. Upaya itu di konkretkan
dengan didirikannya Liga Bangsa-Bangsa untuk perdamaian dunia. Tiga tahun
kemudian muncul reaksi keras melawan konstitusionalisme politik yang ditandai
dengan Revolusi Rusia (1917), di ikuti meletusnya fasisme di Italia, dan
pemberontakan Nazi di Jerman, sampai pada akhirnya meletus perang dunia ke II.
2.2 Pengertian Konstitusi dan Undang-Undang
Dasar
Istilah
konstitusi berasal dari bahasa Francis (constituer) yang berarti membentuk.
Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan adalah pembentukan suatu negara
atau menyusun dan menyatakan suatu negara.
Pengertian
konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada
juga yang menyamakan dengan pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu politik
istilah constitutin merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari
peraturan-perturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.
Sedangkan
pengertian Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar
semua undang-undang dan peraturan lain dalam suatu negara yang mengatur bentuk,
sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang badan-badan
pemerintahan,dll.
Keterkaitan konstitusi dengan UUD
yaitu konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak ter tulis sedangkan UUD
adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh karenanya makin
elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu
pemeritahan diselenggarakan
Berikut
ini para ahli hukum yang mendukung antara yang membedakan dan yang menyamakan
pengertian konstitusi dengan UUD.
Penganut
paham yang membedakan pengertian konstitusi dengan dengan UUD antara lain
sebagai berkiut:
1.
Herman Heller
Herman
Heller membagi pengertian konstitusi menjadi tiga yaitu:
1) Konstitusi adalah
mencerminkan kehidupan politik didalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi
mengandung pengertian politis dan sosiologis.
2) Konstitusi merupakan suatu
kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian
yuridis.
3) Konstitusi yang ditulis
dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam
suatu negara.
Dari pendapat Herman Heller tersebut
dapatlah disimpulkan bahwa jika pengertian undang-undang itu harus dihubungkan
dengan pengertian konstitusi, maka artinya UUD itu baru merupakan sebagian dari
konstitusi, yaitu konstitusi yang tertulis saja. Disamping itu konstitusi tidak
hanya bersifat yuridis semata-mata, tetapi mengandung pengertian logis dan
poitis.
2. F. Lassalle
F. Lassalle dalam bukunya
Uber Verfassungwesen, membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:
1) Pengertian sosiologis atau
politis. Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan nyata dalam
masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuatan yang
terdapat dengan nyata dalm suatu negara. kekuasaan tersebut diantaranya: raja,
parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain; itulah
konstitusi yang sesungguhnya.
2) Pengertian yuridis.
Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan
sendi-sendi pemerintahan.
Dari pengertian sosiologis
dan politik, ternyata Lassale menganut paham bahwa konstitusi sesungguhnya
mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar UUD. Namun dalam pengertian
yuridis, Lassale terpengaruh pula oleh paham kodifikasi yang menyamakan
konstitusi dengan UUD.
Kelihatannya para penyusun
UUD 1945 menganut pemikiran sosiologis diatas, sebab dalam penjelasan UUD 1945
dikatakan: “UUD suatu negara adalah hanya sebagian dari hukumnya dasar negara
itu. UUD adalah hukum dasar yang tertulis , disamping UUD itu berlaku juga
hukum dasar yang tidak tetulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktik penyelengaraan negara, meskipun tidak tertulis.
Adapun
penganut paham modern yang tegas-tegas menyamakan konstitusi dengan UUD antara
lain sebagai berkut:
1. 1. C.F. Strong.
Pendapat
James Bryce sebagaimana dikutip C.F Strong dalam bukunya: Modern
Poitikal Constittion menyatakan konstitusi adalah:
“
Konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang
diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetpakan:
1) Pengaturan mengenai
pendirian lembaga-lembaga yang permanen.
2) Fungsi dari alat-alat
perlengkapan
3) Hak-hak tertentu yang telah
ditetapkan.
Kemudian C.F. Strong melengkapi
pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri yang menyatakan bahwa konstitusi
juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan:
1) Kekuasaan pemerintahan
(dalam arti luas)
2) Hak-hak yang diperintah
3) Hubungan antara pemerintah
dan yang diperintah (menyangkut didalamnya masalah hak asasi manusia)
2. K.C. Wheare
K.C. Wheare mengartiakn konstitusi
sebagai: “keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan
peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur, atau memerintah dalam
pemerintahan suatu negara”. peraturan disini merupakan gabungan antara
ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan tidak memiliki sifat
hukum (nonlegal).
Konstitusi dalam dunia politik sering
digunakan paling tidak dalam dua pengertian, sebagaimana dikemukakan oleh K.C.
Wheare dalam bukunya Modern Constitusions: pertama, dipergunakan dalam arti
luas yaitu sistem pemerintahan suatu negara dan merupakan suatu himpunan
peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan
tugas-tugasnya. Sebagai sistem pemerintahan didalamnya terdapat campuran
tataperaturan baik yang bersifat hukum (legal) maupun yang bukan peraturan
hukum (nonlegal). Kedua, pengertian dalam arti sempit, yakni sekumpulan
peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat
dalam “suatu dokumen” atau “beberapa dokumen” yang terkait satu sama lain.
Berangkat dari beberapa pendapat para
ahli tentang pengertian konstitusi diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
pengertian konstitusi meliputi konstitusi yang tertulis dan tidak tertulis. UUD
merupakan konstitusi yang tertulis. Adapun batasannya dapat dirumuskan dalam pengertian sebagai
berikut:
1) Suatu kumpulan kaidah yang
memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa.
2) Suatu dokumen tentang
pembagian tugasdan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik.
3) Suatu deskripsi dari
lembaga-lembaga negara
4) Suatu deskripsi yang
menyangkut masalah hak-hak asasi manusia.
2.3 Undang-Undang Dasar dan Konstitusionalisme
UUD sebenarnya
tidak bisa dilihat lepas dari konsep konstitusionalisme, suatu konsep yang
telah berkembang sebelum UUD pertama dirumuskan. Ide pokok dari
konstitusionalisme adalah bahwa pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya, agar
penyelenggaraannya tidak bersifat sewenang-wenang.Dianggap suatu UUD adalah jaminan
utama untuk melindungi warga dari perlakuan yang semena-mena. Dengan demikian
timbul konsep the constitusinal state, dimana UUD dinggap sebagai institusi
yang paling efektif untuk melindungi warganya melalui konsep Rule of the Law
atau Rechtsstaat.
Dengan demikian telah
terbukti sepanjang sejarah bahwa manusia atau golongan yang mempunyai kekuasaan
tidak terbatas akan menyalahgunakan atau menyelewengkannya sehingga berakibat
diinjak-injaknya hak-hak asasi manusia. Maka dari itu tepatlah diktum yang dikemukakan
oleh Lord Acton: “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk
menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan absolut sudah
pasti akan menyalahgunakannya”.
Mulai akhir abad ke-18
muncul berbagai rumusan UUD dalam bentuknya seperti yang kita kenal dewasa ini.
UUD dianggap sebagai jaminan yang paling efektif bahwa kekuasaan tidak
disalahgunakan dan hak warga negara tidak dilanggar. Untuk itu perlu dicari
suatu sistem asas pokok yang menentukan kekuasaan itu dan hak baik bagi yang
memerintah (penguasa), maupun bagi yang diperintah (rakyat).
Dinegara-negara komunis UUD
mempunyai fungsi ganda, disatu pihak mencerminkan kemenangan-kemenangan yang
telah dicapai dalam perjuangan ke arah tercapainya masyarakat komunis,
sekaligus merupakan pencatatan formal dan legal dari kemajuan yang telah
dicapai.
Negara-negara yang timbul di
Asia dan Afrika semuanya mempunyai UUD sebagai salah satu atribut kenegaraan
yang melambangkan kemerdekaan yang baru diperoleh itu. Dinegara-negara itu yang
menganggap UUD sebagai suatu dokumen yang mempunyai arti yang khas
(Konstitusinalisme), seperti misalnya India, Filipina, dan juga Indonesia.
Sebaliknya negara-negara komunis di Asia seperti China dan Korea Utara
menganggap UUD sebagai suatu registrasi belaka dari perkembangan yang telah
dicapai, serta rangka legal untuk masa depan, sesuai dengan anggapan Uni
Soviet.
2.4 Sifat Dan Fungsi Undang-Undang Dasar
Pada umumnya sifat dan fungsi undang-undang dasar itu
merupakan suatu perangkat peraturan yang menentukan kekuasaan dan tanggung
jawab dari berbagai alat kenegaraan. UUD juga menentukan batas-batas berbagai
pusat kekuasaan itu dan memaparkan hubungan-hubungan diantara mereka.
Menurut sarjana
hukum EC.S. Wade dalam buku Constitusional Law, UUD adalah “ naskah yang
memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu
negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut” jadi pada
dasarnya setiap sistem pemerintahan diatur dalam UUD.
UUD menentukan
cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini melakukan kerjasama dan
menyesuaikan diri satu sama lain; UUD merekam hubungan kekuasaan dalam suatu
negara.
Definisi
UUD dari sudut pandang filsafat diberikan oleh Ricard S. Kay. seorang ahli yang
ahli dalam bidang kontemporer. Menurut Kay “maksud diadakannya UUD adalah untuk
meletakan aturan-aturan yang pasti yang mempengaruhi prilaku manusia dan dengan
demikian menjaga agar pemerintah tetap berjalan dengan baik.
Di
dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional,
Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas
yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga
penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang, dengan demikian
hak-hak warga negara akan terlindungi.
2.5
Kedudukan
dan Tujuan Undang-Undang Dasar
Undang-Undang Dasar berkedudukan
sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang selanjutnya ditentukan
sebagai ideologi yang melandasi negara.
Sedangkan tujuan
Undang-Undang Dasar adalah sebagai berikut:
1. Membatasi
kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang – wenang maksudnya tanpa
membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan berjalan dengan baik dan
bisa saja kekuasaan penguasa akan merajalela Dan bisa merugikan rakyat banyak
2. Melindungi
Ham maksudnya setiap penguasa berhak menghormati Ham orang lain dan hak
memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.
3. Pedoman
penyelengaraan negara maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi negara kita
tidak akan berdiri dengan kokoh.
2.6 Materi
Muatan Dalam Undang-Undang Dasar
Menurut Mr. J.G. Steenbeek pada umumnya Undang-Undang Dasar
berisi tiga hal pokok, yaitu:
1. Adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya
2. Ditetapkannya
susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental
3. Adanya
pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental
Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, setiap Undang-Undang
Dasar memuat ketenttuan-ketentuan mengenai hal-hal sebagai berikut:
1. Organisasi
negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif atau juga pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan
pemerintah negara bagian
2. Hak-hak
asasi manusia
3. Prosedur
mengubah Undang-Undang Dasar
4. Ada
kalanya memuat larangan untuk mengubah sfat tertentu dari Undang-Undang Dasar
2.7 Ciri-ciri Undang-Undang Dasar
Walaupun UUD satu negara berbeda
dengan negara lain, kalau diperhatikan secara cermat ada ciri-ciri yang sama,
yaitu biasanya memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.
Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan
antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta hubungan antara
ketiganya. UUD juga memuat bentuk negara (Misalnya Federal atau kesatuan),
serta pembagian kekuasaan antara pemerintah federal degan pemerintah
negara-negara bagian atau antara pemerintah daerah. Selain itu UUD memuat
prosedur untuk menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu
badan negara atau pemerintah dan sebgainya. Dalam arti UUD mempunyai kedudukan
sebagai dokumen legal yang khusus.
2.
Hak-hak asasi manusia (biasanya disebtu Bill of
Right kalau berbentuk naskah tersendiri)
3.
Prosedur mengubah UUD (amandemen)
4.
Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat
tertentu dari UUD. Hal ini biasanya ada jika para penyusun UUD ingin
menghindari terulangnya kembali hal-hal yang abru saja diatasi, seperti
misalnya munculnya seorang diktator atau kembalinya suatu monarki, misalnya UUD
federasi Jerman melarang untuk mengubah sifat federalisme karena dikhawatirkan
bahwa sifat unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang
diktator seperti Hitler.
5.
Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang
mengikat semua warga negara dan lembaga negara tanpa kecuali.
2.8 Nilai Penting Undang-Undang Dasar
Struycken dalam
bukunya Het Staatsrecht van Het
Koninkrijk der Nederlanden menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi tentang
1.
Hasil perjuangan politik
bangsa di waktu yang lampau
2.
Tingkat-tingkat
perkembangan ketatanegaraan bangsa
3.
Pandangan tokoh-tokoh
bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang
akan datang
4.
Suatu keinginan, dengan
mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin
2.9 Perubahan Undang-Undang Dasar (Amandemen)
Selain
pergantian secara menyeluruh, tidak jarang pula negara mengadakan perubahan
sebagian dari UUD nya. Perubahan ini dinamakan amandemen. UUD biasanya memuat
prosedur untuk menampung hasrat melakukan perubahan parsial tersebut. Pada
umumnya dianggap bahwa suatu UUD tidak boleh terlalu mudah diubah, oleh karena
hal itu akan merendahkan arti simbolis UUD itu sendiri. Di lain pihak hendaknya
jangan pula terlalu sukar untuk mengadakan amandemen, supaya mencegah generasi
mendatang merasa terlalu terkekang dan karenanya bertindak di luar UUD.
Terdapat
prosedur yang berbeda-beda di antara satu negara dengan yang lain dalam
melakukan perubahan UUD, namun secara umum bisa disebutkan sebagai berikut:
1.
Melalui sidang badan legislatif, kadang-kadang
dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat diterapkan kuorum untuk sidang
yang membicarakan usul amandemen dan jumlah minimum anggota badan legislatif
untuk menerimanya (contoh: Inggris, Israel, Belgia, dan UUD Republik Indonesia
Serikat 1949). Di Inggris, bahkan secara ekstrem dapat dikatakan bahwa parlemenlah
yang paling berwenang untuk mengubah atau tidak mengubah UUD. Demikian pula
Israel, Knessetlah yang mempunyai wewenang tersebut.
2.
Referendum atau plebisit (contoh: Swiss,
Australia, Denmark, Irlandia, dan Spanyol). Di negara-negara ini referendum dilaksanakan
untuk memintakan persetujuan atas usul
peubahan atau amandemen yang diajukan oleh anggota parlemen.
3.
Negara – negara bagian dalam negara federal (
contoh: Amerika Serikat: ¾
dari lima puluh negara bagian harus menyetujui; contoh lain India). Di Jerman,
untuk mengubah BasicLawharus ada
persetujuan 2/3 dari anggota Bundesrat.
4.
Musyawarah khusus (specialconvention) seperti yang diberlakukan di beberapa negara
Amerika latin.
Di
Indonesia perubahan Undang-undang Dasar dapat dilakukan dengan cara:
1.
Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar
dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan
sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan rakyat
2.
Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang
Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukan dengan jelas bagian yang
diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3.
Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar,
sidang Majelis Permusyawaratan rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota Majelis Permusyawaran Rakyat.
4.
Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang
Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen
ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2.10 Supremasi Undang-Undang Dasar
UUD
berbeda dengan undang-undang biasa. Undang-Undang Dasar dibentuk menurut cara
yang istimewa. Cara tersebut berlainan dengan cara pembentukan undang-undang
biasa.
Demikian
pula badan membuat UUD berbeda dengan badan yang membuat undang-undang biasa. Karena
dibuat secara istimewa, maka UUD dapat dianggap sesuatu yang luhur. Ditinjau
dari sudut politis, dapat dikatakan bahwa undang-undang dasar sifatnya lebih
sempurna dan lebih tinggi dari pada undang-undang biasa.
Dengan
adanya gagasan bahwa UUD adalah hukum tertinggi (Supremes law) yang harus ditaati baik oleh rakyat maupun oleh
alat-alat perlengkapan negara. Yang akan menjamin bahwa ketentuan-ketentuan UUD
benar-benar diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik oleh
badan eksekutif maupun oleh badan-badan pemerintahan lainnya. Di sini ada
beberapa pikiran yang berbeda.
Di
inggris, parlemenlah yang diangga sebagai badan yang tertinggi (Parliamentary supremacy atau legislative supremacy) dan oleh karena
itu hanya parlemenlah yang boleh menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusional
dan menjaga agar semua undang-undang dan peraturan sesuai dan tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konstitusional itu. Ini berarti bahwa
parlemen merupakan satu-satunya badan yang boleh mengubah ataupun membatalkan
undang-undang yang dianggapnya tidak sesuai dan bertentangan dengan ketentuan
UUD. Hal ini berdasarkan gagasan bahwa kedaulatan rakyat diwakilkan kepada
parlemen sehingga badan itu merupakan pemegang kedaulatan yang tertinggi. Akan
tetapi dalam perkembangannya kemudian kekuasaan yang terlalu terpusat pada
parlemen ini menuai kritik. Sebab keadaan demikian dapat menimbulkan apa yang
disebut oleh Lord Hailsham (1976) electivedictatorship,
dalam arti bahwa pemerintah dapat melakukan apa saja sepanjang ia mampu
memegang kontrol mayoritas di parlemen. Kritik-kritik demikian pada gilirannya
mengarah ke berkembangnya keinginan untuk merevisi struktur UUD yang lebih
menjamin terdistribusinya kekuasaan pemerintah, misalnya melalui reformasi
sistem pemilihan umum; atau dengan mengodifikasikan UUD yang lebih menjamin
terlindunginya hak-hak asasi.
Berbeda
halnya dengan paham yang berlaku di negara-negara yang berbentuk federasi.
Paham yang berlaku di sana adalah bahwa perlu ada satu badan di luar badan legislatif
yang berhak meneliti apakah sesuatu undang-undang bertentangan atau tidak
dengan UUD. Di Amerika Serikat, India, dan Jerman barat wewenang itu ada
ditangan Mahkamah Agung Federal. Di negara-negara itu berlaku asas judicialsupremacy dan Mahkamah Agung
dianggap sebagai pengaman UUD (Guardian
of theConstitution). Wewenang Mahkamah Agung ini antara lain berdasarkan
anggapan bahwa anggota badan legislatif terlalu mudah terpengaruh oleh pihak
lain dan kedudukanya pun terpengaruh oleh oleh fluktuasi politik, sehingga
lebih wajarlah wewenang ini diberikan kepada hakim-hakim Mahkamah Agung. Mereka
dianggap lebih bijak dan profesional karena pendidikan dan pengalamannya di
bidang hukum, dan karena kedudukannya yang agak bebas dari tekanan dan
fluktuasi politik.
Di
beberapa negara lain dibentuk suatu badan khusus untuk itu. Misalnya di Prancis
ada Mahkamah UUD yang terdiri dari hakim-hakim mahkamah Agung ditambah dengan
beberapa hakim lain.
Di
negara yang mempunyai UUD tak tertulis (seperti di Inggris da Israel) adalah
sukar untuk membedakan antara hukum UUD dan hukum biasa, oleh karena setiap
ketentuan konstitusional – apakah berupa undang-undang biasa atau keputusan
hakim – dapat diubah atau ditinjau kembali oleh parlemen ; jadi statusnya tidak
berbeda dengan undang-undang biasa. Di negara-negara lain yang mempunyai UUD
tertulis, UUD dianggap sebagai hukum yang tertinggi yang lebih bersifat
mengikat daripada undang-undang biasa.
Di Indonesia, berdasarkan UUD 1945
yang di amandemen, juga telah dibentuk satu mahkamah konstitusi. Lembaga inilah
yang berwenang menguji apakah sebuah undang-undang bertentangan dengan UUD atau
tidak.
Dasar pertimbangan supremasi Undang-Undang
Dasar dalam suatu negara adalah karena beberapa hal yaitu:
1.
Undang-Undang Dasar
dibuat oleh Badan Pembuat Undang-Undang
2.
Undang-Undang Dasar
dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin
oleh rakyat, dan harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk
kepentingan mereka.
3.
Dilihat dari sudut hukum
yang sempit yaitu dari proses pembuatannya, Undang-Undang Dasar diteteapkan
oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya.
2.11 Konvensi Dalam Praktik Ketatanegaraan
Istilah konvensi berasal dari
bahasa Inggris yaitu convention. Konvensi diartikan sebagai kebiasaaan yang
dilakukan oleh pemerintah yang berlaku dan dihormati dalam praktik
ketatanegaraan..
A.V.
Dicey mengemukakan bahwa konvensi ketatanegaraan harus memenuhi ciri-ciri
sebagai berikut:
1.
Konvensi itu berkenaan dalam hal-hal bidang
ketatanegaraan
2.
Konvensi tumbuh, berlaku, diikuti, dan dihormati dalam
praktik penyelenggaran negara
3.
Konvensi bagian dari konstitusi, apabila ada
pelanggaran dari terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan
Dari ketentuan
diatas dapat diketahui bahwa konvensi itu berkembang karena kebutuhan dalam
praktik penyelenggaraan negara. Konvensi dapat terjadi melalui suatu praktik
berulang-ulang yang tumbuh menjadi kewajiban yang harus ditaati oleh
penyelenggara negara.
2.12 Konvensi dan UUD 1945
Penjelasan Umum UUD 1945 secara tegas
menyatakan bahwa “Undang-Undang Dasar suatu negara ialah
hanya sebagaian dari hukum dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum
dasar yang tertulis, sedangkan di samping undang-undang itu berlaku juga hukum
dasar yang tak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis (konvensi).
Menggarisbawahi Penjelsan Umum UUD 1945 tersebut dapat
disimpulkan bahwa kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia selain dilaksanakan
berdasarkan kaidah-kaidah hukum tertulis (UUD), juga memperhatikan
kaidah-kaidah hukum yang tertulis (konvensi). Kaidah-kaidah hukum yang tak
tertulis itu tumbuh dan berkembang berdampingan secara paralel dengan
kaidah-kaidah hukum yang tertulis.
Di Indonesia, konvensi tumbuh menurut atau sesuai dengan
kebutuhan negara Indonesia. Peranan konvensi dalam rangka melengkapi hukum
dasar tertulis yaitu UUD 1945 yang singkat, maka kiranya konvensi merupakan
salah satu alternatif rasional yang harus dan dapat diterima secara
konstitusional dalam praktik penyelenggaraan Negara Indonesia.
Kehadiran konvensi dalam praktik penyelenggaraan di
Indonesia bukan untuk mengubah UUD 1945. Oleh karena itu konvensi tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945, konvensi berperan sebagai partnership memperkokoh kehidupan ketatanegaraan Indonesia di bawah
sistem UUD 1945.
Berikut contoh-contoh beberapa praktik ketatanegaraan yang
dapat dipandang sebagai konvensi yang sifatnya melengakapi dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1.
Praktik dilembaga tertinggi negara bernama
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengenai pengambilan keputusan
berdasarkan musyarawah untuk mufakat.
2.
Pidato presiden pada tanggal 16 Agustus didepan
sidang paripurna DPR yang disatu pihak memberi laporan pelaksanaan tugas
pemerintah dalam tahun anggaran yang lewat, dan dilain pihak mengandung arah
kebijaksanaan tahun mendatang. Secara konstitusional tidak ada ketentuan yang
mewajibkan presiden menyampaikan pidato resmi tahunan semacam itu dihadapan
sidang paripurna DPR.
3.
Jauh dari sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat
bersidang presiden telah menyampaikan rancangan bahan-bahan untuk sidang umum
MPR yang akan datang itu. Dalam UUD 1945 hal ini tidak diatur bahkan menurut
pasal 3 UUD 1945 MPR lah yang harus merumuskan
dan akhirnya menetapkan garis-garis besar haluan negara. namun untuk
memudahkan MPR, presiden menghimpun rancangan GBHN yang merupakan sumbangan
pikiran presiden sebagai mandataris MPR yang disampaikan dalam upacara pelantikan
anggota-anggota MPR.
4.
Pada setiap minggu pertama bulan Januari,
presiden Republik Indonesia selalu menyampaikan penjelasan terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang Anggaran pendapatan dan belanja Negara dihadapan DPR,
pebuatan presiden tersebut termasuk kedalam konvensi. Hal ini pun tidak diatur
dalam UUD 1945 dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 hanya disebutkan bahwa “anggaran
pendapatan dan belanja ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang.
5.
Adanya Menteri Negara Nondepartemen dalam
praktik ketatanegaraan dibawah pemerintahan Orde Baru. Pasal 17 ayat 3 UUD 1945
menyebutkan bahwa “menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan”. Jika
ditinjau dari ketentuan pasal 17 ayat 3 UUD 1945, maka menteri-menteri itu
harus memimpin departemen. Namun demikian prktik ketatanegaarn dimasa Orde baru
dengan kabinet yang dikenal Kabinet Pembangunan. Adanya menteri Nondepartemen
berkaitan dengan kebutuhan pada era pembangunan dewasa ini. Karena adanya
menteri Nondepartemen sudah berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan
negara, maka dapatlah dipandang sebagai konvensi dalam ketatanegaraan kita
dewasa ini.
6.
Pengesahan Rancangan Undang-undang yang telah
disetujui oleh DPR. Secara konstitusional presiden sebenarnya mempunyai hak
untuk menolak mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah dietujui DPR,
sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 21 ayat 2 UUD 1945. Tetapi dalam praktik
presiden belum pernah mengguanakan wewenang konstitusional tersebut, presiden
selalu mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetuji oleh DPR,
meskipun Rancanagn Undang-Undang itu telah mengalami berbagai pembahsan dan
amandemen di DPR. Rancanagn Undang-Undang kebanyakan berasal dari pemerintah
(presiden) sebagai bagaimana ketentuan yang terdapat dalam pasal 5 ayat 1 UUD
1945. Dalam pembahasan RUU tersebut kedudukan DPR merupakan partner dari
presiden c.q. pemerintah. Maka pengesahan RUU oleh presiden sangat dimungkinkan
karena RUU tersebut akhirnya merupakan kesepakatan antara DPR dengan
pemerintah.
Kemudian
ada beberapa seputar masalah konvensi dimasa datang adalah sebagai berikut:
1.
Pertanggung jawaban wakil presiden terhadap MPR
Pasal 4 ayat 2 UUD 1945 hanya
menyebutkan bahwa dalam menjalankan pemerintahan negara, presiden dibantu oleh
wakil presiden. Secara konstitusional wakil presiden adalah juga pembantu
presiden disamping menteri-menteri. Kendatipun wakil presiden dipilih oleh MPR
tetapi UUD 1945 secara eksplisit tidak mengatur pertanggung jawaban wakil
presiden kepada MPR. Penjelasan UUD 1945 hanya memberi keterangan tentang pertanggung
jawaban presiden “bertunduk dan bertanggung jawab kepada majelis”. Presiden
adaah mandataris majelis. Karena kedudukan wakil presiden adalah pembantu
presiden, maka akhirnya presiden yang juga bertanggung jawab atas segala
tindakan pemerintahan, termasuk pelanggaran haluan negra atau Undang-Undang
oleh wakil presiden.
Tetapi dengan demikian apakah wajar
kalau presiden ditarik mandatnya atau diberhentikan oleh MPR karena kesalahan
wakil presiden?selanjutnya secara konstitusional dikatakan bahwa apabila
presiden diberhentikan, wakil presiden akan menjadi presiden (Pasal 8 UUD
1945). Dengan demikian berarti wakil presiden yang melanggar haluan negara
menjadi presiden menggantikan presiden yang sebenarnya menjalankan tugas dengan
baik dan tidak melanggar haluan negara.
Karena itu sangat wajar apabila dalam
peangaran haluan negara atau Undang-Undang dasar, wakil presiden bertanggung
jawab sendiri kepada MPR, meskipun UUD tidak mengaturnya, tetapi juga UUD 1945
tidak mencegahnya, karena pertanggung jawaban wakil presiden termausuk kategori
melengkapi UUD 1945 secara tidak bertentangan dengan makna yang terkandung
didalamnya.
Berdasarkan pikiran diatas, dapat
ditumbuhkan praktik (konvensi) yang memungknkan wakil presiden bertanggung
jawab sendiri kepada MPR.
2.
Komposisi menteri-menteri kabinet berdasarkan
pertimbangan kekuatan Sospol.
Pasal 17 UUD 1945 menyatakan bahwa
menteri-menteri adalah pembantu presiden. Dengan demikian presiden bebas untuk
mengangkat dan memberhentikan menteri. Dalam mengangkat menteri, presiden
adalah formatur tunggal. Ini adalah sebagai salah satu konsekuensi dari asas
yang dianut oleh UUD 1945 yakni kekuasaan dan tanggung jawab ditangan prsiden.
namun demikian tanpa mengurangi wewenang tersbut, perlu juga dipikirkan agar
dalam praktik ketatanegaraan yang akan datang penempatan menteri-menteri
kabinet disamping mementingkan unsur keahlian dan keesamaan pandangan politik,
perlu juga dipertimbangkan basis politik menteri-menteri yang mencerminkan
kekuatan sosial yang terdapat di masyarakat. Sehingga dengan demikian
pemerintah atau kabinet akan mendapat dukungan dari seluruh kekuatan
sosial/politik yang diakui. Hal ini sesuai pula dengan konsep negara
integralistik yang dicita-citakan.
3.
Sebuah undang-undang sebelum disahkan oleh
presiden terlebih dahulu disampaikan kepda Mahkamah Agung
Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 mengatur bahwa
UUD 1945 merupakan produk bersama antara presiden dengan DPR. Persoalannya
adalah terhadap undang-undang yang telah diproduk oleh presiden dan DPR.
UUD 1945 tidak
mengatur hak menguji material Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan UUD 1945
tidak mengenal teori Trias Politika. Sedangkan hak menguji material hanya
dijumpai dinegara-negara yang menganut teori Trias Politika. Namun praktik
ketatanegaraan yang akan datang untuk menjaga pelaksanaan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen, agar tidak terjadi penyimpangan dalam perbuatan berbagai
undang-undang, maka kiranya perlu dipertimbangkan cara-cara untuk menjaga
konstitualitas sebuah undang-undang. Salah satu alternatif sebelum presiden
mengundangkan suatu undang-undangyang telah disetujui oleh DPR, undang-undang
tersebut telah terlebih dahulu perlu disampaikan ke Mahkamah Agung, tidak
diperiksa ada dan tidak adanya hal yang bertentangan dengan UUD. Hal ini sesuai
dengan bunyi pasal 11 ayat 2 TAP MPR No. III/MPR/1978 yang menyatakan
“Mahakamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum
baik diminta maupun tidak, kepada lembaga-lembaga tinggi negara”.
Dengan demikian
bebrapa praktik ketatanegaraan (konvensi) atau kemungkinan-kemungkinan yang
dapat tumbuh untuk menjadi konvensi dalam kehidupan ketatanegaraan Republik
Indonesia.
2.13 Undang-Undang yang Berlaku di Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD '45,
adalah hukum dasar tertulis (basiclaw),
konstitusi pemerintahan
negara Republik Indonesia saat ini.
A.
Sejarah Awal UUD 1945
Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada
tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa
sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan
gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Pada
tanggal 22 Juni1945, 38 anggota BPUPKI membentuk
Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan
menjadi naskah Pembukaan UUD 1945.
Setelah
dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam
bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah
Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pengesahan
UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang
pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada
masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).
Nama
Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk
tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua
tanggal 10-17 Juli1945. Tanggal 18 Agustus1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Sejarah
ketatanegaraan Indonesia telah membuktikan bahwa pernah berlaku tiga macam
Undang-Undang Dasar (konstitusi), adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang
Dasar 1945, yang berlaku antara 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.
2. Konstitusi
Republik Indonesia Serikat, yang berlaku antara 27 Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950
3. Undang-Undang
Dasar Sementara, yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai 05 Juli 1959
4. Undang-Undang
dasar 1945, yang berlaku sejak dikeluarkan Dekrit Presiden 05 Juli 1959
B.
Fungsi
dan Tujuan UUD 1945
Tujuan dan fungsi UUD 1945 sebagaimana
tercantum dalam pembukaan UUD 1945, adalah sebagai berikut:
1.
Melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
2.
Memajukan
kesejahteraan umum
3.
Mencerdaskan kehidupan
bangsa
4.
Ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
C.
Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum
dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37
pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat
dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal
Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah
dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3
pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dalam
Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu
Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
D.
Amandemen UUD 1945
Salah
satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 adalah mengklasifikasi beberapa
kelemahan UUD 1945, antara lain: UUD 1945 telah memposisikan kekuasaan presiden
begitu besar (executive power), sistem check and balances tidak diautr secara
tegas diadalamnya, ketentuan UUD 1945 banyak yang tidak jelas dan multitafsir,
tentang minimnya pengaturan masalah hak-hak asasi manusia, sistem kepresidenan,
dan sistem perekonomian yang kurang jelas.
Alasan lain
yang dapat dijadikan dasar pertimbangan perlunya mengamandemen UUD 1945, karena
secara historis UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara sebagai
konstitusi yang bersifat sementara dan ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa.
Secara filosofis, ide dasar dan substansi UUD 1945 telah mencampuradukkan
antara paham kedaulatan rakyat dengan paham integralistik. Padahal antara
keduanya bertolak belakang, bahkan paham integralistiklah yang memberangus
demokratisasi di Indonesia. Kemudian secara yuridis, karena UUD 1945 sendiri
telah mengatur prinsip dalam mekanisme perubahan konstitusi (Pasal 37). Adapun
dasar pertimbangan praktis-politisnya sesuai dengan sinyalemen Mochtar
Pabottinggi bahwa konstitusi/UUD 1945-nya sudah lama tidak dijalankan secara
murni dan konsekuen.
Tujuan
perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara
demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan
UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,
tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staatstructuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam
kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
E. Analisis Kritis Atas Hasl Amandemen Tahap I Dan II
Mecermati
hasil kinerja Ad-Hoc Badan pekerja MPR RI berupa amandemen tahap I (melalui
sidang Umum MPR RI tertanggal 9 Oktober 1999) dan amandemen tahap II (melalui
Sidang Tahunan MPR RI tertanggal 18 Agustus 2000), terdapat sisi kelebihan dan
kelemahannya.
1. Kelebihan dari hasil
amandemen (tahap I dan II) dapat diinformasikan sebagai berikut:
1)
Momentum Amandemen ini merupakakan langkah dan strategi
desakralisasi UUD 1945 yang selama ini dikeramatkan.
2)
Terjadi peralihan kekuasaan legislatif dari eksekutif
(Presiden) kepada legislatif (DPR). Dalam arti kalau semula Pasal 5 ayat (1)
presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang, diubah menjadi presiden
berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR. Sedangkan amandemen pasal
20 ayat (1) DPR beralih sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU.
3)
Periodisasi jabatan presiden menjadi lebih tegas yaitu masa
jabatan presiden lima tahun dan dibatasi hanya dua periode.
4)
Hak prerogratif presiden sedikit diperjelas sekaligus
dibatasi (dalam arti positif). Sebagai contoh: dalam hal mengangkat duta dan
menerima dua dari negara lain presiden memperhatikan pertimbangan DPR (pasal
13), begitu juga dalam memberikan amnesti dan abolisi perlu pertimbangan DPR
(pasal 14 ayat 2). Sedangkan untuk pemberian grasi dan rehabilitasi presiden
perlu memperhatikan pertimbangan MA (pasal 14 ayat 1).
5)
Penegasan susunan negara kasatuan RI terdiri dari pusat,
propinsi, kabupaten, dan kota atas dasar penyelenggaraan prinsip otonomi dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah, daerah yang bersifat khusus atau
istimewa, serta menghargai/menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya. Meskipun dalam implementasinya hasil amandemen
pasal 18 ini masih belum seragam dan membingungkan.
6)
Terdapat atribusi langsung dari amandemen pasal 22 A akan
perlunya UU yang mengatur tentang teknik dan tata cara pembentukan
Undang-undang, yang selama ini masih diatur dengan Keppres No. 188 Tahun 1998
dan Keppres No. 44 Tahun 1999. Harapannya kekaburan mengenai hal ini dapat
dihilangkan.
7)
Ketentuan mengenai wilayah negara diatur lebih lanjut dengan
UU. Hal ini penting, karena bisa jadi jika tidak segera diatur, maka nasib
pelepasan wilayah Timor Timur dari wilayah RI akan sangat memungkinkan diikuti
oleh daerah yang lain (pasal 25E).
8)
Pengaturan mengenai hak asasi manusia menjadi lebih rinci dan
luas (seperti pasal 28A- 28J dan 30), meskipun tidak ada konssistensi
penggunaan istilah anatar hak asasi, kebebasan, dan kewajiban asasi.
9)
Terdapat pemisahan secara tegas mengenai posisi kelembagaan,
struktur, dan ruang lingkup anatar TNI sebagai alat negara yang bertugas
mempertahankan, memelihara, dan melindungi keutuhan dan kedaulatan negara,
dengan kepolisian Negara sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat serta unsur penegak hukum (pasal 30).
10) Penetapan atas lambang
negara, lagu kebangsaan, dan bahasa Indonesia yang selama ini belum dimasukkan
dalam konstitusi (pasal 36A- 36C).
2.
Kelemahan dari proses dan hasil amandemen (tahap I dan II)
kurang lebih sebagai berikut:
1)
Terlihat sekali dalam proses awal amandemen UUD 1945 ini
kurang memenuhi kaidah penyiapan dan penyusunan UUD (kaidah-kaidah legislative
drafting).
2)
Misalnya pada tahap perencanaan penyusunan draf amandemen,
seyogyanya didahului dengan pembuatan naskah akademik amandemen yang disusun
atas dasar hasil penelitian yang mendalam. Pengguanan bahasa Indonesia yang
tidak mengikuti kaidah bahasa yang baku, tidak sistematik, dan menimbulkan
tumpang tindih norma, contoh ketentuan tersendiri mengenai HAM pada Bab XA
pasal 28A – 28J, utamanya pasal 28E.
3)
Proses penyiapan dan pembahasan draf amandemen kurang
melibatkan rakyat (partisipasi publik) dan kalaulah panitia Ad-Hoc (PAH) I BP
MPR RI melakukan, itu hanya bersifat
formalitas untuk mendapatkan legitimasi rakyat. Lebih-lebih proses
pembahasannya cenderung elitis, karena perdebatan yang sebenarnya terdiri dari
MPR tidak diketahui oleh rakyat banyak, sehingga keputusannya pun sangat elitis
sifatnya.
4)
Hasil amandemen (tahap I dan II) belum menyentuh beberapa
persoalan ketatanegaraan secara mendasar sehingga belum membawa kepada arah
perubahan fundamental. Contoh soal mengenai negara hukum, asas rekomendasi, dan
asas berketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas fundmental bernegara belum
terakomodasi.
5)
Beberapa pasal yang rawan konflik (misal: tentang bentuk
negara dan pemerintahan, sistem perekonomian, kebebasan beragama dan
sebagainya) yang ditangguhkan mengamandemen hingga tahun 2002, mestinya sejak
dini dilakukan penelitian secara mendalam terebih dahulu, kemudian
disosialisasikan kepada rakyat secara arif, bijak, dan transparan. Penulis
yakin akan membawa hasil yang lebih memuaskan dan bisa diterima oleh semua
pihak.
6)
Beberapa ketentuan amandemen masih banyak yang belum diikuti
dengan pembaharuan peraturan pelaksanaannya sehingga terkesan terjadi antinomi
norma hukum antara hukum dasar dengan peraturan dibawahnya. Contoh adanya
pergeseran kekuasaan bidang legislatif kepada dewan (pasal 5 dan 20 amandemen),
namun dalam praktik eksekutif masih dominan (lihat ketentuan UU No. 22 Tahun
1999 tentang pemerintahan daerah).
7)
Masih banyak persoalan ketatanegaraan yang belum terakomodasi
oleh hasil amandemen (tahap I dan II), sehingga menimbulkan kekosongan dan
kemadekkan konstitusi. Contoh soal mengenai hak angket DPR, proses impeachment
presiden yang sedang ramai menjadi perdebatan politik dan opini publik dewasa
ini.
8)
Tentang lembaga kepresidenan, perlu dipertegas dalam UUD,
meskipun secara lebih detil akan diatur lebih lanjut dalam sebuah UU
tersendiri. Banyak hal yang bisa dikaji dan selanjutnya dinormatifkan dalam
konstitusi, misalnya: menyangkut sistem pemerintahan yang “quasi presidensial
parlementer”, pembagian tugas presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan, mengenai tugas, fungsi, dan tanggung jawab wakil prsiden, dan
masalah suksesi.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konstitusi
model Amerika (yang tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad UUD” dimulai dengan diundangkannya UUD tertulis
yang pertama yaitu UUD Amerika Serikat pada tahun 1789 dan deklarasi francis
tentang hak-hak manusia dan warga negara 1789.
Konstitusi
dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada juga yang
menyamakan dengan pengertian UUD. Istilah constitutin merupakan sesuatu yang
lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-perturan baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara bagaimana suatu
pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Sedangkan
pengertian Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar
semua undang-undang dan peraturan lain dalam suatu negara
Keterkaitan
konstitusi dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak
tertulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat
oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi
menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan.
Di
dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional,
Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas
yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan
tidak bersifat sewenang-wenang, dengan demikian hak warga negara akan
terlindungi.
3.2 Saran
Konstitusi tertulis
negara Indonesia mengamanatkan dalam dalam pembukaan UUD 1945 sesuai dengan
tujuan dan fungsi negara, oleh karena itu agar kepada para penyelenggara negara
supaya lebih menfokuskan kebijakannya sesuai dengan amanat UUD 1945 supaya
dapat memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H.
Dahlan Thaib, S.H., M.Si, Jazim hamidi, S.H., M.Hum, Hj. Ni’matul huda, S.H.,
M.Hum. 2001. Teori dan Hukum Konstitusi. Yogyakarta. PT. Rajagrafindo Persada.
Prof. Miriam
Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Ikrar Mandiri Abadi.
No comments:
Post a Comment