Wednesday, March 20, 2013

Makalah Netralitas, Yurisdiksi, dan Imunitas Dalam Hubungan Internasional


Makalah Netralitas, Yurisdiksi, dan Imunitas Dalam Hubungan Internasional


BAB I
PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang
          Hubungan antar negara menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan. Termasuk dengan berkembangnya diberbagai bidang kehidupan, namun dalam perkembangannya hampir setiap bidang mempunyai nuansa internasional dan disentuh oleh hukum internasional.
          Salah satu pembahasan dalam memaparkan berbagai hubungan yang terjadi di dunia ini adalah hubungan internasional, yaitu dengan mempelajari manusia dan kebudayaan yang berbagai masyarakat diseluruh dunia. Hubungan internasional adalah kunci utama negara atau dasar–dasar negara sebagai dari salah satu bagian dari interaksi negara-negara dalam dunia internasional, dimana negara sebagai aktor utama.
          Dengan semakin berkembangnya hubungan antar negara, maka dirasakan dari setiap negara perlu untuk mengetahui beberapa dalam melakukan hubungan internasional salah satunya masalah netralitas, yurisdiksi dan imunitas dalam hubungan internasional.
          Menurut starke yang dimaksud negara netral adalah suatu negara yang kemerdekaan , politik dan wilayahnya dengan kokoh dijamin oleh suatu perjanjian bersama negara-negara besar(the great power). Negara-negara ini tdak akan pernah berpegang melawan negara lain, kecuali untk pertahanan diri , dan tidak akan pernah mengadakan perjanjian aliansi yang dapat menimbulkan peperangan
          Negara-negara netral adalah negara yang membatasi dirinya untuk tidak melibatkan diri dalam berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat internasional. Netralitas ini mempunyai beberapa arti dan haruslah dibedakan pengertian netralitas tetap dan netralitas sewaktu-waktu, politik netral atau netralitas positif.
          Pada awalnya Yurisdiksi merupakan konsekuensi logis dari kedaulatan negara atas wilayahnya. Yurisdiksi negara atas individu, benda dan lain-lain dalam batas wilayahnya (teritorial daratan, laut dan udara) pada akhirnya dapat berkembang/meluas melalui batas-batas negara (perluasan atas individu dan benda-benda yang terletak dinegara lain).
          “Yurisdiksi” berasal dari bahasa Inggris “Jurisdiction”. “Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti : kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum, hak menurut hukum, kekuasaan menurut hukum, dan kewenangan menurut hukum.
            HakimunitasinidiberikanolehhukuminternasionalberdasarkanGenewa Convention on Diplomatic Relation 1961 (konvensiJenewaTentangHubunganDiplomatik).   Kekebalaninidiberikankarena wakil-wakil diplomatic merupakan suatu Negara yang merdeka dan berdaulat yang hak-haknya dijamin hukum internasional (united Nations Charter).
          Hak imunitas diberikan  sepanjang perwakilan Negara-negara melakukan tindakan-tindakan public dalam kerangka pelaksanaan hubungan dengan negaranya sebagai Negara pengirim (Sending State) dengan Negara tempat perwakilannya berada di Negara penerima (Receiving State).

1.2         Rumusan Masalah
a.    Bagaimana konsep Netralitas dalam hubungan internasional?
b.    Bagaimana konsep Yurisdiksi dalam hubungan internasional?
c.    Bagaimana konsep Imunitas dalam hubungan internasional?

1.3         Tujuan Penulisan
a.    Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Hubungan Internasional.
b.    Mendeskripsikan masalah Netralitas, Yurisdiksi, dan Imunitas dalam hubungan internasional


BAB II
PEMBAHASAN


2.1    Konsep Netralitas
         Netralitas merupakan status hukum untuk tidak melibatkan diri dalam perang serta menetapkan hak dan kewajiban tertentu terhadap negara yang berperang. Netralitas mendapatkan bentuknya yang tegas pada awal abad ke-16, yaitu pasca kekalahan berat yang dialami negara-negara konfederasi Swiss dalam pertempuran di Marignano (1515) melawan Milano. Dalam “Dekrit Zürich” yang berisi instruksi kepada negara-negara konfederasi untuk menjauhkan diri dari berbagai konflik bersenjata yang sering berkecamuk di kalangan negara tetangga, dan ditandangani pada tahun 1563, istilah “netralitas” pertama kali digunakan.
         Namun formalitas dari status ini baru diakui dan dijamin oleh Eropa setelah Perang Napoleon pada tahun 1815. Dalam perkembangannya, netralitas dinyatakan sebagai sikap dalam menghadapi suatu keadaan yang tunduk pada hukum perang internasional.  Masyarakat internasional (1907) telah merumuskan hak dan kewajiban negara netral pada saat perang. Sedangkan pada saat damai negara-negara ini menentukan sendiri aturan main mereka, namun mereka tetap tidak boleh bergabung dengan blok militer semisal NATO.
         Netral berarti non partisipasi dalam kegiatan perang (netralitet) dan bukan perang (kuasi netralitet). Netralitet menunjukkan sikap sesuatu negara yang tidak turut berperang dengan negara-negara yang berperang dan bermusuhan dan negara berperang wajib menghormati kekebalan wilayah netral.
         Netralitas terbagi dua, yaitu: Netralitas tetap adalah negara yang netralitasnya dijamin dan dilindungi oleh perjanjian-perjanjian internasional seperti swiss dan austria, sedangkan netralitas sewaktu-waktu adalah sikap netral yang hanya berasal dari kehendak negara itu sendiri (self imposed) yang sewaktu-waktu dapat ditanggalkannya. Swedia misalnya, selalu mempunyai sikap netral dengan menolak mengambil ikatan politik dengan blok kekuatan manapun. Tiap kali terjadi perang, swedia selalu menyatakan dirinya netral yaitu tidak memihak kepada pihak-pihak yang berperang. Netralitas swedia tidak diatur oleh perjanjian-perjanjian internasional, tetapi dalam kebijaksanaan yang sewaktu-waktu dapat saja ditanggalkannya. Dengan berakhir perang dingin, swedia dan juga finlandia ikut menjadi anggota uni eropa semenjak 1 januari 1985.
         Selanjtnya adapula politik netral atau netral positif yang kebijaksanaannya dianut oleh negara-negara berkembang terutama yang tergabung dalam gerakan non blok. Negara-negara tersebut bukan saja tidak meihak kepada blok-blok kekuatan yang ada tetapi juga dengan bebas memberikan pandangan dan secara aktif mengajukan saran dan usul penyelesaian atas masalah-masalah yang dihadapi dunia demi tercapainya keharmonisan dan terpeliharanya perdamaian dalam masyarakat internasional.
         Swiss adalah contoh negara netral yang tetap idiil, karena keadaan geografisnya semenjak lahir telah mempraktikkan politik netral terhadap semua sengketa yang terjadi di kawasannya. Negara swiss terdiri dari wilayah-wilayah yang diambil dari Negara-negara tetangganya, yaitu Austria, perancis, dan Italia. Bila dalam suatu sengketa, swiss memihak kepada salah satu Negara tetangga, Negara tersebut akan menjadi pecah belah dan diduduki oleh negara-negara tetangga lainnya. Di samping itu, negara-negara tetangga juga memerlukan swiss sebagai netral untuk menjadi zona penyangga.
         Status netralitas Swiss (Confederatio Helvetica) berakhir pada 3 Maret 2002 lalu dengan bergabungnya Swiss ke dalam keanggotaan Perserikatan Bangsa–Bangsa lewat referendum yang diikuti oleh 12 dari 23 cantoh. Hasilnya, dari 7,2 juta penduduk Swiss, sebanya 56,4% atau 1.484.818 jiwa mendukung negaranya masuk ke PBB dan 43,6% atau 1.236.067 jiwa menolak.  
         Beberapa pengamat menyebutkan bahwa ada beberapa alasan rakyat Swiss mendukung gagasan masuk PBB. Pertama, akhir–akhir ini Pemerintah Swiss gencar mempopulerkan model netralitas yang dianut Swedia dan Austria, yaitu menjadi anggota PBB sekaligus tanpa harus kehilangan netralitas yang telah dianut sejak 1815 (Swedia) dan 1955 (Austria). Kedua, Pemerintah Swiss senang bisa mempunyai pengaruh terhadap masalah-masalah internasional, dan keanggotaan di PBB memberi kesempatan untuk hal ini.  
         Keanggotaan Swiss dalam PBB, sesungguhnya bukan hal pertama yang “mengancam” netralitas Swiss. Sejak akhir Perang Dingin, Swiss telah mendefinisi ulang pemahamannya tentang netralitas. Beberapa peristiwa terdahulu –penandatanganan nota NATO’s Partnership for Peace (1996); pengiriman unarmed Swiss volunteers ke Kosovo (1999) sebagai bagian dari pasukan penjaga perdamaian; dan pengiriman armed Swiss peacekeepers ke Kosovo (Oktober 2002) pasca referendum Juni 2001 yang mengizinkan tentara-tentara Swiss mengambil bagian dalam misi menjaga perdamaian internasional– terus menuai perdebatan tentang bagaimana menyelaraskan netralitas dengan sebuah peran internasional. Dalam proses ini, sesungguhnya ada pola variasi yang sistematis –mulai dari menjadi partner NATO untuk perdamaian, peningkatan status unarmed Swiss volunteers menjadi armed Swiss peacekeepers, hingga keanggotaan di PBB- dalam kebijakan luar negeri Swiss yang teridentifikasi sebagai peningkatan kapabilitas Swiss untuk melindungi kepentingan-kepentingannya dan menerima tanggung jawab dunia.  
         Lebih jauh, keanggotaan Swiss di PBB akan memunculkan beberapa konsekuensi, pertama, Swiss akan mengkompromikan kedaulatannya dan membuat netralitas sebagai mainan kelima anggota tetap DK PBB, terutama Amerika Serikat. Kedua, konsekuensi finansial, terutama dalam hal pengalokasian dana sebesar US$ 300 juta yang disumbangkan Swiss kepada PBB per tahunnya.
A.       Negara-negara Netral
        Negara netral adalah negara yang tidak memihak pihak manapun pada peperangan, dan berusaha menghindari agar tidak diserang oleh kedua pihak yang berseteru. Kebijakan kenetralan netral pada konflik bersenjata. Konsep netral dalam konflik tidak sama dengan gerakan non-blok.
        Negara-negara netral adalah negara yang membatasi dirinya untuk tidak melibatkan diri dalam berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat internasional. Netralitas ini mempunyai beberapa arti dan haruslah dibedakan pengertian netralitas tetap dan netralitas sewaktu-waktu, politik netral atau netralitas positif.
        Menurut starke yang dimaksud negara netral adalah suatu negara yang kemerdekaan , politik dan wilayahnya dengan kokoh dijamin oleh suatu perjanjian bersama negara-negara besar(the great power). Negara-negara ini tdak akan pernah berpegang melawan negara lain, kecuali untk pertahanan diri , dan tidak akan pernah mengadakan perjanjian aliansi yang dapat menimblkan peperangan .
        Negara netral sekarang adalah:
a.          Austria
b.         Costa Rica
c.          Finlandia
d.         Irlandia
e.          Liechtenstein
f.          Swedia
g.         Swiss
h.         Turkmenistan
        Negara yang mengklaim netral tapi tak diakui
a.          Kamboja
b.         Moldova
        Mantan negara netral:
a.          Belgia
b.         Laos
c.          Luksemburg
d.         Belanda
B.        Hak dan Kewajiban Negara Netral
        Netralitas melahirkan hak dan kewajiban tertentu bagi negara netral yang bersangkutan maupun bagi pihak ketiga.
         Adapun hak negara netral yang diakui oleh negara yang bertikai adalah:
a.          Bebas dari pelanggaran wilayah;
b.         Berhak untuk tidak dilibatkan dalam perang
c.          Menerima asas netral yang tidak memihak; dan
d.         Bebas dari intervensi di bidang komersial hingga batas sanksi ekonomi yang ditentukan oleh hukum internasional.
         Sedangkan kewajiban Negara netral antara lain mencakup:
a.         Bersikap tidak memihak;
b.        Tidak memihak dalam perang
c.         Mempertahankan diri tehadap semua usaha yang mengancam netralitasnya.
d.        Menahan diri untuk tidak memberikan bantuan kepada pihak yang berperang;
e.         Menolak pemakaian wilayahnya oleh pihak yang berperang; dan
f.         Mengizinkan negara yang berperang untuk terlibat dalam kegiatan komersial hingga batas yang ditentukan oleh hukum internasional.         
C.          Istilah-istilah dalam Hukum Netralitas
a.    Kontrabande ialah barang-barang yang tidak diperkenankan diperdagagngkan oleh salah satu pihak yang berperang karena membantu pihak lawan dalam peperangan.
b.   Blokade ialah suatu kondisi apabila salah satu pihak dalam peperangan menghalang-halangi jalan masuk ke pelabuhan pihak lawan, agar dapat mencegah pemasukan atau keluarnya kapal-kapal atau pesawat terbang segenap bangsa.
D.          Dasar Rasional Netralitas
Netralitas memiliki rasional yang dibenarkan oleh hukum intemasional sebagai berikut.
a.    Melokalisir peperangan
b.   Mengurangi peperangan
c.    Memungkinkan negara menjauhi diri dari peperangan
d.   Menertibkan Hukum Intemasional
E.           Dasar Hukum Netralitas
         Dasar hukum netralitas terdapat dalam tiga dokumen yuridi, yaitu:
a.       Pernyataan bersama tanggal 25 maret 1815 oleh inggris, perancis, portugal, prusia, spanyol, swedia, dan rusia sewaktu kongres wina yang mengakui dan menjamin netralitas swiss. Pernyataan tersebut diterima oleh negara tersebut tanggal 27 mei tahun yang sama.
b.      Pasal 84 act the vienna conggress dan pernyataan tanggal 20 november 18185 oleh negara-negara yang memang perang melawan napoleon bonaporte.
c.       Pasal 435 treaty Versailles yang menegaskan lagi netralitas tersebut.
F.     Kewajiban Negara Yang Memberikan Netralisasi
      Kewajiban negara yang memberikan netralisasi ad alah sebagai berikut:
a.       Tidak menyerang atau mengancam wilayah negara netral.
b.      Melakukan intervensi dengan kekuatan militer  apabila dengan negara netral ini diserang oleh  negara lainnya dan negra –negara penjamin ini diminta pertolongannya

2.2     Konsep Yurisdiksi
          Jurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap orang , benda atau peristiwa (hukum).pada prinsipnya negara memiliki kekuasaan untuk mengatur hubungan hukum yang dilakukan oleh orang (warga negra atau warga negara asing) yang berada di wilayahnya . Negara pun memilik wewenang yang sama untuk mengatur benda-benda atau pristiwa-peristiwa (hukum) yang terjadi di di wilayah nya.
          Jurisdiksi merupakan refleksi dari prinsif dasar kedaulatan negara , persamaan derajat negara dan prinsif tidak campurtangan suatu negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsif-prinsif tersebut tersirat dari prinsif hukum”par in parem non babet inperium” artinya para pihak (negara) yang sama kedudukannya tidak mempunyai jurisdiksi terhadap pihak lainnya (equals do not have jurisdiction over each other).
          Pada awalnya Yurisdiksi merupakan konsekuensi logis dari kedaulatan negara atas wilayahnya. Yurisdiksi negara atas individu, benda dan lain-lain dalam batas wilayahnya (teritorial daratan, laut dan udara) pada akhirnya dapat berkembang/meluas melalui batas-batas negara (perluasan atas individu dan benda-benda yang terletak dinegara lain).
          “Yurisdiksi” berasal dari bahasa Inggris “Jurisdiction”. “Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti : kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum, hak menurut hukum, kekuasaan menurut hukum, dan kewenangan menurut hukum. Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”.
          Selain dari itu, Yuridiksi juga berasal dari kata latin yaitu Yurisdictio, yuris artinya kepunyaan hukum dan dictio artinya ucapan . Berarti yuridisi adalah kekuasaan/hak/kewenanagan menurut hukum, sedangkan Yuridiksi negara adalah kekuasaan/hak/kewenangan suatu negara untuk menetapkan dan memaksakan hukum yang dibuat oleh negara itu sendiri. Yuridiki merupakan refleksi dari kadaulatan.
          Hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yuridiksi menurut HI. Kedaulatan dalam HI mengandung 2 aspek :
a.    Intern, yakni kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada/terjadi dala batas-batas wilayahnya.
b.    Ekstern, yakni kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan dengan masyarakat internasional dan mengatur segala sesuatu yang berada atau terjadi di luar wilayah negaranya yang berkaitan dengan kepentingan negaranya, dan dengan mengingat HI dan HN negara lain.
          Dengan demikian Yuridiksi negara menurut HI adalah hak/kekuasaan/kewenangan negara berdasar HI untuk mengatur orang, benda/tindakan-tindakan/peristiwa yang tidak secara eksklusif merupakan masalah dalam negeri (mengadung aspek internasional).
          Negara dikatakan berdaulat (sovereian) karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai kekuasaan tertentu. Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri dan mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya:
a.    Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai.
b.    Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu.
          Konsep kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat tidak bertentangan satu dengan lain bahkan merupakan perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti wajar dan sebagai syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat Internasional yang teratur.
          Jurisdiksi suatu negara didalam wilayah nya dapat terbagi atau taergambarkan oleh kekuasaan negara sebagai berikut:
a.    Kekuasaan membuat peraturan atau peundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang atau peristiwa – peristiwa hukum didalam wilayahnya . kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga acapkali disebut pula sebagai jurisdiksi legislatif atau preskriftif .
b.    Kewenangan negara untuk menaksakan atau menegakan (enforce) agar subyek hukum menaati peraturan(hukum). Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutf negara yang umumnya tanfak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya kekuasaan untuk menolak atau memberikan izin ,subsidi, kontrak-kontrak,dll. Jurisdiksi ini disebut sebagai jurisdiksi eksekutif . adapula sarjana ang menyebutkan dengan enforcement jurisdiction ( jurisdiksi penegakan ).
c.    Kekuasaan ( pengadilan ) untuk mengadili orang (subyek hukum) yangmelangar peraturan atau perundang-undanangan . kekuasaan ini disebut pula sebagai judicial jurisdiktion (jurisdiksi pengadilan).
          Disamping itu pula, ada beberapa orang (subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap jurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada didalam negara tesebut. Misalnya, seorang diplomat , kepala negara atau angkatan bersenjata.jurisdiksi dapat dibedakan antara jurisdiksi perdata dan jurisdiksi pidana . jurisdiksi perdata adalah kewwenangan hukum pengadilan terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang bersifat nasional, maupun internasional( yaitu bila para pihak atau obyek perkaranya  terdapat unsur hukum asing ). Jurisdiksi pidana adalah kewenangan (hukum) pengadilan terhadap perkara-perkara yang bersifat kepidaan, baik yang tersangkut di dalamnya usur asing maupun tidak.
 Menurut Adolf, berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi sebagai berikut:
a.    Yurisdiksi Legislatif, yaitu kekuasaan membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang atau peristiwa-peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif (legislative jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion).
b.    Yurisdiksi Eksekutif, yaitu kekuasaan negara untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara yang umumnya tampak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya kekuasaan untuk menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain-lain.
c.    Yurisdiksi Yudikatif, yaitu kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum) yang melanggar peraturan atau perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial jurisdiction.

B.            Prinsip-Prinsip Dalam Yurisdiksi Negara
1.        Azas Teritorial
Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional. Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut berdaulat (Starke, 1984).
       Azas yurisdiksi Teritorial diterapkan dalam:
1.    Hak Lintas di laut territorial
Di laut teritorial negara mempunyai yurisdiksi baik perdata maupun pidana.Berkaitan dengan diakuinya right of innocent passage bagi kapal asing di kawasan ini, menurut Pasal 27 dan 28 Konvensi Hukum laut 1982 (ditujukan untuk kapal dagang dan kapal pemerintah untuk tujuan komersial), yurisdiksi kriminal negara pantai tidak dapat dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang melintas di laut teritorial untuk menangkap siapapun atau untuk mengadakan, penyelidikan sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan di atas kapal tersebut selama kapal itu melakukan lintasan, kecuali:
a.    Jika akibat kejahatan dirasakan di negara pantai
b.    Jika kejahatan termasuk jenis yang mengganggu kedamaian dan ketertiban negara pantai
c.    Jika negara pantai dimintai bantuan oleh nahkoda kapal/wakil diplomatik atau konsuler negara bendera.
d.   Jika berkaitan dengan perdagangan narkotika
2.    The Floating island di laut teritorial
Yurisdiksi penuh negara pantai tidak berlaku bagi kapal negara lain dan kapal-kapal pemerintah asing non komersial yang sering melakukan lintasan di laut teritorial. Dua jenis kapal ini menikmati kekebalan terhadap kedaulatan negara.
3.    Pelabuhan
Pelabuhan merupakan bagian dari perairan pedalaman negara pantai. Negara pantai mempunyai yurisdiksi penuh terhadap kapal asing yang masuk ke pelabuhannya, kecuali masalah intern economy kapal tersebut.
4.    Terhadap orang Asing
Tidak ada perlakuan khusus/istimewa warga negara asing di suatu negara, sehingga yurisdiksi negara teritorial berlaku terhadapnya, kecuali ada alas hak immunitas yang dimilikinya.
5.    Terhadap pelaku tindak pidana
Negara yang paling berwenang terhadap pelaku tindak pidana adalah negara yang ketertiban sosialnya paling terganggu/wilayahnya dipakai sebagai tempat dilaksanakannya kejahatan.
Perluasan Teknis Yurisdiksi Teritorial
Makin tingginya teknologi transportasi dan komunikasi mengakibatkan makin kompleksnya masalah-masalah yurisdiksi. Untuk mengatasinya ada 2 prinsip perluasan secara teknis yurisdiksi teritorial:
1.      Prinsip teritorial subyektif
Prinsip ini diterapkan oleh suatu negara ketika menghadapi suatu tindak pidana yang dimulai di wilayahnya, tapi diselesaikan di wilayah negara lain. Prinsip ini untuk mengantisipasi tidak berlakunya yurisdiksi teritorial karena tindak pidana di atas hanya dianggap sebagai perbuatan tambahan/pembantuan/percobaan terhadap tindak pidana pokok. Konvensi yang melahirkan prinsip ini adalah Geneva Convention for Supression of Counterfeiting Currency 1929, dan Geneva Convention for Supression of Illict Traffic Drug 1936.
2.      Prinsip teritorial obyektif
Prinsip ini diterapkan oleh suatu negara terhadap tindak pidana yang dilakukan di negara lain, tapi:
a.    dilaksanakan/diselesaikan di wilayahnya
b.    menimbulkan akibat yang sangat berbahaya bagi ketertiban sosial dan ekonomi dalam wilayahnya.
2.    Azas Nasionalitas (Personal)
Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Sebaliknya, adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini telah diterima secara universal (Starke, 1984).
Yurisdiksi dengan prinsip nasionalitas sudah diterima secara universal. Prinsip ini terdiri dari 2 bagian :
a.    Prinsip nasionalitas aktif, negara memiliki yurisdiksi terhadap WN-nya yang melakukan tindak pidana di luar negeri. Negara-negara kontinental menerapkan prinsip ini secara luas, dimana negara memiliki yurisdiksi terhadap setiap bentuk kejahatan yang dilakukan oleh WN-nya, dimanapun ia berada. Adapun negara dengan sistem common law membatasi yurisdiksinya hanya terhadap kejahatan yang sangat serius seperti pembunuhan, penghianatan pada negara, dll.
b.    Prinsip nasionalitas pasif, negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap WN-nya di luar negeri.
3.        Azas Perlindungan
Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-warga asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara. Penerapan prinsip ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar belakang pembenaran ini adalah perundang-undangan nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di dalam suatu negara yang dapat mengancam atau mengganggu keamanan, integritas, dan kemerdekaan orang lain.
4.        Azas Universal
Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu).

2.3     Konsep Imunitas
          Hak imuunitas ini diberikan oleh hukum internasional berdasarkan Genewa Convention on Diplomatic Relation 1961 (konvensi Jenewa Tentang Hubungan Diplomatik).  
          Jenis-jenis Hak Imunitas Dalam kaitannya dengan Personalitas Hukum dan Pengakuan, subyek hukum internasional menikmati semacam keistimewaan atau hak-hak tertentu, baik dari hukum nasional maupun hukum internasional.Keistimewaan tersebut salah satunya adalah imunitas terhadap proses hukum dari peradilan negara lain yang dapat dinikmati oleh negara- negara dan organisasi internasional.
          Hak imunitas ini dapat di bagi menjadi dua, yaitu :
a.                Imunitas negara (state immunity)
Imunitas Negara Kepala negara, sebagai bagian dari pengertian pejabat negara, sering diidentikkan dengan souvereign immunity dalam ha lperolehan kekebalan hukum. Imunitas diberikan kepada pejabat negara, terutama kepala negara, karena kepala negara merupakan gambaran atau perlambangan dari negara yang bersangkutan. Hal ini menempatkan kepala negarase bagai perlambangan kedaulatan suatu negara berdaulat baik di dalam negeri maupun di luar negeri.Arti pemberian imunitas itu sendiri memiliki makna bahwa dengan kekebalan hukum, kepala negara memiliki kompetensi untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap penting dalam mewujudkan tertibnya kehidupan kenegaraan serta meningkatkan harkat dan martaba tnegaranya di lingkungan dunia internasional. Pemberian hak imunitas kepada kepala negara tidak dapat dilepaskan dari teori imunitas negara.Teori ini menempatkan posisi bahwa suatu negara memiliki kekebalan di hadapan pengadilan, baik itu nasional maupun asing. Sehingga imunitas kedaulatan negara pada dasarnya adalah tidak dapat dilakukannya penuntutan terhadap seorang raja atau kepala negara.Perkembangan ini menegaskan bahwa imunitas pribadi raja adalah imunitas negara.
b.    Imunitas diplomatic dan konsuler.
Imunitas diplomatic dan konsuler adalah Kekebalan yang diberikan kepada wakil-wakil diplomatic pada suatu Negara yang merdeka dan berdaulat yang hak-haknya dijamin hukum internasional (united Nations Charter). Negara-negara yang dimaksud memiliki hak khusus (previlege) yang juga dijamin hukum.Hak privilege ini tidak hanyadiberikan kepada wakil-wakil Negara asing di wilayah territorial Negara penerima (Receiving State), tetapi juga kepada Negara-negara lain, seperti hak lintas wilayah udara (penerbangan komersial) dan hak lintaslaut territorial dan pedalaman (inncocent passage right).
Hak imunitas diberikan  sepanjang perwakilan Negara-negara melakukan tindakan-tindakan public dalam kerangka pelaksanaan hubungan dengan negaranya sebagai Negara pengirim (Sending State) dengan Negara tempat perwakilannya berada di Negara penerima (Receiving State). Dalam hal ini berlaku teori imunitas absolute  dalam praktek hubungan antar Negara, tetapijugamelaksanakanhubunganbisnis yang bersifatperdata, apabila Negara telah melakukan tindakan-tindakan perdata, maka teori imunitas mutlak tidak dapat dilakukan lagi, sehingga berlaku teori imunitas relative akibatnya Negara dalam kapasitas sebagai Ius Gestiones dapatdituntut di forum pengadilan asing. Pasal 3 ayat (1) Viena Convention 1961 nmenyatakan “suatu Negara memiliki kekebalan kecuali melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan bisnis.
A.           Korps Perwakilan Diplomatik dan Korps Perwakilan Konsuler
          Korps perwakilan diplomatik dipimpin oleh seorang duta besar, duta atau oleh seorang kuasa usaha, bertugas mewakili negara pengirim di negara penerima, melindungi kepentingan negara pengirim di negara penerima, berunding dengan negara penerima, dan memajukan hubungan persahabatan dalam berbagai bidang dengan negara penerima.Korps perwakilan konsuler lebih berperanan dalam memajukan hubungan dagang, kebudayaan dan ilmiah antara negara pengirim dan penerima.
          Hukum Internasional menjamin kekebalan diplomatik atau hak imunitet bagi korps perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler, Hak-hak imunitas atau kekebalan yang dimiliki korps perwakilan diplomatik dan konsuler di antaranya adalah:
a.    Hak eksteritorialitas yaitu hak kekebalan dalam daerah perwakilan, misalnya pada kantor kedutaan besar termasuk halaman dan bangunan-bangunannya di mana terpancang bendera dan lambang negara tersebut. Berdasarkan hukum internasional, daerah itu dipandang sebagai wilayah negara pengirim sehingga tidak boleh dimasuki tanpa ijin kepala perwakilan diplomatik negara pengirim.
b.    Hak kebebasan / kekebalan, setiap anggota korps diplomatik walaupun harus tunduk kepada hukum dan peraturan negara penerima, tidak dapat dituntut di muka pengadilan negara penerima.Hak-hak ini diatur dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler.
B.            Fungsi Misi Diplomatik ( menurut Konvensi Wina )
a.    Mewakili negara pengirim di negara penerima
b.    Melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diijinkan oleh Hukum Internasional
c.    Mengadakan persetujuan dengan pemerintah negara penerima
d.   Memberikan keterangan tentang kondisi dan perkembangan negara penerima sesuai dengan undang-undang dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim
e.    Memelihara hubungan persahabatan antar kedua negara .
C.           Tingkatan-tingkatan Perwakilan Diplomatik
a.    Duta besar berkuasa penuh, yaitu perwakilan diplomatik yang mempunyai kekuasaan penuh dan luar biasa dan biasanya ditempatkan di negara negara yang banyak menjalin hubungan timbal balik. Di tempat mana duta besar diakreditir, ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dari duta-duta. Duta besar mewakili kepala negaranya, memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan nama baik negaranya.
b.    Duta, yaitu perwakilan diplomatik yang dalam menyelesaikan persoalan kedua negara harus berkonsultasi dahulu dengan pemerintahnya.
c.    Menteri Residen, status menteri residen bukan sebagai wakil pribadi kepala negara melainkan hanya mengurus urusan negara
d.   Kuasa Usaha, adalah perwakilan diplomatik yang tidak diperbantukan kepada kepala negara, melainkan kepada menteri luar negeri . Di Bedakan menjadi 2 :
a.    Kuasa usaha tetap menjabat kepala dari suatu perwakilan.
b.    Kuasa usaha sementara yang melaksanakan pekerjaan dari kepala perwakilan ketika pejabat ini belum atau tidak ada di tempat.

D.           Fungsi Perwakilan Diplomatik (Kongres Wina)
a.    Mewakili negara pengirim di dalam negara penerima.
b.    Melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara penerima di dalam batas batas yang diijinkan oleh hukum internsional.
c.    Mengadakan persetujuan dengan pemerintah negara penerima.
d.   Memberikan keterangan tentang kondisi dan perkembangan negara penerima sesuai dengan UU dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim.
e.    Memelihara hubungan persahabatan antara kedua negaraMenciptakan pesahabatan yang baik antar negara dalam mewujudkan pelaksanaan tugas negara perwakilan diplomatik.
E.            Tugas Pokok Perwakilan Diplomatik
          Perwakilan diplomatik ( Duta besar ) meilik tugas pokok yang antara lain sebagai berikut :
a.    Menyelenggarakan hubungan dengan negara lain atau hubungan kepala negara dengan pemerintah asing.
b.    Mengadakan perundingan masalah masalah yang dihadapi oleh kedua negara itu dan berusaha untuk menyelesaikannya.
c.    Mengurus kepentingan negara serta warga negaranya di negara lain.
d.   Apabila dianggap perlu dapat bertindak sebagai tempat pencatatan sipil, paspor, dsb.
          Sedangkan tugas umum seorang perwakilan diplomatik adalah mencakup hal-hal berikut :
a.    Representasi, perwakilan diplomatik mewakili kebijakan politik pemerintah negaranya dapat melakukan protes, mengadakan penyelidikan pertanyaan denganpemerintah negara penerima.
b.    Negoisasi, untuk mengadakan perundingan atau pembicaraan baik dengan negara dimana ia diakreditasi maupun dengan negara lain.
c.    Observasi, yaitu untuk menelaah dengan teliti setiap kejadian atau peristiwa di negara penerimayang mungkin dapat mempengaruhi kepentingan negaranya.
d.   Proteksi, melindungi pribadi, harta benda, dan kepentingan-kepentingan warga negaranya yang berada di luar negeri
e.    Relasi, untuk meningkatkan hubungan persahabatan antar negara pengirim dengan negara penerima, baik di bidang ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
F.            Peranan Perwakilan Diplomatik
a.    Menetukan tujuan dengan menggunakan semua daya upaya dan tenaga dalam mencapai tujuan tersebut.
b.    Menyesuaikan kepentingan bangsa lain dengan kepentingan nasional sesuai dengan tenaga dan daya yang ada.
c.    Menentukan apakah tujuan nasional sejalan atau berbeda dengan kepentingan negara lain.
d.   Menggunakan sarana dan kesempatan yang ada dan sebaik baikya dalam menjalankan tugas diplomatiknya.
G.           Kekebalan Perwakilan Diplomatik
          Kekebalan diplomatik (immunity) bersifat involability (tidak dapat diganggu gugat) antara alin mencakup :
a.    Pribadi Pejabat Diplomatik, yaitu mencakup kekebalan terhadap alat kekuasaan negara penerima, hak mendapat perlindungan terhadap gangguan dari serangan atas kebebasan dan kehormatannya, dan kekebalan dari kewajiban menjadi saksi.
b.    Kantor perwakilan (rumah kediaman), yaitu mencakup kekebalan gedung kedutaan, halaman, rumah kediaman yang ditandai dengan lambang bendera atau daerah ekstrateritorial. Bila ada penjahat atau pencari suaka politik masuk ke dalam kedutaan, maka ia dapat diserahkan atas permintaan pemerintah karena para diplomat tidak memiliki hak asylum, hak untuk memberi kesempatan kepada suatu negara untuk memberi kesempatan kepada warga negara asing untuk melarikan diri.
c.    Korespodensi diplomatik, kekebalan yang mencakup dokumen, arsip, surat menyurat, termasuk kantor diplomatik dan sebagainya kebal dari pemeriksaan.
H.           Keistimewaan Perwakilan Diplomatik
          Keistimewaan Perwakilan Diplomatik sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961 dan 1963 mencakup :
a.    Pembebasan dari kewajiban membayar pajak, yaitu antara lain pajak penghasilan, kekayaan, kendaraan bermotor, radio, televisi, bumi dan bangunan, rumah tangga, dan sebagainya.
b.    Pembebasan dari kewajiban pabean, yaitu antara lain bea masuk, bea keluar, bea cukai terhadap barang-barang keperluan dinas, misi perwakilan, barang keperluan sendiri, keperluan rumah tangga, dan sebagainya.
I.              Perbedaan Korps Diplomatik dengan Korps Konsuler
Korps Diplomatik
a.    Memelihara kepentingan negaranya melalui hubungan tingkat pejabat pusat
b.    Berhak membuat hubungan plitik
c.    Mempunyai hak ektrateritorial
d.   Satu negara hanya mempunyai satu perwakilan diplomatik
Korps Konsuler
a.    Memelihara kepentingan negaranya melalui hubungan tingkat daerah
b.    Membuat hubungan Non politik
c.    Tidak mempunyai hak ektrateritorial
d.   Satu negara dapat memiliki lebih dari satu
J.             Mulai Berlakunya dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimeawan Diplomatik
          Menurut Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, setiap orang yang berhak mendapatkan hak istimewa dan kekebalan diplomatik akan mulai menikmatinya sejak pengangkatannya diberikan kepada Kementerian Luar Negeri atau kepada kementerian lainnya sebagaimana mungkin telah disetujui
          Berakhirnya Fungsi Misi Perwakilan DiplomatikKekebalan dan Keistimeawan Diplomatik antara lain sebagai berikut:
a.    Sudah habis masa jabatan
b.    Ditarik kembali oleh pemerintah negaranya
c.    Karena tidak disenangi (dipersona non grata)
d.   Kalau negara penerima perang negara pengirim (pasal 43 Konvensi Wina 1961) (Pasal 23, 24, dan 25 Konvesi Wina 1963)

BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
         Netralitas merupakan status hukum untuk tidak melibatkan diri dalam perang serta menetapkan hak dan kewajiban tertentu terhadap negara yang berperang.Netral berarti non partisipasi dalam kegiatan perang (netralitet) dan bukan perang (kuasi netralitet). Netralitet menunjukkan sikap sesuatu negara yang tidak turut berperang dengan negara-negara yang berperang dan bermusuhan dan negara berperang wajib menghormati kekebalan wilayah netral.
Netralitas melahirkan hak dan kewajiban tertentu bagi negara netral yang bersangkutan maupun bagi pihak ketiga.
         Adapun hak negara netral yang diakui oleh negara yang bertikai adalah:
a.    Bebas dari pelanggaran wilayah;
b.    Menerima asas netral yang tidak memihak; dan
c.    Bebas dari intervensi di bidang komersial hingga batas sanksi ekonomi yang ditentukan oleh hukum internasional.
d.   Sedangkan kewajiban Negara netral antara lain mencakup:
e.    Bersikap tidak memihak;
f.     Menahan diri untuk tidak memberikan bantuan kepada pihak yang berperang;
g.    Menolak pemakaian wilayahnya oleh pihak yang berperang; dan
h.    Mengizinkan negara yang berperang untuk terlibat dalam kegiatan komersial hingga batas yang ditentukan oleh hukum internasional.   
          Yuridiksi juga berasal dari kata latin yaitu Yurisdictio, yuris artinya kepunyaan hukum dan dictio artinya ucapan . Berarti yuridisi adalah kekuasaan/hak/kewenanagan menurut hukum, sedangkan Yuridiksi negara adalah kekuasaan/hak/kewenangan suatu negara untuk menetapkan dan memaksakan hukum yang dibuat oleh negara itu sendiri. Yuridiki merupakan refleksi dari kadaulatan.
          Menurut Adolf, berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi sebagai berikut:
a.    Yurisdiksi Legislatif
b.    Yurisdiksi Eksekutif
c.    Yurisdiksi Yudikatif
          Prinsip-Prinsip Dalam Yurisdiksi Negara terdiri atas
a.    Azas Teritorial
b.    Azas individu
c.    Azas perlindungan dan
d.   Azas universal.
          Haki munitas ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a.    Imunitas negara (state immunity)
Imunitas Negara Kepala negara, sebagai bagian dari pengertian pejabat negara, sering diidentikkan dengan souvereign immunity dalam hal perolehan kekebalan hukum. Imunitas diberikan kepada pejabat negara, terutama kepala negara, karena kepala negara merupakan gambaran atau perlambangan dari negara yang bersangkutan. Hal ini menempatkan kepala negara sebagai perlambangan kedaulatan suatu negara berdaulat baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Arti pemberian imunitas itu sendiri memiliki makna bahwa dengan kekebalan hukum, kepala negara memiliki kompetensi untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap penting dalam mewujudkan tertibnya kehidupan kenegaraan serta meningkatkan harkat dan martabat negaranya di lingkungan dunia internasional.
b.    Imunitasdiplomatikdankonsuler.
Imunitas diplomatic dan konsuler adalah Kekebalan yang diberikan kepada wakil-wakil diplomatic pada suatu Negara yang merdeka dan berdaulat yang hak-haknya dijamin hukum internasional (united Nations Charter).

3.2     Saran
          Kami memberi saran kepada dunia pendidikan dan khususnya kepada guru Pendidikan kewarganegaraan agar mengenai materi Netralitas, yurisdiksi dan imunitas agar dapat diajarkan kepada peserta didik dengan maksimal supaya para peserta didik dapat memahaminya dengan baik



DAFTAR PUSTAKA


          Starke. J. G. 1984. Pengantar Hukum Internasional........................:PT Aksara Persada Indonesia.
          Adolf Huala. 2002. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional: Bandung. PT Grafindo Persada.
          http://unjakreatif.blogspot.com/2010/09/kedaulatan-dan-immunitas-negara-dalam.htmlhttp://unjakreatif.blogspot.com/2010/09/kedaulatan-dan-immunitasnegara-dalam.html
          http://blog.beswandjarum.com/sigitandi/resume-azas-azas-yurisdiksi-negara.html



No comments:

Post a Comment