MAKALAH KAMPUNG DUKUH GARUT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia adalah negara besar yang
membentang dari Sabang sampai Merauke yang memiliki beribu-ribu pulau,
keanekaragam kekayaan, menjadikan masyarakat Indonesia yang hidup di berbagai
pulau itu mempunyai ciri dan coraknya masing-masing perbedaan ciri dan corak
ini tidak hanya terjadi antarpulau juga antardaerah. Di Indonesia ada kurang
lebih 60 tempat kampung adat, di jawa sendiri ada kampung naga, baduy, warga
kaum samin (blora), suku tengger (bormo) dan ada di wilayah kuningan.
Kampung adat dukuh sangat unik, dan
masih memegang budaya lokal yg sangat kental. Sebenarnya ada beberapa kampung
adat di wilayah Kabupaten Garut. Satu
di antaranya dan yang paling besar adalah Kampung Dukuh. Seperti di
kampung-kampung adat lain, masyarakat di Kampung Dukuh sangat teguh memegang
adat dan tradisi leluhurnya. Di kampung ini, penghuninya hidup jauh dari
kemewahan dan menerapkan pola hidup sederhana seperti diwariskan oleh
leluhurnya dari generasi ke generasi. Oleh karena itu jangan aneh jika di
kampung ini tidak ditemukan jaringan listrik dan alat-alat elektronik seperti
radio dan televisi.
Kampung Dukuh merupakan desa dengan suasana alam dan tradisi. Masyarakat
Kampung Dukuh mempunyai pandangan hidup yang berdasarkan Mazhab Imam Syafii.
Landasan budaya tersebut berpengaruh pada bentukan fisik desa tersebut serta
adat istiadat masyarakat. Masyarakat Kampung Dukuh sangat menjunjung
keharmonisan dan keselarasan hidup bermasyarakat. Bentuk bangunan di Kampung
Dukuh tidak menggunakan dinding dari tembok dan atap dan genteng serta
jendela kaca. Hal ini menjadi salah satu aturan yang dilatarbelakangi alasan
bahwa hal yang berbau kemewahan akan mengakibatkan suasana hidup bermasyarakat
menjadi tidak harmonis. Di kampung ini tidak diperkenankan adanya listrik dan
barang-barang elektronik lainnya yang dipercaya selain mendatangkan manfaat
juga mendatangkan kemudaratan yang tinggi pula. Alat makan yang dianjurkan
terbuat dari pepohonan seperti layaknya bangunan, misalnya bambu batok kelapa dan
kayu lainnya. Material tersebut dipercaya lebih memberikan manfaat ekonomis dan
kesehatan karena- bahan tersebut tidak mudah hancur atau pecah dan dapat
menyerap kotoran.
Dengan keunikan yang dimiliki masyarakat kampung adat dukuh setelah
melakukan observasi langsung tergerak hati untuk mengambil judul ”Memahami
Keberadaan Masyarakat Kampung Dukuh sebagai Masyarakat Hukum Adat Di Tengah
Masyarakat Global”.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, penulis
akan membahas masalah yang berhubungan dengan masyarakat adat kampung dukuh.
Perumusan ini dipandang perlu mengingat ruang lingkup yang demikian luas
sehingga tidak mungkin pembahasan secara menyeluruh, karena itu penulis akan
membatasi pada masalah berikut:
1. Bagaimana sejarah masyarakat Kampung
Dukuh?
2. Bagaimana sistem kebudayaan yang berlaku
di mkasyarakat kampung dukuh?
3. Bagaimana sistem kepercayaan yang berlaku
di masyarakat kampung dukuh?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Hukum Adat pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Suryakancana Cianjur tahun ajaran
2010/2011 sekaligus juga untuk mengetahui:
1. sejarah
masyarakat kampung dukuh;
2. sistem
kebudayaan yang berlaku di mkasyarakat kampung dukuh;
3. sistem kepercayaan yang berlaku di masyarakat kampung dukuh.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini menggunakan 3 metode, di antaranya:
1. Observasi
Metode
ini adalah metode mengenai tinjauan secara langsung untuk memperoleh data-data
yang konkrit tentang masalah yang diteliti, yakni di masyarakat Kampung Adat
Dukuh Desa Cijambe Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.
2. Metode Wawancara
Melakukan
tanya jawab langsung dengan kuncen, kokolot dan tokoh agama masyarakat Kampung
Dukuh Garut.
3. Studi Pustaka
Untuk
melengkapi data yang kurang ditambah dengan pengutipan dari beberapa buku dan
sumber tertulis lainnya (buku, internet, dll).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kampung Adat Dukuh
Dalam
kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai
pendiri Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil. Menurut cerita pada abad
ke-17, Rangga Gempol II yang saat itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di
bawah kekuasaan Mataram, menghadap penguasa Mataram dan mohon agar menunjuk
seorang hakim/penghulu/kepala agama pengganti yang telah meninggal. Sultan
mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah dicari jauh-jauh karena orang
tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian mencari orang yang
dimaksud dan akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil, pemimpin sebuah
pesantren yang mempunyai murid-murid cukup banyak.
Syekh
Abdul Jalil bersedia menjadi hakim/penghulu/kepala agama dengan syarat entong
ngarempak syara yang artinya jangan melanggar syara (hukum/ajaran Islam)
seperti membunuh, merampok, mencuri, perzinahan dan sebagianya, dan apabila
syarat tersebut tidak diindahkan, maka jabatan sebagai penghulu akan segera
diletakkan. Dua belas tahun sejak pengangkatan menjadi penghulu dan selama itu
aturan-aturan agama tidak ada yang melanggar. Akan tetapi ketika Syekh Abdul
Jalil berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, Sumedang kedatangan
utusan Banten yang meminta agar Sumedang tidak tunduk dan memberi upeti ke
Mataram, tetapi tunduk ke Banten dan bersama-sama memerangi Mataram. Rangga
Gempol II marah dan utusan Banten Jagasatru malah dibunuh atas perintahnya,
mayat itu dibuang ke hutan agar tidak diketahui oleh Banten dan Syekh Abdul
Jalil.
Walau
bagaimanapun kuatnya menutupi rahasia, akhirnya peristiwa pembunuhan itu
diketahui Syekh Abdul Jalil sekembali dari Mekah, dari informasi temannya Ki
Suta. Kemudian Ia langsung meletakkan jabatan sebagai penghulu Sumedang sesuai
dengan perjanjian sebelumnya. Walaupun Rangga Gempol II mohon maaf dan berjanji
tidak akan pernah melakukan pelanggaran syara lagi, Syekh Abdul Jalil tetap
dengan pendiriannya untuk meninggalkan jabatan itu. Sebelum meninggalkan
Sumedang, ia sempat berkata” sebentar lagi Sumedang akan diserang oleh Banten”.
Ternyata perkataanya terbukti. Pada Hari Jum’at bertepatan dengan Hari Raya
idul Fitri, Sumedang diserang oleh Banten yang dipimpin oleh Cilikwidara dan
Sumedang mengalami kehancuran.
Syekh
Abdul Jalil kemudian pergi ngalanglang buana (mengelilingi dunia atau
berpindah-pindah dari satu temapt ke tempat lainnya) mencari tempat bermukim
yang dirasa cocok untuk dijadikan tempat menyebarkan ilmu dan agamanya. Di
setiap tempat yang disinggahinya Ia selalu bertafakur, memohon petnjuk Allah
untuk mendapatkan tempat yang cocok dan tenang dalam beribadah dan menjalankan
atau mengajarkan agamanya. Pada tanggal 12 Maulud Bulan Alif (tidak ada
keterangan yang pasti mengenai tahun yang tepat) ketika selesai tafakur di
Tonjong, Ia mendapat petunjuk di langit berupa sinar sagede galuguran kawung
atau sebesar pohon aren. Sinar tersebut bergerak menuju suatu arah tertentu,
yang kemudian diikuti oleh Syek Abdul Jalil, dan berhenti di suatu daerah di
antara Sungai Cimangke dan Cipasarangan. Daerah tersebut ternyata telah dihuni
oleh suami istri yang bernama Aki (kakek) dan Nini (nenek) Candradiwangsa.
Syeckh Abdul Jalil bermukim di tempat tersebut dan dipercayai oleh masyarakat
setempat sebagai cikal bakal Kampung Dukuh. Diperkirakan, Syekh Abdul Jalil mulai menempati
Kampung Dukuh pada tahun 1685. Menurut buku Babad Pasundan (diterbitkan 1960), penyerangan Cilikwidara
(Banten) ke Sumedang terjadi pada tahun 1678. Sedangkan pengembaraan Syekh
Abdul Jalil yang tercatat dalam buku yang disimpan kuncen memakan waktu ± 7
tahun.
Menurut
cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti tukuh (kukuh, patuh,
teguh), dalam mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, atau taat dan
sangat patuh menjalankan tradisi warisan nenek moyangnya. Menurut penuturan
(2006) Lukmanul Hakim, Juru Kunci (Kuncen) Kampung Dukuh istilah dukuh berasal
dari padukuhan atau dukuh = calik = duduk. Jadi padukuhan sama dengan pacalikan
atau tempat bermukim. Menurut mantan Lurah Cijambe, yaitu Uung Supriyadin, nama
Dukuh dikenal kira-kira pada tahun 1901 yaitu pada waktu berdirinya Desa
Cijambe. Sebelum tahun 1901 tidak dapat keterangan apa nama kampung tersebut.
Sejak
berdiri sampai sekarang, Kampung Dukuh sudah mengalami dua kali
dibumihanguskan. Peristiwa pertama pada tahun 1949 yaitu pada masa agresi
Belanda yang ke-2, perkampungan dibakar sendiri oleh penduduk karena takut
jatuh ke tangan penjajah. Kedua, pada masa terjadinya pembrontakan DI/TII
dengan dalangnya Kartosuwiryo. Pembakaran dilakukan oleh pemerintah karena
Kampung Dukuh yang tanahnya subur dikhawatirkan akan dijadikan basisi oleh
pasukan DI/TII. Kemudian baru-baru ini terjadi peristiwa kebakaran pada tahun
2006 yang menyebabkan hampir semua bangunan rumah habis terbakar. Berkat
swadaya masyarakat dan bantuan pemerintah dibangun kembali Kampung Dukuh dengan
tradisi yang tetap melekat kuat dalam proses pembangunan perkampungan tersebut.
Kampung Dukuh merupakan kesatuan pemukiman yang
mengelompk, terdiri atas beberapa puluh rumah yang berjajar pada kemiringan
tanah yang bertingkat. Pada tiap
tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur dari arah barat ke timur.
Letak antar rumah hampir berdempetan, sehingga jalan kampung terletak di
sela-sela rumah penduduk berupa jalan setapak. Kampung Dukuh terdiri atas dua
daerah pemukiman yaitu Dukuh Luar (Dukuh Landeuh = bawah) dan Dukuh Dalam
(Dukuh Tonggoh = atas). Selain Dukuh Luar dan Dukuh Dalam, terdapat wilayah
lain yang bernama Tanah Karomah (tanah keramat). Di dalam wilayah Tanah Karomah
terdapat Makam Karomah (makam keramat). Di antara ketiga wilayah ini dibatasi
oleh pagar tanaman.
Dukuh
Dalam terdiri atas 42 rumah, dengan bentuk, arah membujur dan bahan bangunan
yang sama. Jumlah ini tetap, karena tidak ada lagi tanah kosong yang bisa
dijadikan tempat berdirinya sebuah rumah. Terdapat peraturan-peraturan yang
mengikat penduduknya berupa peraturan tidak tertulis atau bersifat tabu,
misalnya tidak boleh menjulurkan kaki ke arah makam keramat yang ada di sebelah
utara kampung, tidak boleh makan sambil berdiri, tidak boleh menggunakan
barang-barang elektronik dan tidak boleh membuat rumah lebih bagus dari pada
tetangganya.
Dukuh luar
merupakan bagian dari kampug yang berada di luar batas taneuh karomah. Segala
peraturan tidak berlaku dengan ketat. Bahkan dalam perkembangan sekarang sudah
banyak dijumpai bangunan-bangunan yang memakai bahan-bahan yang di Dukuh Dalam
tabu untuk dipakai, misalnya genteng, kaca, papan. Walaupun demikian arah
rumah-rumah masih tetap dari timur ke barat dan pintu rumah tidak menghadap ke
makam keramat.
B. Adat
Istiadat yang Masih Berlaku dan Sudah Tidak Berlaku
Sesuai
dengan perkembangan zaman kebudayaan di masyarakat Kampung Adat dukuh ada yang
masih berlaku dan ada juga yang sudah tidak berlaku. Begitu banyak kebudayaan
masih berlaku di masyarakat Kampung Dukuh Garut.
Mereka juga melaksanakan upacara
"Moros", sebagai wujud masyarakat adat untuk memberikan hasil
pertanian kepada pemerintahan setempat.
Ciri khas lainnya hingga kini sama sekali
tidak terpengaruh oleh kemajuan jaman, bahkan nyaris tidak mengenal
perkembangan IPTEK.
Kawasan Kampung Dukuh seluas 10 ha tediri
7 ha Wilayah Kampung Dukuh Luar, 1 ha Kampung Dukuh Dalam serta sisanya
merupakan lahan kosong atau lahan produksi, terdapat pula areal yang dikenal
wilayah "Karomah". sebagai lokasi makam "SyekhAbdul Jalil".
Di kampung "Dukuh Dalam" hanya
terdapat 42 rumah dan bangunan Mesjid, dihuni 40 Kepala Keluarga (KK) atau 172
orang, sedangkan Kampung "Dukuh Luar" dihuni 70 KK, dengan mata
pencaharian utamanya bertani, beternak ayam, bebek, kambing, domba, kerbau
serta memelihara ikan dan usaha penggilingan padi.
Pola budaya aspek non fisiknya berupa
ritual budaya antara lain "ngahaturan tuang" (menawari makan),
merupakan adab masyarakat kepada pengunjung dari luar. Jika memiliki keinginan
tertentu seperti kelancaran usaha, perkawinan, jodoh, mereka memberi garam,
kelapa, telur ayam, kambing atau lainnya sesuai kemampuan.
Kemudian "nyanggakeun"
(menyerahkan), kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian kepada
"Kuncen" (juru kunci) untuk diberkahi, dan masyarakat-pun tidak
dirbolehkan memakan hasil panennya sebelum melakukan kegiatan Nyanggakeun.
Selanjutnya "tilu waktos" (tiga
waktu), sebagai ritual yang dilakukan Kuncen yakni dengan membawa makanan ke
dalam "bumi alit atau bumi lebet" (rumah kecil atau rumah dalam)
untuk "tawasul", Kuncen membawa sebagian makanan ke Bumi Allit
lalu berdoa, yang biasanya dilakukan pada 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulud, 10
Muharam.
"Manuja", yakni penyerahan bahan
makanan hasil bumi kepada Kuncen untuk diberkati pada lebaran Idul Fitri dan
Idul Adha sebagai bentuk perayaan.
"Moros", merupakan
kebiasaan untuk menyerahkan hasil-hasil bumi yang dimiliki kepada aparat
pemerintah seperti lurah dan camat.
Cebor Opat Puluh, adalah mandi dengan
empat puluh kali siraman air dari pancuran yang dicampur dengan air khusus
namun telah diberi doa-doa pada jamban umum.
Jaroh, merupakan bentuk kegiatan berziarah
ke makam Syekh Abdul Jalil, tapi sebelumnya harus melakukan mandi cebor opat
puluh dan mengambil air wudhu serta menanggalkan semua perhiasan serta
menggunakan pakaian yang tidak bercorak.
Shawalatan, dilakukan pada hari Jumat di
rumah kuncen, berupa Shalawatan Karmilah sejumlah 4.444 kali yang dihitung
dengan menggunakan batu.
Sebelasan dilakukan setiap tanggal 11
dalam perhitungan bulan Islam dengan membaca Marekah, Terbang Gembrung
merupakan kegiatan yang dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang dilakukan para
orang tua Kampung Dukuh.
Terbang Sejak, merupakan suatu pertunjukan
pada saat perayaan seperti khitanan dan pernikahan, yakni sebagai pertunjukkan
pertunjukan debus.
Maka terdapat hari-hari penting dan hari
besar di Kampung Dukuh antara lain, 10 Muharam, 12 Maulud, 27 Rajab, 1 Syawal
Idul Fitri serta pada setiap 10 Rayagung, dengan hari pentingnya Sabtu
(Pelaksanaan Ziarah), Rebo Welasan (Hari terakhir bulan Sapar).
Seluruh sumber air yang digunakan masyarakat diberi
"jimat" (keampuhan) sebagai penolak bala, dan biasanya diwajibkan
untuk digunakan mandi, bahkan pada 14 Maulud dipercaya sebagai hari paling baik
untuk menguji dan mencari ilmu kepada para guru dengan melakukan cebor opat
puluh, juga terdapat tradisi 30 Bewah sebagai persiapan menjelang melaksanakan
ibadah puasa Ramadhan, kata Yayan.
Di sam ping itu ada juga kebudayaan yang sudah tidak
berlaku lagi di masyarakat Kampung Adat Dukuh, yakni: Dulu tata krama ketika
akan masuk ke kampung Adat Dukuh tidak boleh memakai sandal dan ketika hujan
tidak boleh memakai paying tetapi untuk sekarang ini hal tersebut sudah tidak
berlaku lagi. Entah apa alasannya tetapi hal ini tidak lepas dari perkembangan
zaman.
C. Sistem Organisasi Sosial Masyarakat Kampung
Adat Dukuh
Masyarakat Kampung Adat Dukuh memiliki
sistem kemasyarakatan yang sudah tertata dengan baik dan berjalan sejak ratusan
tahun yang lalu. Hal ini terbukti dengan berjalannya sistem organisasi sosial
yang ada di masyarakat Kampung Adat Dukuh dan tidak pernah berubah dari masa ke
masa dan masih berjalan samppai saat ini dan akan datang. Sistem organisasi
sosial yang mereka gunakan menganut sistem kokolotan yang berasaskan pada
ajaran islam selain berpola budaya berlandaskan religi yang sangat kuat, juga
berpandangan hidup berlandas pada sufisme dengan berpedoman pada Mazhab Imam
Syafii.
Sistem kokolotan dimaksud adalah suatu
sistem organisasi sosial yang menghargai dan menghormati para kasepuhan atau
kokolot dan karuhun atau nenekmoyang mereka menitipkan atau mengamanatkan
kepada anak cucunya di Kampung Adat Dukuh agar tetap menjalankan ajaran yang
telah diwariskan kepadanya.
Untuk menjalankan roda organisasi
kemasyarakatan tersebut mereka berpedoman pada ajaran agama islam dengan
madzhab Imam Syafi’i. Sehingga landasan budaya tersebut, berpengaruh pada
bentukan fisik pedesaan dan adat istiadat masyarakatnya, yang sangat menjunjung
keharmonisan serta keselarasan hidup bermasyarakat.
Masyarakatnya homogen dan hidup
terpencil dari keramaian kota dan perkampungan lain. Menurut tradisi yang hidup
sampai sekarang, masyarakat adat Kampung Dukuh sangat mematuhi kasauran karuhun
(nasehat leluhur). Nasehat ini menganjurkan hidup sederhana, sopan santun,
tidak berlebihan dan tidak mengejar kesenangan duniawi, serta tetap memegang
prinsip kebersamaan. Selain itu, ada adat tabu (larangan) yang tetap dipegang
sehingga pola kampung dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari tetap terjaga.
Kemudian peranan kuncen sebagai pemimpin non formal dianggap sebagai pelindung
adat istiadat yang kewibawaannya sangat berpengaruh.
D. Sistem
perkawinan
Sistem perkawinan masyarakat Kampung Adat Dukuh menganut sistem perkawinan bebas
yang sesuai dengan ajaran islam. Aturan di kampung dukuh memperbolehkan
masyarakatnya untuk menikah dengan siapa aja yang dicintainya asalkan tidak
bertentangan dengan ajaran islam. Warga Kampung dukuh bisa menikah dengan warga
di luar kampung dukuh begitu juga sebaliknya.
E. Sistem Waris
Selain sistem perkawinan sistem
pembagian waris pun di sesuaikan dengan ajaran islam. Di mana laki-laki disebut
“nanggung” sedangkan perempuan disebut “ngais” artinya bagian waris untuk anak
laki-laki dua kali lipat dari anak perempuan. Pada intinya pembagian waris di
Masyarakat Kampung Dukuh menganut dua hukum dalam pembagian waris
1. Hukum Adil
Artinya
orang tua membagi warisannya secara adil sesuai kodratnya yang tertulis di
dalam alquran yakni anak laki-laki mendapat warisan dua kali lipat dari anak
perempuan dan anak perempuan mendapat bagian setengahnya dari anak laki-laki
(2:1).
2. Hukum Biridho
Artinya
orang tua membagi rata harta warisannya untuk anak-anaknya tanpa melihat
perbedaan kelamin sehingga anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian
yang sama. Di sini anak laki-laki harus ikhlas (ridho) agar warisan bagiannya
disamaratakan dengan saudara perempuannya.
F. Pantangan
yang Berlaku di Masyarakat Kampung Dukuh
Sesuai dengan pola pikir masyarakat Indonesia yang salah satunya adalah Relegio Magis yang di dalamnya terdapat pantangan. Begitu
juga di masyarakat Kampung Adat Dukuh yang memiliki banyak pantangan yang tidak
boleh dilanggar oleh masyarakatnya, diantaranya:
- Tidak
makan dengan tangan kanan dan kiri seperti halnya orang-orang kaya pada
zaman sekarang;
- tidak
boleh makan sambil berdiri apalgi sambil berjalan;
- Diam atau duduk
di pintu;
- Kaki tidak
boleh membujur ke utara karena terdapat makam keramat ”Syeh Abdul Jalil”
yang merupakan pendiri Kampung Adat Dukuh;
- Kencing dan
buang hajat harus menghadap ke barat;
- Rumah-rumah
tidak boleh mengahadap ke utara;
- Tidak
diperkenankan pula adanya prasarana listrik dan pemasangan televisi serta
radio, yang mereka yakini selain mendatangkan manfaat yang banyak, juga
bisa mendatangkan banyak kemudaratan;
- Ketika ziarah
ke makam Syeh Abdul Jalil harus memakai baju khusus yang telah disediakan
yang berbentuk ”gamis” dengan warna putih polos;
- PNS tidak boleh
zaiarah ke makam Syeh Abdul Jalil;
- Terhadap wali
yang meninggal tidak boleh menyebut ”maot” tetapi ”ngalih tempat”;
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam
kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai
pendiri Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil. Menurut cerita pada abad
ke-17, Rangga Gempol II yang saat itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di
bawah kekuasaan Mataram, menghadap penguasa Mataram dan mohon agar menunjuk
seorang hakim/penghulu/kepala agama pengganti yang telah meninggal. Sultan
mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah dicari jauh-jauh karena orang
tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian mencari orang yang
dimaksud dan akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil, pemimpin sebuah
pesantren yang mempunyai murid-murid cukup banyak.
tengger (bormo) dan ada di
wilayah kuningan.
Kampung adat dukuh sangat unik, dan
masih memegang budaya lokal yg sangat kental. Sebenarnya ada beberapa kampung
adat di wilayah Kabupaten Garut. Satu
di antaranya dan yang paling besar adalah Kampung Dukuh. Seperti di
kampung-kampung adat lain, masyarakat di Kampung Dukuh sangat teguh memegang
adat dan tradisi leluhurnya. Di kampung ini, penghuninya hidup jauh dari
kemewahan dan menerapkan pola hidup sederhana seperti diwariskan oleh
leluhurnya dari generasi ke generasi. Oleh karena itu jangan aneh jika di
kampung ini tidak ditemukan jaringan listrik dan alat-alat elektronik seperti
radio dan televisi.
3.2 Saran
a. Kita harus banyak belajar lewat
kesederhanaan, kebersahajaan dan solidaritas sosial warga Kampung Dukuh. Di
tengah-tengah kehidupan yang sangat hedonis, memudarnya apresiasi terhadap
nilai-nilai tradisi sosial yang semakin menggejala, dan persaingan hidup yang
kadang melunturkan nilai kemanusiaan kita. Begitu banyak hal yang bisa diambil
dari kehidupan masyarakat Kampung Dukuh. Mulai dari hubungan kemasyarakatan,
interaksi dengan alam, hingga pegangan bijak dari adat masyarakat Kampung Dukuh.
Semua itu tercermin dari budi yang luhur sebuah masyarakat sunda yang masih
memegang teguh budayanya. Kita sudah sepatutnya mensyukuri keaneka ragaman
budaya yang ada di nusantara. Selayaknya kita menghargai dan menjaga apa yang
menjadi pegangan adat masyarakat kampung Dukuh.
b. Kampung
Dukuh dapat di jadikan aset wisata di Jawa Barat yang berhubungan dengan Budaya.
Adat istiadat kampung Dukuh harus dihargai pemerintah, agar dipandang oleh
dunia, karena jarang kampung-kampung di Indonesia yang masih menjaga keutuhan
dari budaya yang di turunkan oleh leluhurnya.
No comments:
Post a Comment